Share

Oh ternyata

Author: Esteifa
last update Last Updated: 2021-05-15 19:06:23

"Ares sayang, baby," Jane menggapai Ares yang tengah duduk manis di kereta bayi. Setelah memastikan kalau Ares memakai diapers barulah Jane berani membawa bayi itu kegendongannya. "Iya sayang, Onty juga bakal kangen kamu kok, jangan nangis ya, nanti mau oleh-oleh apa? Hm? Iron man? Oh BT21?"

Percakapan sepihak itu hanya dibalas tatapan lugu Ares, sedangkan Jane mulai mengecup rakus pipi ares yang mirip roti kukus.

Maria yang melihat pemandangan itu cuma berdecak sebentar sebelum melanjutkan kegiatannya menyiram bunga-bunga di halaman rumah. Jane memang selalu begitu kalau hendak berangkat bertugas. Untung anaknya anteng mau diuwel-uwel kayak apa juga. Dan dilihat dari sini, Jane sudah terlihat pantas jadi ibu, membuat Maria gencar menjodoh-jodohkan kendati dirinya juga memilih setia single.

"Jangan ilerin baju onty ya ganteng, please." Kata Jane cemas ketika Ares mulai menelusupkan kepala ke dadanya, khawatir seragam hitam bercorak batik merah kebanggaannya terbasahi liur Ares.

Maria tertawa puas ketika anak semata wayangnya malah makin mendusel ke dada Jane. "Flight attendant spesial business class mah beda, seragamnya gak boleh bau iler bayi acan."

Jane membenahi letak gendongan bayi di dekapannya. Jangan sampai dia terileri. Meski wangi parfume Chanel no.5 menyeruak layaknya identitas tetapi tetap saja, penampilan nomor satu. Tangan kiri pramugari itu terangkat memeriksa arloji berwarna emas dipergelangan tangan, lalu gadis bersanggul rendah itu memekik.

Pelan-pelan Jane meletakkan kembali Ares ke dalam kereta bayi. "Sudah waktunya hamba menghadapi hiruk priuk kota industri ini yang mulia, hamba pamit."

Setelah itu dengan langkah cepat Jane mengambil tas tangan yang tergolek di kursi teras. Mau langsung menuju Mendes yang sedang dipanaskan, namun, sepertinya harus nanti dulu, langkah Jane berhenti ketika matanya menangkap makhluk Tuhan paling seksi melintas.

Kan? Apa ada yang lebih seksi dari pria matang ganteng jogging pagi-pagi pakai training all Fila, terengah-engah, berkeringat hingga rambutnya basah? Gak ada.

"Pagi, Theo!" Sapa Maria sok akrab.

Jane langsung mendelik sinis, matanya menyerukan sinyal peringatan. Hei. Jane belum lupa soal malam di supermarket itu ya, awas saja kalau kali ini Maria bilang Jane tidak bisa dihubungi di Korea dan minta Theo menyusul.

Mengabaikan picingan mata Jane yang sudah seperti tukang gibah. Maria mematikan selang air sembari berkata.

"Kemarin kamu bilang kalo kamu ini arsitek kan? Saya kebetulan ada niat bikin rumah, enggak dalam waktu dekat sih, bisa bantu ngedesign?"

Secepat kilat Jane mendengkus. Rumah keluarga Maria itu sudah seperti Blue house, gedenya tidak main-main dan lengkap lapangan golf. Sudah jelas. Membuat rumah cuma akal-akalan si Mahmud itu.

Tentu saja usaha agar Jane jadi pelakor. Secara tipe pria yang disukai Maria itu yang gede tinggi brewokan khas manusia timur tengah, yang sipit-sipit manis tapi seksi kayak Theo ini tidak masuk.

Theo mengangguk singkat untuk balasan selamat pagi dari Maria. Kemudian jemari panjang pria itu merogoh saku trainingnya, mengeluarkan ponsel berwarna abu gelap lalu di serahkan pada Maria.

Jane melotot.

"Boleh, hubungi saya kalau sudah mantap."

Ini minta nomor HP? Berkedok bisnis?

Jane tidak menyembunyikan dengusan, hingga Theo mengalihkan pandangan kearahnya.

"Kamu ada penerbangan?" Tanya pria itu retorika.

Eh.

"Lo tau kalo gue pramugari?" Jane menunjuk dirinya sendiri.

"Saya nonton televisi tadi malam, saya liat kamu."

Ini orang benar-benar tidak punya televisi dirumahnya sebelum pindah? Atau Theo sebelumnya tinggal diluar negeri?

Belum juga pertanyaan dikepala Jane terjawab peringatan kecil menyadarkan Jane membuat gadis itu tersentak.

"Astaga!!! Telat! Gue berangkat, titip rumah. Bye!"

"Mbak, sebentar."

Rasanya tuh dejavu. Ini bukan pertama kalinya Jane dipanggil mbak oleh lelaki tiga puluh tahun itu.

Ppffttt. Jane bahkan mendengar Maria menahan tawa begitu.

"Gue bakal lebih menghargai kalo lo nggak manggil gue mbak lagi," kata Jane dengan senyum lebar. "Janela Sarasvati. Panggil Jeje, J, Jane, Jen, Janela or anything. Btw, Lo lebih tua."

Theo mengerjap lambat. "Oh, maaf."

Jane hanya melengos dengan wajah sebal. Lalu menganga ketika sadar lelaki yang tadi menundanya pergi sedang berlari menuju rumah sendiri.

"Sumpah?! Dia ngapain sih pake nyegah gue minggat, malah balik. Gue tuh udah telat banget ini. Kalo kerja kantoran sih gampang masih bisa dijangkau, but my job? Tempat kerja gue terbang-terbang, sekali telat gak bakal bis—"

"Je!" Interupsi Maria. "Itu Theo bawa apaan?"

Menoleh, mendapati pria berpakaian olahraga itu kembali dengan membawa totebag kecil ditangan.

"Buat kamu," ujar Theo.

"Ini apa?" Jane menatap curiga namun tak urung mengambil totebag yang disodorkan padanya.

Setelah dibuka. Isinya adalah satu kotak coklat karamel.

Kebetulan Jane suka makan ini.

Dan kebiasaannya sebelum terbang adalah memakan dua tiga buah cokelat karamel.

"Hampers lagi?" Dahi pramugari mengerut tipis.

