Home / Romansa / What the hell, Tetangga! / Awal dari penyesalan

Share

Awal dari penyesalan

Author: Esteifa
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

'jangan ngadi-ngadi, lo tau apa kalimat terkenal dinegara kita ini kan? Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan!'

Dari sambungan telepon antar negara itu celoteh nyolot tetap dilayangkan Maria. Setelah mendengar dengan pesan singkat dari Jane yang berbunyi: Theo laki bangsat, awas lo kalo tetep jodoh-jodohin gue.

Sedangkan Jane? Semua yang dikatakannya nyata. Dia tidak sedang mengarang. Jadi bersamaan jemari lentiknya membenahi tatanan rambut dan gaun tipis berwarna merah yang menantang dengan potongan dada rendah itu Jane cuma memutar mata.

"Mata gue gak buta, burem aja nggak! Jadi gak perlu meragukan fitnah atau nggak, gue saksinya!"

Jane mengimpit ponsel diantara pundak dan telinga, dia mencuci tangan.

'mata bisa dipercaya kalo kuping lo juga bisa dengar penjelasannya. Kalo enggak? Misunderstanding!'

Susah memang kalau berdiskusi dengan orang yang sudah memilih kubu.

Mata berpoles make up cantik elegan itu memicing sebal. Bibirnya mengerucut tak terima. Lama-lama emosi juga. "Serah kalo enggak percaya juga! Bodo amat! Gue mau party."

'Heh! Awas kalo pulang-pulang bunting!'

Tanpa menghiraukan kalimat terakhir Maria, Jane segera memencet icon berwarna merah setelah mengatakan satu kata. "Bye!"

Jane membawa kakinya melangkah keluar dari toilet salah satu club ternama di Korea— Glorry Night. Menuju kembali tempat para manusia berpesta tanpa pikir esok atau detik-detik kedepan.

Bersama musik memekak telinga dan juga lampu kelap kelip tak beraturan menjatuhinya Jane mendekati tangan kurus yang sedang melambai dari lingkaran sana.

Lili menepuk kursi sebelah kirinya. Agar Jane duduk disofa empuk yang bisa terisi tiga orang, disebelah kanan wanita itu ada Jay yang tengah meneguk minuman.

"Pake outer gue deh, ngeri sama tatapan para batangan ke lo."

Tatapan mata Jane langsung tajam berbicara; emang gara-gara siapa gue jadi make baju begini!

Baju merah yang dipakai Jane ini kepunyaan Lili by the way, mereka memang sudah ada niatan klubing di club yang terkenal seantero Asia sejak masih di pesawat. Tetapi, gara-gara pawang Lili datang, rencana mereka amburadul. Lili pun panik, minta bertukar Fashion bitches yang sudah mereka siapkan dari rumah.

Dan sialnya Jane hanya membawa jumlah baju pas untuk digunakan sampai malam ini saja.

"Jangan sampai kobam apalagi ONS, besok terbang jam delapan."

Jane menyelampirkan blazer Lili kebadannya. Dia pun menatapi setelan chanel yang tengah dipakai Lili— miliknya sengaja dibawa dari rumah untuk malam ini. Huh!

"Ntar gue ganti deh bajunya!" Ujar Lili setengah berteriak, yang peka akan tatapan Jane pada dirinya.

Jane mencebik malas. "Harus! Itu baru loh! Gue udah gak boleh belanja sama nyokap!"

Dan lagi-lagi Lili melayangkan jemari membundar tanda oke. "Tapi Jane, lo seksi mampus pake tuh baju,"

"Titisan Aphrodite!" Sekarang Jay ikut-ikutan nyambung pembicaraan mereka.

"Lebih malah." Timpal Lili menyetujui.

Jane disamakan dengan Dewi percintaan dan gairah yang menurutnya lebih mirip cabe-cabean itu? Nggak mau lah, Iya sih Aphrodite selalu dielu-elukan sebagai simbol kecantikan dan keanggunan, seksi, bergairah, tetapi menurut Jane dari setiap cerita yang didengarnya, Aphrodite yang mengkhianati Hepaistus yang kurang sempurna, berselingkuh dengan Ares dan beberapa dewa lainnya tidak perlu dikagumi sejauh itu.

"Gue lebih suka Artemis!" Sahut Jane, sambil mengedarkan pandangan kearah orang-orang yang sedang menggerakkan tubuh di lantai dansa.

"Mau turun?"

Jane menggeleng. Ia tidak mau turun ke lantai dansa, terlebih lagi dengan pakaian ini. Tidak berminat merealisasikan perkiraan ada tangan yang nakal menjamah pahanya lalu merambat naik lebih keatas. Jane sudah pernah mengalami itu, dan percayalah itu sangat buruk.

Jane juga yakin Lili tidak akan diperbolehkan turun oleh Jay.

Dan mereka cuma duduk-duduk santai sambil menggosip, sesekali mengangkat gelas meneguk arak mahal yang sudah dipesan.

"Main yuk, boring banget!" Jay menggerutu, laki-laki bertato disepanjang lengan itu menyugar rambut kasar.

