Merasa lelah dengan emosinya yang terkuras, Amara membaringkan tubuhnya di atas karpet tebal itu. Gadis itu menelentang. Brisha beranjak ke arah ranjang dan membawa beberapa bantal berbentuk persegi panjang untuk mereka. Amara mengambil salah satunya.
“Apa aku bisa ngelakuin sesuatu untuk membantumu, Amara?” tanya Sophie.
Ketulusan serta kesungguhan dalam suara gadis itu membuat Amara ingin menangis lagi. Namun dia menahan keinginan itu karena tidak mau lagi menunjukkan kecengengannya. Lagi pula dia sudah belajar bahwa tangis tidak akan menjadi jalan keluar untuk masalah apa pun, entah berat atau ringan.
“Kalian harus bisa jaga diri sebaik mungkin. Jangan sampai ngalamin kayak aku. Pokoknya, nggak boleh lengah. Kalian harus hati-hati, jangan mudah percaya sama seseorang. Meski orang itu mengaku sebagai teman baikmu. Karena nyatanya banyak pelaku kejahatan adalah orang-orang yang memang dikenal korban. Mereka menyalahgunakan kepercayaan si
Brisha mendadak bersuara. “Apa cuma aku doang yang lapar? Kalian nggak, ya?”“Aku juga lapar,” aku Sophie.“Sama,” balas Amara. “Setelah curhat panjang, perutku minta diisi. Apa kita mau pesan makanan atau gimana?”“Aku akan ngecek ke dapur sebentar apa kira-kira ada cukup makanan untuk kita,” Brisha duduk sambil menepuk-nepuk celana pendeknya. “Kalau nggak ada, aku akan memesan makanan. Dan kita berpesta hari ini.”Beberapa saat kemudian Brisha kembali dari dapur, mengaku bahwa tak banyak makanan yang bisa mereka santap. Akhirnya mereka sepakat untuk memesan makanan saja. Namun Amara dan Sophie menyerahkan pilihan menu pada sang nona rumah.Seakan kisah mengerikan yang dituturkan Amara membuat mereka kelaparan, Brisha akhirnya memesan berbagai makanan dari restoran yang letaknya tak jauh dari rumah gadis itu. Ketiga gadis itu pun pindah ke dapur dengan makanan memenuhi meja. B
Karena di kampus nyaris selalu bersama, Sophie menjadi orang yang paling mengerti kondisi Amara. Jika gadis itu sudah melihat ekspresi kaku atau wajah mulai dipenuhi bintik keringat milik Amara, Sophie akan bereaksi. Kalau kondisi Amara sudah seperti itu, biasanya Sophie akan mengajak temannya itu menjauh dari keramaian. Karena biasanya reaksi itu terjadi jika Amara mulai gugup dan merasa ada lawan jenis yang memerhatikannya.“Nih!” Sophie mengeluarkan tiga buah lolipop dari dalam tasnya.Mereka baru saja berpapasan dengan Reuben yang menyapa keduanya dengan ramah. Lelaki itu tak menunjukkan tanda-tanda sakit hati atau perubahan sikap karena sudah ditolak Amara mentah-mentah. Bagusnya lagi, Reuben juga tak berusaha mengejar-ngejar Amara hingga membuat gadis itu makin ketakutan.“Apa ini?” Amara keheranan. Namun dia menerima benda yang disodorkan Sophie.“Lolipop,” sahut Sophie dengan nada geli.Amara mencebik. &l
Dalam kurun waktu satu setengah tahun terakhir, inilah kali pertama dia benar-benar melihat seorang cowok mengembangkan senyum tanpa merasa cemas. Tentu saja Maxim tidak dihitung, begitu juga dengan Levi yang dulu cukup sering mendatangi Puan Derana. Karena di mata Amara, keduanya bukanlah ancaman. Bahkan mungkin bisa dibilang dia tak melihat mereka sebagai lawan jenis, hanya bagian dari Puan Derana belaka.Dari balik bibir kemerahan Ji Hwan, mengintip sederet gigi rapi yang membuat Amara iri setengah mati. Sebab, giginya tak serapi itu. Juga ada lesung pipi yang membuat cowok itu makin menawan. Ya, saat itulah Amara baru menyadari satu hal. Bahwa Ji Hwan adalah sosok yang memesona. Apalagi ditambah kulit bersihnya. Saat terkena sinar matahari, pipi Ji Hwan berubah menjadi agak kemerahan.“Halo Amara,” sapanya ramah. Amara kembali diingatkan pada aksen unik yang mengiringi sapaan Ji Hwan.“Halo Ji Hwan,” balasnya. Amara bahkan tak sanggup
