Pekikan histeris bernada sumbang dan tak jelas itu tiba-tiba diserukan.
"Turunin gue! Biar gue diculik Massimo dan bikin gue jatuh cinta."
Supir mobil suv yang sedari tadi hening fokus menyetir juga sekilas melirik kearah wanita bergaun merah yang tengah mengais-ngais jendela mobil dengan tenaga secuil.
Mengigau.
Karena mabuk.
Rambut panjang lurusnya kian kusut, pipi sang gadis merona sempurna, efek alkohol, Jane merengek kecil. Kepalanya berputar dan seluruh isi perutnya bergejolak, apalagi tenggorokannya terasa panas.
Tentu saja, lagian siapa yang tidak akan kobam begitu? Setelah benar-benar memberi kecupan untuk permintaan main-main yang diberikan Theo, pramugari jelita itu kembali meneguk dua gelas arak keras.
Dan alasan kenapa dia bisa pulang dengan Theo?
Si sialan Jay ingin membawa istrinya pulang ke hotel tempatnya menginap, dan pertanyaan 'apartmen lo di heathmoon kan?' Dari Jay menjadi kan Theo tidak dapat menolak, ia tau otak si bengal itu.
Jane meraih botol minuman mineral yang isinya tinggal separuh, membuka tutup sambil menutup mata lalu ditegaknya secara tidak sabar air itu. Kemudian kembali tertidur.
Si pemilik suv dan juga air putih itu diam saja. Hanya sesekali menoleh, menghembuskan napas pelan. Memarkirkan mobilnya sebelum suara kembali terdengar bersamaan dengan tangannya mematikan mesin mobil.
"Lu mau jadiin gue Dakyung versi low budget?"
Theo mengerjap dua kali.
Seratus persen tidak mengerti arti dari kalimat yang ditanyakan tetangganya itu sekaligus bertanya-tanya kapan gadis ini bagun.
"Sudah sampai, turun, saya antar sampai unit kamu."
Theo melepas sabuk pengaman miliknya, hendak turun, namun melihat Jane yang tidak kunjung bergerak dan setia menatapnya sinis Theo mengeluarkan helaan napas lagi, keluar dari mobil, lalu berjalan membuka pintu penumpang.
Theo membuka sambuk pengaman Jane. Membantu gadis yang sudah sempoyongan itu keluar mobilnya.
"Jangan pegang-pegang!" Selak Jane garang, suaranya sengau.
"Tidak akan, kalau kamu langsung turun waktu saya bilang turun," balas Theo santai sembari menyambar blazer hitam yang tergolek kusut dikursi mobilnya, lalu menyampirkan blazer itu ke bahu Jane, dan menjejalkan siletto tinggi pada jemari milik gadis itu.
Setelahnya Theo melangkah. Menekan kunci mobil tanpa menoleh kebelakang.
Lalu derap langkah kecil terdengar dibelakangnya, dan terasa agak jauh, membuat Theo ikut memelankan langkah namun tidak berhenti.
Hingga sampai di elevator Theo menunggu Jane yang masih tertinggal, menahan pintu lift agar tetap terbuka.
Ketika melihat Theo ternyata menungguinya Jane mendecak, tangannya garuk-garuk kepala seraya memasuki lift.
Dan jemari panjang Theo langsung menekan angka lima belas. Lantai unit mes pramugari Jane berada.
Jane tidak putus menatapi pria dewasa berkemeja navy itu, bukankah dia terlalu santai? Sok cool, datar, tidak peduli dan juga tampan? Sumpah meski sudah tau seberapa brengsek Theo tapi Jane masih menganggap pria itu rupawan?
Merasa dipandangi, Theo melirik gadis yang tengah bersandar dengan lengan terlipat dipojok lift.
"Lo jangan macem-macem sama gue ya, bapak gue polisi! Eyang gue TNI, kalo gak mau ditembak jauh-jauh lo."
Dan Theo langsung menghadap depan kembali tanpa terusik. Memangnya siapa yang akan peduli dengan omongan gadis mabuk.
Jane mendecak kembali, mata sipit yang setengah terbuka itu terus saja kelihatan sinis.
"Lo mending beli treadmil, sebelum diprotes warga. Tau nggak? Lo seksi mampus kalo lagi jogging."
Theo lagi-lagi tak menjawab kata-kata itu. Menjejalkan tangan ke saku celana lalu.
"Gua juga seksi. Makanya gak boleh jogging keliling komplek." Suara dan perkataan Jane makin terdengar tak jelas.
Gadis bermata sipit itu menggaruk-garuk kepala.
"Eh iya, lo ada teman cowok gak? Emm yang bening."
Tanpa melirik Theo menyahut pelan. "Bihun?"