"Kebetulan saya ada sisa," sahut Theo. "Kamu bisa makan itu sebelum terbang."

Mata Jane melebar.

Lho kok...

———

Me Jiwoo store.

Ysl cosmetic.

Dua item yang dipesan Maria sudah digenggaman, sekarang gadis yang menggunakan hoodie tyedye dilapisi jumpsuit itu kembali berputar guna mendapatkan sepatu bayi.

Sebenarnya jika mau membeli barang-barang yang lebih murah di Seoul Lili selalu menyarankan pergi ke Daiso, disana perlengkapan rumah, cosmetic harganya affordable bingits, tetapi saat ini dia sedang belanja untuk nona dan cucu sultan, blackcard yang diberikan Maria seakan tak terima kalau ia pergi ke swalayan kecil.

Jangan kira karena Jane dari kemarin memakai parfum dan lipstik chanel, slipper Dior, ada Mendes, berarti Jane itu lahir dari keluarga kaya raya Sultan makmur tujuh turunan seperti Maria. Kastanya beda. Pramugari tujuh tahunan ini cuma anak polisi yang punya beberapa investasi, eyangnya juga cuma bangsawan kolot Jogjakarta.

By the way, Jane belanja sendirian. Karena Jay menyusul ke Korea untuk keperluan kerja —katanya, Lili jadi harus menemani suaminya itu. Dasar bucin.

Jane menapakan kaki menaiki eskalator, matanya memindai kembali mall besar kemilikan Korea ini, terlalu banyak barang uwu disini hingga Jane harus sekali menahan diri untuk tidak belanja, sekarang Jane sedang belajar agar tidak boros, fashion, tas dan sepatu membuat dua lemari dirumah jadi overload, kata Mama Ratna; baju-bajumu Je sudah bisa buat buka toko preloved.

Sneakers putihnya dilangkahkan ke salah satu toko perlengkapan bayi.

This place full of uwu things!

Jane memekik sesekali ketika melihat stuff yang dirasanya cute. Bulu-bulu, pastel, kecil-kecil. Suka sekali yang lucu-lucu begini. Rasanya ingin beli semua untuk Ares. Oke, Jane percaya Maria tidak akan keberatan kalau Jane melakukan itu.

Setelah puas memanjakan mata Jane kembali ke tujuan awal. Sepatu bayi laki-laki dimana tempatnya? Jane menanyakan itu pada pramuniaga yang bertugas menggunakan bahasa Inggris. Dan pramuniaga yang menggunakan baju mirip seragam nurse ini langsung membimbing Jane kelorong-lorong penuh benda kecil yang lucu itu.

Jane menyusuri setiap rak. Mengamati detail sepatu yang menurutnya bagus untuk dipakai oleh pangeran Ares. Saat dirasa tidak cocok, Jane akan melanjutkan langkah kesamping. Lalu matanya menangkap sepatu berwarna coklat, mirip boots bagi orang dewasa tetapi tidak terlalu tinggi dari mata kaki, dan warnanya berpadu dengan cream.

Baby Ares kudu dibelikan yang seperti ini biar nanti gedenya jadi cowok macho.

Oke, I'll pick you up, sepatu cokelat.

Jemari Jane terulur meraih sepasang sepatu bayi itu, namun sebelum ia sampai, ada tangan besar dan panjang yang lebih dulu mengambil sepatu itu yang membuat Jane melotot spontan, sementara pria yang merebut sepatu coklat itu langsung berbalik melangkah. Apaan nih? Jiwa rebutan barang salenya bergejolak.

"Heh dude jangan main srobot ae dong, gue duluan yang am—" gerutuan menggunakan bahasa ibu itu terpotong, diganti mata yang melotot lebih lebar dari sebelumnya. "Kapten?"

Mata sipit lelaki tinggi yang menggunakan binnie hitam itupun menyipit, sepertinya penglihatan pria itu kurang bagus, dan setelah berhasil mengenali Jane, Juni otomatis mendekat seraya berkata. "Wow, hai miss Janela. Kebetulan sekali bertemu disini."

Jane mengerjapkan mata. Imagenya terbang lagi, Mama. Jane sempat merutuki diri sendiri. Kenapa kudu teriak-teriak segala sih, Je!

"Hai, kapten. Lagi belanja?" Jane basa-basi, guna mengusir kecanggungan yang ia rasakan sendirian. Karena Juni terlihat santai, senyum banyak-banyak, dan tangan berurat itu menggenggam sepatu bayi.

"Hm, kamu sendirian?"

Jane mengiyakan.

Tunggu!

Sepertinya kita lupa poin pentingnya.

Kapten Juni, usia 32 tahun, mata sipit body oke dan muka tampan ini sedang berada di toko perlengkapan bayi, sudah menenteng sepasang sepatu yang terlihat amat kecil di telapak tangannya yang besar.

Dia sudah married? Sudah beranak?

Jane menatapi muka Juni dan sepatu ditangan pria itu bergantian. Dan tentu saja amat disadari oleh pria dewasa itu.

"Oh, ini. Maaf, buat kamu saja," kata Juni tak enak. Mengingat teriakan Jane kepadanya tadi. "Saya kalau sudah fokus pada satu hal maka cuma melihat satu itu saja. Em saya nggak ngeh kamu ternyata juga ingin sepatu ini, maaf."

"Eh," pekik Jane otomatis ketika sepatu kecil itu dijejalkan ke telapak tangannya.

Ternyata dalam wajah jenius sang kapten tersembunyi ketidak pekaan.

Memangnya tadi pandangan mata Jane bilang 'itu sepatu buat baby gue, balikin!' tidak kan? Ia lebih penasaran tentang 'lo udah bojoan? Udah ada buntut?!'

Jane tersenyum. "Terimakasih," balasnya.

Jane tentu tidak akan oh, untuk anak kapten saja, pasti lucu kalau pakai ini. Tidak semudah itu ferguso. Jane itu punya jiwa Slytherin, usil, ambisius, kalau ingin ya harus ada ditangan, dan...

"Kapten sudah menikah?"

... blak-blakan.

Juni terlihat mengerjap mata sebelum berdehem, gesturnya seperti orang salah tingkah.

"Saya kelihatan kayak bapak-bapak sekali ya?"

Daddyable lebih tepatnya. Sahut Jane dalam hati.