Lidah Amara terkelu. “Kamu suka padaku?” tanyanya heran. “Masih?”Ji Hwan tertawa pelan. “Sayangnya, masih.”“Setelah....” Amara tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.“Memangnya tidak boleh, ya? Meski kamu marah-marah dan ... maaf ... bersikap menyebalkan. Hei, bukankah kita sudah sepakat tidak akan membahas masalah itu lagi?”Senyum Amara mekar tanpa bisa dicegah. Gadis itu menyadari bahwa sekarang dia lebih rileks. Kedua bahunya melorot dan Amara bisa duduk bersandar dengan perasaan nyaman. Tidak ada ketakutan atau kecemasan yang mencengkeramnya.“Makasih karena udah bicara jujur, Ji Hwan,” ucap Amara. Gadis itu lega karena masih ingat untuk bersikap sopan. Nama Reuben sempat melintas di kepalanya. Setelah Amara kembali ke kampus, Reuben orang pertama yang mengaku menyukainya. Lalu kini Ji Hwan.“Pasti udah banyak cowok yang bilang suka padamu, kan?” tanya
Lolipop dari Sophie ternyata cukup membantu Amara. Tanpa terduga, dia bisa melewati obrolan dengan Ji Hwan tanpa kendala berarti. Amara memang tak lantas berhenti gugup dan bisa bersikap santai. Ada saatnya dia ingin beranjak dari kursi dan meninggalkan teras rumah Brisha itu. Namun, paling tidak, gadis itu bisa bertahan tanpa melakukan sesuatu yang aneh. Hingga Sophie kembali untuk menepati janjinya untuk kembali menemani Amara.“Ronan sedang makan siang di dapur. Kamu tidak mau makan juga, Ji Hwan? Ada banyak makanan, lho!” cetus Sophie. Gadis itu membawa nampan berisi tiga gelas sirop stroberi dingin.“Aku udah makan di kantin,” beri tahu Ji Hwan.Mereka bertiga akhirnya mengobrol ringan sambil menunggu Ronan dan Brisha bergabung di teras. Tentu saja Amara lebih banyak menjadi pendengar. Sophie yang supel itu tak kesulitan mencari bahan obrolan. Sementara Ji Hwan pun mengimbangi gadis itu lumayan luwes. Mereka membahas banyak hal yang
“Ji Hwan itu kok bisa fasih berbahasa Indonesia sih, Sha?” tanya Amara tiba-tiba.Pertanyaan yang di luar dugaan itu membuat kedua sahabatnya memandang Amara dengan terpana. Hari itu mereka baru saja selesai berenang. Rumah Brisha dilengkapi sebuah kolam renang cantik yang membuat iri Sophie dan Amara. Keduanya tidak ada kuliah dan datang mengunjungi Brisha lewat tengah hari. Ketiganya memang sudah membuat janji akan menghabiskan sisa hari itu bersama.“Kamu serius menanyakan itu?” tanya Brisha blak-blakan.Amara tampak malu. Namun sebelum gadis itu berkomentar, Sophie sudah mendahuluinya. “Tentu saja dia serius!” tandas Sophie dengan keyakinan penuh.“Memangnya apa saja yang kalian obrolkan kalau sedang berdua? Kamu nggak pernah tanya langsung sama Ji Hwan, ya?” Brisha setengah mengeluh. Berpura-pura, tentunya.“Ya udah, jangan dijawab,” balas Amara dengan pipi terasa panas.Brisha
