Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, benak Amara begitu kusut. Tubuhnya memang sudah berhenti gemetar kecuali jari-jemari gadis itu. Akan tetapi, Amara masih belum kuasa menghalau semua ketakutannya. Jika otaknya bekerja rasional, Amara mungkin tak akan berani meminta diantar pulang oleh Ji Hwan. Sebab, cowok itu bisa dibilang orang asing bagi bagi Amara. Si Monster yang jelas-jelas dikenalnya selama belasan tahun saja, bisa melakukan hal-hal bejat yang tak terbayangkan.
Namun, saat itu Amara tak bisa memikirkan hal-hal semacam itu. Dia cuma ingin pulang. Entah mengapa, orang yang dirasanya paling aman untuk dimintai tolong selain Brisha dan Sophie yang saat itu tak bisa membantunya, adalah Ji Hwan.
Sebenarnya, apa yang diharapkan Cello dengan mendatanginya? Ingin Amara memaafkannya? Atau gadis itu akan berlari mendekat dengan gembira dan bersedia kembali menjadi teman baiknya? Melupakan semua tirai pengap yang dipasang paksa dalam hidup Amara oleh
Begitu tiba di kamarnya, Amara buru-buru meletakkan tasnya begitu saja di atas meja belajar, sebelum melompat ke atas ranjang dan terbaring kaku di sana. Matanya merayapi langit-langit kamar, tapi pikirannya jelas tidak berada di sana. Rasa shock masih mengepul dari setiap detak jantung Amara yang berirama cepat.“Aku nggak mau ngeliat muka Cello lagi. Tolong, jangan pernah datang untuk ketemu sama aku lagi,” ucap Amara di masa lalu, di depan Cello dan keluarganya.Dia sedang menimbang-nimbang apa yang harus dilakukannya. Perlukah Amara memberitahukan soal itu kepada ibunya? Karena Cello baru saja melanggar perjanjian yang mengikat kedua keluarga sejak lebih satu setengah tahun silam. Jika Amara diam saja, dia cemas cowok itu akan kembali berusaha menemuinya. Amara tak mau hidup dalam ketakutan.Cello adalah sosok yang ingin dijauhinya seumur hidup. Dulu, Amara memang memiliki kasih sayang berlimpah kepada temannya itu. Namun sayang cowok it
“Mara, Mobilmu kenapa? Mogok, ya?” tanya Merry malam harinya. Mereka sedang makan malam berdua. Amara yakin, ibunya mendapat laporan dari orang di rumah kalau tadi dia pulang tanpa membawa mobil. Tepatnya Ayu. Bukan sesuatu yang keliru, tapi jika sudah menyangkut perempuan itu, kekesalan Amara gampang terpancing. Padahal, dulu hubungan gadis itu dengan Ayu baik-baik saja. Hingga Amara tak sengaja mendengar obrolan Ayu via ponsel entah dengan siapa.“Ya,” Amara berdusta.“Sudah dibawa ke bengkel?”Amara merespons tanpa pikir panjang. Mengarang cerita tentu saja. “Belum, Ma. Kata temanku cuma ada kabel yang longgar. Bukan masalah serius.”Amara kembali tertunduk, berpura-pura meruahkan konsentrasi pada makanan di piringnya. Hanya ada dirinya dan sang ibu di dapur.“Siapa cowok yang mengantar mobilmu tadi? Ayu bilang, dia belum pernah ngeliat orang itu.” Merry bersuara lagi.Itu pertan
Namun, tentu saja sebelum bisa leluasa mengobrol dengan Ika, salah satu orang yang berjasa menemani Amara di saat-saat terendahnya, harus ditunda. Merry sama gembiranya dengan Amara saat melihat Ika. Karena perempuan itu mengaku belum makan, Merry memaksa Ika untuk makan malam di dapur sendirian. Sementara Merry menagih janji Amara untuk membahas tentang Cello.“Tadi kamu ketemu Cello di kampus?” todong Merry begitu Amara menutup pintu kamarnya. Gadis itu duduk di tepi ranjang, meminta ibunya melakukan hal yang sama. Merry yang awalnya berdiri di dekat meja rias, pindah ke sebelah kanan putrinya.“Iya, Ma. Dia minta maaf dan segala macamnya. Aku nggak mendengar semua kata-katanya karena aku keburu ketakutan.” Amara bergidik ngeri membayangkan lagi apa yang terjadi tadi siang. Dia menuturkan secara ringkas apa yang terjadi. Merry mendengarkan dengan wajah pucat pasi.“Cello kok bisa nekat datang ke kampusmu? Apa dia udah lupa sama pe