Pria itu tersenyum lagi, manis-manis yang ada di pipinya nampak lagi. Meneruskan kata-kata sebelumnya. "Tapi, meski muka saya kayak bapak-bapak, percaya nggak percaya, saya masih bujangan."

Jane langsung menggelengkan kepala. "Enggak kok, kapten ganteng dan emang keliatan masih bujangan."

"Oke, makasih," balas Juni sambil mengangguk-angguk.

"Tapi kok belanja kebutuhan bayi?"

Jiwa kepo Jane memang harusnya dipadamkan, apalagi mulutnya tidak pernah bisa dikunci kalau penasaran, ia ceriwis kalau ingin tau.

"Saya lagi tunggu pesanan, karena boring jadi saya lihat-lihat, trus sepatu ini lucu, jadi pengin beli."

Jane menganggukan kepala dengan mulut terbuka membentuk huruf o kecil. Poin penting sudah dikantongi. Kapten Juni belum sell out, Je.

"Kamu sendiri, belanja buat siapa?"

"Ini titipan teman saya. Saya suka buka jastip kalau tugas."

Kemudian terdengar bunyi ponsel, Juni langsung memeriksa smartphone miliknya. "Pesanan saya sudah selesai, saya harus ambil."

Jane tersenyum ramah. "Oke, terimakasih sepatunya dan hati-hati dijalan, kapten."

Menatapi punggung lebar Juni yang sudah menjauh tertelan jarak, Jane kemudian memandangi sepatu bayi yang ada ditangannya. Menghembuskan napas pelan sebelum berbalik menuju kasir.

Membawa dua paperbag berisi sepatu dan satu jaket bulu-bulu keluar gerai pakaian anak-anak tersebut.

Langkah Jane kemudian langsung memasuki pintu kaca yang berjarak dua toko dari yang sebelumnya.

Dua minggu lagi hari lamaran Serin dan sekaligus ulang tahun adiknya. Jane bahkan sudah diwanti-wanti harus bawa kado ketika pulang oleh bocah lemah lembut itu— bawa pacar juga.

Mata Jane langsung di manjakan oleh pernik menyilaukan, Swarovsky brand besar, Lili selalu pamer model perhiasan yang cantik dari brand ini, dan Jane memilih sebuah kalung sebagai kado untuk Serin.

Jane memindai etalase kaca didepannya. Mencari-cari kalung dengan liontin yang tidak terlalu besar, yang terkesan simpel tapi mampu mempercantik tampilan dengan komposisi pas.

"Satu dua kali itu kebetulan, yang ketiga, jangan lupa beri nomor handphone kamu ke saya."

Punggung Jane yang tengah menunduk seketika menegak.

Kenal betul suara ini. Beberapa menit lalu mereka bercakap-cakap.

"Lha?" Sahut Jane cengo. Menghadap pria yang tengah bersidakep dengan wajah santai, jika dilihat dari jarak sedekat ini, ternyata Jane baru sadar kalau bibir bawah Juni terbelah.

"Kenapa? Keberatan saya mintain nomor HP?"

Jane mengerjap polos. "Enggak juga, kapten minta sekarang pun bakal langsung saya kasih."

Juni terkekeh.

"Juni saja, miss Janela." Koreksi Juni waktu kekehan renyahnya mulai reda.

Mengangguk singkat Jane langsung membalas. "Jane saja, Juni."

Ekhem.

Susah memang.

Kalau flirting dengan pria dewasa, yang auranya mencorong, tutur katanya nyaman didengar dan tindak tanduk sopan, nyambung banget lagi. Huh, jadi ingin seriusan.

"What are you looking for?"

"Necklace."

"Yang seperti apa? Nanti saya bantu pilihkan."

Jane ikut melipat tangan di dada, dagunya terangkat jumawa.

"Makasih sebelumnya tapi kalau masalah pilih memilih hal-hal begini nggak ada yang bisa ngalahin saya deh kayaknya."

Kekehan renyah Juni terdengar lagi. "Oke, percaya kok. Jadi mau cari yang kayak apa?"

Jane memutar tubuh, kembali meneliti etalase bersih didepannya.

"Yang simple, sesimple mungkin," desis gadis itu.

Keduanya berdampingan, memilah perhiasan mana yang kiranya cantik untuk dibeli —meski semuanya cantik sih, jemari dua orang itu menunjuk-nunjuk isi etalase, sesekali saling pandang layaknya orang berdiskusi.

"I think this one is nice," opini Juni, menunjuk satu kalung dengan liontin tear drop yang kecil.

Jane mengangguk setuju. "Emm, itu cantik. Yang liontin daisy kecil itu juga bagus."

Juni bertanya kepada Jane apa mau melihat dulu lebih dekat dua kalung itu. Diiringi anggukan, suara husky Juni nyaring tertangkap rungu membuat Jane membelalak. Bukan karena suaranya teramat nyaring. Bukan, tapi Juni berbicara dengan bahasa Korea yang fasih, Jane tidak tau dia bicara apa namun Jane tau kata-kata Juni terlampau lancar.

Lili kalau dengar ini bisa pingsan.

"Kapten bisa ngomong Koreaan?" Tanya Jane antusias, bersamaan dengan itu satu pramuniaga wanita sudah mengeluarkan kalung dari etalase.

Juni terkekeh sedikit melihat raut wajah Jane. "Dikit."

Respon itu singkat, karena obrolan keduanya diinterupsi oleh salah satu pramuniaga.

Oke, Jane memang tidak bisa bahasa Korea.

Tapi setelah menonton lima judul drama. Selain kata; Debak, annyong, gomawo, sarangheyo. Jane juga tau kata; Sajangnim, bujangnim, depyonim.

Dan tadi embak-embak pramu itu bicara bawa-bawa kata depyonim. Depyonim artinya bos atau owner gitukan?

"Kamu pertimbangkan dulu diantara dua ini. Saya mau ketemu seseorang dulu sebentar," kata Juni setelah selesai berbicara dengan pramuniaga tadi. Sedangkan Jane masih sedikit tak percaya, hingga ia cuma mengangguk kaku.

Seraya melihat punggung Juni berlalu memasuki pintu dengan tulisan only staff itu Jane langsung meraih smartphone-nya, mengetik pesan kilat kepada Lili.

'Hot news! Hot news weh!'

'Awas kalo berita dari lo nggak hot menurut gua.'

'Juni bisa ngomong bahasa Korea.'