Amara berusaha keras mencegah kerutan muncul di keningnya, atau mengangkat alis yang menandakan ada pertanyaan yang mengganjal di benaknya. Alasannya simpel saja. Dia tak mau kedua sahabatnya ini makin getol saja menggoda Amara. Lihat saja apa yang tadi terjadi. Amara cuma mengajukan satu pertanyaan tapi sudah menciptakan kehebohan bagi Brisha dan Sophie. Bagi Amara, keduanya sungguh membuat kesal.“Kamu tahu kan kalau Ji Hwan itu sekarang kuliah di Fakultas Ilmu Komputer? Tahu kan kalau letak kampusnya bersebelahan dengan fakultas kita?” Brisha menggoda Amara sambil mengedipkan mata. Gadis itu tampak menahan tawa.“Aku menyesal menanyakan soal Ji Hwan tadi,” Amara mendesah dengan bibir mengerucut. “Kalian malah terus-menerus meledekku. Salah ya, kalau aku pengin tahu? Padahal itu kan cuma pengetahuan simpel. Mau bertanya langsung ke Ji Hwan kok rasanya tidak nyaman. Tapi nanya ke kalian malah jadi heboh.”Sophie menepuk bahu
Perbincangan ringan dan dijejali canda itu meninggalkan bekas di dada Amara. Untungnya bukan sesuatu yang membuatnya panik atau ketakutan. Melainkan menyisakan gelitik geli yang terasa membuat perutnya mulas. Dia mulai yakin, Sophie dan Brisha akan kian getol mendorongnya untuk memacari Ji Hwan. Apalagi setelah mereka melihat sendiri Amara bisa cukup nyaman berbincang dengan cowok itu.“Kalau suatu hari nanti kamu punya pacar, semoga bisa membuat traumamu makin berkurang ya, Mara,” harap Brisha saat mereka berada di kamar gadis itu untuk berganti baju. “Dan aku penginnya orang itu adalah Ji Hwan.”“Aamiin,” respons Sophie. “Kamu harus berhenti menganggap semua cowok itu sama, Mara. Pokoknya, aku pengin ngeliat kamu jadi Amara yang dulu, Amara yang menurut Brisha ceria dan supel. Karena aku belum pernah kenalan sama Amara versi itu.”“Udah, ah! Kok jadi ngomongin pacar, sih? Aku beneran belum berminat ke arah
Amara sering mendengar kalimat tentang cinta yang bisa mengubah hidup seseorang dengan drastis. Dan selama ini dia kerap mencibir, tidak memercayai hal itu sama sekali. Baginya, orang-orang yang sedang jatuh cinta itu cuma melebih-lebihkan saja.Akan tetapi, kini cibirannya itu justru berbalik menyerang Amara. Menjadi bumerang yang membuatnya jengah. Jika boleh jujur, Amara bahkan tidak tahu kalau efek cinta yang dirasakannya itu ternyata jauh lebih besar dibanding bayangan gadis itu. Amara mengira hidupnya sudah remuk dan takkan bisa lagi kembali normal. Bahagia itu cuma sebuah mimpi lancang yang terlarang untuknya.Hingga Seo Ji Hwan hadir dalam dunianya, memainkan sihir ajaib yang tidak pernah terduga.Membuka hatinya lagi untuk Ji Hwan setelah tahu siapa cowok itu, sama sekali tidak mudah. Akan tetapi, memaksa Ji Hwan menjauh dan membiarkan cowok itu lenyap dari hidup Amara selamanya, jauh lebih tidak tertanggungkan. Cinta Amara untuk cowok itu sudah bertumb
Kata-kata Ji Hwan itu mengejutkan Amara. Dia pun merespons. “Pasti itu melibatkan cewek yang namanya Rita tadi,” tebak Amara dengan perasaan terganggu. Cemburu.“Memang iya,” aku Ji Hwan dengan jujur. Pengakuan itu membuat Amara berjengit.“Dan tadi dia menggandengmu dengan mesra,” Amara menahan diri agar tidak mengomel panjang. “Aku dan Sophie ngeliat semuanya.”“Dia memang menggandengku, Mara. Tapi seingatku, buru-buru kulepaskan. Nggak ada yang bisa dianggap ‘mesra’ di situ,” ralat Ji Hwan. Kedua tangannya terangkat dan membuat tanda petik di udara. “Kalau memang kamu secemburu itu, seharusnya kamu nggak pernah ngelepasin aku,” dia menambahkan.Amara menoleh ke kanan, mengira akan melihat Ji Hwan tersenyum jail. Namun ternyata tidak. Ji Hwan terlihat sangat serius dengan kata-katanya. Matanya yang agak sipit itu menatap Amara dengan kesungguhan yang luar biasa.
