"Mohon maaf saya belum bisa menjawabnya sekarang Pak, tapi dari gejala pasien bisa saja pasien mengalami hipoglikemia atau kadar gula darah yang terlalu rendah. Saya harus mengecek kadar gula darah pasien dulu, permisi," pamit dokter. suster yang membantu dokter mengikuti dibelakangnya.
"Baik Dok," jawab Aiden. Aiden mendekati Dea, mata Dea terpejam rapat, wajahnya sangat pucat.
"Suhu badannya masih sangat tinggi," batin Aiden. Tangan Dea digenggam olehnya, lalu menghela nafasnya Dea berat.
Bik Asih beranjak berdiri ketika dokter keluar dari kamar,
"Bagaimana Dok?" tanya bik Asih.
"Sebentar ya Bu, saya belum bisa menjawabnya sekarang," jawab dokter dan berlalu pergi.
"Hahh...." helaan nafas bik Asih.
"Boleh masuk nggak nih?" tanya Toni.
"Jangan, nunggu Tuan keluar dulu," jawab pak Lastro.
Bik Asih melihat majikannya dari luar, lalu kembali duduk. beberapa saat kemudian suster kembali masuk kedalam kamar Dea.
Aiden melihat nomor yang tertera diponselnya, menarik dan menghembuskan nafas beberapa kali untuk menenangkan dirinya."Halo?""Hallo Baby," panggil manja Wendi diseberang telepon."Apa?" jawab Aiden. Emosinya masih meluap-luap dibenaknya."Ihh.... kok cuek si By?" rajuk Wendy."Ada apa By? aku lagi sibuk," jawab Aiden mencoba untuk ramah dengan kekasihnya."Aku habis dari kantormu, kata Elvaro kamu lagi jenguk keluargamu yang sakit," ujar Wendy."Iya," jawab Aiden."Siapa yang sakit By?" tanya Wendy penasaran."Papa? Mama? atau Oma?" lanjutnya penasaran."Bukan By," jawab Aiden."Trus siapa dong?" desak Wendy. Membuat Aiden semakin dongkol."Saudara," jawab Aiden."Ohh, Dea sepupu kamu itu?" tebak Wendy yang kelihatan sekali dari nadanya dia sangat kesal."Iya," jawab Aiden."Oh.... nanti aku samperin ya? kan hari ini kamu janji mau dinner, aku udah booking cafe," ujar
Aiden sedang diobati oleh dokter Mey yang memeriksa istrinya tadi sore, Aiden memilihnya sekaligus untuk membicarakan tentang hasil lab istrinya."Jadi pasien mengonsumsi obat psikotropika dalam dosis tinggi?" tanya dokter dan mengoleskan antiseptik di punggung Aiden."Iya Dok," jawab Aiden dengan mulut yang kesakitan."Apa psikiater yang menangani hal ini tau?" tanya dokter Mey."Tidak, beberapa kali istri saya tidak mengikuti jadwal konsultasi dengan psikiaternya," jawab Aiden."Apa selain Bapak, keluarga yang lain juga tau?" tanya Dokter yang sedang mengoleskan obat merah."Mertua dan orang tua saya, tapi kalau masalah kemarin yang dia seperti orang mabuk, itu hanya saya yang tau," jawab Aiden."Hmm...." gumam dokter menganggukkan kepalanya beberapa kali."Untuk obat yang dikonsumsi pasien apa bapak tau apa saja?" tanya Dokter Mey."Saya kurang tau Dok, karena dia menyembunyikan obatnya tanpa sepengetahuan saya,
Terdapat jubah berwarna hitam dengan kupluk dibagian atasnya, lalu sarung tangan hitam dan topeng berwarna hitam."Silakan bapak memakai ini," ucap laki-laki yang meninggalkannya beberapa saat lalu, Aiden langsung memakai jubah itu. Dirinya merasa seperti batman karena setelannya yang serba hitam, atau merasa seperti vampir. Setelah memakai semua kostum yang diberikan pria itu, Aiden sekali lagi menerima kartu dengan berwarna silver."Mari kita masuk," ucap pria itu dan langsung mendekati gerbang didepannya. Pria itu mengeluarkan kartu miliknya dari saku jaketnya, lalu membuka kotak yang menempel di tembok tengah gerbang."Pak Aiden, silakan scan kartunya," ujarnya. Aiden mengikuti perintah pria itu.Beberapa saat kemudian pintu gerbang terbuka.Gradakkk.... gradakk.... gradakkk....Mata Aiden takjub melihat pemandangan dibalik gerbang itu.Dibalik gerbang karatan yang besar itu terdapat bangunan yang megah berwarna hitam,
