“Ji Hwan itu kok bisa fasih berbahasa Indonesia sih, Sha?” tanya Amara tiba-tiba.
Pertanyaan yang di luar dugaan itu membuat kedua sahabatnya memandang Amara dengan terpana. Hari itu mereka baru saja selesai berenang. Rumah Brisha dilengkapi sebuah kolam renang cantik yang membuat iri Sophie dan Amara. Keduanya tidak ada kuliah dan datang mengunjungi Brisha lewat tengah hari. Ketiganya memang sudah membuat janji akan menghabiskan sisa hari itu bersama.
“Kamu serius menanyakan itu?” tanya Brisha blak-blakan.
Amara tampak malu. Namun sebelum gadis itu berkomentar, Sophie sudah mendahuluinya. “Tentu saja dia serius!” tandas Sophie dengan keyakinan penuh.
“Memangnya apa saja yang kalian obrolkan kalau sedang berdua? Kamu nggak pernah tanya langsung sama Ji Hwan, ya?” Brisha setengah mengeluh. Berpura-pura, tentunya.
“Ya udah, jangan dijawab,” balas Amara dengan pipi terasa panas.
Brisha
Amara berusaha keras mencegah kerutan muncul di keningnya, atau mengangkat alis yang menandakan ada pertanyaan yang mengganjal di benaknya. Alasannya simpel saja. Dia tak mau kedua sahabatnya ini makin getol saja menggoda Amara. Lihat saja apa yang tadi terjadi. Amara cuma mengajukan satu pertanyaan tapi sudah menciptakan kehebohan bagi Brisha dan Sophie. Bagi Amara, keduanya sungguh membuat kesal.“Kamu tahu kan kalau Ji Hwan itu sekarang kuliah di Fakultas Ilmu Komputer? Tahu kan kalau letak kampusnya bersebelahan dengan fakultas kita?” Brisha menggoda Amara sambil mengedipkan mata. Gadis itu tampak menahan tawa.“Aku menyesal menanyakan soal Ji Hwan tadi,” Amara mendesah dengan bibir mengerucut. “Kalian malah terus-menerus meledekku. Salah ya, kalau aku pengin tahu? Padahal itu kan cuma pengetahuan simpel. Mau bertanya langsung ke Ji Hwan kok rasanya tidak nyaman. Tapi nanya ke kalian malah jadi heboh.”Sophie menepuk bahu
Perbincangan ringan dan dijejali canda itu meninggalkan bekas di dada Amara. Untungnya bukan sesuatu yang membuatnya panik atau ketakutan. Melainkan menyisakan gelitik geli yang terasa membuat perutnya mulas. Dia mulai yakin, Sophie dan Brisha akan kian getol mendorongnya untuk memacari Ji Hwan. Apalagi setelah mereka melihat sendiri Amara bisa cukup nyaman berbincang dengan cowok itu.“Kalau suatu hari nanti kamu punya pacar, semoga bisa membuat traumamu makin berkurang ya, Mara,” harap Brisha saat mereka berada di kamar gadis itu untuk berganti baju. “Dan aku penginnya orang itu adalah Ji Hwan.”“Aamiin,” respons Sophie. “Kamu harus berhenti menganggap semua cowok itu sama, Mara. Pokoknya, aku pengin ngeliat kamu jadi Amara yang dulu, Amara yang menurut Brisha ceria dan supel. Karena aku belum pernah kenalan sama Amara versi itu.”“Udah, ah! Kok jadi ngomongin pacar, sih? Aku beneran belum berminat ke arah
Otak Amara memasuki mode primitif, membuatnya seakan tidak mengerti setiap kata yang diucapkan oleh cowok di depannya. Wajah Marcello tampak muram, mungkin ingin menunjukkan penyesalan yang sudah menenggelamkan dirinya. Namun Amara sama sekali tidak tertarik untuk memberikan simpati.Di mata Amara, cowok ini adalah perwujudan dari iblis yang sebenarnya. Belasan tahun mereka menjalin pertemanan dan Cello bersikap begitu manis pada Amara. Hingga gadis itu tak memiliki setitik pun rasa tak nyaman tiap kali berada di dekat Cello. Bagi Amara, Cello adalah sahabat yang akan melindunginya jika memang dibutuhkan. Namun kenyataannya?Bola mata Amara bergerak-gerak, memandang ke berbagai arah. Dia ingin berteriak meminta pertolongan tapi tahu sia-sia saja. Area parkir saat itu sungguh sepi. Tak akan ada yang mendengar suaranya.“Mara, ngomong, dong! Jangan diam aja. Kamu kan kenal siapa aku. Aku bukan cowok jahat, Mara. Aku betul-betul minta maaf karena pernah berbu
“Takut? Memangnya ada apa? Kamu pucat banget,” kata Ji Hwan. Cowok itu mengeluarkan sapu tangan dari kantong celananya. “Pakai ini untuk menghapus keringatmu. Saputangannya bersih, kok.”Amara meraih saputangan berwarna krem itu dengan jari-jari gemetar, seolah terserang tremor. Gadis itu mengusapkan benda itu ke wajahnya yang berkeringat. Setelah itu, Amara memasukkan saputangan milik Ji Hwan itu ke dalam tasnya. “Nanti kukembaliin kalau udah dicuci,” gumamnya dengan suara lirih.“Kamu kenapa, Mara? Kenapa takut?” tanya Ji Hwan lagi dengan nada sabar.Bibir Amara terkelu. Mana mungkin dia bisa memberi tahu Ji Hwan tentang pertemuannya dengan cello tanpa membongkar rahasia kelam gadis itu, kan? Karena itu, dia cuma menatap Ji Hwan tanpa mampu melakukan apa pun.“Ya udah, jangan dijawab kalau kamu memang nggak bisa jelasinnya. Mau kuantar pulang?” tanya Ji Hwan lembut. “Atau kamu mau ke ruma
Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, benak Amara begitu kusut. Tubuhnya memang sudah berhenti gemetar kecuali jari-jemari gadis itu. Akan tetapi, Amara masih belum kuasa menghalau semua ketakutannya. Jika otaknya bekerja rasional, Amara mungkin tak akan berani meminta diantar pulang oleh Ji Hwan. Sebab, cowok itu bisa dibilang orang asing bagi bagi Amara. Si Monster yang jelas-jelas dikenalnya selama belasan tahun saja, bisa melakukan hal-hal bejat yang tak terbayangkan.Namun, saat itu Amara tak bisa memikirkan hal-hal semacam itu. Dia cuma ingin pulang. Entah mengapa, orang yang dirasanya paling aman untuk dimintai tolong selain Brisha dan Sophie yang saat itu tak bisa membantunya, adalah Ji Hwan.Sebenarnya, apa yang diharapkan Cello dengan mendatanginya? Ingin Amara memaafkannya? Atau gadis itu akan berlari mendekat dengan gembira dan bersedia kembali menjadi teman baiknya? Melupakan semua tirai pengap yang dipasang paksa dalam hidup Amara oleh
Begitu tiba di kamarnya, Amara buru-buru meletakkan tasnya begitu saja di atas meja belajar, sebelum melompat ke atas ranjang dan terbaring kaku di sana. Matanya merayapi langit-langit kamar, tapi pikirannya jelas tidak berada di sana. Rasa shock masih mengepul dari setiap detak jantung Amara yang berirama cepat.“Aku nggak mau ngeliat muka Cello lagi. Tolong, jangan pernah datang untuk ketemu sama aku lagi,” ucap Amara di masa lalu, di depan Cello dan keluarganya.Dia sedang menimbang-nimbang apa yang harus dilakukannya. Perlukah Amara memberitahukan soal itu kepada ibunya? Karena Cello baru saja melanggar perjanjian yang mengikat kedua keluarga sejak lebih satu setengah tahun silam. Jika Amara diam saja, dia cemas cowok itu akan kembali berusaha menemuinya. Amara tak mau hidup dalam ketakutan.Cello adalah sosok yang ingin dijauhinya seumur hidup. Dulu, Amara memang memiliki kasih sayang berlimpah kepada temannya itu. Namun sayang cowok it
“Mara, Mobilmu kenapa? Mogok, ya?” tanya Merry malam harinya. Mereka sedang makan malam berdua. Amara yakin, ibunya mendapat laporan dari orang di rumah kalau tadi dia pulang tanpa membawa mobil. Tepatnya Ayu. Bukan sesuatu yang keliru, tapi jika sudah menyangkut perempuan itu, kekesalan Amara gampang terpancing. Padahal, dulu hubungan gadis itu dengan Ayu baik-baik saja. Hingga Amara tak sengaja mendengar obrolan Ayu via ponsel entah dengan siapa.“Ya,” Amara berdusta.“Sudah dibawa ke bengkel?”Amara merespons tanpa pikir panjang. Mengarang cerita tentu saja. “Belum, Ma. Kata temanku cuma ada kabel yang longgar. Bukan masalah serius.”Amara kembali tertunduk, berpura-pura meruahkan konsentrasi pada makanan di piringnya. Hanya ada dirinya dan sang ibu di dapur.“Siapa cowok yang mengantar mobilmu tadi? Ayu bilang, dia belum pernah ngeliat orang itu.” Merry bersuara lagi.Itu pertan
Namun, tentu saja sebelum bisa leluasa mengobrol dengan Ika, salah satu orang yang berjasa menemani Amara di saat-saat terendahnya, harus ditunda. Merry sama gembiranya dengan Amara saat melihat Ika. Karena perempuan itu mengaku belum makan, Merry memaksa Ika untuk makan malam di dapur sendirian. Sementara Merry menagih janji Amara untuk membahas tentang Cello.“Tadi kamu ketemu Cello di kampus?” todong Merry begitu Amara menutup pintu kamarnya. Gadis itu duduk di tepi ranjang, meminta ibunya melakukan hal yang sama. Merry yang awalnya berdiri di dekat meja rias, pindah ke sebelah kanan putrinya.“Iya, Ma. Dia minta maaf dan segala macamnya. Aku nggak mendengar semua kata-katanya karena aku keburu ketakutan.” Amara bergidik ngeri membayangkan lagi apa yang terjadi tadi siang. Dia menuturkan secara ringkas apa yang terjadi. Merry mendengarkan dengan wajah pucat pasi.“Cello kok bisa nekat datang ke kampusmu? Apa dia udah lupa sama pe