Ji Hwan tertawa geli. Amara benar-benar merasa lega karena akhirnya bisa melihat cowok itu tergelak lagi. Lesung pipitnya begitu menyihir. Amara sekarang baru menyadari betapa dia sangat merindukan Ji Hwan. Dia tidak tahu bagaimana selama ini bisa bertahan, bahkan sampai bersikap memusuhi cowok itu. Amara pun tak sudi mendengar semua pembelaan diri dari Ji Hwan.“Sophie juga udah ngingetin aku tentang kamu yang gengsi banget untuk mengakui perasaanmu sama aku,” aku Ji Hwan.Amara mendesah tak berdaya. “Kalau nanti ketemu Sophie, aku akan menjahit mulutnya,” ucap gadis itu. “Dia sama sekali nggak bisa menjaga rahasia.”Ji Hwan tertawa kecil. “Sophie nggak punya maksud jelek. Dia cuma ingin membantu kita berdua,” katanya. “Heartling, bisa nggak sih, kita berhenti berantem dan ngucapin kata-kata yang nyakitin hati? Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Aku menyesali semua yang harus kamu alami. Aku lebih nyesal lag
Wajah Amara menghangat. Kata-kata Ji Hwan itu membuatnya jengah. Dia sempat mengerjap sambil menatap sang mantan, tak yakin bagaimana Ji Hwan tampak berbeda dibanding kemarin. Hari ini, Ji Hwan tampak lebih santai dan bisa mengucapkan kata-kata yang mengejutkan. Meski tak terlihat lesung pipitnya yang begitu disukai Amara.“Kenapa aku harus cemburu?” Amara mengerutkan glabelanya. “Ji Hwan, kita beneran konyol banget karena ngebahas hal-hal yang nggak penting. Sekarang, balik ke masalah yang sebenarnya. Kamu ngajak aku ke sini untuk ngebahas apa?” tanya Amara. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski nyatanya jantung Amara terasa menggila lagi.“Bukannya kamu merindukanku?” Ji Hwan malah balas bertanya. Pertanyaan itu begitu mengejutkan, seperti bom yang dijatuhkan di keheningan malam.“Apa?” Amara yakin dia sudah salah dengar.Ji Hwan menjawab dengan sabar. Nada sinis yang tadi tertangkap di telinga Amar
“Kamu sakit ya, Mara? Wajahmu agak pucat,” cetus Ji Hwan dengan napas memburu. Menurut tebakan Amara, cowok itu pasti berlari saat kembali ke tempatnya menunggu.“Aku nggak sakit.” Seisi dada Amara dipenuhi permohonan, berharap Ji Hwan mau memanggilnya “Heartling” lagi. Permohonan yang tidak mampu dilisankan Amara di depan cowok itu. Sesaat kemudian, gadis itu memarahi dirinya sendiri. Memangnya apa yang diharapkannya? Ji Hwan sudah melakuakan segalanya untuk mempertahankan Amara. Akan tetapi, Amara sendiri yang menolak Ji Hwan berkali-kali.Ji Hwan melihat ke arah jam tangannya. “Kita bisa pergi sekarang? Atau kamu mau makan siang dulu?”Amara menggeleng. “Aku nggak lapar.”Setelahnya, gadis itu berjalan bersisian dengan Ji Hwan menuju tempat parkir motor di fakultas cowok itu. Tak ada yang membuka mulut. Amara pun sama sekali tidak berkomentar saat mantan pacarnya menyerahkan sebuah helm kepada
Namun Amara tidak mampu mensterilkan diri dari perasaan senang saat melihat Rita menjadi salah tingkah dengan wajah agak pias. Mereka saling sapa dengan canggung. Amara juga merasa lega karena Ji Hwan tidak mengoreksi kata-kata Sophie tadi.Kurang dari tiga menit kemudian Rita pamit dengan alasan harus masuk kelas. Tak lama kemudian Sophie pun menyusul. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu menyesali caranya mengintimidasi Rita. Sophie malah terkesan puas dengan kelakuannya barusan. Kini, yang tinggal hanya Amara, berdiri berhadapan dengan mantan pacarnya dengan canggung. Gadis itu memindahkan berat badannya dari kaki kanan ke kaki kiri. Tidak ada yang bicara hingga berdetik-detik. Sementara mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka.“Amara, kenapa belum pulang? Masih ada kuliah, ya?”Tanpa melihat pun Amara tahu bahwa Reuben yang barusan menyapanya. Dosennya itu berhenti sambil menatap Amara. Berdiri di depan dua pria yang pernah menjanjikan hati m
Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben
Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar
Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih