Dan Jane percaya teori satu itu, salah satu penyebab jontornya bibir adalah ciuman yang terlalu menggebu-gebu.
Lalu dengan mudah gadis-gadis sebayanya mengkategorikan mana cewek-cewek jablay dan mana yang tidak.
Dan setelah memasuki SMA dunia pergosipan di circlenya pun mulai glowing up, memasuki tahap yang lebih serius. Maklum, termasuk Maria teman-teman Jane memang tak ada yang waras.
Tuh kakak kelas jalannya ngangkang, udah gak prawan pasti.
Jane yang teramat realis ini langsung menyeletuk.
Apaan, emak gue lahiran dua kali jalannya biasa aja.
Awalnya Jane juga iya-iya saja sambil ikut mengira-ngira kakak kelas mana yang kiranya masih prawan dan yang tidak.
Tapi kemudian seiring berkembangnya gosip-gosip itu Jane jadi enggan mendengarkan lagi, ia sebenarnya sadar memikirkan urusan orang yang sama sekali tidak penting, apalagi setelah tuduhan teman-temannya bertambah tidak masuk akal.
ML itu sakit. Tuh liat muka senior pada pucet, pinggang melar, teteknya gede bet, keliatan kayak ibu-ibu.
Entah ini penting atau tidak untuk dikatakan tapi Jane ingat sekali dulu waktu Maria berkata demikian Jane membalas dengan kibasan tangan. Tidak percaya, kalo making love memang sakit kenapa cewek pada mau diajak begituan, dan juga, soal fisik kan bisa saja cewek melar karena jarang olahraga?
Tetapi sekarang?
Jane sudah membuktikan poin pertama teori katanya yang pernah Maria bilang. Sakit.
Lalu setelah ini, apa badan Jane akan jadi melar?
"Mau sekali lagi?"
Jane benar-benar merasakan tubuhnya mati rasa waktu mendengar kalimat itu, terlebih ketika tau manusia brengsek mana yang mengatakannya.
Bahkan perihnya belum hilang, bajingan!
Oke, benar kalau Jane tidak akan meraung keras-keras setelah sadar ia telanjang dengan pria orang, waras saja, menyesal pasti dirasa.
Jadi, meskipun tanah serasa bergetar lengkap dengan kepala pening juga perut terobrak-abrik. Jane masih mampu berlari menyingkir dari ranjang, menghindar dari manusia berbatang disana.
Menarik selimut lalu menuju lorong tanpa pintu yang ternyata adalah walk in closet.
Jane menggigit bibir gelisah, umpatan dalam batin gadis— wanita itu tak kunjung reda.
Oke, tenang Jeje, tenang!
Jane mengambil nafas panjang lalu mengeluarkannya. Mengangguk-angguk kepala meyakinkan diri bahwa yang dia lakukan selama mabuk semalam tidak akan sememalukan itu.
Menyambar kaos serta sweat pants dengan cepat, gerakan Jane terhenti, memeta isi lemari didepannya, dua detik ia sadar kalau ternyata isi lemari-lemari besar ini adalah pakaian perempuan.
Tangan Jane terulur membuka salah satu laci, ada beberapa setel pakaian dalam yang masih baru.
Punya tunangannya?
Atau, punya perempuan yang kemarin itu?
Oke, punya siapapun itu. Jane pinjam dulu.
Jane menggelengkan kepala, bukan saatnya memikirkan itu, tidak penting.
Setelah Jane menemukan kamar mandi, membersihkan diri kilat, memakai baju lalu ia keluar dengan keyakinan diri kuat.
Cuma ONS gak akan mati, Je. Selama kanjeng ratu Ratna nggak tau, lo—.
Pupil mata Jane melebar seketika, tenaganya tiba-tiba terkuras hingga ia meluruh ke lantai.
Anjrit!
Ini jam berapa? Dia harus terbang jam delapan!
Jane langsung berlari, keluar kamar yang ternyata sudah rapih dan menemukan Theo di kursi dengan dua cangkir kopi dimeja.
Ia sempat melirik jam, dan ia sudah absolutely terlambat.
Jane mengepalkan tangan disamping tubuh. Theo mendongak kearahnya menatap dengan tatapan datarnya, memakai kaos putih dan diwajah pria itu ada kacamata, dan yah, terlihat amat santai.