Aiden berpikir sejenak mendengar pertanyaan Mek, setelah itu baru dia menjawabnya,"Iya. Sebentar saya mau samperin seseorang disana." "Baik saya tunggu disana," jawab Mek dengan menunjuk ruang keamanan disamping gerbang berwarna emas dibelakangnya. Aiden mengangguk dan langsung meninggalkan Mek. Menghampiri perempuan itu, ketika berada didekatnya Aiden langsung menarik menarik lengan perempuan itu hingga membuat tubuh perempuan itu berbalik menghadap Aiden. Mata wanita itu melebar, kaget karena tiba-tiba ada orang yang menarik lengannya tanpa ijin. "Wendy?" panggil Aiden. "Siapa anda? lancang sekali menyentuh wanita tanpa ijin," ucap wanita itu yang langsung melepas cengkraman tangan Aiden dilengannya, lalu membanting tangan itu dengan kasar. "Suaranya beda, aku salah orang," batin Aiden. "Ahh, maaf saya salah orang. Mohon maaf atas kelancangan saya Nona," ujar Aiden. Wanita itu tidak menggubris permintaan maaf Aiden, dia langsung meni
Aiden keluar untuk menerima panggilan yang membuat ponselnya bergetar hebat. Dilihat layar smartphone yang tertulis nama Risa."Ya Risa?" ujar Aiden ketika menerima panggilan dari sekretarisnya."Selamat pagi Pak Aiden," salam orang di seberang telepon."Ya, selamat pagi," jawab Aiden."Saya mau mengonfirmasikan jadwal hari ini Pak, Jam 10 nanti ada meeting-" suara Risa terpotong ketika Aiden melontarkan kalimat."Tolong kosongin jadwal hari ini Risa," perintah Aiden."Tapi Pak-," lagi-lagi kata-kata Risa terpotong."Tidak ada tapi- tapian, istri saya sedang sakit. Tolong kamu beritahu wakil buat gantiin jadwal saya, jangan lupa rekam semua pembicaraan selama meeting. Terus kalau ada Dena datang ke kantor, bilang aja aku lagi di luar kota. Saya tutup teleponnya dulu," ucap Aiden yang langsung memutus sambungan teleponnya dengan Risa. Aiden sengaja mengosongkan jadwal kerjanya untuk menemani Dea. Setelah mematikan telepon dan Risa tidak menghubungi kembali, Aiden memutuskann untuk lan
Keadaan Dea semakin membaik, sudah lima hari dia opname di rumah sakit. Hari ini dia diperbolehkan dokter untuk pulang. Semua orang sibuk mempersiapkan kepulangan Dea, termasuk mertua dan oma.Aiden hari ini ijin tidak masuk kerja untuk menemani istrinya. Hal ini dia lakukan karena kedua orangtuanya juga ikut menjemput Dea. Seandainya jika tidak ada orangtuanya, kemungkinan besar Aiden memilih untuk masuk kerja karena ada meeting yang sangat penting di kantor."Udah?" tanya Aiden pada Dea yang duduk di atas ranjang. Dea sudah bersiap untuk keluar dari kamarnya. Semua orang kini sedang sibuk mengemas barang istrinya."Udah," jawab Dea."Kuat jalan? atau mau aku gendong?" tanya Aiden yang bersiap menggendong Dea."Aku jalan aja. Bik..." panggil Dea pada Bik Asih yang sedari tadi sibuk dengan tas milik Dea."Eh... Iya Non." Bik Asih yang sedari tadi sibuk dengan mengemas barang langsung menghampiri Dea."Biar aku saja Bik," sergah Aiden.Mama dan Ayah mertua memperhatikan sepasang keka
"Aku milih Dea Pa," jawab Aiden sedikit tercekat. Hatinya terasa sangat berat, namun dia tidak bisa melawan."Kalau begitu, kamu putusin Wendy sekarang juga," perintah papanya."T-tapi Pa.""Papa beri waktu sampai besok buat kamu putusin Wendy. Atau jabatan kamu saya turunin," ancam papanya. Mendengar ucapan papanya, Aiden ingin marah. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Papanya memang belum resmi memberikan perusahaan itu kepadanya. Dia hanya bertugas mengolah bisnis yang sudah dibangun orang tuanya.Sangat disayangkan jika Aiden harus turun dari jabatannya sekarang. Meskipun ia sudah memiliki beberapa bisnis kecil. Namun, itu tidak sebanding dengan jabatan di perusahaan papanya.Dengan berat hati Aiden pun mengangguk, mengartikan jika dia akan memenuhi perintah Papanya.Kedua orangtuanya langsung berdiri dan kembali ke kamar Dea. Tinggal Aiden yang terduduk di atas sofa dengan frustasi."Sial!" ucapnya dengan tangan yang mengepal erat.Pikirannya menjadi kalut karena diperintah
"Tapi kenapa Dea?" tanya Aiden kebingungan.Devano menundukkan kepalanya."Gua gak tau Den. Sekali liat Dea gua langsung berdebar-debar, terutama sorot matanya.""Ada apa dengan sorot matanya?" tanya Aiden penasaran."Ketulusan, kesedihan, ahhh...! Gua gak tau, tapi gua suka sama sorot mata Dea." Devano mengucapkan kalimat itu dengan bibir yang tersenyum.Ini pertama kali Aiden melihat ekspresi Devano yang seperti itu. "Sorry, seharunya gua gak ngomong kayak gini ke elu. Tapi karena lu dan Dea cuma nikah kontrak, gua masih punya kesempatan kan?" tanya Devano menatap mata Aiden.hening, Aiden terpaku dengan pernyataan Devano."Ekhem..." deham Aiden memecah keheningan. "Yaa... ada kesempatan.""YES!" girang Devano dengan mengepalkan tangannya semangat.Aiden tidak bisa berkata apapun. Ada banyak hal yang sangat terduga akhir-akhir ini.Pikirannya blank, tidak tau apa yang harus dilakukannya."Ekheemmm... Gua bakal nunggu urusan kalian sampai selesai Den. Jadi gua nggak bakal ganggu per
"Argghhh!!!!" erangnya frustrasi. Dea yang hanya perempuan biasanya kini dihadapkan kenyataan yang tak terduga. Ia sudah didapuk sebagai ketua organisasi mematikan di negara ini, sangat di luar nalar. Bahkan ayahnya tak mengatakan apapun soal ini, bekal pengetahuan menjadi seorang ketua pun terasa sangat memusingkan."Sial! Kenapa sangat rumit!" kesalnya sembari menyamakan kode yang ada di layar ponsel dan laptop. Mr. Bad dari kemarin mengirimkan rentetan kode untuk mengakses sistem organisasi, tapi hingga sekarang Dea hanya berhasil memecahkan empat kode. Masih tersisa enam kode.'Krruuukkkk...' suara perutnya menggelegar di telinganya."Hahh... aku lupa tidak makan dari kemarin, kita akhiri kerjaan konyol ini dengan makan sepuasnya."Ketika membuka pintu kamar, Bik Asih, Rara, dan Nina sedang berjalan ke arah kamarnya. Dea tertegun melihat troli dengan berbagai hidangan di atasnya."Non," sapa Bik Asih dengan senyum semringah. Wanita paruh baya itu nampak lega melihat kemunculan Dea
Dua orang tersebut merasa curiga ketika melihat mobil yang terparkir di halaman rumah. Mereka yakin jika Pak Hando tidak memiliki keluarga satupun. Itu pasti seorang tamu. Dea dan Toni mengamati gerak gerik keadaan rumah Pak Hando dari dalam mobil.Namun, semakin ditelisik mata Dea melebar ketika melihat salah satu lelaki sedang membawa senjata di depan pintu masuk. Pria berbadan tegap dengan warna kulit gelap berjalan mengitari rumah dengan was-was."Ton, kamu di sini dulu.""Saya akan ikut Nyonya.""Jangan!" tolak Dea. "Tunggu di sini selama 15 menit, jika selama itu aku belum keluar dari dalam rumah. Segera ke Mr.Bad.""T-tapi.""Ikuti perintahku, jangan banyak tanya."Dea langsung turun dari mobil, tak lupa membawa kotak makanan yang ia siapkan untuk Pak Hando. Dadanya berdetak cukup kenjang ketika kakinya menjangkah ke dalam pekaran rumah. "Siapa itu?" tanya seseorang yang tiba-tiba keluar dari dalam rumah."Dea, keponakannya Pak Hando.""Pak Hando tidak memiliki keponakan. Jang
Mendapat sergapan dari majikan laki-lakinya, membuat Toni kebingungan harus menjawab apa. Nyonya muda memintanya untuk menyembunyikan peristiwa hari ini.Sedangkan Aiden kini dalam mode geram."Maaf Tuan, saya tidak bisa menjawab. Anda bisa menanyakan langsung pada Non Dea. Namun, keadaan Non Dea menjadi drop lagi kemungkinan besar karena tidak sarapan dan meminum obat," jelas Toni."Trus tadi kemana saja?""Ke rumah teman Non Dea.""Laki-laki atau perempuan?" selidik Aiden."Perempuan dan laki-laki.""Kamu merahasiakan sesuatu pada saya?"Toni diam, enggan membuka suaranya."Great!" Aiden mengangguk-anggukan kepalanya. "Ternyata kamu sudah berkomplotan dengan Dea."Toni hanya mampu menelan salivanya."Sekarang kamu bisa istirahat, keluar.""Saya dipecat Pak?" Toni shock dengan kata keluar."Tidak, beristirahatlah. Kamu sudah menemani Dea seharian," jelas Aiden. Ia tidak bermaksud memecat Toni."Baik Tuan, terima kasih." Toni undur diri dari hadapan Aiden. Aiden hanya bisa menghela na
Pembicaraan semalam membuat Aiden termenung pagi ini. Makanan di depannya sedari tadi teranggurkan karena Aiden sibuk dengan pikirannya."Memang ada yang melarang?" Pertanyaan ini sukses membuat Aiden tidak fokus.Ia ingin menyakan hal ini lebih mendalam pada Dea. Namun, setelah melontarkan pertanyaan itu Dea tertidur pulas di samping Aiden. Aiden tidak bisa menanyakan lebih jelas lagi. Ditambah ketika bangun tidur Dea sudah menghilang dari kamarnya.Bik Asih menghampiri Aiden."Tuan, apa sarapannya perlu diganti?" "Tidak," tolak Aiden. "Dimana Dea?""Non Dea pergi dengan Toni.""Ini masih pagi dan dia sudah pergi?""Maafkan saya Tuan, tadi sudah saya larang. Namun, Non Dea tidak mendengarkan saya.""Pergi kemana Dea?"Bik Asih menggelangkan kepalanya. Aiden menghela nafasnya dan segera menghubungi Dea.Namun, telepon itu tidak tersambung. Ia beralih menghubungi Toni. Hasilnya sama saja, di antara mereka tidak ada yang bisa dihubungi.Aiden emosi karena Dea pergi tanpa pamit padanya
Mendengar tawaran Papa membuat Aiden pusing. Ia tidak tahu jika Orangtuanya secara diam-diam mendirikan perusahaan baru.Namun, persyaratan yang diberikan Papanya terasa sangat gila. Bagaimana bisa dia memberikan cucu pada orangtuanya? Sedangkan dalam perjanjian yang tertera dalam kontrak pernikahannya hal itu tidak akan terjadi."Jadi bagaimana Aiden? Kamu menerima tawaran ini?" tanya Kusuma."Uhh... Aiden belum terpikirkan Pa. Beri aku sedikit waktu untuk memutuskannya.""It's okay boy, tidak masalah. Kamu harus merayu Dea agar Papa segera menimang cucu." "Emm... Aku tidak yakin," ucap Aiden ragu."Papa sudah tidak sabar mendapatkan cucu dari kamu. Hanya kamu harapan Papa. Kami tidak bisa mengharapkan cucu pada Kakakmu."Yaa... Kakak Aiden hingga sekarang enggan untuk menikah. Dan dia memilih kabur ke Amerika mendirikan perusahaannya sendiri disana.Meskipun setiap tahun kakaknya pulang ke Indonesia, namun dia hanya menciptakan berbagai keributan di keluarganya.Kusuma menepuk dada
Aiden terbangun, diliriknya Dea kini masih tertidur di sampingnya. Ketika ia mengalihkan pandangannya ke langit-langit kamar."Sudah bangun?" tanya Dea dengan mata yang tertutup. Aiden terkaget mendengar pertanyaan itu."Ya, sudah. Kamu tidak tidur?""Tidak, aku sudah tidur cukup lama.""Emm okay." Aiden merasa sangat canggung berada satu ranjang dengan Dea setelah mengetahui perasaan Devano."Intropeksi dirilah Aiden, jangan membuat orangtuamu khawatir."Aiden termenung mendengar perkataan Dea. "Cinta memang tidak bisa dipaksa, tapi perhatikan juga orangtuamu. Kebahagiaan tidak hanya soal wanita," lanjut Dea dengan mata yang masih tertutup.Aiden menatap langit-langit kamarnya dengan mulut terbungkam. "Dari awal kamu memiliki pilihan, kamu bisa menolak pernikahan ini untuk mengejar cintamu. Tapi kamu lebih memilih menikah denganku. Jadi, seberapa besar cintamu pada Wendy?"'Seberapa besar cintaku pada Wendy?' tanya Aiden pada dirinya sendiri. Aiden tidak bisa menemukan jawabannya.
"Tapi kenapa Dea?" tanya Aiden kebingungan.Devano menundukkan kepalanya."Gua gak tau Den. Sekali liat Dea gua langsung berdebar-debar, terutama sorot matanya.""Ada apa dengan sorot matanya?" tanya Aiden penasaran."Ketulusan, kesedihan, ahhh...! Gua gak tau, tapi gua suka sama sorot mata Dea." Devano mengucapkan kalimat itu dengan bibir yang tersenyum.Ini pertama kali Aiden melihat ekspresi Devano yang seperti itu. "Sorry, seharunya gua gak ngomong kayak gini ke elu. Tapi karena lu dan Dea cuma nikah kontrak, gua masih punya kesempatan kan?" tanya Devano menatap mata Aiden.hening, Aiden terpaku dengan pernyataan Devano."Ekhem..." deham Aiden memecah keheningan. "Yaa... ada kesempatan.""YES!" girang Devano dengan mengepalkan tangannya semangat.Aiden tidak bisa berkata apapun. Ada banyak hal yang sangat terduga akhir-akhir ini.Pikirannya blank, tidak tau apa yang harus dilakukannya."Ekheemmm... Gua bakal nunggu urusan kalian sampai selesai Den. Jadi gua nggak bakal ganggu per
"Aku milih Dea Pa," jawab Aiden sedikit tercekat. Hatinya terasa sangat berat, namun dia tidak bisa melawan."Kalau begitu, kamu putusin Wendy sekarang juga," perintah papanya."T-tapi Pa.""Papa beri waktu sampai besok buat kamu putusin Wendy. Atau jabatan kamu saya turunin," ancam papanya. Mendengar ucapan papanya, Aiden ingin marah. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Papanya memang belum resmi memberikan perusahaan itu kepadanya. Dia hanya bertugas mengolah bisnis yang sudah dibangun orang tuanya.Sangat disayangkan jika Aiden harus turun dari jabatannya sekarang. Meskipun ia sudah memiliki beberapa bisnis kecil. Namun, itu tidak sebanding dengan jabatan di perusahaan papanya.Dengan berat hati Aiden pun mengangguk, mengartikan jika dia akan memenuhi perintah Papanya.Kedua orangtuanya langsung berdiri dan kembali ke kamar Dea. Tinggal Aiden yang terduduk di atas sofa dengan frustasi."Sial!" ucapnya dengan tangan yang mengepal erat.Pikirannya menjadi kalut karena diperintah
Keadaan Dea semakin membaik, sudah lima hari dia opname di rumah sakit. Hari ini dia diperbolehkan dokter untuk pulang. Semua orang sibuk mempersiapkan kepulangan Dea, termasuk mertua dan oma.Aiden hari ini ijin tidak masuk kerja untuk menemani istrinya. Hal ini dia lakukan karena kedua orangtuanya juga ikut menjemput Dea. Seandainya jika tidak ada orangtuanya, kemungkinan besar Aiden memilih untuk masuk kerja karena ada meeting yang sangat penting di kantor."Udah?" tanya Aiden pada Dea yang duduk di atas ranjang. Dea sudah bersiap untuk keluar dari kamarnya. Semua orang kini sedang sibuk mengemas barang istrinya."Udah," jawab Dea."Kuat jalan? atau mau aku gendong?" tanya Aiden yang bersiap menggendong Dea."Aku jalan aja. Bik..." panggil Dea pada Bik Asih yang sedari tadi sibuk dengan tas milik Dea."Eh... Iya Non." Bik Asih yang sedari tadi sibuk dengan mengemas barang langsung menghampiri Dea."Biar aku saja Bik," sergah Aiden.Mama dan Ayah mertua memperhatikan sepasang keka