Jane mengerjap macam orang bodoh. "Boleh, sini minta nomor hapenya, buat nemenin ke tunangan adek- ish!" Jemari lentiknya dibawa berkeliling tubuh sendiri. "Hape gue mana, sih!"
Mendengar itu Theo langsung menoleh, menatap sekilas gadis yang tengah sibuk menggerayangi diri sendiri seakan ada kantong besar digaun tipis yang ia kenakan.
Handphone Jane pasti tertinggal di mobilnya.
"God bless my sexy brain!" Pekikan Jane terdengar seperti orang mendapat Ilham. Wajah yang separuhnya tertutup rambut itu mendongak. "Bicep! Lo belom balikin mangkok gue."
Bersamaan dengan helaan napas yang sudah entah keberapa kalinya Theo keluarkan itu pintu lift terbuka.
Dan Theo menarik pergelangan tangan Jane yang malah diam saja. Dibawa keluar lift, kemudian Theo berkata. "Masuk dulu. Nanti saya ambilkan hp kamu."
Tanpa menunggu jawaban, Theo kembali memasuki lift, mengarahkan pada lantai paling bawah, menuju tempat parkir lalu mengambil tas perempuan berukuran kecil disela-sela tempat duduk mobilnya.
Merepotkan? Tentu, tapi dia juga ikut andil dalam menyebabkan mabuknya Jane dengan membalas kesinisan gadis itu padanya yang kurang Theo mengerti untuk alasan apa.
Apa karena Theo tidak mengenal wajahnya dan mengira Jane itu penyanyi atau aktris? Jane tersinggung?
Atau karena kemarin pagi dia memanggil tetangga itu dengan sebutan mbak?
Atau mungkin karena mangkuk kaca yang waktu itu berisi pecak lele belum dikembalikan?
Theo menggelengkan kepala. Menatap sekilas tas merah muda ditangannya lalu kemudian bersidakep menunggu pintu lift terbuka.
Dan waktu pintu elevator terbuka, didalamnya ada satu wanita muda, bersandar ke dinding besi.
"Sebegitu tidak percayanya kamu sama saya, sampai harus ikut turun?"
Sambil berkata Theo melangkahkan kaki memasuki lift, dan setelah pintu besi itu tertutup dia menyodorkan tas kecil yang baru saja diambil kepada empunya.
"Lu tau kenapa gue naik benda ini lagi?" Bukannya menerima sodoran tas miliknya, Jane malah mengajukan pertanyaan tak masuk akal dengan pandangan kosong.
Theo menarik kembali tangannya yang pegal karena tak kunjung disambut.
"Naik turun," gumam Jane.
Dan idiotnya Theo masih mau mendengarkan.
"Sensasi diperut gue nggak enak banget, muter-muter, pala gue puyeng, tapi seru."
Theo berkedip lambat, setia mendengarkan. Jadi Jane mual karena mabuk plus pusing sebab lift mengangkat tubuhnya naik?
Tetapi dia rasa itu menyenangkan?
Orang mabuk selalu bicara aneh bukan?
"Hidup gue juga bikin puyeng, gue mual tiap pagi kalo makan makanan enak, gue harus konsumsi salad yang bikin lidah mati rasa, gue langsung collapse kalo nggak olahraga." Jane bergumam lagi, wajahnya tertunduk hingga separuh wajahnya tertutup rambut. "Tapi gue masih mau menjalani karena gue rasa hidup itu seru."
Theo masih saja mendengarkan, dan kali ini pendengarannya dipertajam.
"Kata Maria, hidup gue terlalu sehat." Jane mendongak, menatap Theo dengan mata berkaca-kaca. "Tapi gue nggak ngerasa kalo gue sehat. Kan? Coba kasih tau gua! Mana ada orang normal yang gak bisa makan steak atau pasta! Padahal kan itu enak banget!"
Theo sedikit menunduk, jari telunjuknya menggaruk sekitaran alis yang tidak gatal. Bertanya-tanya kenapa mereka tak kunjung sampai.
Dan sebelum dia sadar. Theo menghela napas lagi. Kemudian jemarinya menekan tombol lantai mana yang mereka tuju. Dari tadi liftnya diam ditempat.
"Saya benar-benar lepas tangan setelah mengantar kamu. Dan semoga besok kamu sudah bisa makan steak juga pasta."
Dan Theo kembali dibuat heran karena gadis yang tadi meratapi nasib padanya menekan angka tiga belas.
Unit Theo berada di sana. Dia masih diam saja. Namun tetap sedikit mengawasi gadis yang tengah menggaruk rambut kepalanya, hingga blazer dibahu Jane jatuh Theo baru mau mendekati Jane, memungut blazer itu dan kembali diselampirkan ke pundak Jane.
