“Terima kasih ya, Ji Hwan Oppa,” canda Brisha. “Dan maaf karena kami sudah merepotkanmu. Barusan ada ... masalah darurat.”
“Nggak masalah, Brisha,” balas Ji Hwan tenang.
Cowok itu duduk tegak dengan wajah serius. Amara yakin, bahwa kata-katanya tadi sudah menjadi sembilu yang membuat Ji Hwan kehilangan senyum. Gadis itu merasa bersalah karena sudah bicara jahat kepada orang yang baru dikenalnya. Setelah apa yang dilakukannya, Ji Hwan bahkan masih berkenan menggantikan Ronan. Namun lidah Amara terlalu kebas untuk mampu melantunkan kalimat bernada permohonan maaf.
“Ke mana aku harus mengantar kalian?” tanya Ji Hwan kaku.
“Ke rumahku,” Brisha lagi-lagi yang menjawab. “Masih ingat alamatnya, kan?”
“Masihlah,” balas Ji Hwan.
Amara benar-benar iri pada Brisha yang bisa menguasai diri dengan baik dan bersikap santai. Dulu dia pun seperti itu. Karena tahu tak bisa me
Setelah beberapa saat hanya duduk membatu, akhirnya Amara berhasil juga membulatkan tekad dan keluar dari dalam mobil. Sophie dan Brisha entah berada di mana, tapi Amara menebak mereka berdua ada di kamar temannya. Setahu Amara, Sophie baru sekali ke rumah ini dan nyaris tidak mengenal Brisha. Namun tampaknya apa yang terjadi hari ini sudah menciptakan perbedaan mencolok.Amara sedang berjalan gontai melintasi halaman ketika Brisha muncul di teras. Gadis itu sudah mengganti pakaiannya. Dengan celana pendek nyaris selutut dan kaus longgar, Brisha tetap cantik. Namun semburat warna pucat di wajahnya masih terlihat. Tebakan Amara, itu efek dari pengakuannya tadi. Karena saat mendatangi Brisha, gadis itu sama sekali tak tampak pucat.Amara bertanya, “Sophie mana?”“Ada di kamarku. Ji Hwan sudah pulang?”Amara mengangguk. “Aku minta maaf karena sudah....”Kata-katanya tidak pernah tergenapi karena Brisha sudah memeluk
“Marcello temanmu sejak SD itu? Yang kuliah di Fakultas Pertanian, kan?” Brisha mencari penegasan. “Aku masih ingat, tapi memang sudah lama aku tidak bertemu dia. Sepertinya sejak kamu cuti dia juga....” Brisha terdiam seketika. “Maaf, aku sudah melantur.”“Ada apa dengan cowok yang namanya Marcello ini?” tukas Sophie tak sabar. “Dia yang melakukan ... hmmm ... hal buruk padamu?” tanyanya blak-blakan. Brisha menoleh ke kiri, memberikan pandangan menegur ke arah gadis itu.Jawaban Amara membuat Brisha melongo. “Ya. Memang dia yang memaksaku....” tangis Amara pecah tiba-tiba. Air mata yang dikiranya sudah kering itu ternyata masih bersisa. Dia merasakan seseorang memeluknya, Brisha. Aroma parfum samarnya membuat Amara bisa mengenalinya. Sophie menyusul sekedip kemudian. Membuat tangis Amara kian kencang.Lalu, gadis itu pun mulai buka suara. Bercerita tentang suatu hari yang dikiranya cuma akh
Amara tidak tahu kalau mengeluarkan sedikit rahasia gelapnya bisa membuat dadanya lumayan lega. Andai tahu efeknya seperti itu, mungkin dia sudah melakukan ini sejak lama. Gadis itu memercayai Brisha, pertemanan mereka selama ini sudah memberinya petunjuk. Sementara untuk Sophie sendiri, prosesnya memang cukup panjang. Namun ketika akhirnya bicara, Amara tidak ragu kalau Sophie takkan mengkhianati kepercayaannya.Memang, Amara sudah pernah membahas tentang semua yang dialaminya di depan keluarga atau psikiater. Namun, efek kelegaannya itu agak berbeda setelah gadis itu bicara dengan Brisha dan Sophie. Apalagi tak ada penghakiman atau pandangan menyalahkan yang didapat Amara dari kedua temannya itu.“Sekarang aku baru nyadar kalau itu yang bikin kamu ... tampak agak berbeda,” Sophie akhirnya mengakhiri keheningan yang membekukan itu. Wajahnya masih pucat. Menurut suara hati Amara, Sophie jauh lebih terpukul dibanding yang ditunjukkannya. Namun gadis itu cuku