Ada kelegaan yang memenuhi dada Amara setelah berbagi satu lagi rahasia yang disimpannya pada Merry. Ibunya tampak sangat terkejut dan sempat kehilangan kata-kata selama beberapa saat.“Kenapa kamu baru bilang sekarang?” ulang Merry, tak habis pikir.“Alasannya ya kayak kubilang tadi, Ma,” sahut Amara. “Aku sendiri harus bergulat dengan masalahku. Untuk sementara nggak mau peduli sama omongan yang nggak penting walau cukup bikin terpukul juga. Aku harus punya skala prioritas.”“Kalau Amara Mama tau sejak awal soal Ayu, pasti sejak lama kita akan punya asisten rumah tangga yang lain,” kata Merry. Perempuan itu beranjak dari tepi ranjang. Dia emngelus pundak Amara. “Lain kali, apa pun yang terjadi, kamu harus cerita sama Mama.”Amara mengangguk tanpa bicara apa pun.“Sekarang, Mama mau membereskan beberapa hal serius. Pertama, Mama harus menghubungi keluarga Cello. Kedua, Mama juga aka
Tatkala Brisha dan Sophie mendengarkan cerita Amara dengan ekspresi serupa : kaget. Sophie bahkan melongo entah berapa lama hingga Amara menggerakkan tangan di depan wajah gadis itu. Barulah kemudian Sophie berkedip dan mulai mengoceh.“Cowok bajingan itu berani menampakkan dirinya di kampus? Sengaja mendatangi kamu di tempat parkir? Betul-betul cari mati, ya? Pengin banget kutonjok mukanya sampai babak belur dan nggak bisa dikenali sama keluarganya lagi. Dasar setan!”Tidak ada yang menegur Sophie karena kata-katanya yang tidak sopan.“Ya,” balas Amara dengan wajah lelah. “Untungnya Ji Hwan tin ak bertanya apa-apa. Kurasa, dia mulai menduga kalau aku sudah gila.” Mereka bertiga duduk di bangku beton yang berada di dekat musala. Brisha masih punya satu mata kuliah lagi, sementara Amara dan Sophie sudah selesai. Namun Amara memanfaatkan waktu untuk berbagi tentang apa yang dialaminya pada Brisha dan Sophie. Dia sengaja tak memb
“Ini mata kuliah yang untuk sekadar lulus pun sangat sulit. Tahun depan kalian akan merasakannya sendiri,” sergah Brisha, setengah menyumpah. “Hati-hati menyetirnya, Mara! Kalau melihat ada si Monster, tabrak aja.” Gadis itu melambai setelah menggumamkan peringatannya. Amara dan Sophie berjalan ke arah yang berbeda.“Sebenarnya, aku pengin banget ngalamin satu masa, saat kita bisa bergosip tentang cowok-cowok keren,” Sophie bicara lagi. Makin lama Amara kian kebal dengan celotehan gadis itu yang kadang terkesan seenaknya. Sophie punya cara aneh untuk menghiburnya. Dan Amara sudah lama berhenti mengajukan protes atau keberatan.“Nanti, kalau aku udah siap mental,” cetus Amara dengan suara datar. “Yang jelas, bukan dalam waktu dekat. Satu-satunya....”Sophie memandang ke arah Amara dengan kening berlipat saat gadis itu tidak melanjutkan kalimatnya. Tatapan mata Amara tertuju ke satu titik, dan wajahnya be
Wajah Amara terasa memanas karena ucapan Sophie itu. “Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Kamu kira aku tidak malu kalau ingat bagaimana responsku tiap kali berada di dekat Pak Reuben? Seharusnya aku bisa lebih sopan, kan?” komentarnya tanpa daya.Sophie memeluk lengan Amara dengan gaya akrab. Gadis itu tertawa kecil. “Tapi susah juga sih, Mara. Kesopanan itu kadang membelenggu dan membuat seseorang tidak nyaman. Ah, peduli amat! Yang penting kamu bahagia, tidak merugikan orang lain, dan nggak melanggar hukum. Jadi, santai aja.”“Andai aku bisa bahagia dengan bersikap ketus, alangkah indahnya hidup ini,” keluh Amara. “Tapi, yang terjadi pasti malah dibenci dan jadi sampah masyarakat.”Mereka sudah tiba di pelataran parkir. Amara bisa merasakan ketegangan mengambil alih tubuhnya tanpa bisa dikendalikan. Matanya bergerak cepat, memindai setiap figur yang ada di sana. Jantung Amara berdegum-degum, karena cemas
Amara mulai optimis bahwa dia akan bisa bersikap normal seperti dirinya yang dulu. Mungkin tak benar-benar normal tapi minimal mendekati. Dia sangat ingin bisa mengobrol dengan lawan jenis dengan santai tanpa dibanjiri keringat dingin atau jari-jari yang gemetar. Juga tanpa harus berlama-lama mengisap lolipop demi mengalihkan sebagian konsentrasi.Amara tahu bahwa dirinya juga harus pelan-pelan belajar untuk memandang bahwa tak semua laki-laki akan menjahatinya. Itu hal yang sulit meski gadis itu paham dengan teorinya. Bahwa tak boleh main pukul rata, satu kejahatan dianggap mewakili suatu komunitas.“Ji Hwan itu baik, ya?” komentar Sophie lagi. “Eh, aku nggak punya maksud apa-apa dengan komenku tadi. Aku cuma mau bilang, dia nggak keberatan bantuin kamu. Itu poin plus, kan? Apalagi kamu sendiri bilang, Ji Hwan nggak banyak tanya.”“He-eh. Walau kemarin itu tingkahku mirip orang gila, Ji Hwan tetap tenang dan nggak ketakutan,”