Namun Jane menjatuhkan blazer itu lagi, dan malahan gadis itu mulai mengangkat ujung gaunnya keatas, membuat Theo melebarkan mata dan langsung meremat pergelangan tangan Jane, menahan gerakan tangan gadis itu.
"Gerah banget gue!"
Jantung Theo rasanya mau terjun ke perut, ia melirik sudut atas lift, ada cctv disana.
"Kamu bisa lepas semuanya nanti kalau sudah sampai unit kamu, tidak sampai dua menit, bisa sabar?" Suara Theo mendesis, jangan lupa, dia juga sedang menahan kesabaran.
"Lu kok marah, sih," mata Jane memicing, menatap tajam netra bulat yang berjarak satu jengkal darinya itu. Dan dari mata indah itu, pandangan mata Jane beralih turun ke hidung, lalu perlahan turun lagi ke bibir, sampai hingga rahang keras dan juga adam apple tegas terperangkap dimatanya.
Jane melepaskan tangannya dari cekalan Theo.
"Lo seksi kalo marah." Bersama dengan kalimat kecil bermakna besar itu itu diucapkan jemari Jane sudah singgah di atas dada bidang milik Theo.
Theo mencekal pergelangan tangan Jane lagi ketika gadis itu mulai membuat gerakan-gerakan kecil seraya memutari kancing dan meloloskan satu kancing keluar.
Mata besar dan tajam milik Theo memberi sinyal peringatan.
"Emm!" Geram Jane tak suka. "Jangan pelit. Mau liat doang, kok bisa keras banget."
"Kamu mabuk."
"Enggak." Gelengan kepala dilayangkan Jane, gadis muda nan cantik itu mulai mendekatkan diri lebih dekat pada Theo.
Sedangkan si lelaki memilih diam ditempat. Theo bisa merasakan napas hangat menerpa ceruk lehernya.
"Bokong lo juga seksi." Bisik Jane sembari mendusel ke dalam leher Theo, kaki telanjangnya berjinjit agar bisa sampai pada tempat yang diinginkan.
Theo menegang karenanya.
Apalagi ketika jemari lembut pramugari dua puluh delapan tahun itu berhasil meloloskan diri dan mulai mengitari tubuhnya hingga sampai pada punggung yang kokoh. Membuat gerakan naik turun.
Ting!
Saat itu juga Theo mendorong tubuh Jane menjauh. Menarik keluar Jane dari kotak besi itu.
"Saya akan lupakan semua yang terjadi malam ini, yang kamu lakukan di bar dan yang tadi."
"Kenapa?"
"Karena saya laki-laki yang sudah berkomitmen, dan kamu membenci saya, maka teruskan."
Wajah Jane yang sudah memerah itu berubah, gelak tawa mengudara.
"Heh laki-laki yang sudah berkomitmen, gue kemarin liat lo didepan pintu itu." Jane menunjuk salah satu pintu unit. Unit apartemen milik Theo. Membuat Theo sadar bahwa ternyata mereka turun di lantai tiga belas. "Sama cewek cakep. Dia orang keberapa yang lo ajak komit? Hm?"
Kening Theo bergelombang.
Wajahnya tak menunjukkan raut risau kendati ia ingin membantah statmen dari Jane, tapi buat apa juga menjelaskan semua kepada gadis mabuk? Lagipula, mereka tidak dalam hubungan yang membuat Theo harus menjelaskan hal itu bukan?
"It's oke, lets keep that little secret." Jane membuat gerakan menarik zipper di sepanjang celah bibirnya.
Jane kembali mendekati Theo, ia bahkan tidak peduli ataupun ingat siletto dan juga tasnya yang tertinggal di lift, otak sinting yang malam ini dipunya itu tidak memikirkannya.
Lelaki dewasa tulen seperti Theo tentu saja tidak akan mengambil langkah mundur saat dihimpit wanita.
Jane menaikan tangannya pada leher Theo yang hangat. Menggerakkan ibu jari secara halus, memberi afeksi nyata, sementara mata tajam gadis itu setia bertarung dengan lawan yang sepadan.
Hingga jemari halus itu kian tak sopan, tak tau tata krama sampai-sampai berani turun menelusup diantara kancing yang tadi di bukanya.
Kemudian Jane berjinjit, mengecup sudut bibir dingin milik Theo.
Hingga dengan leluasa Theo dapat menghirup lagi aroma peach yang menguar dari tubuh Jane.
Merasa kecupannya tak terbalas Jane kemudian berbisik sembari mengulas senyum kecil. "Kenapa? Setelah dapat ciuman dari gue, lo masih bisa mengingat cewek yang komit sama lo?"
