Dalam kurun waktu satu setengah tahun terakhir, inilah kali pertama dia benar-benar melihat seorang cowok mengembangkan senyum tanpa merasa cemas. Tentu saja Maxim tidak dihitung, begitu juga dengan Levi yang dulu cukup sering mendatangi Puan Derana. Karena di mata Amara, keduanya bukanlah ancaman. Bahkan mungkin bisa dibilang dia tak melihat mereka sebagai lawan jenis, hanya bagian dari Puan Derana belaka.
Dari balik bibir kemerahan Ji Hwan, mengintip sederet gigi rapi yang membuat Amara iri setengah mati. Sebab, giginya tak serapi itu. Juga ada lesung pipi yang membuat cowok itu makin menawan. Ya, saat itulah Amara baru menyadari satu hal. Bahwa Ji Hwan adalah sosok yang memesona. Apalagi ditambah kulit bersihnya. Saat terkena sinar matahari, pipi Ji Hwan berubah menjadi agak kemerahan.
“Halo Amara,” sapanya ramah. Amara kembali diingatkan pada aksen unik yang mengiringi sapaan Ji Hwan.
“Halo Ji Hwan,” balasnya. Amara bahkan tak sanggup
Lidah Amara terkelu. “Kamu suka padaku?” tanyanya heran. “Masih?”Ji Hwan tertawa pelan. “Sayangnya, masih.”“Setelah....” Amara tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.“Memangnya tidak boleh, ya? Meski kamu marah-marah dan ... maaf ... bersikap menyebalkan. Hei, bukankah kita sudah sepakat tidak akan membahas masalah itu lagi?”Senyum Amara mekar tanpa bisa dicegah. Gadis itu menyadari bahwa sekarang dia lebih rileks. Kedua bahunya melorot dan Amara bisa duduk bersandar dengan perasaan nyaman. Tidak ada ketakutan atau kecemasan yang mencengkeramnya.“Makasih karena udah bicara jujur, Ji Hwan,” ucap Amara. Gadis itu lega karena masih ingat untuk bersikap sopan. Nama Reuben sempat melintas di kepalanya. Setelah Amara kembali ke kampus, Reuben orang pertama yang mengaku menyukainya. Lalu kini Ji Hwan.“Pasti udah banyak cowok yang bilang suka padamu, kan?” tanya
Lolipop dari Sophie ternyata cukup membantu Amara. Tanpa terduga, dia bisa melewati obrolan dengan Ji Hwan tanpa kendala berarti. Amara memang tak lantas berhenti gugup dan bisa bersikap santai. Ada saatnya dia ingin beranjak dari kursi dan meninggalkan teras rumah Brisha itu. Namun, paling tidak, gadis itu bisa bertahan tanpa melakukan sesuatu yang aneh. Hingga Sophie kembali untuk menepati janjinya untuk kembali menemani Amara.“Ronan sedang makan siang di dapur. Kamu tidak mau makan juga, Ji Hwan? Ada banyak makanan, lho!” cetus Sophie. Gadis itu membawa nampan berisi tiga gelas sirop stroberi dingin.“Aku udah makan di kantin,” beri tahu Ji Hwan.Mereka bertiga akhirnya mengobrol ringan sambil menunggu Ronan dan Brisha bergabung di teras. Tentu saja Amara lebih banyak menjadi pendengar. Sophie yang supel itu tak kesulitan mencari bahan obrolan. Sementara Ji Hwan pun mengimbangi gadis itu lumayan luwes. Mereka membahas banyak hal yang
“Ji Hwan itu kok bisa fasih berbahasa Indonesia sih, Sha?” tanya Amara tiba-tiba.Pertanyaan yang di luar dugaan itu membuat kedua sahabatnya memandang Amara dengan terpana. Hari itu mereka baru saja selesai berenang. Rumah Brisha dilengkapi sebuah kolam renang cantik yang membuat iri Sophie dan Amara. Keduanya tidak ada kuliah dan datang mengunjungi Brisha lewat tengah hari. Ketiganya memang sudah membuat janji akan menghabiskan sisa hari itu bersama.“Kamu serius menanyakan itu?” tanya Brisha blak-blakan.Amara tampak malu. Namun sebelum gadis itu berkomentar, Sophie sudah mendahuluinya. “Tentu saja dia serius!” tandas Sophie dengan keyakinan penuh.“Memangnya apa saja yang kalian obrolkan kalau sedang berdua? Kamu nggak pernah tanya langsung sama Ji Hwan, ya?” Brisha setengah mengeluh. Berpura-pura, tentunya.“Ya udah, jangan dijawab,” balas Amara dengan pipi terasa panas.Brisha
Amara berusaha keras mencegah kerutan muncul di keningnya, atau mengangkat alis yang menandakan ada pertanyaan yang mengganjal di benaknya. Alasannya simpel saja. Dia tak mau kedua sahabatnya ini makin getol saja menggoda Amara. Lihat saja apa yang tadi terjadi. Amara cuma mengajukan satu pertanyaan tapi sudah menciptakan kehebohan bagi Brisha dan Sophie. Bagi Amara, keduanya sungguh membuat kesal.“Kamu tahu kan kalau Ji Hwan itu sekarang kuliah di Fakultas Ilmu Komputer? Tahu kan kalau letak kampusnya bersebelahan dengan fakultas kita?” Brisha menggoda Amara sambil mengedipkan mata. Gadis itu tampak menahan tawa.“Aku menyesal menanyakan soal Ji Hwan tadi,” Amara mendesah dengan bibir mengerucut. “Kalian malah terus-menerus meledekku. Salah ya, kalau aku pengin tahu? Padahal itu kan cuma pengetahuan simpel. Mau bertanya langsung ke Ji Hwan kok rasanya tidak nyaman. Tapi nanya ke kalian malah jadi heboh.”Sophie menepuk bahu
Perbincangan ringan dan dijejali canda itu meninggalkan bekas di dada Amara. Untungnya bukan sesuatu yang membuatnya panik atau ketakutan. Melainkan menyisakan gelitik geli yang terasa membuat perutnya mulas. Dia mulai yakin, Sophie dan Brisha akan kian getol mendorongnya untuk memacari Ji Hwan. Apalagi setelah mereka melihat sendiri Amara bisa cukup nyaman berbincang dengan cowok itu.“Kalau suatu hari nanti kamu punya pacar, semoga bisa membuat traumamu makin berkurang ya, Mara,” harap Brisha saat mereka berada di kamar gadis itu untuk berganti baju. “Dan aku penginnya orang itu adalah Ji Hwan.”“Aamiin,” respons Sophie. “Kamu harus berhenti menganggap semua cowok itu sama, Mara. Pokoknya, aku pengin ngeliat kamu jadi Amara yang dulu, Amara yang menurut Brisha ceria dan supel. Karena aku belum pernah kenalan sama Amara versi itu.”“Udah, ah! Kok jadi ngomongin pacar, sih? Aku beneran belum berminat ke arah
Otak Amara memasuki mode primitif, membuatnya seakan tidak mengerti setiap kata yang diucapkan oleh cowok di depannya. Wajah Marcello tampak muram, mungkin ingin menunjukkan penyesalan yang sudah menenggelamkan dirinya. Namun Amara sama sekali tidak tertarik untuk memberikan simpati.Di mata Amara, cowok ini adalah perwujudan dari iblis yang sebenarnya. Belasan tahun mereka menjalin pertemanan dan Cello bersikap begitu manis pada Amara. Hingga gadis itu tak memiliki setitik pun rasa tak nyaman tiap kali berada di dekat Cello. Bagi Amara, Cello adalah sahabat yang akan melindunginya jika memang dibutuhkan. Namun kenyataannya?Bola mata Amara bergerak-gerak, memandang ke berbagai arah. Dia ingin berteriak meminta pertolongan tapi tahu sia-sia saja. Area parkir saat itu sungguh sepi. Tak akan ada yang mendengar suaranya.“Mara, ngomong, dong! Jangan diam aja. Kamu kan kenal siapa aku. Aku bukan cowok jahat, Mara. Aku betul-betul minta maaf karena pernah berbu
“Takut? Memangnya ada apa? Kamu pucat banget,” kata Ji Hwan. Cowok itu mengeluarkan sapu tangan dari kantong celananya. “Pakai ini untuk menghapus keringatmu. Saputangannya bersih, kok.”Amara meraih saputangan berwarna krem itu dengan jari-jari gemetar, seolah terserang tremor. Gadis itu mengusapkan benda itu ke wajahnya yang berkeringat. Setelah itu, Amara memasukkan saputangan milik Ji Hwan itu ke dalam tasnya. “Nanti kukembaliin kalau udah dicuci,” gumamnya dengan suara lirih.“Kamu kenapa, Mara? Kenapa takut?” tanya Ji Hwan lagi dengan nada sabar.Bibir Amara terkelu. Mana mungkin dia bisa memberi tahu Ji Hwan tentang pertemuannya dengan cello tanpa membongkar rahasia kelam gadis itu, kan? Karena itu, dia cuma menatap Ji Hwan tanpa mampu melakukan apa pun.“Ya udah, jangan dijawab kalau kamu memang nggak bisa jelasinnya. Mau kuantar pulang?” tanya Ji Hwan lembut. “Atau kamu mau ke ruma
Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, benak Amara begitu kusut. Tubuhnya memang sudah berhenti gemetar kecuali jari-jemari gadis itu. Akan tetapi, Amara masih belum kuasa menghalau semua ketakutannya. Jika otaknya bekerja rasional, Amara mungkin tak akan berani meminta diantar pulang oleh Ji Hwan. Sebab, cowok itu bisa dibilang orang asing bagi bagi Amara. Si Monster yang jelas-jelas dikenalnya selama belasan tahun saja, bisa melakukan hal-hal bejat yang tak terbayangkan.Namun, saat itu Amara tak bisa memikirkan hal-hal semacam itu. Dia cuma ingin pulang. Entah mengapa, orang yang dirasanya paling aman untuk dimintai tolong selain Brisha dan Sophie yang saat itu tak bisa membantunya, adalah Ji Hwan.Sebenarnya, apa yang diharapkan Cello dengan mendatanginya? Ingin Amara memaafkannya? Atau gadis itu akan berlari mendekat dengan gembira dan bersedia kembali menjadi teman baiknya? Melupakan semua tirai pengap yang dipasang paksa dalam hidup Amara oleh