Balas Jane dengan ketikan cepat. Lalu dia mengangguk ramah pada pramuniaga yang dari tadi menemaninya.

'Juni sapa?'

'Juni pilot kita? Kapten Juni??!'

Dua pesan beruntut itu hanya dibaca. Jane kembali memasukan ponselnya kedalam tas, bermaksud segera memilah kalung agar dia bisa cepat pulang karena tanpa terasa hari sudah sore.

Liontin yang dipilihkan Juni tadi bagus, tapi dia juga suka liontin bunga daisy kecil yang dipilihnya.

"Mom, don't do this..." samar-samar rungu Jane mendengar kalimat rengekan yang membuatnya segera memutar kepala.

Seorang wanita yang berusia sekitar setengah abad dengan gaun hitam selutut juga bergaya rambut lurus mengembang dibagian atas itu terlihat sumringah melangkah kearahnya.

Eh—

Kearahnya?

Jane melotot.

Tatapan matanya kemudian beralih kebelakang wanita cantik itu, ada Juni yang berdiri dengan dahi berkerut.

"Cantik loh, Jun. Kenapa disembunyiin segala," wanita yang Jane yakini adalah ibu Juni ini beropini, menggunakan bahasa Indonesia yang fasih.

Pujian itu untuk Jane, kan?

Dugaan Jane saat ini, Juni itu anak blasteran Indo Korea.

"Oh, selamat sore," pekik Jane pelan ketika sadar ia masih dipandangi dengan antusias.

"Hai cantik, namamu siapa?"

Juni terlihat salah tingkah. Gestur kaku pria itu ketika mengacak rambutnya pelan serta mata yang agak menghindari Jane itu jadi tanda mutlaknya.

"Janela, Bu. Kebetulan saya pramugari di maskapai yang sama dengan kapten Juni." Balas Jane, jemarinya terulur menyalami uluran tangan ibu Juni.

"Saya Arin ibunya Sejuni. Kamu cantik, yang langgeng ya sama Juni, saya pengen dia cepet-cepet sold out."

Netra Jane kembali membola ketika mendengar kalimat itu. Sedangkan Juni sedikit panik menegur ibunya agar tidak bicara macam-macam.

"Juni gimana kalo bawa motor mabur? Gak ugal-ugalan kan? Saya sebenarnya nggak suka dia itu jadi pilot, wong nerbangin drone aja langsung terjun bebas. Juni tuh ceroboh bingit anaknya."

Jane meringis kikuk, pesawat bisa laju ugal-ugalan kah? Salip-menyalip sama awan kah? Jane mengikuti saja ketika Arin merangkulnya dibawa berjalan.

"Tapi dia emang lahir buat nerbangin burung besi, pilot pertama di keluarga besar, jadi meski saudaranya takut naik pesawat Juni-nya malah exited buat terbang."

Aduh kalung buat Serin gimana nasibnya itu. Jane sesekali mengangguk menanggapi curhatan Arin tentang anak-anaknya.

"Kamu kok kelihatannya masih muda benget, usiamu berapa Jane?"

"Mom..."

"Dua delapan, Bu."

"Mau bicara sebentar?" Tawar Arin tanpa mempedulikan teguran ecek-ecek dari belakang tubuhnya.

Sebelum Jane berhasil membuka mulut menjawab, suara Juni lebih dulu menyahut. "Sudah sore, mom. Jane pasti juga lelah seharian memutari Lotte."

Arin mengambil satu langkah lebih dekat, matanya terlihat sedih. "Kamu capek? Padahal mommy kan cuma pengen tau kalian ketemunya gimana, pacarannya gimana, yang nembak duluan sia—"

"Sudah pilih kalungnya?" Kalimat Arin terpotong karena Juni menanyakan itu pada Jane yang dari tadi diam saja.

Jane mengangguk pelan. Sedikit canggung. "Em, yang tear drop."

Lalu Juni memerintah satu pramu untuk mengurus pembelian kalung itu, dan Jane langsung digiring ke kasir, telinganya bahkan ditutup-tutupi agar tidak mendengar kata-kata lanjutan dari Arin yang nyatanya masih bisa terdengar sangat jelas oleh Jane.

Jane sempat menunduk sopan pada Arin ketika Juni kembali menggiringnya keluar Swarovsky setelah selesai mengurus pembayaran, satu pramuniaga bahkan tergopoh-gopoh menyusulkan barang belanjaan Jane yang dititipkan.

"Saya antar ya. Mess pramugari Permata di Heathmoon kan?"

Jane mengangguk dengan senang hati, lalu memasuki mobil sport dua pintu berwarna biru tua setelah Juni duduk di kursi kemudi. Maria memang punya beberapa Lamborghini, dan Jane langganan naik, tetapi sepertinya Jane belum pernah lihat yang sama kayak milik Juni.

"Saya nggak enak sama Bu Arin," ucap Jane ketika kereta roda empat yang ditunggangi melaju membelah jalanan.

"Kenapa?"

"Ya kan lagi diajak ngobrol malah pergi," sahut Jane tak enak. "Kapten sih, narik-narik saya."

Senyum geli terbit diwajah Juni. "Emang kamu mau ditodong pertanyaan tentang jadian sama saya? Kamu baru dibilang buat langgeng aja udah pucet."

Jane langsung mencebik sebal. "Kapten jomblo banget ya?"

"Hei, kata-kata kamu itu menyinggung lho, Jane."

Jane terkikik pelan.

Tapi sebentar, Jane mencoba mengingat-ingat hal yang pernah didengarnya dari berita tentang Swarovsky.

Jane menoleh cepat kearah Juni yang tengah fokus menyetir.

"Bukannya owner Swarovsky itu istrinya yang punya hyunday ya?" Jane bertanya dengan nada pelan ada ketakutan dan ngeri juga.

Iya, hyunday yang itu, perusahaan otomotif terkenal itu, yang produknya lalu lalang tengah melintas disamping mobil yang sedang ditunggangi Jane sekarang.

Juni sedikit berdehem, membuang pandangan kesamping. "Iya."

Hell!

Jeje targetmu kastanya terlalu tinggi untuk kamu yang kentang magel!!

"Tapi kok kapten jadi pilot?"

Kening Juni mengerut tipis. "Emang kenapa kalo saya jadi pilot?"

"Bukannya di drama, anak-anak konglomerat suka meneruskan bisnis orang tuanya? Apa cuma di drama aja?"

