Wina memeluk kedua kakinya, menumpahkan air matanya, menangis sejadinya. Baru satu minggu dia lulus SMA, ayahnya sudah tiada. Dua hari yang lalu ayahnya tiba-tiba jatuh dan terkena stroke, setengah tubuhnya tak bisa digerakkan. Setelah dibawa ke rumah sakit, ayahnya pun meninggal dunia setelah dirawat satu malam. "Wina, ada saudara ayah di depan. Tinggal menunggu Om Wisnu saja, setelah itu baru ayah dimakamkan," Bu Yati, ibu kandung Wina berkata lirih sambil mengelus lengan putrinya. "Kenapa harus menunggu, Bu? Apa Om Wisnu pasti datang? Kasihan ayah kalau dimakamkan terlalu siang." Wina membersihkan sisa-sisa air matanya. Berusaha menguatkan dirinya. "Sudah dalam perjalanan, sebentar lagi sampai. Ayo, kamu keluar. Bersiap ikut ke makam." Bu Yati mengajak keluar putrinya. Saudara suaminya sudah datang dari luar kota. Sementara Wina dari tadi hanya mengurung diri di kamarnya. "Wina nggak bisa ikut, Bu. Tadi pagi tamu bulanan Wina datang. Wina di rumah saja sa
Tiga bulan berlalu, Bayu pun sudah dua setengah bulan yang lalu meninggalkan rumahnya. Bekerja di perusahaan konsultan milik Wisnu di Jakarta. Setiap bulan dia mengirim sejumlah uang untuk kebutuhan ibu dan kedua anaknya. Pak Aji pun begitu, selalu memberi bantuan pada Bu Yati, tanpa sepengetahuan anak-anaknya. Pak Aji mempunyai tiga orang anak yang tinggal di luar kota, namun sifat mereka jauh berbeda dengan dirinya. Pak Aji orangnya sangat rendah hati, ramah kepada siapapun. Sementara anak-anaknya terkesan sombong, berteman pun selalu pilih-pilih. Hari ini Pak Aji bertandang ke rumah Bu Yati, mengirimkan sejumlah bahan-bahan makanan dan sembako untuk pengajian besok malam, seratus hari adiknya. "Mas Aji kok repot-repot, saya jadi sungkan.""Nggak apa-apa, mumpung aku juga masih ada umur dan rizqi. Kalau aku menyusul Heru, aku sudah tak bisa membantu. Ini aku ada uang, bisa kamu gunakan untuk membayar sewa rumah tahun depan. Kalau ada sisa, belilah mesin cuci. Ka
Hari demi hari dilalui Wina dengan mengurus dan merawat kedua balita kakaknya. Keinginannya untuk ikut kelas tari lagi juga masih belum bisa terlaksana. Apalagi jika dirinya mau melamar kerja? Tak mungkin bisa dan tak tega pastinya. Rio dan Rena mulai sering bertengkar saling memperebutkan mainan. Sementara Tegar jika melihat keponakannya ribut, pasti akan mendatangi mereka dan langsung main tangan. Itulah mengapa Wina harus benar-benar menjaganya. Kasihan kalau sampai adiknya menyakiti Rio dan Rena.Sesuai dengan amanah Pak Aji, hari ini Wina pergi menuju toko elektronik membeli mesin cuci. Jarak rumahnya ke daerah pertokoan ditempuhnya dalam waktu hampir satu jam. Dengan mengayuh sepedanya, Wina berangkat bersama Rena yang didudukkan di boncengan depan. Salah satu keponakan diajaknya biar ibunya tak terlalu kerepotan. Jika pergi bersama-sama harus menyewa becak dan cukup mahal ongkosnya.Memakai kulot panjang bermotif bunga, kaos polos berlengan panjang, ram
Tiga bulan berlalu, Bayu pun sudah dua setengah bulan yang lalu meninggalkan rumahnya. Bekerja di perusahaan konsultan milik Wisnu di Jakarta. Setiap bulan dia mengirim sejumlah uang untuk kebutuhan ibu dan kedua anaknya. Pak Aji pun begitu, selalu memberi bantuan pada Bu Yati, tanpa sepengetahuan anak-anaknya. Pak Aji mempunyai tiga orang anak yang tinggal di luar kota, namun sifat mereka jauh berbeda dengan dirinya. Pak Aji orangnya sangat rendah hati, ramah kepada siapapun. Sementara anak-anaknya terkesan sombong, berteman pun selalu pilih-pilih. Hari ini Pak Aji bertandang ke rumah Bu Yati, mengirimkan sejumlah bahan-bahan makanan dan sembako untuk pengajian besok malam, seratus hari adiknya. "Mas Aji kok repot-repot, saya jadi sungkan.""Nggak apa-apa, mumpung aku juga masih ada umur dan rizqi. Kalau aku menyusul Heru, aku sudah tak bisa membantu. Ini aku ada uang, bisa kamu gunakan untuk membayar sewa rumah tahun depan. Kalau ada sisa, belilah mesin cuci. Ka
Wina memeluk kedua kakinya, menumpahkan air matanya, menangis sejadinya. Baru satu minggu dia lulus SMA, ayahnya sudah tiada. Dua hari yang lalu ayahnya tiba-tiba jatuh dan terkena stroke, setengah tubuhnya tak bisa digerakkan. Setelah dibawa ke rumah sakit, ayahnya pun meninggal dunia setelah dirawat satu malam. "Wina, ada saudara ayah di depan. Tinggal menunggu Om Wisnu saja, setelah itu baru ayah dimakamkan," Bu Yati, ibu kandung Wina berkata lirih sambil mengelus lengan putrinya. "Kenapa harus menunggu, Bu? Apa Om Wisnu pasti datang? Kasihan ayah kalau dimakamkan terlalu siang." Wina membersihkan sisa-sisa air matanya. Berusaha menguatkan dirinya. "Sudah dalam perjalanan, sebentar lagi sampai. Ayo, kamu keluar. Bersiap ikut ke makam." Bu Yati mengajak keluar putrinya. Saudara suaminya sudah datang dari luar kota. Sementara Wina dari tadi hanya mengurung diri di kamarnya. "Wina nggak bisa ikut, Bu. Tadi pagi tamu bulanan Wina datang. Wina di rumah saja sa