Brisha geleng-geleng kepala. “Kukira Marcello orang yang baik dan menyenangkan. Apalagi kalian udah temenan lama dan dia terkesan perhatian sama kamu, Mara. Perhatian bukan dalam arti antara cowok yang naksir cewek. Ya Tuhan, aku nggak bisa membayangkan kalau ternyata dia sebejat itu. Tega mencelakai sahabatnya sendiri.”Amara membasahi bibirnya yang terasa kering. Dia sendiri pun menyesap rasa yang sama seperti Brisha. Mengira mengenal Marcello cukup baik, nyatanya dia terperanjat karena apa yang bisa dilakukan oleh cowok itu.Keheningan menyapu kamar Brisha itu selama beberapa saat. Amara senang karena tak ada yang pingsan setelah dia membuka luka lama itu. Walau Brisha dan Sophie jelas-jelas tampak kaget setengah mati.“Jadi, sekarang apa yang terjadi sama si Monster ini, Mara?” Sophie buka suara. “Apa kamu masih sering ketemu dia? Waktu kamu di Parapat, dia pernah datang ke sana?”“Aku udah nggak pernah ketemu
Merasa lelah dengan emosinya yang terkuras, Amara membaringkan tubuhnya di atas karpet tebal itu. Gadis itu menelentang. Brisha beranjak ke arah ranjang dan membawa beberapa bantal berbentuk persegi panjang untuk mereka. Amara mengambil salah satunya.“Apa aku bisa ngelakuin sesuatu untuk membantumu, Amara?” tanya Sophie.Ketulusan serta kesungguhan dalam suara gadis itu membuat Amara ingin menangis lagi. Namun dia menahan keinginan itu karena tidak mau lagi menunjukkan kecengengannya. Lagi pula dia sudah belajar bahwa tangis tidak akan menjadi jalan keluar untuk masalah apa pun, entah berat atau ringan.“Kalian harus bisa jaga diri sebaik mungkin. Jangan sampai ngalamin kayak aku. Pokoknya, nggak boleh lengah. Kalian harus hati-hati, jangan mudah percaya sama seseorang. Meski orang itu mengaku sebagai teman baikmu. Karena nyatanya banyak pelaku kejahatan adalah orang-orang yang memang dikenal korban. Mereka menyalahgunakan kepercayaan si
Brisha mendadak bersuara. “Apa cuma aku doang yang lapar? Kalian nggak, ya?”“Aku juga lapar,” aku Sophie.“Sama,” balas Amara. “Setelah curhat panjang, perutku minta diisi. Apa kita mau pesan makanan atau gimana?”“Aku akan ngecek ke dapur sebentar apa kira-kira ada cukup makanan untuk kita,” Brisha duduk sambil menepuk-nepuk celana pendeknya. “Kalau nggak ada, aku akan memesan makanan. Dan kita berpesta hari ini.”Beberapa saat kemudian Brisha kembali dari dapur, mengaku bahwa tak banyak makanan yang bisa mereka santap. Akhirnya mereka sepakat untuk memesan makanan saja. Namun Amara dan Sophie menyerahkan pilihan menu pada sang nona rumah.Seakan kisah mengerikan yang dituturkan Amara membuat mereka kelaparan, Brisha akhirnya memesan berbagai makanan dari restoran yang letaknya tak jauh dari rumah gadis itu. Ketiga gadis itu pun pindah ke dapur dengan makanan memenuhi meja. B