Kekehan renyah Juni terdengar lagi. "Bener kok, kakak saya yang mengambil alih Hyunday. Dia memang punya passion dan bakat di bisnis. Kalo saya, pengen jadi pilot dari SMP."

Ohh, jadi Juni punya kakak.

"Kalau kamu?"

"Hm?" Jane memggumam kecil.

Juni melirik sekilas. "Keberatan kalau saya tanya tentang keluarga kamu?"

Ya amplop, sumpah ini demi alex. Jane jadi cengar-cengir tidak jelas, hatinya bersorak mengekspektasi kemungkinan bahwa Juni sedikit menaruh perhatian padanya. Harus selalu tanya banget ya?

"Gak ada yang istimewa dari saya," jawab Jane seadanya. "Bapak saya polisi yang akan pensiun satu tahun lagi dan Mama saya cuma ibu-ibu aja."

"Ibu rumah tangga?"

Gelengan tegas dilayangkan Jane. "Ibu-ibu doang. Mama saya gak pernah masak, nyuci apalagi, no mengerjakan pekerjaan rumah. Tugasnya marahin saya sama adek kalo bandel."

"Kamu juga begitu dong?"

"Begitu gimana?"

"Nanti kalau sudah menikah bakal jadi ibu-ibu saja."

"Ehei. Enggak dong, saya ringsung begini kalau memang sudah menyetujui komitmen maka oke—get it. Ngurus suami, anak, masak, nyuci semuanya."

"Diantara banyaknya perempuan yang lagi kepayahan dengan kesetaraan gender dengan ingin tetap kerja, kamu malah pengen dirumah aja?"

"Emang tadi saya bilang dirumah aja, Jun? Kan, ngurus suami anak sama rumah, kalo selesai ya me time dungs."

Juni terkekeh mendengar jawaban Jane. "Enggak pengen kerja?"

Jane menggeleng. "Belum ada job yang saya inginkan selain pramugari, dan tetap jadi flight attendant setelah married bukan pilihan saya. Enggak tau nanti. Jadi, gitulah."

"That's nice." Juni menganggukan kepala sekali lagi. "Kamu belum makan, kan? Makan malam dulu mau?"

Juni menanyakan itu saat sudah membelokan mobilnya memasuki restoran berlantai tiga, jadi jawaban Jane tidak diperlukan. Lagipula, dia memang sedikit lapar.

Sebelumnya Jane belum pernah merasa tersisihkan kalau menyangkut fashion. Tetapi malam ini, Jane mengakui kalau bajunya tidak cocok dengan cahaya lilin, lampu kristal dan juga meja mewah di restoran yang baru dimasukinya.

Mereka memesan carbonara untuk Juni dan juga chicken salad untuk Jane yang sedang diet, sebenarnya hari ini sedang cheating, ofcorse, siapa yang mau diet dinegara orang yang terkenal dengan kuliner luar biasa ini? Tetapi cheating day bukan berarti Jane bisa makan semua hal yang jelas-jelas kurang baik untuk program dietnya.

Jane mungkin sudah pernah bilang, namun ia ingin mengulang satu kali lagi. Juni pribadi yang amat nyaman.

Sepanjang jalan pulang mereka berbicara hal-hal menarik, tidak terlalu menggebu memang namun cukup untuk mengisi kekosongan.

Dan tidak lama mereka sampai di Heathmoon, Jane tidak mungkin mengajak Juni ikut masuk bertamu sedangkan didalam mess itu ada banyak teman-teman pramugarinya.

"Makasih, Juni."

Jane membungkuk pada jendela mobil yang terbuka, ia tersenyum ketika Juni dengan ramah membalas lambaian tangan. "Sampai jumpa besok."

Maka dengan langkah antusias, bersama lima kantong belanja ditangan Jane memasuki apartemen. Mengubah judul hari ini dari shoping melelahkan menjadi one fine day with new gebetan.

Jane memasuki lift bersama satu orang lelaki paruh baya. Bapak-bapak itu menekan angka tiga belas sebelum bertanya lantai berapa Jane akan pergi, setelah mengatakan lima belas Jane kembali pada dirinya yang tengah kasmaran.

Ting!

Pintu lift terbuka, di lantai tiga belas bapak itu keluar.

Pintu lift hampir saja menutup, namun Jane sempat mendongak dan matanya melihat sesuatu yang seharusnya tidak dia lihat.

Jane langsung menahan pintu agar tetap terbuka.

Disalah satu pintu unit disana, ada seorang pria yang tengah berpelukan dan dikecup pipinya oleh perempuan berpakaian seksi.

Jantung Jane rasanya jatuh ke perut, dan itu berhasil membuatnya merasakan mual yang amat parah.

Bukan, bukan karena kecupan atau pelukan yang terjadi pada pukul sepuluh ini. Tetapi ia tau betul siapa lelaki yang memakai kaos dan celana pendek dengan rambut acak-acakan tadi.

Theo.

Dan perempuan yang sedang melenggang kearahnya untuk memasuki lift itu jelas bukan Karina.

Tentu saja, Theo melihatnya. Pria itu menyadari kehadiran Jane waktu dia mengikuti arah berjalan sang wanita yang baru dipakai.

Theo menatapnya datar, seperti biasa, sedangkan Jane? Jangan tanya seberapa mual dirinya menjadi saksi perselingkuhan ini.

Jane melepaskan tangan, membiarkan pintu tertutup ketika wanita tadi sudah memasuki lift, mereka saling pandang sampai tidak ada lagi celah terbuka diantara pintu lift.

Lalu hanya beberapa detik Jane sudah sampai di lantai ia menginap.

Inilah alasan kenapa Jane hanya flirting saja tanpa mau serius pada laki-laki yang menurutnya menawan.

Laki-laki itu kalau nggak bajingan berarti homo!