Tatapan mata Theo menajam.
"Yang pertama, kamu mabuk setelah minum empat gelas alkohol."
"Gue gak mabok."
"Yang kedua, meski saat ini kamu mabuk saya yakin kamu akan tetap ingat semuanya besok."
Jane mengerjap pelan.
"Yang ketiga, meski kamu ingat semuanya, kamu akan tetap menyalahkan saya kalau hal yang kamu inginkan saat ini benar-benar terjadi."
"Yang keempat, kamu cantik dan saya laki-laki normal."
"Dan yang kelima—" Tanpa disangka, dengan gerakan cepat, satu tangan besar Theo sudah menguasai belakang leher Jane sementara satu tangan lainnya membantu dagu lembut gadis itu untuk mendongak.
Dan dua partikel kenyal itu bertemu, bergerak, melumat, dengan disertai gigitan kecil hingga lidah basah menyentuh intim dua belah bibir yang panas, saling membelit hingga nafas dua insan itu perlahan surut.
Tiap titik nadi ditubuh Jane berdenyut menggila, desiran darahnya mengalir deras hingga puncak kepalanya serasa akan meledak, ia pening, kakinya lemas dan seluruh sendi tubuhnya pilu.
Setiap tarikan bibir Theo rasanya seperti malaikat menarik keluar nyawanya juga.
He is good kisser.
Jane mengakui itu.
"—Itu yang dinamakan ciuman."
Jane masih mengatur napas katika Theo dengan wajah datar yang sialnya sangat tampan itu berkata.
Jari-jari panjang milik Theo bergerak menyusuri surai hitam Jane. Lalu langkah lebar Theo membimbing tangan ramping si gadis menuju unit miliknya.
Saat pintu apartment Theo terkunci dan Jane sudah berada didalamnya, Theo kembali berkata.
"Kamu akan menyesal."
Jane menggeleng amat pelan, dirinya disiram cahaya remang lampu kekuningan, dan kulit putih yang terlalu lembut untuk menjadi landasan kecup itu tentu saja berhasil membuat makhluk ber-testosteron kelimpungan.
"Or maybe not," desis Jane.
Theo mendaratkan telapak tangannya dibahu telanjang Jane, membuat gerakan menurun hingga tak ada celah kulit disepanjang lengan gadis itu yang tak dijamahnya.
Jane terpekik, napasnya tercekat ketika tanpa aba-aba Theo mengangkatnya, membuat tungkai kaki putih panjang miliknya melingkar indah di pinggang ramping pria itu.
Jane dicium lagi.
Dan percayalah, seberapa seksi penjelasan Jane mengenai Theo ketika laki-laki itu pertama datang, tidak ada dua persen pun dari betapa panas dan liarnya tatapan mata pria itu saat ini.
Theo tidak memberi Jane waktu untuk bernafas ketika pria itu baru berhasil melepaskan tautan bibir guna membaringkan Jane diranjang tidurnya.
You choose a wrong man, Jane.
Harusnya ia memilih lawan sepadan, dan bukan seorang alpha seperti Theo.
Napas Jane tercekat, mata gadis itu menyorot sayu, lidah Theo menyapu kulit lehernya, menyesap kuat dan juga memberi gigitan kecil.
Tali tipis dibahunya sudah diturunkan, sementara tangan besar Theo menyusuri paha mulus Jane yang tertekuk, meremas yang putih lembut itu hingga empunya memekik.
Sementara Jane mengatur napas juga detak jantungnya dengan mata sayu ia melihat Theo melepas satu persatu kancing kemeja, melepas kain navy itu dari tubuhnya. Sebelum kembali merangkak memposisikan diri diatas Jane, membawa jemarinya menelusuri leher hingga belahan dada sang gadis.
Dan dalam satu tarikan, gaun tipis yang membalut tubuh Jane terkoyak. Menyingkirkan segala kain halangan. Menampakkan pemandangan yang belum pernah dijajah mata pria manapun.
Theo kembali memangut bibir Jane yang terbuka, dan tangan sang gadis bertengger dipundak lebar Theo dan sang alpha tentu tak mau kalah, tangan besarnya merayau kemana-mana.
Dari kulit lembut yang belum terjamah asing paling atas hingga pelan-pelan turun sampai intim ranum sang gadis.
Jane meleguh diringi ringisan.
Theo tidak munafik. Dia menikmati betapa cantiknya wajah Jane saat ini, mata sayu dan juga bibir bengkak yang basah karena ulahnya, kulit berbercak dimana lidahnya berkuasa.
Ketika Jane menjerit karena ulah jari tengahnya Theo berbisik dengan suara yang begitu dalam.
"This is gonna be our little secret, right?"
Dulu sekali, waktu Jane masih SMP pergosipan ditiap-tiap lorong koridor sekolahnya tak jauh-jauh soal kakak kelas yang bibirnya terlihat jontor tiba-tiba, katanya— hasil cipokan di pojokan wc. Dan Jane percaya teori satu itu, salah satu penyebab jontornya bibir adalah ciuman yang terlalu menggebu-gebu. Lalu dengan mudah gadis-gadis sebayanya mengkategorikan mana cewek-cewek jablay dan mana yang tidak. Dan setelah memasuki SMA dunia pergosipan di circlenya pun mulai glowing up, memasuki tahap yang lebih serius. Maklum, termasuk Maria teman-teman Jane memang tak ada yang waras. Tuh kakak kelas jalannya ngangkang, udah gak prawan pasti. Jane yang teramat realis ini langsung menyeletuk. Apaan, emak gue lahiran dua kali jalannya biasa aja. Awalnya Jane juga iya-iya saja sambil ikut mengira-ngira kakak kela
——— "Gue lagi nyetir, lu bawel amat sih!" Jika hari-hari biasa Jane akan langsung memandikan Mendes setelah mercy kesayangannya itu dibiarkan berhari-hari diparkiran bandara, ia tak akan membiarkan satu butir debupun menempel pada body sexy Mendes dan langsung menidurkannya di garasi. Tapi tidak untuk kali ini, em— sebetulnya bukan kali ini saja, Jane sudah beberapa kali melakukannya. Menyetir membawa belanjaan hasil jastipnya kerumah Maria. "Inget jalan rumah gue, kan? Gue bunuh lo kalo nyasar lagi, punya otak gak guna banget." Jane menyalahkan sign kanan, memutar kemudi ke kanan pula. Jane tidak perlu navigasi untuk sampai ke lokasi yang sudah lebih dari sepuluh ia datangi kan? Sebenarnya butuh, soalnya rumah Maria ada di tengah-tengah hutan, tidak punya tetangga, ala-ala mansyur, orang kaya. "Gas pol gak usah lelet. Gue ngga
Malam sudah datang.Komplek perumahan yang biasanya ramai ini tak seramai hari biasa, tak ada suara rengekan bayi, ataupun ibu-ibu muda yang rempongnya melebihi gadis remaja telat datang bulan.Jane dirumah sendirian.Malu mengatakannya namun, Iya, Jane memang merasa sedikit kesepian.Sesore ini hanya ditemani oleh tayangan netfix series yang sudah ditontonnya dua kali dan beberapa pesan singkat dari rekan kerja yang mungkin baru mendengar kabar bahwa ia di PHK.Bertanya ada apa dan kenapa bisa.Jane hanya mendesah kecil, membalas dalam grup obrolan. I'm Jane, i'm oke!Dan beberapa dari mereka berkata kalau ingin mengunjungi rumah Jane esok hari. Jane mengijinkan tentu saja, dengan syarat harus membawa beberapa menu minuman dari kedai kopi terkenal.Setelah itu? Setelah dramanya selesai dan ia sudah membalas semua pesan ya
Dengan gerak jurus seribu bayangan Jane langsung menutup pintu rumahnya secepat kilat. Memukuli kepalanya sendiri karena terlalu malu. Kenapa ia bisa punya kepercayaan diri yang tumpah-ruah seperti ini sih? Dari siapa turunnya? Jane kira Theo ingin membahas hal-hal yang sebelumnya terjadi. Tetapi ternyata, semua adalah hasil dari naskah yang dibuat Maria. Jane membenarkan tata rambutnya dengan cepat. Ia menetralkan napas dengan tenang, meyakinkan dirinya kalau apa yang baru terjadi memang tidak sememalukan itu. Jane berdehem kecil, ia kemudian membuka kembali pintu rumahnya. Manusia tinggi besar rupawan tadi juga masih disitu. Memasukan beberapa anak rambut di sela daun telinga Jane kemudian mendongak dengan ekspresi yang masih tak bisa diajak kompromi. "Gue pernah bilang, kan?" tanya Jane tiba-tiba. Taehyung menoleh pada Jane. "Hm?" Tidak terlalu m
——— "Ganteng banget Weh, ampun Jane, punya tetangga caem begini diam-diam bae." Jane memutar mata malas satu kali lagi. Siapa yang sangka. Kata-kata 'kita ke rumah lo besok' yang dimaksud oleh rekan-rekan seprofesinya ini adalah tepat besok setelah mereka landing dari penerbangan, yang mana subuh-subuh sekali, waktu Jane masih terpejam dalam kedamaian tiba-tiba ada segerombolan wanita berseragam datang kerumahnya membawa kopi dan juga makanan manis. Dan juga! Hei! Kenapa hari ini harus akhir pekan sih! Kenapa tidak hari kerja saja. Waktu berkumpul ciwi-ciwi jadi harus terpecah setelah satu burung merpati melintas, mengunakan setelan olahraga yang pas di tubuh dan juga badan berkeringat karena telah berkeliling komplek perumahan. Jane jadi berpikir. Mereka ini mau acara pelepasan Jane dari maskapai atau cuma menonton manusia yang se