Karena di kampus nyaris selalu bersama, Sophie menjadi orang yang paling mengerti kondisi Amara. Jika gadis itu sudah melihat ekspresi kaku atau wajah mulai dipenuhi bintik keringat milik Amara, Sophie akan bereaksi. Kalau kondisi Amara sudah seperti itu, biasanya Sophie akan mengajak temannya itu menjauh dari keramaian. Karena biasanya reaksi itu terjadi jika Amara mulai gugup dan merasa ada lawan jenis yang memerhatikannya.“Nih!” Sophie mengeluarkan tiga buah lolipop dari dalam tasnya.Mereka baru saja berpapasan dengan Reuben yang menyapa keduanya dengan ramah. Lelaki itu tak menunjukkan tanda-tanda sakit hati atau perubahan sikap karena sudah ditolak Amara mentah-mentah. Bagusnya lagi, Reuben juga tak berusaha mengejar-ngejar Amara hingga membuat gadis itu makin ketakutan.“Apa ini?” Amara keheranan. Namun dia menerima benda yang disodorkan Sophie.“Lolipop,” sahut Sophie dengan nada geli.Amara mencebik. &l
Dalam kurun waktu satu setengah tahun terakhir, inilah kali pertama dia benar-benar melihat seorang cowok mengembangkan senyum tanpa merasa cemas. Tentu saja Maxim tidak dihitung, begitu juga dengan Levi yang dulu cukup sering mendatangi Puan Derana. Karena di mata Amara, keduanya bukanlah ancaman. Bahkan mungkin bisa dibilang dia tak melihat mereka sebagai lawan jenis, hanya bagian dari Puan Derana belaka.Dari balik bibir kemerahan Ji Hwan, mengintip sederet gigi rapi yang membuat Amara iri setengah mati. Sebab, giginya tak serapi itu. Juga ada lesung pipi yang membuat cowok itu makin menawan. Ya, saat itulah Amara baru menyadari satu hal. Bahwa Ji Hwan adalah sosok yang memesona. Apalagi ditambah kulit bersihnya. Saat terkena sinar matahari, pipi Ji Hwan berubah menjadi agak kemerahan.“Halo Amara,” sapanya ramah. Amara kembali diingatkan pada aksen unik yang mengiringi sapaan Ji Hwan.“Halo Ji Hwan,” balasnya. Amara bahkan tak sanggup
Amara sering mendengar kalimat tentang cinta yang bisa mengubah hidup seseorang dengan drastis. Dan selama ini dia kerap mencibir, tidak memercayai hal itu sama sekali. Baginya, orang-orang yang sedang jatuh cinta itu cuma melebih-lebihkan saja.Akan tetapi, kini cibirannya itu justru berbalik menyerang Amara. Menjadi bumerang yang membuatnya jengah. Jika boleh jujur, Amara bahkan tidak tahu kalau efek cinta yang dirasakannya itu ternyata jauh lebih besar dibanding bayangan gadis itu. Amara mengira hidupnya sudah remuk dan takkan bisa lagi kembali normal. Bahagia itu cuma sebuah mimpi lancang yang terlarang untuknya.Hingga Seo Ji Hwan hadir dalam dunianya, memainkan sihir ajaib yang tidak pernah terduga.Membuka hatinya lagi untuk Ji Hwan setelah tahu siapa cowok itu, sama sekali tidak mudah. Akan tetapi, memaksa Ji Hwan menjauh dan membiarkan cowok itu lenyap dari hidup Amara selamanya, jauh lebih tidak tertanggungkan. Cinta Amara untuk cowok itu sudah bertumb
Kata-kata Ji Hwan itu mengejutkan Amara. Dia pun merespons. “Pasti itu melibatkan cewek yang namanya Rita tadi,” tebak Amara dengan perasaan terganggu. Cemburu.“Memang iya,” aku Ji Hwan dengan jujur. Pengakuan itu membuat Amara berjengit.“Dan tadi dia menggandengmu dengan mesra,” Amara menahan diri agar tidak mengomel panjang. “Aku dan Sophie ngeliat semuanya.”“Dia memang menggandengku, Mara. Tapi seingatku, buru-buru kulepaskan. Nggak ada yang bisa dianggap ‘mesra’ di situ,” ralat Ji Hwan. Kedua tangannya terangkat dan membuat tanda petik di udara. “Kalau memang kamu secemburu itu, seharusnya kamu nggak pernah ngelepasin aku,” dia menambahkan.Amara menoleh ke kanan, mengira akan melihat Ji Hwan tersenyum jail. Namun ternyata tidak. Ji Hwan terlihat sangat serius dengan kata-katanya. Matanya yang agak sipit itu menatap Amara dengan kesungguhan yang luar biasa.