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
curiga Theo dimana mana
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • What the hell, Tetangga!   Awal dari penyesalan

    'jangan ngadi-ngadi, lo tau apa kalimat terkenal dinegara kita ini kan? Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan!'Dari sambungan telepon antar negara itu celoteh nyolot tetap dilayangkan Maria. Setelah mendengar dengan pesan singkat dari Jane yang berbunyi: Theo laki bangsat, awas lo kalo tetep jodoh-jodohin gue.Sedangkan Jane? Semua yang dikatakannya nyata. Dia tidak sedang mengarang. Jadi bersamaan jemari lentiknya membenahi tatanan rambut dan gaun tipis berwarna merah yang menantang dengan potongan dada rendah itu Jane cuma memutar mata."Mata gue gak buta, burem aja nggak! Jadi gak perlu meragukan fitnah atau nggak, gue saksinya!"Jane mengimpit ponsel diantara pundak dan telinga, dia mencuci tangan.'mata bisa dipercaya kalo kuping lo juga bisa dengar penjelasannya. Kalo enggak? M

    Last Updated : 2021-05-15
  • What the hell, Tetangga!   Nightmare (18+)

    "Eh eh, apa lu, hah!? Jangan dekat-dekat. Lilili! Ini hik gue mao dicaplok buaya hik tolongin!" Pekikan histeris bernada sumbang dan tak jelas itu tiba-tiba diserukan. "Turunin gue! Biar gue diculik Massimo dan bikin gue jatuh cinta." Supir mobil suv yang sedari tadi hening fokus menyetir juga sekilas melirik kearah wanita bergaun merah yang tengah mengais-ngais jendela mobil dengan tenaga secuil. Mengigau. Karena mabuk. Rambut panjang lurusnya kian kusut, pipi sang gadis merona sempurna, efek alkohol, Jane merengek kecil. Kepalanya berputar dan seluruh isi perutnya bergejolak, apalagi tenggorokannya terasa panas. Tentu saja, lagian siapa yang tidak akan kobam begitu? Setelah benar-benar memberi kecupan untuk permintaan main-main yang diberikan Theo, pramugari jelita itu kembali meneguk dua gelas arak keras. D

    Last Updated : 2021-06-17
  • What the hell, Tetangga!   Hari paling buruk

    Dulu sekali, waktu Jane masih SMP pergosipan ditiap-tiap lorong koridor sekolahnya tak jauh-jauh soal kakak kelas yang bibirnya terlihat jontor tiba-tiba, katanya— hasil cipokan di pojokan wc. Dan Jane percaya teori satu itu, salah satu penyebab jontornya bibir adalah ciuman yang terlalu menggebu-gebu. Lalu dengan mudah gadis-gadis sebayanya mengkategorikan mana cewek-cewek jablay dan mana yang tidak. Dan setelah memasuki SMA dunia pergosipan di circlenya pun mulai glowing up, memasuki tahap yang lebih serius. Maklum, termasuk Maria teman-teman Jane memang tak ada yang waras. Tuh kakak kelas jalannya ngangkang, udah gak prawan pasti. Jane yang teramat realis ini langsung menyeletuk. Apaan, emak gue lahiran dua kali jalannya biasa aja. Awalnya Jane juga iya-iya saja sambil ikut mengira-ngira kakak kela

    Last Updated : 2021-06-17
  • What the hell, Tetangga!   Ex-boyfie

    ——— "Gue lagi nyetir, lu bawel amat sih!" Jika hari-hari biasa Jane akan langsung memandikan Mendes setelah mercy kesayangannya itu dibiarkan berhari-hari diparkiran bandara, ia tak akan membiarkan satu butir debupun menempel pada body sexy Mendes dan langsung menidurkannya di garasi. Tapi tidak untuk kali ini, em— sebetulnya bukan kali ini saja, Jane sudah beberapa kali melakukannya. Menyetir membawa belanjaan hasil jastipnya kerumah Maria. "Inget jalan rumah gue, kan? Gue bunuh lo kalo nyasar lagi, punya otak gak guna banget." Jane menyalahkan sign kanan, memutar kemudi ke kanan pula. Jane tidak perlu navigasi untuk sampai ke lokasi yang sudah lebih dari sepuluh ia datangi kan? Sebenarnya butuh, soalnya rumah Maria ada di tengah-tengah hutan, tidak punya tetangga, ala-ala mansyur, orang kaya. "Gas pol gak usah lelet. Gue ngga

    Last Updated : 2021-06-22
  • What the hell, Tetangga!   Sponsor bersemangat

    Malam sudah datang.Komplek perumahan yang biasanya ramai ini tak seramai hari biasa, tak ada suara rengekan bayi, ataupun ibu-ibu muda yang rempongnya melebihi gadis remaja telat datang bulan.Jane dirumah sendirian.Malu mengatakannya namun, Iya, Jane memang merasa sedikit kesepian.Sesore ini hanya ditemani oleh tayangan netfix series yang sudah ditontonnya dua kali dan beberapa pesan singkat dari rekan kerja yang mungkin baru mendengar kabar bahwa ia di PHK.Bertanya ada apa dan kenapa bisa.Jane hanya mendesah kecil, membalas dalam grup obrolan. I'm Jane, i'm oke!Dan beberapa dari mereka berkata kalau ingin mengunjungi rumah Jane esok hari. Jane mengijinkan tentu saja, dengan syarat harus membawa beberapa menu minuman dari kedai kopi terkenal.Setelah itu? Setelah dramanya selesai dan ia sudah membalas semua pesan ya

    Last Updated : 2021-06-23
  • What the hell, Tetangga!   Have a nightmare!

    Dengan gerak jurus seribu bayangan Jane langsung menutup pintu rumahnya secepat kilat. Memukuli kepalanya sendiri karena terlalu malu. Kenapa ia bisa punya kepercayaan diri yang tumpah-ruah seperti ini sih? Dari siapa turunnya? Jane kira Theo ingin membahas hal-hal yang sebelumnya terjadi. Tetapi ternyata, semua adalah hasil dari naskah yang dibuat Maria. Jane membenarkan tata rambutnya dengan cepat. Ia menetralkan napas dengan tenang, meyakinkan dirinya kalau apa yang baru terjadi memang tidak sememalukan itu. Jane berdehem kecil, ia kemudian membuka kembali pintu rumahnya. Manusia tinggi besar rupawan tadi juga masih disitu. Memasukan beberapa anak rambut di sela daun telinga Jane kemudian mendongak dengan ekspresi yang masih tak bisa diajak kompromi. "Gue pernah bilang, kan?" tanya Jane tiba-tiba. Taehyung menoleh pada Jane. "Hm?" Tidak terlalu m

