“Mbak ini pesanannya!” terikan pelayan itu mengudara saat langkah kakiku ingin mengejar sosok Athala di dunia nyata. Aku langsung menoleh ke belakang, menatap palayan Caffe yang kini menatapku dengan pandangan aneh secara terang-terangan.
Kali ini aku tidak ingin memuturkan waktu untuk memperdebatkan suara hal kecil seperti ini dan berakhir kehilangan langkah panjang Athala di dunia nyata. Dengan gerakan yang cukup tebilang buru-buru, aku menggerogoh saku celana jeans yang kupakai dan menyodorklan selebaran rupiah berwarna biru itu tanpa menatap sang empu. Sedangkan minuman pesananku yang sudah berada di dalam box kemasan untuk pesanan luar langsung kurampas begitu saja. Aku lebih dulu membenarkan tas slempangku setelah mengucapkan terima kasih pada pelayan wanita yang kurasa masih menatapku dengan pandangan tidak tahu menahunya. Presetan dengan pandangan orang-prang terhadapku, yang ingin kulakukan hanyalah mencari sosok laki-laki dunai pikiran yang baru-baru“Andalusia!” Seruan itu yang pertama kali aku dengar saat sesi bersamaku dengan Antaha di dunia pikiran habis. Aku membuka kedua kelopak mata, menatap sekeliling dengan pandangan waspada takut-takut karena mendengar panggilan itu untuk kali ke tiganya.Aku tersentak dan langsung terduduk saat menyadari kehadiran Lee dan Joo yang kini menatapku dengan kerutan pada dahi yang sangat jelas. Aku menghela napas lega melihat manusia yang memanggil namaku beruntun tiga kali, aku pikir kini aku bertambah kekuatan dan menjadi indigo secara tiba-tiba.“Kau aneh seklai,” ujar Joo yang terdengar seperti sindiran, jangan lupakan senyuman sinisnya yang dilayangkan lengkap dengan kedua tangan yang bersedekap dada. Mendengar hal itu, aku memutar bola mata malas, meneladeni Joo kini bukan yang kuinginkan. Yang ada dalam benakku sekarang hanyalah mengapa mereka bisa masuk ke dalam rumahku? Seingatku pintu utama sudah kukunci rapat-rapat sebelum memutuskan berbaring ny
Dua mata kuliah hari ini selesai, aku mengembuskan napas lega sembari menapakan kedua telapak kaki pada tangga menuju lantai satu. Sesekali netraku mengedar berharap Lee dan Joo sudah selesai dalam kelasnya dan ikut pulang bersamaku, setidaknya menghabiskan makan siang bersama pun tidak masalah yang besar. Lagi pula kini waktunya berbeda, kami sudah jarang menghabiskan wakut bersama di dalam keadaan kampus luas nan penuh dengan manusia-manusia sibuk dengan tumpukan kertas.Namun saat menggapai tangga terakhir hingga kedua kakiku menapak pada lantai satu fakultas, dua manusia itu tak ada di sekitar sini. Aku menyimpulkan bila mereka belum selesai menyelesaikan kelas mereka yanga memang terbilang lebih seerius dibandingkan dengan diriku.Saat-saat seperti ini, aku memang selalu meminta mereka beruda untuk tidak terlalu berada dalam jeratan kemesraan. Suasananya sudah jelas berbeda, hidup beranjak naik dengan rintangan yang kian membesar. Namun berkata sedemikian
Rasanya tak percaya dengan skenario Tuhan yang terasa dan tampak tak mudah di depan mataku kali ini. Aku duduk berhadapan dengan athala yang kini juga sedang menatapku dengan senyuman yang sejak beberapa manit yang lali tak luntur. Aku merasakan deruan napas miliknya menerpa dengan lembut pada permukaan wajahku yang kali ini memilih bungkam dan berperan pasif.Agaknya tak percaya dengan harpanku di dunia pikiran yang menjadi kenyataan di dunia nyata. Mataku kembali memanas saat mengingatnya, ia benar-benar Athala. Aku tidak berada di awang-awang dunia yang biasanya memepertemukan antar diriku dan aAthala.“Lu?” panggilnya dengan kedua alis yang terangkat saat menyadari diriku tidak dalam keadaan yang tenang untuk mendengarkan deretan kalimat yang keluar dari mulutnya.Aku tersadar begitu saja, kemudian Athala yang kini masih emnampilkan wajah tenagnya seolah pertemuan pertama kami di dunia nyata tak sama sekali membuatnya canggung atau memeras atak e
Helaan napas lelah keluar dari multuku saat selesai menyelesaikan cucian bajuku sendiri dan menjemurnya di halaman samping. Dengan keringat yang meluncur dengan deras karena sinar matahari pagi yang hari ini bersinar dengan kemilaunya aku menyeka keringat menggunakan lengan kananku. Sementara satu tangan yang lainnya sibuk mengipasi diriku sendiri walau tahu hasil yanga kurang memuaskan.Aku melangkahkan kaki menuju ruang tamu tanpa berniat menuju kamar untuk sekeda mendunginkan tubuh. Sesekali kedua bola mataku mengedar mencari debu yang mungkin saja masih menempel pada satu benda yang lainnya. Aku tak bohong bila akhir-akhir ini merasa pikun, selalu melupakan sesuatu bila kekelahan mendera.Langkah kakiku berjalan menyusuri tapakan keramik putih yang berbunyi seirama dengan sandal rumahanku yang kini kembali terpakai. Tubuhku terduduk di atas singgle soffa depan pintu utama dengan kedua piantu rumah yang terbuka lebar, menetralkan deru napas yang memburu karena tig
Gedung pelatihan berenang kini bukan lagi tempat pilihan yang harus dikunjungi tiga hari sekali. Suasanyanya cukup hening dikarenakan tibanya aku di gedung besar ini terlalu pagi. Walau ada beberapa manusia yang sedang berenang bolak-balik sembari mengitari kolam renang dengan berbagai gaya berenang. Aku tak menjadikan gedung ini sebagai pilihan, melainkan sebuah keharusan. Melihat yang aku sukai hanyalah bermain air aku hanya bisa berusaha untuk mengembangkan hal-hal yang kusukai.Kedua langkah kakiku bergerak mendekati kolam untuk mengecek suhu air di dalamnya. Takut-takut air di dalamnya tak cocok dengan kondisi tubuhku yang kini memang terasa tidak enak. Setelah memastikan airnya tidak terlalu dingin, kedua langkah kakiku ini kembali berjalan menuju ruang ganti untuk mengganti baju yang kugunakan menjadi pakaian berenang yang biasanya kupakai di saat berda di tempat ini.Lee dan Joo masih sibuk dengan kuliah mereka sekarang ini, dibanding dengan diriku sendiri mereka b
Bukit tak jauh dari pusat kota, tempat itu yang dituju oleh Athala saat kami memutuskan menghabiskan waktu betsama setengah hari ini. Setelah memastikan laki-laki itu turun dan melepas helm yang dipakainya, aku ikutturun dnegan tangan yang memegangi jok depan untuk berjaga-jaga agar tidak terjatuh.Mataku mengedar, setelahnya berdecak kagum saat menyadari luas bukit ini dengan pemandangan yang sangat apik. Aku beralih menatap laki-laki yang membawaku kembali dengan kedua alis yang terangkat saat merasakan tangan kananku ia tautkan dengan tangannya yang lain. Senyuman yang terpatri pada wajah milih Athala membuatku langsung meneguk ludah. Siapapun pasti akan luluh melihatnya, dan aku sudah terlalu terbiasa dengan hal yang sedemikian.“Mengapa menautkan jarimu?” tanyaku dengan kerutan pada dahi yang sangat ketara. Athala langsung menanggapi ucapanku yang beberapa detik lalu terlontar dengan kekehan pelan, ia melirik ke sekitar sebelum mengeluarkan suaranya.
Hari kembali berjalan semestinya, kedua langkah kakiku membawaku menuju keluar dari gedung fakultas setelah kelas pada hari ini berjalan lancar dan berakhir pada pukul empat sore. Aku belum menceritakan pada kalian perihal apa yang terjadi dengan dunia pikiran setelah Athala dan diriku bertemu di dunia nyata. Ada rasa sesal yang merelung dan sesak yang tak tampak saat kembali mengingat du nia pikiran, kali aini aku tak lagi punya kesempatan untuk pergi ke sana setiap harinya pada pukul 17.17 Wib pada seperi hari-hari sebelumnya.Dunia pikiran sepertinya sudah tak lagi emnampungku dan Athala, dunia itu ternyata salah satu bentuk Tuhan paling baikuntuk menmertemukan dua manusia yang terikat takdir sejak belum dilahirkan. Itu simpulan yang Athala berikan dan Athala pikirkan jauh-jauh ahri sbeluk kami berdua dipertemukan di dunia nyata.Flashback on.Deru motor kuno yang kutunggangi bersama Athala bertenti tepat di depan taman ramai dnegan gerlap-kerlip lampu yang meneran
Dua hari berlalu begitu saja, ini hari ke tiga Lee berada di rumah sakit setelah tiga hari ia dimintai untuk rawat inap lantaran penyakit magh-nya kambuh setelah sekian lama tidak menghilang tak mendera.Kedua langkah kakiku berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan suasana sedikit ramai dan sedikit sepi. Hanya ada beberapa suster dan dokter yang hilir masuk atau keluar dari sebuah ruangan ke ruangan yang lain, serta beberapa pasien yang duduk di kursi rode, berjalan menggunakan kedua kaki walau di papah manusia lain, dan ada yang juga yang menikmati kesendiriannya di bangku taman kecil yang ada di dalam rumah sakit cukup besar ini.Tanganku langsung membuka knop pintu kamar yang menjadi ruangan dimana Lee dirawat, namun rupanya gerakanku tak lebih cepat dnegan laki-laki paruh baya berjas putih yang kuingat menjadi dokter Lee selama beberapa hari ini dan seorang suster dengan papan berisi beberapa lembar kertas yang ada di pelukannya. Aku mengangguk sopan, kemudian men