Tanggerang, 2015.Bandar Udara internasional Soekarno Hatta.— Waktu itu seorang laki-laki berusia awal dua puluhan duduk di bangku tunggu yang terlihat kosong dengan menenteng satu lembar tiket pesawat ditangan. Ia menatap bergantian antara tiket itu dengan ubin bandara sebagai landasan pikiran. Menimbang kembali. Iya atau tidak. Berangkat atau jangan. Sampai akhirnya ia hanya bisa mengerjap tipis ketika bunyi pengumuman berhasil mampir ke rungunya. Ia tertinggal pesawat. Tak apa. Tidak terlalu terasa mengesalkan. Malah sebaliknya, ia merasa batu ragu yang ada di benaknya telah terangkat. Semuanya wajar untuk ukuran anak yang diperintahkan pergi dari rumahnya sendiri untuk hidup bersama sang ayah di benua jauh. Meski sejujurnya ia amat sangat enggan. Membuatnya meragu ditiap detik hingga akhir waktu. Lebih baik disini. Betul. Menyadari hal itu, Theodore yang masih berusia dua puluh
Sabtu sore adalah jadwal paten dalam hidup Jane untuk menggunakan serangkaian perawatan wajah. Kendati sudah tak ada partner gelut yang suka ikut pakai dan berakhir dengan saling memakaikan, Jane tentu harus tetap merawat kulit wajahnya dengan rajin. Investasi pada tubuh itu penting, ladies. Jane menepuk-nepuk wajahnya yang masih basah karena baru selesai mencuci muka serta eksfoliasi. Didepan meja rias, gadis dewasa yang memakai tangtop putih serta celana bahan sebatas paha itu kemudian membuka satu bungkus sheet mask. Mengeluarkan isi tisyu penuh serum yang bergizi bagi kulit dengan hati-hati, melebarkannya lalu ia tempelkan di muka. Menekan-nekan pelan agar menempel sempurna sebelum meneteskan semua sisa serum yang ada dibungkus kewajah serta lehernya. Mulut kecil wanita itu tak selesai bergumam nada dari sebuah lagu, meski tak terdengar jelas lagu berjudul apa. Yang jelas, itu adalah pertanda bahwa ia sedang gembira. Setelah se
"Kita nggak melakukannya malam itu." Mendengar kalimat itu, bola mata Jane lantas bergerak-gerak canggung, sebelum kemudian si gadis ayu mengambil satu langkah mundur. Dia tidak mungkin percaya begitu saja. Bisa saja ini hanyalah akal-akalan Theo agar Jane tidak lagi malas dan canggung ketika diajak bicara. Apalagi, malam itu tubuh Jane jadi saksi. Selatannya perih, dilehernya ada beberapa tanda keunguan, perutnya mual dan juga ingat? Ia bangun dalam keadaan telanjang. Siapa yang akan percaya omong kosong itu. "Oke, jadi yang buat cupang di leher gue itu kadal Korea?" desis Jane tak tanggung-tanggung. Theo menyirit. "Yang bikin anu gue perih bukan lo tapi kodok Zimbabwe? Begitu?" Jane melepaskan sisa amunisi pancaran mematikan dari dua matanya. Gadis berkulit lembab itu mendecih."Gak sekalian lo bilang kalo yang telanjangin gue itu sotong Madagaskar?!" "Jeje?!" Panggilan keras dari Ratna mem
7 tahun kemudian.- “What the hell!” Umpatan itu terdengar dari mulut anak laki-laki yang tengah duduk dikursi penumpang mobil, mengudara jelas saat hening tengah melanda, ponsel lipat baru pemberian kakeknya yang sedang ia gunakan untuk bermain games tiba-tiba saja berbunyi mengacaukan permainannya. Menampilkan notifikasi panggilan. Theo yang duduk di kursi kemudi menoleh, matanya menyorot sang putra sulung berusia tujuh tahun yang baru saja mengumpat di depan hidungnya. “Siapa yang ngajarin kamu kata itu?” tanya Theo. Anak laki-laki yang memiliki wajah perpaduan apik dari ayah dan ibunya itu menoleh, memerkan raut muka acuh. “Sam sering dengar mommy bilang begitu.” Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kata orang begitu. Dan Theo sudah membuktikannya sendiri. Bagaimana Samuel memiliki sifat acuh yang diturunkan darinya namun juga memiliki sisi nakal Jane yang sulit diatur. “Dad,” panggil bocah tampan itu, mata
--Suara detik jarum jam mengisi kekosongan dalam hampanya ruang hening yang diputari dinding berwarna putih itu. Ruang yang besar dan berisi satu ranjang lengkap dengan sofa dan meja disana. Ada satu wanita yang tengah berbaring dengan mata menutup diatas brangkar itu, memakai pakaian berwarna biru khas pasien rumah sakit sementara pada tangan kanannya terdapat selang menjuntai yang terhubung dengan satu kantong infus menggantung. Jane bergerak kecil, wajahnya yang cantik megerut tipis kala merasa pilu disetiap sendi tubuh. Bahkan untuk melakukan gerakan kecil saja Jane harus menahan pegal. Wanita dua puluh delapan tahun itu akhirnya membuka mata, menatap segenap putih langit-langit ruangan, sebelum kemudian menggerakan kepala sedikit, Jane sadar betul ia sedang berada dimana jadi tak perlu lagi drama seperti aku dimana, aku siapa. Dan Jane tidak menemukan siapapun kecuali presesi adik perempuannya yang tengah duduk disana. Serin yang semu
Suara gemercik air mengalir masih terdengar deras dari kamar mandi yang pintunya tertutup rapat itu. Hari sudah melewati fajar, jarum jam menunjuk angka tujuh, sementara satu onggok tubuh kecil wanita yang berbalut selimut disana seakan tidak punya niatan untuk membuka mata. Theo sudah selesai dengan ritual mandinya, jelas kalau ia sudah terlambat untuk berangkat ke kantor tetapi meski begitu, Theo dengan santai berpakaian, sesekali melirik istrinya yang masih terlelap tentram tanpa usik kendati Theo bolak-balik diruang tidur mereka. Rampung berpakaian Theo mulai melangkahkan kaki mendekati ranjang, duduk ditepian kasur. Matanya memandangi bagaimana cara oksigen dihirup dengan ritme tenang oleh Jane, melihat cantik dari wajah istrinya yang entah kapan luntur itu. Theo tidak berniat untuk membangunkan Jane sama sekali. Ia cukup tau diri. Setelah semalam dan subuh tadi Jane memenuhi keinginan batinnya, Theo tentunya tidak tega kalau harus membuat Jane d
Siang yang cerah diakhir pekan ini Jane memutuskan untuk menghabiskan waktu dirumah, bermain bersama anjing-anjingnya serta merebah guna menonton serial televisi.Benar. Akhir pekan, yang artinya Theo sedang ada dirumah.Namun dimana pria itu sekarang? Jane pernah bilang kalau Theo itu punya penyakit akut perfeksionis menyangkut pekerjaan bukan? Iya, hari ini pun, bahkan saat akhir pekan yang harusnya digunakan untuk liburan ini Theo masih menerima telfon dari orang kantor, menganggurkan istrinya yang cantik dan seksi, membuatnya menonton sendirian.Untung suami sendiri, rutuk Jane dalam hati. Kalau tidak, sudah Jane tukar tambah.Jane mendesah bosan. Ia meraih remote dimeja dengan ujung kakinya dan segera mengganti saluran televisi yang tengah menyajikan pertengkaran ala anak muda yang sangat iyuh untuk ditonton. Mengganti channel ke acara pergosipan luar negeri.Memeriksa berita panas apa saja yang sempat ia lewatkan selama satu pek
"Apa-apaan kamu? Jangan bercanda, Karin!" Suara keras itu menggema di setiap sudut ruang rumah yang besar ini. Amarah wanita anggun itu sepertinya sudah tak mampu dibendung lagi setelah telinganya mendengar berita yang terlampau mengejutkan. Semburan kalimat yang keras kian lancar mengalir dengan segala raut kecewa yang tak lagi ragu disembunyikan. "Maaf, Mah." sang anak yang matanya sembab dan masih setia menangis itu kembali merisak, menunduk dalam-dalam di sofa dengan jari bertaut, tak mempu menatap mata sang ibu. Jane dan Theo masih terduduk bersebelahan ditempat mereka yang sama. Pada kursi paling jauh dari dua ibu dan anak itu. Menyimak saja, setelah diawal tadi tak disuguhi satu percik ramah pun Jane dan Theo tentunya tidak mau mengatakan hal yang panjang lebar. Jane merestui niat baik Theo yang teringin menuruti kemauan Karin, duduk mendengarkan, menemani wanita itu mengungkapkan kebenaran, dan itu sudah cukup. Jane tidak mau Theo ikut