    Last Updated : 2021-06-23
  • What the hell, Tetangga!   Cinta pertama

    ——— "Ganteng banget Weh, ampun Jane, punya tetangga caem begini diam-diam bae." Jane memutar mata malas satu kali lagi. Siapa yang sangka. Kata-kata 'kita ke rumah lo besok' yang dimaksud oleh rekan-rekan seprofesinya ini adalah tepat besok setelah mereka landing dari penerbangan, yang mana subuh-subuh sekali, waktu Jane masih terpejam dalam kedamaian tiba-tiba ada segerombolan wanita berseragam datang kerumahnya membawa kopi dan juga makanan manis. Dan juga! Hei! Kenapa hari ini harus akhir pekan sih! Kenapa tidak hari kerja saja. Waktu berkumpul ciwi-ciwi jadi harus terpecah setelah satu burung merpati melintas, mengunakan setelan olahraga yang pas di tubuh dan juga badan berkeringat karena telah berkeliling komplek perumahan. Jane jadi berpikir. Mereka ini mau acara pelepasan Jane dari maskapai atau cuma menonton manusia yang se

    Last Updated : 2021-06-24
  • What the hell, Tetangga!   Oktober 2015

    Tanggerang, 2015.Bandar Udara internasional Soekarno Hatta.— Waktu itu seorang laki-laki berusia awal dua puluhan duduk di bangku tunggu yang terlihat kosong dengan menenteng satu lembar tiket pesawat ditangan. Ia menatap bergantian antara tiket itu dengan ubin bandara sebagai landasan pikiran. Menimbang kembali. Iya atau tidak. Berangkat atau jangan. Sampai akhirnya ia hanya bisa mengerjap tipis ketika bunyi pengumuman berhasil mampir ke rungunya. Ia tertinggal pesawat. Tak apa. Tidak terlalu terasa mengesalkan. Malah sebaliknya, ia merasa batu ragu yang ada di benaknya telah terangkat. Semuanya wajar untuk ukuran anak yang diperintahkan pergi dari rumahnya sendiri untuk hidup bersama sang ayah di benua jauh. Meski sejujurnya ia amat sangat enggan. Membuatnya meragu ditiap detik hingga akhir waktu. Lebih baik disini. Betul. Menyadari hal itu, Theodore yang masih berusia dua puluh

    Last Updated : 2021-06-24

Latest chapter

  • What the hell, Tetangga!   EPILOG

    7 tahun kemudian.- “What the hell!” Umpatan itu terdengar dari mulut anak laki-laki yang tengah duduk dikursi penumpang mobil, mengudara jelas saat hening tengah melanda, ponsel lipat baru pemberian kakeknya yang sedang ia gunakan untuk bermain games tiba-tiba saja berbunyi mengacaukan permainannya. Menampilkan notifikasi panggilan. Theo yang duduk di kursi kemudi menoleh, matanya menyorot sang putra sulung berusia tujuh tahun yang baru saja mengumpat di depan hidungnya. “Siapa yang ngajarin kamu kata itu?” tanya Theo. Anak laki-laki yang memiliki wajah perpaduan apik dari ayah dan ibunya itu menoleh, memerkan raut muka acuh. “Sam sering dengar mommy bilang begitu.” Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kata orang begitu. Dan Theo sudah membuktikannya sendiri. Bagaimana Samuel memiliki sifat acuh yang diturunkan darinya namun juga memiliki sisi nakal Jane yang sulit diatur. “Dad,” panggil bocah tampan itu, mata

  • What the hell, Tetangga!   Angel is come

    --Suara detik jarum jam mengisi kekosongan dalam hampanya ruang hening yang diputari dinding berwarna putih itu. Ruang yang besar dan berisi satu ranjang lengkap dengan sofa dan meja disana. Ada satu wanita yang tengah berbaring dengan mata menutup diatas brangkar itu, memakai pakaian berwarna biru khas pasien rumah sakit sementara pada tangan kanannya terdapat selang menjuntai yang terhubung dengan satu kantong infus menggantung. Jane bergerak kecil, wajahnya yang cantik megerut tipis kala merasa pilu disetiap sendi tubuh. Bahkan untuk melakukan gerakan kecil saja Jane harus menahan pegal. Wanita dua puluh delapan tahun itu akhirnya membuka mata, menatap segenap putih langit-langit ruangan, sebelum kemudian menggerakan kepala sedikit, Jane sadar betul ia sedang berada dimana jadi tak perlu lagi drama seperti aku dimana, aku siapa. Dan Jane tidak menemukan siapapun kecuali presesi adik perempuannya yang tengah duduk disana. Serin yang semu

  • What the hell, Tetangga!   Sorry

    Suara gemercik air mengalir masih terdengar deras dari kamar mandi yang pintunya tertutup rapat itu. Hari sudah melewati fajar, jarum jam menunjuk angka tujuh, sementara satu onggok tubuh kecil wanita yang berbalut selimut disana seakan tidak punya niatan untuk membuka mata. Theo sudah selesai dengan ritual mandinya, jelas kalau ia sudah terlambat untuk berangkat ke kantor tetapi meski begitu, Theo dengan santai berpakaian, sesekali melirik istrinya yang masih terlelap tentram tanpa usik kendati Theo bolak-balik diruang tidur mereka. Rampung berpakaian Theo mulai melangkahkan kaki mendekati ranjang, duduk ditepian kasur. Matanya memandangi bagaimana cara oksigen dihirup dengan ritme tenang oleh Jane, melihat cantik dari wajah istrinya yang entah kapan luntur itu. Theo tidak berniat untuk membangunkan Jane sama sekali. Ia cukup tau diri. Setelah semalam dan subuh tadi Jane memenuhi keinginan batinnya, Theo tentunya tidak tega kalau harus membuat Jane d

  • What the hell, Tetangga!   Couple things

    Siang yang cerah diakhir pekan ini Jane memutuskan untuk menghabiskan waktu dirumah, bermain bersama anjing-anjingnya serta merebah guna menonton serial televisi.Benar. Akhir pekan, yang artinya Theo sedang ada dirumah.Namun dimana pria itu sekarang? Jane pernah bilang kalau Theo itu punya penyakit akut perfeksionis menyangkut pekerjaan bukan? Iya, hari ini pun, bahkan saat akhir pekan yang harusnya digunakan untuk liburan ini Theo masih menerima telfon dari orang kantor, menganggurkan istrinya yang cantik dan seksi, membuatnya menonton sendirian.Untung suami sendiri, rutuk Jane dalam hati. Kalau tidak, sudah Jane tukar tambah.Jane mendesah bosan. Ia meraih remote dimeja dengan ujung kakinya dan segera mengganti saluran televisi yang tengah menyajikan pertengkaran ala anak muda yang sangat iyuh untuk ditonton. Mengganti channel ke acara pergosipan luar negeri.Memeriksa berita panas apa saja yang sempat ia lewatkan selama satu pek

