Tidak Tenang
'Apakah aku harus memeriksa keadaannya terlebih dahulu, sebelum aku pulang?' batin Dokter Jaden, setelah keluar dari ruangan Dokter samuel.
'Tapi, di sana ada Rafael. Apakah aku bisa menahan diri lagi, saat bertemu dengannya? Namun, kalau aku tidak melihat Aina sebelum pulang. Aku tidak akan tenang,' monolog Dokter Jaden bimbang.
Langkah Dokter Jaden terasa berat, ketika ia ingin melangkah keluar dari rumah sakit. Ia pun merasa tidak tenang, dan tidak tega meninggalkan Aina saat bersama Rafael dan Alya.
Padahal Dokter Jaden sudah berada di lobby rumah sakit, dan ia berniat ke parkiran untuk mengambil mobilnya. Namun, urung ia memutuskan kembali. Karena ia memang tidak akan bisa tenang bila belum memastikan keadaan Aina baik-baik saja. Meskipun ia tahu, kalau wanita yang tengah terbaring koma itu memang sudah tidak apa-apa, dan dalam kondisi stabil.
Tap ... tap ... tap!
Dokter Jaden memutar langkahnya kembali memasuki rumah sakit, tujuannya satu yaitu ruang ICU. Di mana Aina tengah terbaring bak putri tidur, bahkan ia sedikit mempercepat langkahnya seolah ia akan bertemu dengan kekasihnya sendiri.
Ketika ia sampai di depan pintu ruang ICU, ia memakai pakaian khusus terlebih dahulu dan tidak lupa mencuci tangannya.
Cekelek!
Degh!
Dokter Jaden terkejut saat melihat Rafael duduk bersama Alya tengah menunggu Aina, terlihat Rafael merangkul mesra tubuh Alya dan menaruh kepala Alya di bahu kekarnya.
'Tidak punya hati sama sekali mereka! Kupikir, saat Rafael menyesali diri tadi dia akan menjauhi wanita ini. Tapi nyatanya tidak, ia malah mempertontonkan kemesraan mereka di depan Aina, dan saat sang istri tengah koma,' geram Dokter Jaden, seraya mengepalkan kedua tangannya. Hingga telapak tangannya memutih, bahkan urat di lehernya begitu kentara.
Namun, Dokter Jaden sekuat tenaga menahan diri agar tidak membuat keributan di dalam ruang ICU. Ia masih memikirkan tentang Aina, karena ia tidak mau membuat ruang ICU itu hancur karena ulahnya nanti. Begitu ia menghajar Rafael, yang saat ini tengah membelakanginya.
"Ekhmm ....!''
Sengaja Dokter Jaden berdehem untuk mengagetkan kedua pasangan yang tengah bermesraan itu, untuk menghentikan kegiatan mereka.
Rafael dan Alya yang dalam posisi saling berpelukan seketika menoleh ke sumber suara, dan dalam hitungan detik keduanya terkejut. Lalu Rafael dengan cepat melepaskan pelukannya pada Alya. Takut jika Dokter Jaden berpikiran buruk tentangnya, lalu nanti mengadukan pada sang istri bila Aina sadar nanti.
"E--eh, ada Dokter. Mau mengecek keadaan istri saya, ya, Dok?'' tanya Rafael gugup, karena ia takut hubungan dengan kakak dari istrinya diketahui orang lain.
"Ya! Saya datang ke mari ingin mengecek keadaan 'ISTRI ANDA, TUAN RAFAEL! Tapi, sepertinya saya malah melihat sesuatu yang mencurigakan?!" sindir Dokter Jaden pada Rafael, bahkan sorot matanya telah dipenuhi kemarahan.
Bahkan saat Dokter Jaden bicara, ia menekan kata istri, karena ia ingin mengetahui apa reaksi Rafael ketika ia menanyakan perihal adegan mesra Rafael dan Alya tadi.
"Oh--oh, itu bukan seperti yang Anda pikirkan, Dokter. Tadi, Kakak Ipar saya kepalanya pusing. Jadi, tadi saya menyusruh Kakak Ipar Alya beristirahat di bahu saya sebentar," bohong Rafael dengan memandang Alya, berharap Alya ikut berbohong dan membenarkan ucapannya.
"Benar, Dok. Kepala saya tadi memang pusing, jadi saya bersandar sebentar," sambung Alya dengan kebohongan juga.
"Ciihh! Apakah kalau kepala pusing harus seintim itu, seolah kalian tengah bermesraan, dan tidak tahu tempat!"
"Ini adalah rumah sakit ... jadi, stop mengumbar kemesraan kalian! Apalagi tempat ini paling steril, kalau bisa yang menjaga pasien di sini satu orang saja. Mengerti!'' ucap Dokter Jaden dengan nada marah.
"Baik ... kami mengerti, Dokter," jawab Rafael dengan nada pasrah.
"Sekarang keluarlah, karena saya ingin memeriksa keadaan pasien," usir Dokter Jaden, lalu ia melangkah menghampiri brankar di mana Aina masih terbaring, ia lebih fokus memandang Aina yang tengah menutup matanya. Ia pun tidak melihat lagi Rafael dan Alya lagi, hingga keduanya pergi.
"Kita keluar dulu, Alya," ajak Rafael, dan langsung manarik tangan kekasih gelapnya itu. Alya yang mendapatkan tarikan di tangannya hanya bisa pasrah, dan mengikuti langkah Rafael keluar dari ruangan ICU.
Ketika Rafael dan Alya telah keluar, Dokter Jaden mulai memeriksa keadaan Aina hingga dalam beberapa menit. Setelah itu ia sedikit bernapas lega, saat melihat kondisi Aina yang semakin membaik.
'Syukurlah ... kamu sudah melewati masa-masa kritis, dan keadaanmu semakin membaik Aina. Semoga kamu lekas sadar setelah ini, aku yakin kamu wanita yang kuat dan pasti akan menerima kekuranganmu nanti,' gumam Dokter Jaden lirih seraya memandang wajah Aina dengan tatapan teduh.
"Mungkin dalam beberapa hari aku tidak bisa merawatmu, tapi ada dokter yang akan menggantikanku nanti."
"Aku tahu, kamu pasti bertanya kenapa aku tidak datang mulai besok 'kan? Karena aku ingin menenangkan pikiranku dahulu, dan juga memahami apa yang ada dalam hatiku saat ini. Setelah kehadiranmu, Aina," lirih Dokter Jaden, tanpa sadar tangannya membelai rambut panjang hitam legam itu.
"Kuharap saat aku kembali ke rumah sakit, aku bisa melihatmu membuka mata. Aku rindu melihat sorot matamu yang begitu indah, jadi kamu harus cepat sadar. Biar aku cepat kembali ke rumah sakit, untuk melihatmu."
"Aku pamit ... semoga mimpi indah, dan lekas sadar, Aina," pamit Dokter Jaden sedikit tidak rela, tapi ia tetap melangkah keluar.
Saat Dokter Jaden telah keluar, di depan pintu ruang ICU
Terlihat Rafael dan Alya tengah berdebat.
"Kamu pulang dulu, Alya. Biarkan aku di sini menemani Aina, kasihan dia di sini sendirian," rayu Rafael agar Alya pulang terlebih dahulu.
"Aku tidak mau, Rafa. Kalau kamu tidak mau pulang, aku juga tidak mau pulang!" rajuk Alya dengan pendiriannya.
"Jangan gila kamu, Alya. Aina saat ini terbaring koma, tapi kamu masih mementingkan dirimu sendiri. Kakak macam apa kamu, hah!" kesal Rafael, setelah itu ia masuk kembali ke dalam ruang ICU untuk menjaga istrinya.
"Rafael! Rafael! Aku tidak mau pulang kalau kamu tidak mau ikut pulang," kekeh Alya, dan berniat menyusul Rafael ke dalam ruang ICU, tapi di halangi oleh Dokter Jaden.
"Berhenti! Jangan masuk ke dalam, Nona. Cukup satu orang menjaga pasien, kalau Anda ingin menunggu. Anda boleh duduk di situ," saran Dokter Jaden dengan menunjuk deretan kursi yang tidak jauh darinya berdiri.
Alya yang kesal karena tidak diperbolehkan masuk, langsung memutar tubuhnya dan berniat pulang ke rumahnya.
'Aku pasti akan membuatmu pulang, Rafael dan aku sudah tahu caranya. Untuk kali ini kamu boleh menunggu Aina sepuasmu, tapi dua hari setelah itu kamu adalah milikku,' serigai Alya dengan melangkah keluar rumah sakit, lalu berjalan ke arah jalan raya untuk menyetop taxi dan ia berniat pulang.
Saat Alya telah dalam perjalanan pulang, di dalam rumah sakit terlihat Dokter Jaden baru saja ke luar. Namun, Rafael yang sadar belum menanyakan keadaan Aina, mulai berlari dan menghampiri Dokter Jaden untuk menanyakan perkembangan keadaan sang istri.
"Dokter, tunggu! Bagaimana keadaan istri saya, apakah dia akan cepat sadar? Lalu bagaimana dengan keadaan kakinya, apakah kakinya bisa sembuh dan kembali normal?" tanya Rafael bertubi, dan berharap Dokter Jaden memberikan kabar baik untuknya.
'Huft ....'
Terlihat Dokter Jaden menghela napas, sesungguhnya ia sangat malas berbicara dengan pria di depannya. Namun, sebagai seorang dokter dan kebetulan ia tengah merawat istri dari pria di hadapannya. Mau tidak mau ia harus menjelaskan keadaan Aina pada Rafael, dan ia juga harus bersikap profesional tanpa menggunakan perasaan pribadinya yang kebetulan tidak menyukai Rafael.
"Anda banyak berdoa saja, semoga Istri Anda cepat siuman. Untuk luka di kaki Istri Anda, seperti yang saya katakan di dalam ruangan saya. Kalau Nyonya Aina mengalami kelumpuhan, meskipun tidak permanen. Anda harus mensuport Istri Anda, dan memberikan semangat serta dukungan agar Istri Anda tidak terpuruk dengan keadaannya yang sekarang," jelas Dokter Jaden panjang, serta memberikan nasehat pada Rafael.
Degh!
Rafael yang mendengar penjelasan Dokter Jaden, tetap saja terkejut. Seolah ia tidak menerima jika istri cantiknya selama ini akan menjadi wanita cacat, dan dalam sesaat ia berpikir bagaimana dengan kehidupannya nanti saat ia menjalani rumah tangganya bersama Aina. Ia tidak mau dipandang sebelah mata oleh teman-temannya, karena mempunyai istri cacat.
'Bagaimana ini, kalau Aina lumpuh. Pasti banyak teman-teman, dan rekan bisnisku akan memandang sebelah mata. Bisa jadi, Mereke akan menggolokku bahkan merendahkanku ketika mempunyai istri yang cacat,' monolog Rafael dengan berandai.
"Aku tahu apa yang Anda pikirkan, Tuan. Setelah saya menceritakan keadaan Istri Anda, pasti Anda merasa malu bila mempunyai istri yang cacat dan tidak sama lagi seperti sebelumnya, bukan?!'' sarkas Dokter Jaden dengan sorot mata kemarahannya, ketika melihat Rafael yang hanya terdiam setelah ia menjelaskan keadaan Aina.
"Ti--tidak, Dokter. Saya tidak berpikir seperti yang Anda katakan tadi, saya hanya sedih mendengar penuturan Anda tentang luka yang dialami istri saya."
"Saya tidak malu, sungguh. Bagaimana pun Aina tetap istri saya, meskipun keadaannya tidak lagi sama," bohong Rafael.
"Bagus! Saya pegang ucapan Anda, Tuan Rafael!''
"Satu lagi, saya harap Anda bisa menjaga Istri Anda dengan baik. Meskipun saya tahu, Anda adalah orang yang sibuk. Untuk saat-saat ini, tinggalkan dulu pekerjaan Anda. Temani Istri Anda, karena Sebaik-baik dokter atau pun suster yang menunggu pasien, itu lebih naik keluarga terdekat terutama Anda suaminya," saran Dokter Jaden, dengan menahan rasa sesak di dadanya.
Dokter Jaden tahu apa yang ia katakan tadi belum tentu Rafael akan melakukannya, tapi setidaknya sebagai seorang dokter ia telah menjalankan kewajibannya dengan baik.
"Tentu saja, Dokter. Terima kasih atas saran, Anda," jawab Rafael sopan, dan mengulurkan tangan pada Dokter Jaden sebagai ucapan terima kasih.
"Sama-sama, kalau begitu saya permisi dulu," pamit Dokter Jaden setelah melepaskan tautan tangannya, tanpa ada senyuman di wajahnya.
Dokter Jaden berjalan dengan langakah cepat, entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Ia hanya ingin cepat pulang ke apartemennya, dan mandi air dingin untuk mendinginkan pikirannya.
Ia pun berniat pergi liburan, untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang semalaman memenuhi pikirannya. Tidak lain ketika ia pikiran terus tentang segala hal berkaitan dengan Aina.
Setelah sampai di parkiran, ia mulai memasuki mobil SVU berwarna putih. Setelah itu ia mulai mengendarai dengan sedikit kecepatan, saat ia tengah mengendarai mobil. Tiba-tiba ponselnya berdering, dan menunjukkan nomer telepon yang sudah sangat ia kenal.
Dengan sedikit senyuman, ia memasang earphone di telinganya tanpa harus memegang ponsel canggih yang berada di kotak kecil samping ia mengemudi.
Drrrttt!
š² Pria Tua
"Hai, Boy. Kenapa semalam kamu tidak datang di acara makan malam, apa kamu lupa kalau kamu sudah punya janji dengan Pria Tua ini," sapa seseorang dengan suara serak, yang tidak lain adalah kakek Jaden bernama Mark Tamawijaya.
"Ini semua karena perintah Anda sendiri, Pak Tua. Hingga aku tidak mempunyai waktu sekadar beristirahat karena banyaknya pasien di rumah sakit," kekeh Dokter Jaden, dengan sedikit menyindir sang kakek.
"Benarkah? Kalau begitu, tinggalkan saja pekerjaan itu. Aku juga menyesali sudah menyuruhmu untuk terjun dalam dunia medis, padahal kamu tidak menyukai pekerjaanmu itu," sesal Kakek Dokter Jaden.
'Ya, mungkin kemarin aku masih tidak menyukai pekerjaan yang aku lakukan beberapa tahun ini dengan menjadi seorang dokter. Namun, setelah melihat Aina kembali. Bahkan dengan luka yang sangat parah di tubuhnya, aku bersyukur bisa menjadi dokter yang mampu menyelamatkan wanita itu saat dalam kondisi kritis,' batin Dokter Jaden, dengan rasa syukurnya.
Jika awalnya Dokter Jaden memang tidak menyukai pekerjaan sebagai seorang Dokter, karena ia lebih senang bekerja di kantor. Tapi, semua terlihat berbeda pemikiran setelah kehadiran Aina kembali, dan ia pun mensyukuri hal itu. Sebab di rumah sakitlah tempat ia bertemu kembali dengan Aina, wanita yang sempat ia dambakan 9 tahun silam.
''Untuk kali ini aku tidak bisa berhenti, Pak Tua. Mungkin aku mulai menyukai pekerjaanku, karena masih banyak pasien yang masih membutuhkan diriku," jawab Dokter Jaden dengan menerawang mengingat wajah Aina dalam kondisi Koma.
"Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Jika waktunya tiba, dan kamu telah lelah bekerja sebagai seorang dokter. Maka kembalilah menjadi dirimu sendiri, seperti yang kamu inginkan," pesan sang kakek dengan nada penuh sayang.
"Tentu saja aku pasti kembali, hanya menunggu waktu itu kapan," Dokter Jaden pun menghela napas, karena ia tidak tahu kapan ia akan kembali bekerja seperti yang ia inginkan.
"Apakah kamu sudah makan, Nak?" tanya pria tua dengan nada perhatian.
"Belum, hanya tadi pagi minum kopi," jujur Dokter Jaden, yang memang belum sarapan sedari pagi.
"Dasar anak nakal, sudah Kakek bilang makan tepat waktu. Kenapa selalu telat, bagaimana kamu bisa di sebut seorang dokter jika menjaga diri sendiri tidak bisa," marah Kakek Mark.
"Kalau kamu tidak bisa menjaga dirimu dengan baik, kembalilah ke rumah. Biar Kakek yang memperhatikanmu, Boy," nasehat Kakek Mark, dengan terselip perasaan khawatir pada cucu kesayangannya.
"Aku tidak apa-apa, Kek. Tenang saja, aku tidak akan mati gara-gara tidak sarapan saja. Sebentar lagi aku akan makan, jadi Kakek jangan khawatir lagi, ya," jawab Dokter Jaden lembut, menenangkan kegelisahan sang kakek agar tidak khawatir lagi.
"Baiklah, Kakek percaya padamu. Kalau kamu bisa menjaga dirimu dengan baik, karena kamu seorang dokter," pasrah Kakek Mark, dengan nada sedikit tenang.
"Apa Kakek sudah minum obat? Jangan sampai telat. Makan tepat waktu, dan jangan banyak pikiran. Karena jagung Kakek akan sakit jika mengabaikan saran dokter," tanya dan perhatian Dokter Jaden pada sang kakek, ketika ia teringat Kakeknya menderita penyakit jantung.
"Tentu saja sudah, semua asisten di sini memperhatikan keadaanku seperti perintahmu. Jika Kakek menolak, mereka mengancam akan melaporkannya padamu," jujur Kakek Mark.
"Baguslah, jaga diri Kakek. Mungkin beberapa minggu nanti aku tidak bisa pulang ke rumah. Karena ada pasien yang tidak bisa kutinggalkan," ucap Dokter Jaden, sedikit tidak enak hati karena sudah hampir sebulan ini ia tidak pulang mengunjungi Kakeknya.
"Tidak apa-apa, Kakek mengerti. Jaga dirimu juga, Nak. Jangan lupa makan, Kakek tidak mau kamu sakit. Maafkan Kakek sudah mendorongmu bekerja sebagai seorang dokter," pesan dan sesal Kakek Mark.
"Tentu saja, Kakek jangan khawatir. Jangan meminta maaf lagi, karena pekerjaan Jaden saat ini, mulai Jaden sukai," jawab Dokter Jaden menenangkan.
"Aku tutup dulu, Kek. Karena aku masih di jalan menuju apartemen," sambung Dokter Jaden.
"Iya, kamu hati-hati di jalan," jawab Kakek Mark, setelah itu ia menutup sambungan telepon.
Tut.
Setelah sambungan terputus, Dokter melajukan kembali mobilnya dengan sedikit kecepatan. Hingga tidak sampai lima belas menit ia pun sampai di salah satu apartemen mewah yang berada di Jakarta pusat.
****
Tanpa terasa waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, di dalam kamar bercat merah muda Alya dengan pakaian seksi dan terbuka di bagian dadanya. Terlihat ia tengah mengambil ponsel yang berada di atas laci, kemudian ia memotret dirinya sendiri dengan berbagai pose gaya begitu menggoda.
Cekrek ... cekrek!
'Ah ... foto ini terlihat bagus sekali, akan kukirimkan foto ini pada Rafael. Pasti dia tidak akan bisa menahan dirinya untuk menyentuhku, bila aku berfoto menggoda seperti ini,' kekeh Alya dengan serigainya.
Bersambung
Rayuan AlyaTing!Terdengar suara pesan dari ponsel milik Rafael, ia terlihat malas merogoh saku celananya, lalu bertanya-tanya siapakah gerangan yang mengirim pesan di tengah malam begini.Ia pun hanya berpikiran satu wanita yang berani mengirim pesan padanya selarut ini, tidak lain dan tidak bukan adalah kakak iparnya sendiri Alya.'Pasti Alya yang mengirim pesan, apa dia tidak capek mengirim pesan terus sedari tadi,' gumam Rafael, lalu membuka aplikasi berwarna hijau.Degh!Terlihat foto dengan pose erotis, dan sangat menggoda dari kakak iparnya. Ya, setelah semua pesan diabaikan oleh Rafael. Namun, Alya tidak kehilangan akal untuk menarik perhatian pria yang sangat ia cintai.'Apa ini, Alya! Apa kamu berniat menggodaku, demi Tuhan! Aku saat ini menahan diri agar tidak lari pulang, lalu menyerangmu. Karena di sini masih ada Aina yang harus kujaga dan
Terkuaknya Identitas Jaden"Kenapa lama sekali, Sayang?" tanya Devan begitu melihat Sania kembali dari toilet."Di toilet sedikit ramai, jadi aku menunggu giliran masuk ke toilet dulu," jelas Sania, dan langsung duduk di samping Devan. Devan dengan senyuman langsung merangkul mesra Sania, tapi sebelum itu ia mengambil minuman di meja untuk Sania.''Ini, minumlah. Kamu pasti haus 'kan dari toilet, setelah kamu minum ini kita berdansa," rayu Devan dan memberikan gelas yang sudah ia bubuhi dengan obat perangsang.Sania tanpa curiga langsung menerima gelas pemberian kekasihnya, setelah itu ia meneguk minuman itu hingga tandas.Devan yang melihat itu merasa senang, apalagi saat melihat Sania menghabiskan semua minuman dalam gelas tanpa sisa."Ayo kita berdansa sekarang, Sayang. Kita habiskan malam ini untuk bersenang-senang, karena setelah ini kita sudah kembali ke Indonesia. P
Sadar Dari KomaMasih di dalam pesawat jet pribadi keluarga Tamawijaya, terlihat Jaden tengah menyantap makan siangnya. Meskipun ia hanya menyuapkan sedikit makanan ke dalam perutnya, setidaknya ia memakan sesuatu. Mengingat sedari pagi ia belum makan apa-apa.Setelah ia menyuapkan makanan terakhir ke dalam mulutnya, ia memerintahkan sesuatu pada Martin tangan kanannya untuk mengajaga keamanannya sebaik mungkin selama dalam perjalanan ke rumah sakit nanti. Bukan ia takut penjahat, atau musuhnya. Tapi, ia tidak mau identitasnya cepat diketahui khalayak umum.Sebab ia tidak mau wartawan mengendus keberadaan, dan identitasnya yang bekerja sebagai seorang dokter. Apalagi saat ini di rumah sakit ada Aina, dan Aina akan menjadi prioritas utamanya mulai dari sekarang.Jaden sudah tidak percaya lagi pada siapa pun, mengingat sahabatnya sendiri yang diberikan amanah bisa saja lalai dan tidak melaksanakan apa yang ia minta.
Tangisan Ainahuk ... uhuk!"Aina tiba-tiba terbatuk, seketika membuat Jaden yang berada di samping Aina merasa khawatir."Nona! Nona, kamu tidak apa-apa? Apa ada yang sakit, di mana? Cepat katakan, Aina?!" tanya Jaden dengan tidak sabaran, hingga ia memanggil Aina dengan sebutan nama saja dan tidak berkata formal."Saya tidak apa-apa, Dokter. Hanya saja, mulut saya kering," keluh Aina dengan memegangi lehernya.Tanpa menjawab Jaden dengan sigap mengambil minuman yang berada di atas meja, dan langsung memberikan pada Aina. Namun, gerakkannya terhenti ketika ia melihat Aina masih terbaring di tempat tidur."Apa Nona mau minum menggunakan dengan sedotan, atau duduk saja?" tanya Jaden, seraya menunjukkan air putih dalam gelas ke arah Aina."Saya ingin minum dengan duduk saja, bisakah Dokter membantu saya. Karena saya tidak kuasa untuk bangun sendiri," jawab Aina
Berniat Mengakhiri Hidup"Hiks ... hiks, hiks."Terlihat Aina masih menangis meratapi kondisi kakinya yang lumpuh, Jaden masih setia berada di samping Aina. Meskipun ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, selain kata penenang berharap wanita dihadapannya berhenti menangis."Kenapa saya bisa seperti ini, Dokter? Kenapa saya bisa terluka parah seperti ini, apa salah saya hingga Allah menghukum saya seperti ini?" tangis Aina pecah kembali, meratapi nasib dan juga kakinya.Jaden yang mendengar penuturan dari Aina mengeryit heran, kenapa bisa Aina bertanya seperti itu. Seharusnya dialah yang lebih tahu, kenapa dia bisa sampai terluka."Apa kamu tidak ingat sesuatu, di mana Nona bisa kecelakaan tepatnya 5 hari yang lalu?" tanya Jaden dengan nada herannya."Apa! Saya kecelakaan, Dokter? Tapi, saya tidak mengingat apa-apa, selain ingat di mana saya saat itu tengah mempersiapkan kado untuk
Obsesi AlyaSeperti yang dipinta Big Bosnya, Martin keluar dari rumah sakit. Lalu mulai menghubungi beberapa rekannya melalui earphone, untuk melakukan misi mencari keberadaan Rafael dan juga Alya."Kerahkan beberapa orang kita untuk mencari seseorang bernama Raditia Rafael, dan Alya Adriana dimana pun mereka berada. Cari, dan pastikan malam ini kalian menemukan mereka. Karena Big Bos, tidak suka kata gagal. Apa kalian mengerti," tegas Martin saat ia memberikan arahan pada rekannya, dan langsung tersambung ke beberapa rekannya yang tidak lain anak buah Jaden juga."Aku akan mengirimkan data mereka, pastikan jika kedua orang itu masih berada di Jakarta ataukah keduanya telah berada di luar kota Jakarta. Jadi, periksa data mereka baik itu lewat jalur darat, mau pun udara agar kita lebih mudah melacak keberadaan mereka," sambung Martin."Baik, kami mengerti!" jawab serentek beberapa rekan Martin secara
Hilangnya Kesucian SaniaTidak jauh berbeda dengan rencana jahat Alya, di negara berbeda tepatnya di Negara Belanda.Terlihat di dalam apartemen, ada sepasang pria dan wanita tanpa busana berada di atas ranjang. Sang wanita terus saja menangis, dan tidak berhenti memberikan pukulan kecil pada sang pria.Ya, sesuai rencana Devan yang tidak lain kekasih gelap Sania telah mengambil kesucian Sania. Ia telah berhasil melakukan niatnya untuk menodai Sania, dengan cara memberikan obat perangsang pada Sania terlebih dahulu."Kamu jahat, Devan! Jahat sekali, hiks, hiks," Sania terus saja menangis, ketika ia telah sadar, dan terbangun dari tidurnya ia telah dalam kondisi tanpa busana.Kemudian saat ia melihat di bagian bawah, ada bercak merah. Intinya juga merasakan sakit, ia mengerti satu hal jika sang kekasih telah mengambil kesuciannya yang selama ini ia jaga. Karena ia berharap hanya suaminya
Penculikan Rafael dan AlyaSetelah membersihkan diri, dan membalut luka di tangan kanannya, Jaden berjalan menuju ruang inap di mana Aina berada.Cekelek!Hal pertama yang Jaden lihat adalah sang sahabat duduk dengan posisi tertidur, lalu pandangannya mengarah ke tempat tidur terlihat Aina masih menutup matanya karena pengaruh obat bius."Sam! Samuel!" panggil Jaden dengan suara pelan."Sam! Bangunlah, istirahat dan pergilah ke ruanganmu sekarang," ulang Jaden dengan menggoyang bahu Dokter Samuel."Eegghh ... kamu sudah datang, Jaden. Kupikir kamu masih lama, maaf aku ketiduran saat menjaga Aina," ucap Dokter Samuel dengan suara khas bangun tidur."Tidak apa-apa, kamu pergilah dan istirahat di ruanganmu," saran Jaden, yang mengerti sahabatnya pasti lelah."Iya, aku pergi dulu. Kamu juga jangan lupa makan, dan melalaikan kesehatanmu sendiri saa
Bahagia BersamamuMalam semakin larut, setelah mandi dan mengganti gaun pengantin yang tadi Aina kenakan.Kini ia telah memakai baju tidur, terlihat baju itu begitu tipis dan ia merasa tidak nyaman mengenakannya. Ia merasa malu apabila nanti dilihat oleh Jaden, meskipun ia telah resmi menjadi istrinya tetap saja rasa malu menghinggapi hatinya.'Siapa, sih, yang memesan pakaian ini?' tanya Aina dalam batinnya, seraya menghela napas ketika melihat pantulan tubuhnya di cermin.'Jika Mas Jaden melihatku memakai pakaian ini, bagaimana reaksinya. Aku takut dia mengira kalau aku ingin menggodanya, padahal di sini memang tidak ada pakaian yang lebih pantas dipandang,' gumam Aina sedikit kesal.Jaden yang baru saja keluar dari kamar mandi samar-samar mendengar keluhan sang istri, ia tahu betul sifat Aina dan ia membenarkan jika sang istri tidak akan mungkin mau menggodanya terlebih dahulu. Mengingat Aina bukanlah wanita seperti di luaran sana, tapi untuk k
Bersatunya Dalam Mahligai PernikahanHari yang ditunggu Aina dan Jaden kini telah tiba, di mana keduanya telah resmi menjadi pasangan suami-istri dalam mahligai pernikahan.Ya, pagi tadi seorang Kieran Jaden Tamawijaya telah resmi mempersunting janda muda bernama Aina Anindya.Meskipun Aina dalam status janda, tapi tidak mengurungkan niat Jaden untuk mempersunting wanita cantik nan mungil itu sebagai istrinya.Mengingat begitu besar rasa cinta Jaden pada Aina, membuat ia memantapkan niatnya menjadikan Aina sebagai istri. Apalagi setelah ia mendapatkan restu dari sang kakek, membuat ia begitu semangat membawa Aina ke tengah-tengah keluarganya besarnya.Tidak hanya Jaden yang bahagia hari ini, tapi Aina juga turut merasakan perasaan sama. Begitu pula orang-orang di sekitar Aina dan Jaden, juga turut merasakan kebahagiaan mereka.Mengingat selama setahun belakangan Aina pernah merasakan namanya luka karena pengkhianatan dari orang-o
š Kondisi Alya yang Memprihatinkan'Kak Alya?' gumam Aina yang bisa di dengar semua orang di dalam ruang tamu.Aina masih saja memperhatikan foto sang kakak kini berada dalam tangannya, ia terkejut sekaligus bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi pada Alya Kakaknya.Polisi yang melihat Aina terpaku seraya melihat foto sang kakak, tidak bisa membendung rasa ingin tahunya. Karena tujuan kedua polisi itu memang ingin tahu, jika Aina adalah salah satu keluarga Alya. Mengingat dua polisi itu mendapatkan tugas untuk mencari tahu, sebab pemilik rumah sakit merasa tidak enak hati bila datang sendiri ke kediaman keluarga Tamawijaya."Apa Anda mengenal wanita di dalam foto itu, Nona?" tanya polisi ingin tahu."Iya, saya mengenalnya. Dia adalah kakak kandung saya, Alya. Kenapa dengannya, Pak?""Tolong katakan padaku, apa yang terjadi dengan Kak Alya?" tanya Aina bertubi, dan mulai mengkhawatirkan keadaan sang kakak."Wanita yang berada
Rasa SyukurSetelah pulang dari menyelamatkan Aina, kini Jaden membawa wanitanya ke kamar Aina sendiri. Terlihat pria tampan itu sama sekali tidak meninggalkaan Aina barang sebentar saja, ia setia menanti calon istrinya sadar dari pengaruh obat bius yang diberikan Rafael saat mau menculik Aina.Waktu sudah menunjukkan pukul enam malam, terlihat Aina mulai membuka matanya. Sesaat ia dihinggapi rasa ketakutan, ketika teringat mantan suaminya berniat menculiknya."Aku tidak mau ... lepaskan aku, Rafael!" teriak Aina seraya terbangun, dan langsung terduduk dengan seluruh badan bergetar karena ketakutan.Jaden yang terkejut mendengar suara wanitanya, seketika berdiri dan berusaha menenangkan Aina dari rasa ketakutannya."Sstt, tenanglah. Kamu sudah aman, Sayang," gumam Jaden, dan langsung memberikan pelukan dan membelai punggung Aina pelan."Aku takut sekali, Mas.""Aku takut kalau Rafael akan menculikku, tadi aku masih ingat kalau dia mene
Penyelamatan AinaIring-iringan mobil yang dikendarain oleh preman suruhan Rafael, kini tengah melaju dengan kecepatan tinggi. Karena Rafael baru teringat kalau koper, beserta isinya masih berada di rumahnya. Apalagi ada paspor yang harus iya bawa mengingat ia akan membawa Aina pergi dari kota Jakarta, sebelum Jaden menyadari kalau ia-lah dalang dalam penculikan Aina."Cepat kendarai mobil ini, kita ke rumahku terlebih dulu," perintah Rafael seraya merangkul Aina di kursi penumpang.Terlihat Aina tengah menutup matanya, karena pengaruh obat bius yang diberikan Rafael padanya."Baik, Pak," jawab salah satu preman yang tengah mengendarai mobil Rafael, terlihat satu mobil di belakang mobil Rafael terdapat beberapa preman yang sengaja Rafael bayar untuk membantunya melancarkan aksinya dalam menculik mantan istrinya itu.'Semoga saja anak buahnya Jaden tidak menyadari kalau Aina tengah kuculik,' batin Rafael, seraya mengecup puncak kepala Aina.
Niat Rafael Menculik AinaAina telah sampai di mall, ia pun berjalan ke stand tempat aneka perlengkapan bahan kue. Saat ia tengah asyik memilih bahan, tiba-tiba ia merasa ingin buang air kecil.Aina pun bergegas mencari letak di mana toilet berada, Martin dan Rio hanya bisa mengawal calon istri bosnya dari jauh. Mengingat Aina merasa tidak nyaman saat dilihatin banyak orang, makanya ia menyuruh dua orang suruhan Jaden mengawalnya sedikit jauh."Bisa kalian sedikit menjaga jarak, aku janji tidak akan pergi jauh selama di mall," ucap Aina sedikit merasa tidak nyaman, saat Martin dan Rio begitu ketat mengawalnya.''Tapi, Nona. Saya takut Tuan marah pada kami, karena kami tidak bisa menjaga Nona dengan baik," jawab Martin jujur."Tenang saja, pasti Mas Jaden tidak akan marah pada kalian. Selama kalian tidak mengatakannya,'' kekeh Aina.''Aku akan ke toilet sebentar, bisa kalian berdua berada di sini saja. Jangan mengikutiku, karena akueras
Firasat JadenHampir seminggu waktu berlalu, dan Aina kini telah resmi menjadi tunangan seoarang Kieran Jaden Tamawijaya. Segala sesuatu bagi Aina kini terasa indah, serta membahagiakan dalam hidupnya.Setelah begitu banyak Aina melewati rasa sakit dalam diri akan pengkhianatan, yang dilakukan oleh mantan suami dan kakaknya sendiri.Meskipun begitu, Aina tidak menaruh dendam pada orang-orang yang telah menyakitinya, ia hanya percaya keadilan Allah itu jauh lebih adil dan ia percaya setiap perbuatan pasti suatu saat akan mendapatkan balasan sesuai takaran perbuatan yang pernah dilakukan.Saat Aina merasakan syukur akan kebahagiaan dalam hidupnya, dalam lamunannya. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh calon suaminya yang memeluknya dari belakang."Sedang apa kamu di sini, aku mencarimu sedari tadi," gumam Jaden seraya memeluk wanitanya yang tengah berdiri di dekat taman bunga, sengaja taman di belakang rumah Jaden ia buat taman karena wanitanya begitu menyukai bu
Kemarahan Rafael dan Juga ObsesinyaSetelah menyeret Alya dekat dengan mobilnya, kini Rafael mencoba menanyakan sebuah kebenaran bahwa Alya yang berada di balik perceraian dengan sang istri Aina."Katakan, apa benar kamu dibalik perceraianku dengan Aina?" tanya Rafael dengan menyengkeram mulut Alya. hingga Alya mengaduh kesakitan."Akkhh ... sakit, Rafael," adu Alya dengan netra mulai berkaca-kaca."Rasa sakitmu tidak seberapa dibandingkan aku kehilangan Aina dari hidupku sekarang, bukankah kamu sudah tahu seberapa besar aku mencintai dia, hah!" bentak Rafael.Alya mendengar kata cinta untuk Aina dari mulut pria yang sangat dicintai seketika merasa cemburu, dengan percaya diri ia menatap netra Rafael tanpa rasa takut."Cih, cinta katamu. Lalu kenapa kamu berselingkuh denganku, bahkan istrimu sendiri melihat adegan panas kita, dan itu saat kita bercinta. kemudian dia pergi meninggalkanmu, apakah itu semua salahku?"Degh!Merasa
Penyesalan yang Terlambat"Apa maksudmu kita sudah bercerai, Sayang?" tanya Rafael seraya ingin mendekati Aina, tapi Kakek Mark langsung menghadan langkahnya.Merasa kesal karena ulah Rafael mengganggu acara pertunangan cucunya, Kakek Mark mulai tegas."Berhenti di tempatmu anak muda, sebelum orang-orangku menyeretmu keluar dari pesta pertunangan cucuku!" tekan Kakek Mark dengan nada rendah dan dingin.Rafael yang mendapatkan kemarahan dari Kakek Mark bukannya takut malah menantang, dan ia berniat menyingkirkan Kakek Mark. Namun, Jaden yang tahu jika tangan Rafael berniat mendorong sang kakek dengan kemarahannya ia maju melindungi kakeknya tepat di depan Kakek Mark."Jangan berani-berani menyentuh Kakekku, dengan tangan kotormu ini. Jika, kamu berani menyentuhnya aku tidak segan untuk mematahkan tanganmu ini," ucap Jaden dingin."Memangnya aku takut ancamanmu, Pria Cupu!Jawabannya, tidak! aku sama sekali tidak takut padamu, dan lagi wanita c