Tiga bulan berlalu, Bayu pun sudah dua setengah bulan yang lalu meninggalkan rumahnya. Bekerja di perusahaan konsultan milik Wisnu di Jakarta. Setiap bulan dia mengirim sejumlah uang untuk kebutuhan ibu dan kedua anaknya.
Pak Aji pun begitu, selalu memberi bantuan pada Bu Yati, tanpa sepengetahuan anak-anaknya. Pak Aji mempunyai tiga orang anak yang tinggal di luar kota, namun sifat mereka jauh berbeda dengan dirinya. Pak Aji orangnya sangat rendah hati, ramah kepada siapapun. Sementara anak-anaknya terkesan sombong, berteman pun selalu pilih-pilih. Hari ini Pak Aji bertandang ke rumah Bu Yati, mengirimkan sejumlah bahan-bahan makanan dan sembako untuk pengajian besok malam, seratus hari adiknya.
"Mas Aji kok repot-repot, saya jadi sungkan."
"Nggak apa-apa, mumpung aku juga masih ada umur dan rizqi. Kalau aku menyusul Heru, aku sudah tak bisa membantu. Ini aku ada uang, bisa kamu gunakan untuk membayar sewa rumah tahun depan. Kalau ada sisa, belilah mesin cuci. Kasihan kamu dan Wina, mengucek baju setiap hari. Belum lagi baju anak-anaknya Bayu. Tolong, terimalah, jangan menolak pemberianku. Siapa tahu ini terakhir kali aku berkunjung ke sini."
Wina mendengar jelas ucapan pakdenya. Dia di dapur menyiapkan minuman. Gelisah pun mulai menggelayuti hati, apakah pakdenya juga akan meninggalkan mereka seperti ayahnya? Ucapan pakdenya mengandung sebuah pesan, seolah dia pun akan segera meninggalkan dunia.
"Silakan diminum, Pakde ...."
"Iya ... terima kasih. Maaf ya, Nduk. Pakde nggak bisa bantu kamu. Hanya bisa mendo'akan semoga kamu nanti mendapatkan jodoh yang shalih dan bertanggung jawab pada keluarga."
"Aamiin ...."
"Ya sudah, aku pulang dulu. In syaa Allah besok malam ke sini lagi. Anak-anak juga katanya mau datang. Tapi tolong ingat pesanku, ya. Jangan ada yang bilang ke anakku masalah pemberianku ini."
"Terima kasih, Mas."
"Terima kasih, Pakde."
Pak Aji pun pulang dengan sepeda tuanya. Meskipun dia orang kaya tapi lebih suka bersepeda ke mana-mana. Barang bawaan dan sembako untuk pengajian adiknya tadi diangkut dengan becak langganannya.
"Semenjak ayahmu meninggal dunia, pakdemu sepertinya tidak punya semangat hidup lagi. Kasihan kalau lihat pakdemu, seperti kehilangan belahan jiwanya. Rasa kehilangannya sepertinya melebihiku yang istrinya. Lihatlah ini, uang pemberian pakdemu. Bisa untuk membayar sewa rumah satu tahun dan ibu disuruh beli mesin cuci, bagaimana menurutmu?"
Sepeninggal Pak Aji, Bu Yati mengajak bicara Wina di ruang tamu. Rio dan Rena, main di depan televisi bersama Tegar. Wina pun hanya diam, memandang uang yang tak sedikit jumlahnya. Sewa rumahnya tiga bulan lagi sudah habis dan Pak Aji pasti sudah tahu akan hal itu.
Ayahnya dulu punya rumah di pinggir jalan raya dan cukup megah. Namun, setelah kelahiran adiknya terpaksa harus menjualnya. Pengobatan adiknya butuh biaya yang sangat banyak, belum lagi biaya kuliah kakaknya.
"Itu amanah dari pakde, Bu. Lebih baik segera dibayarkan saja, untuk mesin cucinya kita beli setelah pengajian. Nggak enak kalau nanti anak-anak pakde ke sini, dikira kita banyak uang."
"Ya, Ibu juga berpikiran sama. Kalau begitu Ibu mau lanjut ke dapur dulu, ibu-ibu nanti siang pasti pada datang membantu. Kamu jagain anak-anak saja, takutnya nanti bertengkar. Tahu sendiri Tegar kalau lagi nggak mau diganggu, Rio dan Rena nanti dipukuli sama adikmu."
Bu Yati pun berlalu meninggalkan Wina, menuju dapur yang sudah ada beberapa tetangga yang masuk lewat dari pintu samping rumahnya. Memasak untuk keperluan pengajian besok malam. Dengan menu sederhana, disesuaikan dengan anggaran.
Wina memandang ketiga anak di depannya. Adiknya terlihat senang dengan acara televisi yang dilihatnya. Sementara Rio dan Rena asyik dengan mainan baru kiriman dari kakaknya. Ingin rasanya dia juga bekerja, tapi tak tega melihat mereka. Berpikir, usaha apa yang harus dijalankannya. Rumah mereka di desa, ponsel pun dia tak punya. Apakah dia harus menjadi seorang pengangguran selamanya?
Waktu itu ada beberapa anak SMP yang ingin diajari pelajaran matematika dan bahasa. Wina di sekolah dan di desanya terkenal sebagai murid yang pintar, selalu juara di kelasnya. Namun, baru beberapa kali mereka ke rumah, beberapa kali pula Tegar dalam keadaan sedang marah. Akhirnya mereka yang mau belajar pada Wina mengundurkan diri dan memilih belajar di tempat lainnya. Wina pun mengerti kondisi mereka, Tegar sangat menakutkan jika sedang marah.
"Win, aku mau makan." Tegar berteriak pada Wina yang melamun.
"Iya, aku ambilkan dulu."
"Bunda, Rio juga mau makan."
"Oke ...." Wina pun malangkahkan kaki menuju dapur, mengambil sepiring nasi penuh dengan lauk yang sudah tersedia. Menyuapi mereka bertiga.
• • •
Pengajian seratus hari meninggalnya Pak Heru berjalan dengan lancar. Semua undangan datang, begitu juga Pak Aji dengan anak-anaknya. Selama acara, Pak Aji hanya duduk bersama Tegar di samping rumah. Wajahnya terlihat pucat dan tak bersemangat. Setelah acara selesai pun langsung pamit pulang tanpa banyak bicara.
Keesokan harinya, saat Wina sedang menyapu teras rumahnya, seorang tukang becak datang menghampirinya. Wina pun menyambutnya, Pak Sapri, tukang becak langganan Pak Aji.
"Assalamu'alaikum ...."
"W*'alaikumussalaam, Oh Pak Sapri, silakan masuk, Pak."
"Nggak usah, Mbak. Saya cuma mau kasih kabar saja, tadi malam setelah dari sini Pak Aji langsung masuk rumah sakit. Tadi pagi sebelum subuh meninggal dunia."
"Innalillahi ...."
"Sudah ya, Mbak. Saya langsung pulang, mau bantu-bantu persiapan pemakaman. Pak Aji minta dimakamkan di pemakaman umum saja. Waktu itu sudah pesan sama saya dan tukang becak lainnya. Mari Mbak, assalamu'alaikum."
Wina pun membalas salam Pak Sapri dan langsung masuk ke dalam memberitahu ibunya. Dengan wajah sedih, mereka semua bersiap pergi ke rumah Pak Aji. Bu Yati memandikan Tegar, Wina memandikan Rio dan Rena. Sebelum berangkat, mereka sarapan bersama. Tak ingin anak-anak nanti rewel karena lapar di sana. Bu Yati bersama anak-anak naik becak tetangga yang sudah dipanggil Wina sebelumnya. Sementara Wina naik sepeda mengikuti di belakangnya.
Sesampainya di sana, Wina melihat beberapa saudara ayahnya yang sudah datang. Pemakaman Pak Aji dilakukan seperti halnya Pak Heru, ayah Wina. Menunggu Wisnu datang, baru dimakamkan. Bu Yati langsung bantu-bantu di belakang, Wina kebagian menunggu adik dan kedua keponakannya.
Setelah selesai pengajian, mereka pun pulang. Seharian di rumah saudara, membuat Wina tak nyaman. Anak-anak pun sudah kelelahan karena tak mungkin juga mereka tidur siang di rumah orang. Sampai di rumah, Rio dan Rena langsung tidur. Tegar masih mengekori Bu Yati di belakang. Tegar tiba-tiba tak mau ditinggal sendirian. Ke mana pun Bu Yati pergi, Tegar ikut di belakangnya. Wina heran melihat tingkah adiknya, dia pun membujuk Tegar untuk ikut dirinya ke kamar.
"Tegar, ayoo sama aku ke kamar. Tidur saja dulu, ibu masih menghangatkan sayur biar bisa buat sarapan besok pagi."
"Nggak mauuuuu ... aku nggak mauu tidur ... aku mauu di sini sama ibukuuuu ...." Tegar berteriak kencang. Bu Yati dan Wina terkejut mendengarnya.
"Sudah Win, biarkan saja. Setelah ini selesai kok. Kamu tidur saja duluan." Bu Yati berkata dengan sabar.
"Biar aku saja yang mengurusi dapur, Bu. Ibu temani Tegar tidur. Pasti ibu juga capek bantu-bantu tadi." Wina tak tega karena seharian ibunya di dapur membantu tetangga Pak Aji.
"Nggak boleh! Biar ibu saja yang di dapur! Aku belum mau tidur. Ngerti nggak??" Tegar pun berteriak lagi dengan mata yang sudah merah dan marah.
"Ya sudah, aku saja yang tidur." Wina pun mengalah, daripada harus membuat keributan malam-malam. Tegar selalu seperti itu jika menginginkan sesuatu. Semua harus sesuai kehendaknya. Wina pun berjalan menuju kamar tidur yang sudah terbaring kedua keponakannya. Sementara Tegar tidur dengan ibunya di kamar sebelah. Semenjak ayahnya meninggal dunia, Tegar sama sekali tak mau berpisah dengan ibunya.
Memejamkan mata, berusaha membuat rencana. Rencana yang tak kunjung ada di pikirannya. Dia tak mungkin terus-terusan seperti ini. Cita-citanya bukanlah menjadi pengangguran abadi. Apalagi sampai harus menikah muda dan menjadi istri. Seperti ucapan tante dan budenya saat di rumah Pak Aji tadi.
"Win, ada temannya om yang duda. Dia lagi cari istri sekarang. Kalau kamu mau, Tente akan mengenalkanmu padanya. Dia kaya, anaknya juga cuma satu. Nggak usah lihat tua atau muda, bagi perempuan yang penting cari suami yang mapan."
"Win, anaknya teman Bude ada yang mau cari istri juga. Baru bercerai sama istrinya karena nggak bisa memberikan keturunan. Orangnya juga kaya, lumayan ganteng menurut Bude. Mainlah ke rumah, nanti akan Bude kenalkan. Sepertinya dia nggak sabar cari istri lagi. Bude yakin kamu pasti bisa memberinya anak, kita semua keturunan subur semua."
"Eh iya, Win. Ada tetanggaku kemarin yang minta dicarikan jodoh. Kerjaannya sih memang nggak tentu, tapi warisannya banyak sekali dari orang tuanya. Dia anak tunggal, orang tuanya paling kaya sekampung. Dia minta dicarikan istri yang nggak aneh-aneh. Terutama yang nggak matre. Aku yakin kamu sesuai dengan kriterianya."
Heran sekali Wina dengan bude dan tantenya. Selalu itu yang dibahas dengannya jika bertemu. Apa karena dirinya hanya tinggal di desa dan anak orang tak punya? Apa dirinya tak pantas punya cita-cita?
Mereka semuanya kaya raya. Tak adakah yang berbelas kasih memberinya pekerjaan atau membiayai dirinya kuliah? Tidak ... tidak .... Wina tak mau juga jika itu terjadi. Wina tak mau dikasihani. Apalagi sampai merasakan yang namanya balas budi. Lebih baik dirinya berjuang sendiri meskipun Wina bingung harus berjuang yang bagaimana dengan keadaan saat ini. Berpikir dan berpikir ... sampai pikirannya lelah dan terlelap dalam mimpi.
• • •
"Bu, kita nggak ke rumah Pakde Aji lagi, kan?" tanya Wina pada ibunya yang sedang duduk menikmati teh hangat di dapur.
"Nggak usah, nanti saja kalau tujuh harinya. Kasihan adikmu, Rio dan juga Rena kalau di sana setiap hari." Bu Yati berbicara sambil sesekali menyesap teh hangat yang baginya minuman wajib tiap pagi.
"Barangkali Ibu mau ke sana, aku di rumah saja sama anak-anak. Aku nggak ikut, Bu."
"Terus bagaimana dengan Tegar? Dia sudah nggak mau sama siapa-siapa lagi sekarang. Bahkan sama kamu saja dia suka marah. Kalau kamu di rumah sendirian sama mereka, malah kuwalahan ngurus dia. Belum kalau Rio dan Rena bertengkar atau rewel. Sudahlah, kita di rumah saja. Kalau tujuh harinya Pakdemu, baru kita ke sana sama-sama."
Wina pun mengangguk pelan, ikut duduk sambil menuang teh hangat yang sudah tersedia. Menyesapnya perlahan, menghirup aroma melatinya. Harum melati ... mengingatnya pada seseorang di masa sekolahnya. Evi Maharani, guru tarinya, yang sangat suka dengan bunga warna putih ini.
"Bu, apa aku boleh ikut menari lagi?" tanya Wina dengan hati-hati.
"Boleh saja, daripada kamu nggak ada kegiatan sama sekali. Ibu juga kasihan sama kamu, seorang pengangguran yang selalu jadi bahan gunjingan." Bu Yati berkata sambil memandang putrinya dengan rasa iba.
Tetangga sudah mulai menggunjing Wina karena hanya jadi seorang pengangguran di rumah. Kok nggak dinikahkan saja? Kok nggak cari kerja? Kerja sambil kuliah, kan bisa? Nggak kasihan apa dia sama ibunya, apa nggak ada niat cari uang?
Begitu banyak pertanyaan dari tetangga untuknya. Bu Yati hanya bersabar menanggapi mereka. Mereka pun tidak melihat betapa repotnya Wina di rumah, mengurus kedua keponakannya yang masih balita.