  • What the hell, Tetangga!   Be kind

    "Apa-apaan kamu? Jangan bercanda, Karin!" Suara keras itu menggema di setiap sudut ruang rumah yang besar ini. Amarah wanita anggun itu sepertinya sudah tak mampu dibendung lagi setelah telinganya mendengar berita yang terlampau mengejutkan. Semburan kalimat yang keras kian lancar mengalir dengan segala raut kecewa yang tak lagi ragu disembunyikan. "Maaf, Mah." sang anak yang matanya sembab dan masih setia menangis itu kembali merisak, menunduk dalam-dalam di sofa dengan jari bertaut, tak mempu menatap mata sang ibu. Jane dan Theo masih terduduk bersebelahan ditempat mereka yang sama. Pada kursi paling jauh dari dua ibu dan anak itu. Menyimak saja, setelah diawal tadi tak disuguhi satu percik ramah pun Jane dan Theo tentunya tidak mau mengatakan hal yang panjang lebar. Jane merestui niat baik Theo yang teringin menuruti kemauan Karin, duduk mendengarkan, menemani wanita itu mengungkapkan kebenaran, dan itu sudah cukup. Jane tidak mau Theo ikut

  • What the hell, Tetangga!   The baby

    "Lu amatiran ya?" Jane menoleh cepat ketika telinganya mendengar suara Maria berbicara demikian. Dengan badan yang masih bergerak karena ada Ares dipangkuannya Jane menaikan alis kebingungan, ia bahkan menoleh ke sekeliling, mengira kalau Maria berbicara bukan padanya. "Apaan?" jawab Jane dengan pertanyaan juga ketika ia yakin kalau pertanyaan tentang amatir itu memang ditujukan untuknya. Wanita cantik yang rambutnya blonde itu mendecak-decak sembari menggelengkan kepala, dia kemudian mengukurkan tangan dan menyentuh sekitaran leher Jane. Jane mendelik kecil. "Nanti kakak ajarin adek cara menutup hickey dengan baik dan benar ya." Jangan lupa dengan nada suara Maria saat mengatakan itu. Jane bahkan sampai harus memicing sebal. Kalian tau kalau orang sedang mengejek sambil sok-sok mengajari? Seperti itulah Maria tadi. Tapi Jane juga tidak menyangka kalau tato yang Theo buat tadi pagi tidak tersamarkan dengan benar. Padaha

  • What the hell, Tetangga!   Saranghae

    Pagi ini adalah jadwal rutin Jane untuk berolahraga. Memakai setelan ketat berwarna abu-abu tua dan juga rambut diikat satu Jane masih semangat melakukan gerakan-gerakan yang dilakukan instruktur di televisi sana. Lili memang niat sekali membantu Jane. Bumil itu bahkan memberikan CD senam yang lain, ada yoga, aerobik dan juga senam SKJ. Jane tinggal pilih mau olahraga jenis apa yang sedang ia inginkan. Padahal dari pada sendirian dirumah, Jane inginnya olahraga bersama dengan dua temannya itu. Tapi apalah daya, yang lain sedang sok sibuk dan Jane jadi satu-satunya orang yang kesepian.Jane menyeka sedikit keringat yang mulai muncul di dahinya. Menghela napas panjang sementara ia duduk guna menetralkan lelah, setelah dirasa cukup Jane segera berdiri, mematikan televisi dan menggulung matras berwarna merah muda yang ia gunakan tadi.Beralih melangkahkan kaki menuju dapur, mengambil satu gelas air putih kemudian diteguknya sembari berjalan menuju kamar.

  • What the hell, Tetangga!   Kejujuran

    Jika Jane selalu mengagum-agumkan kelebihan Theo pada setiap kesempatan, entah itu fisik atau kemampuannya, kali ini sebuah kejutan mendatanginya, sebuah pembuktian akan kalimat terkenal yang berbunyi ‘Tuhan itu maha adil’. Karena jika sebelumnya Jane pikir Theo sempurna dengan semua kelebihannya, kini Jane tau satu hal, bahwa Theo takut ketinggian. Dan tentunya Jane memang istri yang laknat karena bukannya khawatir ia justru tertawa terbahak-bahak sembari mengabadikan video dan foto wajah Theo yang pucat ketika berada di puncak. Bahkan Jane mengunggah video singkat saat Theo melakukan lepas landas ke beranda social medianya. ‘Kalo takut tinggi harusnya bilang dari awal dong, babe, denial teross sampe semaput.’ Padahal Theo tidak pingsan, hanya gemetaran dan pucat. Jane tidak henti menggoda Jane akan hal itu bahkan saat mereka sudah sampai di rumah dengan baik hari ini. Setelah pulang dari paralayang, Jane dan Theo langsung pulang ke Tangerang karena

  • What the hell, Tetangga!   Be with you

    Jane pernah mendengar nasihat ini dari seseorang. ‘Hiduplah dalam kebahagiaan, bersyukur, jangan terjun bebas hanya karena sebuah masalah, kalau ada masalah besar anggap kecil. Ada masalah kecil? Anggap tidak ada.’ Dan setuju serratus persen dengan itu. Kalian tau? Hidup tidak selalu harus berpikir atau tentang nelangsa. Meski, tentu saja tidak akan selalu bahagia, sedih juga bagian dari indahnya hidup, namun amat penting untuk manusia bisa menyikapi dengan benar kesedihan itu. Sebab beberapa kali angin menyampaikan, manusia-manusia terlampau frustasi dan menyalahkan masalah yang tengah dihadapi. Kanapa bicara panjang lebar sih, Je. Apa intinya? Jadi intinya, Jane tidak telalu memikirkan hasutan-hasutan negative yang Bu RT dan juga Serin berikan padanya. Jane memikirkannya tentu, hanya saja ia memilih untuk menunggu Theo menjelaskan. Terbukti dengan hari ini. Setelah berkeliling melawat dan berbelanja di Malioboro siang tadi, Jane dan Theo lan

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status