Ji Hwan tertawa geli. Amara benar-benar merasa lega karena akhirnya bisa melihat cowok itu tergelak lagi. Lesung pipitnya begitu menyihir. Amara sekarang baru menyadari betapa dia sangat merindukan Ji Hwan. Dia tidak tahu bagaimana selama ini bisa bertahan, bahkan sampai bersikap memusuhi cowok itu. Amara pun tak sudi mendengar semua pembelaan diri dari Ji Hwan.“Sophie juga udah ngingetin aku tentang kamu yang gengsi banget untuk mengakui perasaanmu sama aku,” aku Ji Hwan.Amara mendesah tak berdaya. “Kalau nanti ketemu Sophie, aku akan menjahit mulutnya,” ucap gadis itu. “Dia sama sekali nggak bisa menjaga rahasia.”Ji Hwan tertawa kecil. “Sophie nggak punya maksud jelek. Dia cuma ingin membantu kita berdua,” katanya. “Heartling, bisa nggak sih, kita berhenti berantem dan ngucapin kata-kata yang nyakitin hati? Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Aku menyesali semua yang harus kamu alami. Aku lebih nyesal lag
Wajah Amara menghangat. Kata-kata Ji Hwan itu membuatnya jengah. Dia sempat mengerjap sambil menatap sang mantan, tak yakin bagaimana Ji Hwan tampak berbeda dibanding kemarin. Hari ini, Ji Hwan tampak lebih santai dan bisa mengucapkan kata-kata yang mengejutkan. Meski tak terlihat lesung pipitnya yang begitu disukai Amara.“Kenapa aku harus cemburu?” Amara mengerutkan glabelanya. “Ji Hwan, kita beneran konyol banget karena ngebahas hal-hal yang nggak penting. Sekarang, balik ke masalah yang sebenarnya. Kamu ngajak aku ke sini untuk ngebahas apa?” tanya Amara. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski nyatanya jantung Amara terasa menggila lagi.“Bukannya kamu merindukanku?” Ji Hwan malah balas bertanya. Pertanyaan itu begitu mengejutkan, seperti bom yang dijatuhkan di keheningan malam.“Apa?” Amara yakin dia sudah salah dengar.Ji Hwan menjawab dengan sabar. Nada sinis yang tadi tertangkap di telinga Amar
“Kamu sakit ya, Mara? Wajahmu agak pucat,” cetus Ji Hwan dengan napas memburu. Menurut tebakan Amara, cowok itu pasti berlari saat kembali ke tempatnya menunggu.“Aku nggak sakit.” Seisi dada Amara dipenuhi permohonan, berharap Ji Hwan mau memanggilnya “Heartling” lagi. Permohonan yang tidak mampu dilisankan Amara di depan cowok itu. Sesaat kemudian, gadis itu memarahi dirinya sendiri. Memangnya apa yang diharapkannya? Ji Hwan sudah melakuakan segalanya untuk mempertahankan Amara. Akan tetapi, Amara sendiri yang menolak Ji Hwan berkali-kali.Ji Hwan melihat ke arah jam tangannya. “Kita bisa pergi sekarang? Atau kamu mau makan siang dulu?”Amara menggeleng. “Aku nggak lapar.”Setelahnya, gadis itu berjalan bersisian dengan Ji Hwan menuju tempat parkir motor di fakultas cowok itu. Tak ada yang membuka mulut. Amara pun sama sekali tidak berkomentar saat mantan pacarnya menyerahkan sebuah helm kepada
Namun Amara tidak mampu mensterilkan diri dari perasaan senang saat melihat Rita menjadi salah tingkah dengan wajah agak pias. Mereka saling sapa dengan canggung. Amara juga merasa lega karena Ji Hwan tidak mengoreksi kata-kata Sophie tadi.Kurang dari tiga menit kemudian Rita pamit dengan alasan harus masuk kelas. Tak lama kemudian Sophie pun menyusul. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu menyesali caranya mengintimidasi Rita. Sophie malah terkesan puas dengan kelakuannya barusan. Kini, yang tinggal hanya Amara, berdiri berhadapan dengan mantan pacarnya dengan canggung. Gadis itu memindahkan berat badannya dari kaki kanan ke kaki kiri. Tidak ada yang bicara hingga berdetik-detik. Sementara mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka.“Amara, kenapa belum pulang? Masih ada kuliah, ya?”Tanpa melihat pun Amara tahu bahwa Reuben yang barusan menyapanya. Dosennya itu berhenti sambil menatap Amara. Berdiri di depan dua pria yang pernah menjanjikan hati m
Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben
Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar
Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih