Senyuman pada wajah Joo dan Lee membuatku ikut tersenyum tipis, rasanya nyaman mendapati mereka tertawa senang seperti demikiran. Aku pun tak kalah senangnya, siapa yang tak sennag di terima di Universitas ternama yang sudah diimpi-impikan semua siswa tingkat akhir? Termasuk diriku, Lee dan Joo yang memang tidak ada dalam pengecualian.
Pengumumannya sekitar tiga puluh menit yang lalu, namun rasa senang yang menguar masih sangat kental. Ada rasa bangga tersendiri bagi kami bertiga. Masuk ke dalamnya sangat sulit, persaingan yang ada juga pastinya sangat ketat.Tuhan, terima kasih hadiahnya. Aku benar-benar menyukainya. Rasa syukur tak berhenti kuutarakan pada sang pembuat semesta, aku tersenyum haru saat Lee kembali menatapku dengan senyuman lebranya, ia pasti sangat tidak percaya. Lee juga sudah menhubungi sang bunda perihal kabar baik ini, Joo dan diriku turut merasakan senang melihatnya.“Ayo pergi, kita harus mempersiapkan segala sesuatu untuk awal kuliah kitTak ada yang berbeda dengan rasa nyaman sekaligus tegang saat tubuhku hanyut menuju dunia pikiran. Aku mulai memejamkan mata kala tubuhku mulai berekasi menuju dunia lain untuk ke sekian kalinya, sedangkan kedua tangankau kubebaskan mengudara sesuai gravitasi yang ada di tempat pijakanku saat ini.Sedetik berikutnya, aku membuka mata kala merasakan kedua telapak kakiku menapak pada rerumputan khas di dunia pikiran. Aku mengedarkan pandnagan mencari Athala, namun suara sepeda yang dikayuh dari arah belakang membuat tubuhku berputar seratus delapan puluh derajat. Tertampang di sana, Athala melambai-lambaikan tangan kanannya dengan kedua kaki yang masih setia mengayuh sepeda kuno miliknya. Senyuman pada wajahku ikut terbit tanpa berpikir lama, aku reflek berlari kecil ke arahnya tanpa memperdulikan keadaan.Bak kesialan yang menerpa begitu saja, aku tersandung kakiku sendiri yang tak terbalut apapun, aku mendelik saat merasakan tubuhku terhuyung ke depan dan siap membentur ta
Rasanya tak menyangka bila tubuhku kini benar-benar berpijak di depan gedung fakultas sastra indonensia universitas ternama di Jakarta. Senyumanku tak pudar, rasa haru dan sedih menyeruak menjadi satu. Ada sedikit kegelisahan karena diriku menapak pada tempat ini dengan susah payah, aku inagin mewujurdkan keinginan terakhir nenek. Beliau ingin cucu tersayangnya masuk ke jenjang perkuliahan dan lulus dengan waktu yang di tentukan.Aku tak pernah diberatkan dengan keinginan wanita paruh baya itu, walaupun kini beliau tidak ada, rasanya masih sama. Ada kesenangan tersendiri bila menyelesaikan sesuatu dengan pikiran tertuju menuju wanita renta itu.Langkah kakiku kembali berjalan menaiki satu persatu anak tangga yang terdapat di depan gedung besar ini, senyuman pada wajahku dibalik masker yang kukenakan tak kubiarkan luntur.Aku mengambil jurusan sastra indonesia, sedangkan Lee dan Joo bak menjadi selpasang manusia yang tak ingin dipisahkan memilih menyayomi Akuntas
Aku berjongkok di depan gundukan tanah dengan nisan yang bertuliskan nama almarhumah nenek. Wajahku tersenyum manis, setelahnya meletakan bunga lily putih di samping nisan. Selesai berkunjung ke makan Ibu dan Ayah, aku memutuskan untuk mengunjungi makam beliau juga walau jarak antar makamnya cukup jauh. Terlepas dari hal itu, apapun pasti kulakukan bila itu menyangkut perihal nenek.Tanganku menuju nisan batu bertuliskan namanya, mengusapnya perlahan dengan rasa sayang tanpa melunturkan senyuman pada wajah yang terbit seketika kala mengungat kehadirannya. Aku tak merasa pandai, tetapi berada di rumah terakhir sekaligus tempat peristiratahannya membuat tubuhku sedikit rilex. Seperti ada nenek yang ikut serta berjongkok di sisi tubuhlku, ya walaupun aku tidak tahu bagaimana kebenaran yang kuragukan betul atau tidaknya.“Selamat sore, nek.” Aku berkata masih dengan tangan yang mengusap nisan batu itu dengan gerakan naik-turun. Netraku tak berpaling dari obje