Jane memutar mata ketika matanya melihat Lili meringsek lebih dekat kearah pejantan itu. Berbisik. "Main apa?"

Dia jadi kambing congek lagi.

"Truth or drink."

Jane memutar mata. Permainan bocah abg.

Gelengan manja dilayangkan si betina. "Aku sama Jane flight pagi-pagi banget. Gak boleh mabuk."

Jay menunduk, mengecup bibir Lili yang otomatis mengerucut itu. "Nanti aku yang minum, honey."

Sumpah, Jane pengen muntah.

Jane meraih gelas koktail miliknya, seakan minum alkohol buah bisa meredakan mual. "Pen gumoh gue liat lu berdua, dasar jamet."

Sudah terbiasa dengan celetukan judes yang bernada bosan Lili dan Jay tertawa puas.

"Cari cowok makanya. Cantik-cantik gak berpawang," sahut Jay tidak pakai akhlak.

"Dia lagi deket sama pilot baru tau, ganteng banget lagi."

Eh jadi ingat Juni. Jane menyibak rambutnya sombong menerangkan seterang-terangnya; gue laku.

"Ganteng? Banget??" Telisik Jay.

"Iya."

"Jangan main mata, honey."

Lagi-lagi Jane meneguk koktail yang kelihatan masih utuh di gelasnya. Laki-laki memang selalu posesif, kan? Padahal dari tadi Jay menyebut Jane dengan kata cantik lah Aphrodite lah, Lili biasa-biasa saja. Perempuan itu lebih make sanse soal cemburu.

Jane melirik sekilas Lili yang tergagap menghadapi tatapan tajam suaminya. "Eh— ng-enggak. Gebetan Jane kok."

"Trus gebetan Jane ganteng menurut kamu?"

Melihat suasana yang semakin memanas Jane senang-senang saja menonton, teringin pesan pop corn malah, sebenarnya—sudah lama ia tidak melihat lovey dovey ini bertengkar, tetapi cahaya mata Lili seperti minta pertolongan padanya, jadi Jane langsung meraih botol beling kosong, meletakkan horisontal ditengah meja.

"Heh! Udah-udah, ayok katanya main."

Laser tajam masih keluar dari tatapan mata Jay. Sebelum kemudian pria bertato tapi imut itu merogoh kantong celananya kepayahan. "Bentar, temen gue udah didepan."

Jane melengos santai, jemarinya meraih ponsel. Menilik apakah ada pesan penting masuk.

"Dia temen SMA sekaligus arsitek baru di perusahaan Jay. Kata Jay design dia beyond imagination dan JY company menang tender hari ini makanya Jay ngadain party." Lili berujar keras. Jane tak urung mengerutkan kening, perasaannya tiba-tiba tak enak. Apalagi saat Lili mendekat kearahnya membisikan kalimat nakal ditelinga. "Dia Seksi mampus. Tipe lo banget."

Jane mendengarkan. Namun pandangannya masih menunduk pada benda pipih pintar digenggaman.

"Hei, bro!" Jane bisa dengar teriakan Jay yang keras itu. Lalu aroma musk berpadu citrus menyeruak penciumannya menggantikan aroma alkohol dan asap rokok. "Udah kelar urusan lo?"

Basa-basi lama yang mereka lakukan tak juga membuat Jane mengangkat muka. Sialan. Harusnya benar tadi dirumah saja. Dugaannya tentang perasaan tak enak selalu benar, Jane bahkan meminta kalau kali ini ia salah.

"Ini Jane, temen istri gue."

Jane tetap pada posisi yang sama, cuma melirik pada pribadi yang berbalut kemeja navy itu sekilas. Lalu melanjutkan scroll I*******m yang cuma berisi berita hot tentang pelakor lokal.

"Jane, jangan main HP mulu," tegur Lili menyenggol lengan atasnya.

Dan Jane mengabaikan, namun bukan Lili namanya kalau tidak rese, Lili tak mau berhenti sampai akhirnya Jane mendecak sebal. Apalagi ketika aroma musk itu menjadi lebih pekat, dan si arsitek beyond imagination dari bikini buttom ini duduk di kursi tunggal didepan Jane.

"Saya Theo," ujar lelaki itu seraya mengulurkan tangan.

Jane pernah menjabat tangan hangat itu satu kali. Dan ia tidak ingin lagi. Jane hanya memandangi wajah Theo dengan raut datar, gak minat. Tak mengindahkan uluran tangan besar laki-laki itu.

"Eh Jane, dia juga tinggal di komplek perumahan lo tau." Jay berseru lagi, mungkin belum sadar akan atmosfir dua orang ini yang kurang baik.

"Masa?" Jane memekik dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat, kemudian mata cantiknya kembali melirik Theo sinis. "Tetangga gue gak ada yang pelihara buaya perasaan."

Provokasi terang-terangan yang dilakukan Jane ditanggapi delikan mata oleh semua yang ada, cuma Theo yang bertahan dengan ekspresi dingin khas miliknya.

Canggung disana pecah ketika tawa renyah dari bibir Jay mengudara. "Te, gila! Mata lo biasa bae ngeliatnya, dia langsung tau kalo lo buaya, anjirr."

Theo setia diam. Raut mukanya masih sama. Dan netra hitam kelam pria itu pun masih setia mengintimidasi Jane.

Lili yang sedikit banyak memahami situasi lekas-lekas berseru. "Jay udah, katanya main."

Mereka berempat duduk mengitari meja. Satu botol beling diputar oleh Jane setelah mereka bermain rock paper scissors.

Dan ketika putaran botol itu berhenti, dengan moncong mengarah pada perempuan langsing disampingnya, Jane langsung menerbitkan senyum jahil. Dia tau cara yang bagus buat mengurangi stress.

"Lo ada unek-unek buat pramugari senior— Desi?" Pertanyaan Jane disambut anggukan antusias. Jemari lentik gadis itupun segera menutup dua lubang telinga karena sudah pasti, otomatis dan jelas kalau Lili akan memaki-maki dengan suara keras.

"Desi muka lo kayak kodok! Lo sodara carberus anjing kepala tiga! Tetek lo kecil, so dada gak usah di busung-busungin! Lu Medusa! Lu nagini! Lu anjing!" Lili berhenti sebentar kemudian menatap Jane yang tersenyum geli. Lalu dua wanita itu berteriak berbarengan. "Gue sumpahin lu jadi prawan tua!"

Setelah selesai dengan kalimatnya mereka berdua terbahak-bahak.

Sampai-sampai Jay menyenggol pelan Theo, berkata; biasa begini mereka, cewek kalo udah dendam itu nauzubillah.

Kemudian botol alkohol itu diputar lagi. Beberapa kali mengarah pada Jay dan Lili yang setia mengorek hubungan percintaan masa lalu yang sudah pasti mampu mengundang kecemburuan. Manusia memang begitu, sudah tau bisa berpotensi ribut, tetap dilakukan.

Hingga akhirnya botol yang diputar Jane kini mengarah pada Theo. Laki-laki yang dari tadi diam tanpa kata atau gumaman sama sekali.

Jane mengerjap pelan. Sudut bibirnya terangkat menciptakan seringai seksi.

"Ilang perjaka umur berapa?"

Slytherin berulah lagi.

Theo masih menatap Jane intens. Tanpa memutus pandangan, pria itu meraih gelas alkohol dan meneguknya kasar. Menolak menjawab.

Membuat Jane mendengkus. Pasti crocodile dari bikini buttom ini lupa saking seringnya keluar masuk lubang holy.

Jane benar-benar ingin mencolok mata Theo yang dari tadi menatapnya tak putus-putus, bahkan ketika Jane ngobrol dengan Lili atau sedang melakukan hal lain Theo terang-terangan memperhatikan gerak-gerik Jane.

Permainan dilanjutkan. Theo memutar botol, Jane sedikit melirik kearah meja, berharap botol itu tidak berhenti pada dirinya. Namun sial, Dewi Fortuna atau mungkin Aphrodite sedang marah padanya karena sebelum ini dia mengatai Dewi sensual itu dengan kata cabe-cabean. Botolnya berhenti pada Jane. Dua orang disana melakukan seremoni kecil dengan bersorak kegirangan.

"Hilang prawan umur berapa?"

Jane mengumpat dalam hati. Matanya mengibarkan permusuhan. Pertanyaannya dikembalikan.

Jay bersiul. Sedangkan Lili juga meringsek kearahnya ingin tau.

Hal pribadi tidak boleh disebarkan seenak jidat—itu menurut Jane, namun meminum alkohol juga ide yang buruk karena toleransi tubuhnya pada minuman beralkohol sangat minim. Apalagi besok ia harus kembali ke Indonesia pagi-pagi sekali.

Persetan!

Jane meraih gelas kecil diatas meja. Meneguk cairan bening itu dengan kasar hingga mengalir satu aliran dari sudut bibirnya yang bergincu.

"Aahh!!" Pejaman mata langsung datang, dahi Jane berkerut merasakan panas yang mendera kerongkongannya, bolak-balik ia mendesah, memejam lalu membuka mata, tangannya bahkan meraih leher yang serasa tercekat, Jane menyandarkan punggungnya kesofa hingga dirasa panas pada tubuhnya mereda.

Jane menegakan punggung sambil melepas blazer yang melingkupinya, ia merasa risih dan panas, membiarkan kulit terang yang kontras dengan pakaian merah itu terjamah mata manusia disekitar.

Alkohol macam apa ini! Keras sekali. Jane tidak yakin ia bisa kalau harus meminum ini lagi. Ia bisa mabuk.

"Lo mau bunuh gue ya! Bangke! Alkoholnya berapa persen!" Selak Jane dengan raut kesakitan.

Kekehan rendah dilayangkan Jay. "Itu rendah banget. Biasanya gue sama Theo battle pake yang tiga kali lipat dari ini."

"Mereka kuat banget minum. Keren nggak?" Kata Lili sembari mengusap-usap punggung Jane, mencoba menenangkan Jane yang terlihat seperti habis meneguk sianida.

"Apanya yang keren! Tua nanti bakal penyakitan aja bangga!"

Kini giliran Jane memutar botolnya. Pokoknya dia akan balas dendam. Botol ini harus berhenti pada Theo, batin Jane sebelum menggerakkan jemari diatas botol itu.

Dan terimakasih Artemis!

Jane bersidakep. Memandang Theo dengan nyalang. "Lo bajingan tukang selingkuh, jangan pernah ajak gue ngomong lagi."

"Itu bukan pertanyaan." Untuk kali pertama Theo berbicara setelah perkenalan basa-basi mereka diawal.

Jane mendengkus.

"Lo udah sex sama berapa cewek?"

Shit! Umpatan itu disusul gelakan tawa renyah milik Jay. Mungkin merasa lucu dengan situasi dimana teman lelaki yang sedatar papan triplek ini dicekoki pertanyaan-pertanyaan pribadi yang menggelikan.

Jane mendengkus ketika jemari besar Theo meraih gelas kaca dimeja untuk kesekian kali, menolak memberi jawaban. Pria itu bahkan masih fokus pada Jane, menegak alkohol keras seakan itu susu stroberi. Dan Jane jadi ingin mengirisnya tipis-tipis, permainan ini tidak menguntungkan untuk dirinya.

Ketika jemari Theo meraih botol untuk diputar Jane memekik dengan nada pelan, tubuhnya lemas, dan matanya ingin terpejam saja.

"Gue udahan!" Bersamaan dengan itu, botol tadi berhenti mengarah padanya.

"Sudah pernah sex dengan berapa lelaki?"

Laki-laki itu tak mengindahkan ucapan Jane.

Nyatanya Theo masih ingin mendengar jawaban gadis itu. Bertanya dengan nada yang santai. Namun pancaran matanya nakal, entah ini cuma perasaan Jane yang hampir mabuk atau memang Theo menatapnya demikian.

"Lima," Jane membalas berani. Berapa lelaki yang pernah memasukinya? Jemari lentik Jane menyibak rambut kebelakang. "... belas."

Sekarang untuk pertama kalinya Jane melihat Theo menyeringai.

"Jay, kalau dia memilih truth tapi berbohong hukumannya apa?"

Pertanyaan Theo membuat Jane menyirit dalam. Mau apa sebenarnya laki-laki ini. Lili mengerti situasinya, ia bahkan peka, kalau Jane dan Theo sudah pernah bertemu sebelum ini dari isi percakapan mereka barusan, apalagi Jane bukan orang yang gampang sengit pada orang lain, Theo pasti melakukan kesalahan sampai-sampai Jane menganggap lelaki itu musuh.

"Jay—"

Jay memotong panggilan Lili. "Dia harus ngelakuin permintaan lo."

Theo kembali menatap Jane intens. Dan Jane tak takut untuk membalas sama intensnya.

"Cium saya."

Whats?

Mata Jane membesar. Kepalanya menggeleng spontan. Theo ini lama-lama menakutkan, tidak waras.

"Gue nggak bohong!"

"Kalau kamu memang pernah ditiduri lima belas pria, saya yakin ciuman bukan hal besar."

Jane mendecih remeh. Tak percaya dengan apa yang telinganya dengar. Mengabaikan debaran jantungnya sendiri yang sudah menggila berpura-pura tenang padahal ia ingin minggat tenggelam dalam rawa-rawa, matanya memicing sengit.

"Oh, jadi gara-gara ini lo diem dari tadi? Sange?" Sinis Jane, tangannya terlipat di dada.

"Jay—"

Meski pelan, Jane mendengar Lili menyerukan kalimat itu, berharap Jay menghentikan suasana serius mencekam yang melingkupi mereka. Namun Jay diam saja, menggeleng kecil kode agar tidak mengganggu.

"Saya cuma mengikuti permainan yang kamu mulai." Theo membalas tenang.

Jane menyeringai, permainan dia bilang? Oke kita liat siapa yang bakal menang.

Pelan-pelan dia mengambil gelas berisi alkohol hukuman lalu diteguknya sembari menatap Theo tanpa berkedip.

"Lo mau gue cium?"

Gadis itu menaikan lutut putihnya pada meja yang penuh botol, merangkak hingga satu tangannya menopang diri diantara paha Theo yang terbuka dan satunya lagi bertengger di paha keras Theo. Merasakan napas beraroma arak milik orang lain diwajahnya.

Mata mereka bersibobrok tanpa ada yang mau mengalah. Tajam dan dalam.

"Like what, hm?" Kata Jane lirih seraya memandangi mata dan bibir tipis Theo bergantian.

Lalu tanpa menunggu respon dengan amat pelan Jane mengecup sensual bibir dingin sang lelaki. Hingga bunyi basah terdengar telinga keduanya.

Jane masih menatap Theo dengan pandangan sayu, pening mulai mendera kepala dan juga ia benar-benar ingin terpejam.

"Like that? Hm?" Jane melirih lagi, matanya sedikit sulit terbuka. "Okay."

Dan untuk kedua kali Jane mengecup bibir dingin lelaki itu, jemari lentiknya meremas paha keras yang menjadi tumpuan, bibir bergincu itu menekannya singkat lalu turun melintas rahang hingga meringsak mengecup basah leher kaku yang sedari tadi menyulut emosinya.

"Terus? Mau lanjut?" Jane sedikit mendesah, panas alkohol dilehernya merayap merampas sisa jiwa yang waras.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
Theo aslinya dah panas dingin nahan wkwk
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • What the hell, Tetangga!   Nightmare (18+)

    "Eh eh, apa lu, hah!? Jangan dekat-dekat. Lilili! Ini hik gue mao dicaplok buaya hik tolongin!" Pekikan histeris bernada sumbang dan tak jelas itu tiba-tiba diserukan. "Turunin gue! Biar gue diculik Massimo dan bikin gue jatuh cinta." Supir mobil suv yang sedari tadi hening fokus menyetir juga sekilas melirik kearah wanita bergaun merah yang tengah mengais-ngais jendela mobil dengan tenaga secuil. Mengigau. Karena mabuk. Rambut panjang lurusnya kian kusut, pipi sang gadis merona sempurna, efek alkohol, Jane merengek kecil. Kepalanya berputar dan seluruh isi perutnya bergejolak, apalagi tenggorokannya terasa panas. Tentu saja, lagian siapa yang tidak akan kobam begitu? Setelah benar-benar memberi kecupan untuk permintaan main-main yang diberikan Theo, pramugari jelita itu kembali meneguk dua gelas arak keras. D

  • What the hell, Tetangga!   Hari paling buruk

    Dulu sekali, waktu Jane masih SMP pergosipan ditiap-tiap lorong koridor sekolahnya tak jauh-jauh soal kakak kelas yang bibirnya terlihat jontor tiba-tiba, katanya— hasil cipokan di pojokan wc. Dan Jane percaya teori satu itu, salah satu penyebab jontornya bibir adalah ciuman yang terlalu menggebu-gebu. Lalu dengan mudah gadis-gadis sebayanya mengkategorikan mana cewek-cewek jablay dan mana yang tidak. Dan setelah memasuki SMA dunia pergosipan di circlenya pun mulai glowing up, memasuki tahap yang lebih serius. Maklum, termasuk Maria teman-teman Jane memang tak ada yang waras. Tuh kakak kelas jalannya ngangkang, udah gak prawan pasti. Jane yang teramat realis ini langsung menyeletuk. Apaan, emak gue lahiran dua kali jalannya biasa aja. Awalnya Jane juga iya-iya saja sambil ikut mengira-ngira kakak kela

  • What the hell, Tetangga!   Ex-boyfie

    ——— "Gue lagi nyetir, lu bawel amat sih!" Jika hari-hari biasa Jane akan langsung memandikan Mendes setelah mercy kesayangannya itu dibiarkan berhari-hari diparkiran bandara, ia tak akan membiarkan satu butir debupun menempel pada body sexy Mendes dan langsung menidurkannya di garasi. Tapi tidak untuk kali ini, em— sebetulnya bukan kali ini saja, Jane sudah beberapa kali melakukannya. Menyetir membawa belanjaan hasil jastipnya kerumah Maria. "Inget jalan rumah gue, kan? Gue bunuh lo kalo nyasar lagi, punya otak gak guna banget." Jane menyalahkan sign kanan, memutar kemudi ke kanan pula. Jane tidak perlu navigasi untuk sampai ke lokasi yang sudah lebih dari sepuluh ia datangi kan? Sebenarnya butuh, soalnya rumah Maria ada di tengah-tengah hutan, tidak punya tetangga, ala-ala mansyur, orang kaya. "Gas pol gak usah lelet. Gue ngga

  • What the hell, Tetangga!   Sponsor bersemangat

    Malam sudah datang.Komplek perumahan yang biasanya ramai ini tak seramai hari biasa, tak ada suara rengekan bayi, ataupun ibu-ibu muda yang rempongnya melebihi gadis remaja telat datang bulan.Jane dirumah sendirian.Malu mengatakannya namun, Iya, Jane memang merasa sedikit kesepian.Sesore ini hanya ditemani oleh tayangan netfix series yang sudah ditontonnya dua kali dan beberapa pesan singkat dari rekan kerja yang mungkin baru mendengar kabar bahwa ia di PHK.Bertanya ada apa dan kenapa bisa.Jane hanya mendesah kecil, membalas dalam grup obrolan. I'm Jane, i'm oke!Dan beberapa dari mereka berkata kalau ingin mengunjungi rumah Jane esok hari. Jane mengijinkan tentu saja, dengan syarat harus membawa beberapa menu minuman dari kedai kopi terkenal.Setelah itu? Setelah dramanya selesai dan ia sudah membalas semua pesan ya

  • What the hell, Tetangga!   Have a nightmare!

    Dengan gerak jurus seribu bayangan Jane langsung menutup pintu rumahnya secepat kilat. Memukuli kepalanya sendiri karena terlalu malu. Kenapa ia bisa punya kepercayaan diri yang tumpah-ruah seperti ini sih? Dari siapa turunnya? Jane kira Theo ingin membahas hal-hal yang sebelumnya terjadi. Tetapi ternyata, semua adalah hasil dari naskah yang dibuat Maria. Jane membenarkan tata rambutnya dengan cepat. Ia menetralkan napas dengan tenang, meyakinkan dirinya kalau apa yang baru terjadi memang tidak sememalukan itu. Jane berdehem kecil, ia kemudian membuka kembali pintu rumahnya. Manusia tinggi besar rupawan tadi juga masih disitu. Memasukan beberapa anak rambut di sela daun telinga Jane kemudian mendongak dengan ekspresi yang masih tak bisa diajak kompromi. "Gue pernah bilang, kan?" tanya Jane tiba-tiba. Taehyung menoleh pada Jane. "Hm?" Tidak terlalu m

  • What the hell, Tetangga!   Cinta pertama

    ——— "Ganteng banget Weh, ampun Jane, punya tetangga caem begini diam-diam bae." Jane memutar mata malas satu kali lagi. Siapa yang sangka. Kata-kata 'kita ke rumah lo besok' yang dimaksud oleh rekan-rekan seprofesinya ini adalah tepat besok setelah mereka landing dari penerbangan, yang mana subuh-subuh sekali, waktu Jane masih terpejam dalam kedamaian tiba-tiba ada segerombolan wanita berseragam datang kerumahnya membawa kopi dan juga makanan manis. Dan juga! Hei! Kenapa hari ini harus akhir pekan sih! Kenapa tidak hari kerja saja. Waktu berkumpul ciwi-ciwi jadi harus terpecah setelah satu burung merpati melintas, mengunakan setelan olahraga yang pas di tubuh dan juga badan berkeringat karena telah berkeliling komplek perumahan. Jane jadi berpikir. Mereka ini mau acara pelepasan Jane dari maskapai atau cuma menonton manusia yang se

  • What the hell, Tetangga!   Oktober 2015

    Tanggerang, 2015.Bandar Udara internasional Soekarno Hatta.— Waktu itu seorang laki-laki berusia awal dua puluhan duduk di bangku tunggu yang terlihat kosong dengan menenteng satu lembar tiket pesawat ditangan. Ia menatap bergantian antara tiket itu dengan ubin bandara sebagai landasan pikiran. Menimbang kembali. Iya atau tidak. Berangkat atau jangan. Sampai akhirnya ia hanya bisa mengerjap tipis ketika bunyi pengumuman berhasil mampir ke rungunya. Ia tertinggal pesawat. Tak apa. Tidak terlalu terasa mengesalkan. Malah sebaliknya, ia merasa batu ragu yang ada di benaknya telah terangkat. Semuanya wajar untuk ukuran anak yang diperintahkan pergi dari rumahnya sendiri untuk hidup bersama sang ayah di benua jauh. Meski sejujurnya ia amat sangat enggan. Membuatnya meragu ditiap detik hingga akhir waktu. Lebih baik disini. Betul. Menyadari hal itu, Theodore yang masih berusia dua puluh

  • What the hell, Tetangga!   Fakta pertama

    Sabtu sore adalah jadwal paten dalam hidup Jane untuk menggunakan serangkaian perawatan wajah. Kendati sudah tak ada partner gelut yang suka ikut pakai dan berakhir dengan saling memakaikan, Jane tentu harus tetap merawat kulit wajahnya dengan rajin. Investasi pada tubuh itu penting, ladies. Jane menepuk-nepuk wajahnya yang masih basah karena baru selesai mencuci muka serta eksfoliasi. Didepan meja rias, gadis dewasa yang memakai tangtop putih serta celana bahan sebatas paha itu kemudian membuka satu bungkus sheet mask. Mengeluarkan isi tisyu penuh serum yang bergizi bagi kulit dengan hati-hati, melebarkannya lalu ia tempelkan di muka. Menekan-nekan pelan agar menempel sempurna sebelum meneteskan semua sisa serum yang ada dibungkus kewajah serta lehernya. Mulut kecil wanita itu tak selesai bergumam nada dari sebuah lagu, meski tak terdengar jelas lagu berjudul apa. Yang jelas, itu adalah pertanda bahwa ia sedang gembira. Setelah se

Latest chapter

  • What the hell, Tetangga!   EPILOG

    7 tahun kemudian.- “What the hell!” Umpatan itu terdengar dari mulut anak laki-laki yang tengah duduk dikursi penumpang mobil, mengudara jelas saat hening tengah melanda, ponsel lipat baru pemberian kakeknya yang sedang ia gunakan untuk bermain games tiba-tiba saja berbunyi mengacaukan permainannya. Menampilkan notifikasi panggilan. Theo yang duduk di kursi kemudi menoleh, matanya menyorot sang putra sulung berusia tujuh tahun yang baru saja mengumpat di depan hidungnya. “Siapa yang ngajarin kamu kata itu?” tanya Theo. Anak laki-laki yang memiliki wajah perpaduan apik dari ayah dan ibunya itu menoleh, memerkan raut muka acuh. “Sam sering dengar mommy bilang begitu.” Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kata orang begitu. Dan Theo sudah membuktikannya sendiri. Bagaimana Samuel memiliki sifat acuh yang diturunkan darinya namun juga memiliki sisi nakal Jane yang sulit diatur. “Dad,” panggil bocah tampan itu, mata

  • What the hell, Tetangga!   Angel is come

    --Suara detik jarum jam mengisi kekosongan dalam hampanya ruang hening yang diputari dinding berwarna putih itu. Ruang yang besar dan berisi satu ranjang lengkap dengan sofa dan meja disana. Ada satu wanita yang tengah berbaring dengan mata menutup diatas brangkar itu, memakai pakaian berwarna biru khas pasien rumah sakit sementara pada tangan kanannya terdapat selang menjuntai yang terhubung dengan satu kantong infus menggantung. Jane bergerak kecil, wajahnya yang cantik megerut tipis kala merasa pilu disetiap sendi tubuh. Bahkan untuk melakukan gerakan kecil saja Jane harus menahan pegal. Wanita dua puluh delapan tahun itu akhirnya membuka mata, menatap segenap putih langit-langit ruangan, sebelum kemudian menggerakan kepala sedikit, Jane sadar betul ia sedang berada dimana jadi tak perlu lagi drama seperti aku dimana, aku siapa. Dan Jane tidak menemukan siapapun kecuali presesi adik perempuannya yang tengah duduk disana. Serin yang semu

  • What the hell, Tetangga!   Sorry

    Suara gemercik air mengalir masih terdengar deras dari kamar mandi yang pintunya tertutup rapat itu. Hari sudah melewati fajar, jarum jam menunjuk angka tujuh, sementara satu onggok tubuh kecil wanita yang berbalut selimut disana seakan tidak punya niatan untuk membuka mata. Theo sudah selesai dengan ritual mandinya, jelas kalau ia sudah terlambat untuk berangkat ke kantor tetapi meski begitu, Theo dengan santai berpakaian, sesekali melirik istrinya yang masih terlelap tentram tanpa usik kendati Theo bolak-balik diruang tidur mereka. Rampung berpakaian Theo mulai melangkahkan kaki mendekati ranjang, duduk ditepian kasur. Matanya memandangi bagaimana cara oksigen dihirup dengan ritme tenang oleh Jane, melihat cantik dari wajah istrinya yang entah kapan luntur itu. Theo tidak berniat untuk membangunkan Jane sama sekali. Ia cukup tau diri. Setelah semalam dan subuh tadi Jane memenuhi keinginan batinnya, Theo tentunya tidak tega kalau harus membuat Jane d

  • What the hell, Tetangga!   Couple things

    Siang yang cerah diakhir pekan ini Jane memutuskan untuk menghabiskan waktu dirumah, bermain bersama anjing-anjingnya serta merebah guna menonton serial televisi.Benar. Akhir pekan, yang artinya Theo sedang ada dirumah.Namun dimana pria itu sekarang? Jane pernah bilang kalau Theo itu punya penyakit akut perfeksionis menyangkut pekerjaan bukan? Iya, hari ini pun, bahkan saat akhir pekan yang harusnya digunakan untuk liburan ini Theo masih menerima telfon dari orang kantor, menganggurkan istrinya yang cantik dan seksi, membuatnya menonton sendirian.Untung suami sendiri, rutuk Jane dalam hati. Kalau tidak, sudah Jane tukar tambah.Jane mendesah bosan. Ia meraih remote dimeja dengan ujung kakinya dan segera mengganti saluran televisi yang tengah menyajikan pertengkaran ala anak muda yang sangat iyuh untuk ditonton. Mengganti channel ke acara pergosipan luar negeri.Memeriksa berita panas apa saja yang sempat ia lewatkan selama satu pek

  • What the hell, Tetangga!   Be kind

    "Apa-apaan kamu? Jangan bercanda, Karin!" Suara keras itu menggema di setiap sudut ruang rumah yang besar ini. Amarah wanita anggun itu sepertinya sudah tak mampu dibendung lagi setelah telinganya mendengar berita yang terlampau mengejutkan. Semburan kalimat yang keras kian lancar mengalir dengan segala raut kecewa yang tak lagi ragu disembunyikan. "Maaf, Mah." sang anak yang matanya sembab dan masih setia menangis itu kembali merisak, menunduk dalam-dalam di sofa dengan jari bertaut, tak mempu menatap mata sang ibu. Jane dan Theo masih terduduk bersebelahan ditempat mereka yang sama. Pada kursi paling jauh dari dua ibu dan anak itu. Menyimak saja, setelah diawal tadi tak disuguhi satu percik ramah pun Jane dan Theo tentunya tidak mau mengatakan hal yang panjang lebar. Jane merestui niat baik Theo yang teringin menuruti kemauan Karin, duduk mendengarkan, menemani wanita itu mengungkapkan kebenaran, dan itu sudah cukup. Jane tidak mau Theo ikut

  • What the hell, Tetangga!   The baby

    "Lu amatiran ya?" Jane menoleh cepat ketika telinganya mendengar suara Maria berbicara demikian. Dengan badan yang masih bergerak karena ada Ares dipangkuannya Jane menaikan alis kebingungan, ia bahkan menoleh ke sekeliling, mengira kalau Maria berbicara bukan padanya. "Apaan?" jawab Jane dengan pertanyaan juga ketika ia yakin kalau pertanyaan tentang amatir itu memang ditujukan untuknya. Wanita cantik yang rambutnya blonde itu mendecak-decak sembari menggelengkan kepala, dia kemudian mengukurkan tangan dan menyentuh sekitaran leher Jane. Jane mendelik kecil. "Nanti kakak ajarin adek cara menutup hickey dengan baik dan benar ya." Jangan lupa dengan nada suara Maria saat mengatakan itu. Jane bahkan sampai harus memicing sebal. Kalian tau kalau orang sedang mengejek sambil sok-sok mengajari? Seperti itulah Maria tadi. Tapi Jane juga tidak menyangka kalau tato yang Theo buat tadi pagi tidak tersamarkan dengan benar. Padaha

  • What the hell, Tetangga!   Saranghae

    Pagi ini adalah jadwal rutin Jane untuk berolahraga. Memakai setelan ketat berwarna abu-abu tua dan juga rambut diikat satu Jane masih semangat melakukan gerakan-gerakan yang dilakukan instruktur di televisi sana. Lili memang niat sekali membantu Jane. Bumil itu bahkan memberikan CD senam yang lain, ada yoga, aerobik dan juga senam SKJ. Jane tinggal pilih mau olahraga jenis apa yang sedang ia inginkan. Padahal dari pada sendirian dirumah, Jane inginnya olahraga bersama dengan dua temannya itu. Tapi apalah daya, yang lain sedang sok sibuk dan Jane jadi satu-satunya orang yang kesepian.Jane menyeka sedikit keringat yang mulai muncul di dahinya. Menghela napas panjang sementara ia duduk guna menetralkan lelah, setelah dirasa cukup Jane segera berdiri, mematikan televisi dan menggulung matras berwarna merah muda yang ia gunakan tadi.Beralih melangkahkan kaki menuju dapur, mengambil satu gelas air putih kemudian diteguknya sembari berjalan menuju kamar.

  • What the hell, Tetangga!   Kejujuran

    Jika Jane selalu mengagum-agumkan kelebihan Theo pada setiap kesempatan, entah itu fisik atau kemampuannya, kali ini sebuah kejutan mendatanginya, sebuah pembuktian akan kalimat terkenal yang berbunyi ‘Tuhan itu maha adil’. Karena jika sebelumnya Jane pikir Theo sempurna dengan semua kelebihannya, kini Jane tau satu hal, bahwa Theo takut ketinggian. Dan tentunya Jane memang istri yang laknat karena bukannya khawatir ia justru tertawa terbahak-bahak sembari mengabadikan video dan foto wajah Theo yang pucat ketika berada di puncak. Bahkan Jane mengunggah video singkat saat Theo melakukan lepas landas ke beranda social medianya. ‘Kalo takut tinggi harusnya bilang dari awal dong, babe, denial teross sampe semaput.’ Padahal Theo tidak pingsan, hanya gemetaran dan pucat. Jane tidak henti menggoda Jane akan hal itu bahkan saat mereka sudah sampai di rumah dengan baik hari ini. Setelah pulang dari paralayang, Jane dan Theo langsung pulang ke Tangerang karena

  • What the hell, Tetangga!   Be with you

    Jane pernah mendengar nasihat ini dari seseorang. ‘Hiduplah dalam kebahagiaan, bersyukur, jangan terjun bebas hanya karena sebuah masalah, kalau ada masalah besar anggap kecil. Ada masalah kecil? Anggap tidak ada.’ Dan setuju serratus persen dengan itu. Kalian tau? Hidup tidak selalu harus berpikir atau tentang nelangsa. Meski, tentu saja tidak akan selalu bahagia, sedih juga bagian dari indahnya hidup, namun amat penting untuk manusia bisa menyikapi dengan benar kesedihan itu. Sebab beberapa kali angin menyampaikan, manusia-manusia terlampau frustasi dan menyalahkan masalah yang tengah dihadapi. Kanapa bicara panjang lebar sih, Je. Apa intinya? Jadi intinya, Jane tidak telalu memikirkan hasutan-hasutan negative yang Bu RT dan juga Serin berikan padanya. Jane memikirkannya tentu, hanya saja ia memilih untuk menunggu Theo menjelaskan. Terbukti dengan hari ini. Setelah berkeliling melawat dan berbelanja di Malioboro siang tadi, Jane dan Theo lan

DMCA.com Protection Status