"Lu amatiran ya?" Jane menoleh cepat ketika telinganya mendengar suara Maria berbicara demikian. Dengan badan yang masih bergerak karena ada Ares dipangkuannya Jane menaikan alis kebingungan, ia bahkan menoleh ke sekeliling, mengira kalau Maria berbicara bukan padanya. "Apaan?" jawab Jane dengan pertanyaan juga ketika ia yakin kalau pertanyaan tentang amatir itu memang ditujukan untuknya. Wanita cantik yang rambutnya blonde itu mendecak-decak sembari menggelengkan kepala, dia kemudian mengukurkan tangan dan menyentuh sekitaran leher Jane. Jane mendelik kecil. "Nanti kakak ajarin adek cara menutup hickey dengan baik dan benar ya." Jangan lupa dengan nada suara Maria saat mengatakan itu. Jane bahkan sampai harus memicing sebal. Kalian tau kalau orang sedang mengejek sambil sok-sok mengajari? Seperti itulah Maria tadi. Tapi Jane juga tidak menyangka kalau tato yang Theo buat tadi pagi tidak tersamarkan dengan benar. Padaha
Pagi ini adalah jadwal rutin Jane untuk berolahraga. Memakai setelan ketat berwarna abu-abu tua dan juga rambut diikat satu Jane masih semangat melakukan gerakan-gerakan yang dilakukan instruktur di televisi sana. Lili memang niat sekali membantu Jane. Bumil itu bahkan memberikan CD senam yang lain, ada yoga, aerobik dan juga senam SKJ. Jane tinggal pilih mau olahraga jenis apa yang sedang ia inginkan. Padahal dari pada sendirian dirumah, Jane inginnya olahraga bersama dengan dua temannya itu. Tapi apalah daya, yang lain sedang sok sibuk dan Jane jadi satu-satunya orang yang kesepian.Jane menyeka sedikit keringat yang mulai muncul di dahinya. Menghela napas panjang sementara ia duduk guna menetralkan lelah, setelah dirasa cukup Jane segera berdiri, mematikan televisi dan menggulung matras berwarna merah muda yang ia gunakan tadi.Beralih melangkahkan kaki menuju dapur, mengambil satu gelas air putih kemudian diteguknya sembari berjalan menuju kamar.
Jika Jane selalu mengagum-agumkan kelebihan Theo pada setiap kesempatan, entah itu fisik atau kemampuannya, kali ini sebuah kejutan mendatanginya, sebuah pembuktian akan kalimat terkenal yang berbunyi ‘Tuhan itu maha adil’. Karena jika sebelumnya Jane pikir Theo sempurna dengan semua kelebihannya, kini Jane tau satu hal, bahwa Theo takut ketinggian. Dan tentunya Jane memang istri yang laknat karena bukannya khawatir ia justru tertawa terbahak-bahak sembari mengabadikan video dan foto wajah Theo yang pucat ketika berada di puncak. Bahkan Jane mengunggah video singkat saat Theo melakukan lepas landas ke beranda social medianya. ‘Kalo takut tinggi harusnya bilang dari awal dong, babe, denial teross sampe semaput.’ Padahal Theo tidak pingsan, hanya gemetaran dan pucat. Jane tidak henti menggoda Jane akan hal itu bahkan saat mereka sudah sampai di rumah dengan baik hari ini. Setelah pulang dari paralayang, Jane dan Theo langsung pulang ke Tangerang karena
Jane pernah mendengar nasihat ini dari seseorang. ‘Hiduplah dalam kebahagiaan, bersyukur, jangan terjun bebas hanya karena sebuah masalah, kalau ada masalah besar anggap kecil. Ada masalah kecil? Anggap tidak ada.’ Dan setuju serratus persen dengan itu. Kalian tau? Hidup tidak selalu harus berpikir atau tentang nelangsa. Meski, tentu saja tidak akan selalu bahagia, sedih juga bagian dari indahnya hidup, namun amat penting untuk manusia bisa menyikapi dengan benar kesedihan itu. Sebab beberapa kali angin menyampaikan, manusia-manusia terlampau frustasi dan menyalahkan masalah yang tengah dihadapi. Kanapa bicara panjang lebar sih, Je. Apa intinya? Jadi intinya, Jane tidak telalu memikirkan hasutan-hasutan negative yang Bu RT dan juga Serin berikan padanya. Jane memikirkannya tentu, hanya saja ia memilih untuk menunggu Theo menjelaskan. Terbukti dengan hari ini. Setelah berkeliling melawat dan berbelanja di Malioboro siang tadi, Jane dan Theo lan