Semilir angijn sore menerpa rambut panjang tergeraiku, poni di masing-masing sisi kepakaku sesekali bergerak seirama dengan gerakan tubuhku yang sibuk mengangguk-angguk singkat menikmati musik lama yang beberapa hari ini senang kudengar di waktu luang. Earphone yang terpasang di kedua telingaku rupanya tak membuat semua suara yang tercipta di sekitarku padam. Aku mendengar deru kendaran beroda enam itu mendekat dan berhenti tepat di depan halte yang kusinggahi saat ini. Aku kangsung mengecilkan volume musik yang masih kudengar tanpa memberhentikannya. Sama halnya dengan penumpang lain yang beranjak dan emmasuki bus lewat pintu depan dan pintu belakang, aku menjadi manusia terakhir yang naik ke dalam bus sore ini. Arloji pada pergelangan tanganku menunjukan pukul 17.00 WIB pas, aku tak perlu risau dan terburu-buru karena takut hanyut menuju dunia pikiran di tengah perjalanan menuju kursi duduk.Senyuman terukir pada wajahku kala menemukan tempat duduk kosong di sisi jendela, aku
Netraku terbuka tiba-tiba dengan keringat membanjiri dahi, kedua bola mataku kemudian bergulir untuk mengecek keberadaan tubuhku yang menapak kali ini.Syukurlah, bus sampai pas di depan halte yang biasanya aku turun saat ingin pulang ke rumah, aku bergegas bangkit dan menuju pintu belakang yang lebih dekat untuk keluar dari kendaraan beroda enam ini bersama beberapa manusia dengan tujuan yang sama.Aku tak berjalan sama sekali sampai bus yang beberapa waktu lalu kutumpangi berlalu melepas diri dari jalanan malam yang ramai kendaraan.Embusan napas keluar dari mulutku begitu saja, memillih mendudukan diri di ats besi panjang yang menjadi tumpuan siapapun yang singgah di sini. Mataku terpejam semua, sekelibat bayangan tentang dialogku dengan Athala di dunia pikiran membuat konsentrasiku pada apapun bungkan tiba-tiba. Perasan aneh dan senang mendea tiba-tiba di waktu yang sama.Flashback on.“Jadi, dimana Tha?” tanyaku untuk kali keduanya atas pert
Kantin menjadi tempat utama kami setelah kelas pertama hari ini berakhir. Aku, Lee dan Joo menduduki salah satu kursi panjang dnegan meja yang tersedia di kantin luas lantai dua dengan netra yang sesekali bergulir menatap keramaian yang kini memadati sebagian ruang penuh aneka makanan.“Kau ingin makan apa, Lu?” tanya Joo yang sepertinya mengalah dan memilih memesankan makanan kami bertiga. Aku berpikir sebentar sebelum melontarkan persananku pada laki-laki berkemeja fanel warna merah tua itu.“Nasi goreng saja,” finalku setrlah berpikir ingin memakan nasi goreng atau bakso.Aku melirik Lee yang kini mengangagukk-anggukan kepalanya seraya tersenyum lebar, “Samakan pesananku dengan Lu ya, sayang!” ujarnya dengan riang yang langsung ditanggapi sang kekasih dengan senyuman dan usapan sayang pada puncak kepala.Helaann napas keluar dari mulutku, sudah tak kaget bila dua manusia di depanku tengah beradu kemesraan tanpa melihat
“Mbak ini pesanannya!” terikan pelayan itu mengudara saat langkah kakiku ingin mengejar sosok Athala di dunia nyata. Aku langsung menoleh ke belakang, menatap palayan Caffe yang kini menatapku dengan pandangan aneh secara terang-terangan.Kali ini aku tidak ingin memuturkan waktu untuk memperdebatkan suara hal kecil seperti ini dan berakhir kehilangan langkah panjang Athala di dunia nyata. Dengan gerakan yang cukup tebilang buru-buru, aku menggerogoh saku celana jeans yang kupakai dan menyodorklan selebaran rupiah berwarna biru itu tanpa menatap sang empu. Sedangkan minuman pesananku yang sudah berada di dalam box kemasan untuk pesanan luar langsung kurampas begitu saja. Aku lebih dulu membenarkan tas slempangku setelah mengucapkan terima kasih pada pelayan wanita yang kurasa masih menatapku dengan pandangan tidak tahu menahunya. Presetan dengan pandangan orang-prang terhadapku, yang ingin kulakukan hanyalah mencari sosok laki-laki dunai pikiran yang baru-baru
“Andalusia!” Seruan itu yang pertama kali aku dengar saat sesi bersamaku dengan Antaha di dunia pikiran habis. Aku membuka kedua kelopak mata, menatap sekeliling dengan pandangan waspada takut-takut karena mendengar panggilan itu untuk kali ke tiganya.Aku tersentak dan langsung terduduk saat menyadari kehadiran Lee dan Joo yang kini menatapku dengan kerutan pada dahi yang sangat jelas. Aku menghela napas lega melihat manusia yang memanggil namaku beruntun tiga kali, aku pikir kini aku bertambah kekuatan dan menjadi indigo secara tiba-tiba.“Kau aneh seklai,” ujar Joo yang terdengar seperti sindiran, jangan lupakan senyuman sinisnya yang dilayangkan lengkap dengan kedua tangan yang bersedekap dada. Mendengar hal itu, aku memutar bola mata malas, meneladeni Joo kini bukan yang kuinginkan. Yang ada dalam benakku sekarang hanyalah mengapa mereka bisa masuk ke dalam rumahku? Seingatku pintu utama sudah kukunci rapat-rapat sebelum memutuskan berbaring ny