Kopi dan kacamata baca.
"Tas gue mana," kata Jane cepat-cepat.
Theo terlihat diam beberapa saat, matanya mengerjap pelan sebelum tangan itu menunjuk sofa diseberang. Menyuruh Jane untuk duduk.
"Kamu—"
"Tas. Gue. Mana," potong Jane tak sabar.
Hembusan napas terdengar samar, mata Jane juga belum berpindah, masih tajam menatap Theo.
Theo melirik kearah kanan, otomatis Jane mengikuti arah pandangan pria itu, diatas meja marmer itu terdapat slingbag merah jambu miliknya.
Jane langsung meraihnya, diruangan ini rasanya amat sesak jadi Jane berniat segera berlalu pergi. Namun sebelum langkahnya mencapai pintu suara berat Theo menghentikan.
"Saya harus bicara sama kamu."
Jane mendengkus. Apa scene selanjutnya adalah Jane diberi segepok uang karena telah menemani lelaki itu semalam? Cek dengan nominal fantastis? Kayak di novel karangan Maria?
Jane Memutar balik tubuhnya.
"Gue gak sebodoh itu buat buka aib ke orang lain, gue nggak akan bilang siapapun. Jangan khawatir."
Bibir Theo sedikit terbuka, ia mengerjap. "Bukan—."
"Dan gue mau lo juga melakukan hal yang sama." Jane menekan setiap kata. "Ralat— gue mau lo lupain, anggap aja nothing happened between us last night," ujar Jane lagi serius.
Dan melihat Theo malah memasukan tangan ke kantong celana serta memberi gestur berpikir, Jane langsung berkata lagi.
"Baju cewek lo bakal gue ganti di Indonesia."
Melihat Jane berniat pergi, Theo langsung berdiri mencegah.
"Keadaan nggak akan jadi lebih baik kalau kamu menghindar."
Hembusan nafas sabar dikeluarkan. Jane menatap seakan mengajak perang. "Trus menurut Lo gue harus mau duduk, ngobrolin gimana kesan-kesan wik-wik sama cowok orang? Gila lo?!"
Satu alis Theo terangkat. Ia belum pernah mendengar perempuan berbicara dengan cara dan frontalitas semacam ini. "Kamu ingatkan semalam? Saya khawatir kamu sa—"
"Lo harus banget nanya apa? Hah!? Selalu begini lo? Wawancara cewek yang baru lo pake?"
"Bahasa kamu..." Theo sedikit memejamkan mata menekan akal sehat. "Mungkin kamu memang ingin tanya itu, tapi bisakah ditanyakan dalam hati saja?"
"Lu ditanya langsung aja gelagapan apalagi kalo gue pake bahasa kalbu! Baper yang ada."
"Baper tidak ada dalam kamus laki-laki dewasa seperti saya, yang saya mau sekarang cuma meluruskan keadaan." Theo menjawab sabar. "Dan kamu cuma perlu menjawab, kalo emang nggak mau bicara lebih lama."
"Gue inget, saking ingetnya pengen gue bedah ni tengkorak." Jane melengos, meski tak jelas dan putus-putus ia sedikit mengingat apa yang dilakukan tadi malam. "Dan gue nggak akan nyalahin lo, jadi cukup bertingkah seolah lo dan gue nggak pernah ketemu satu sama lain di Korea."
Theo diam saja.
"Jangan pernah lo dateng ke rumah gue trus tiba-tiba ngomong 'wikti iti siyi nggik pikii pingimin' dan 'stik kindim siyi hibis' atau 'kimirin kiluir di dilim' trus ngotot mau tanggung jawab."
Jari telunjuk Jane mengacung di depan hidung Theo. Tatapannya menghunus. "Nanas muda! Sprite satu liter! Komik herbal lima sachet aja bisa cegah hamil apalagi alkohol sialan yang gue minum tadi malem."
Mata bulat Theo kini mengerjap cepat sekali. Macam idiot yang sialan tampannya.
"Pokoknya, cuma karena lo prawanin gue, bukan berarti lo harus nikah sama gue. Gak apapa, ikhlas, sana pergi. Jangan cegah gue lagi. Bye maksimal!"
Sekarang Theo mencekal pergelangan tangan Jane guna menunda wanita a itu pergi.
"Kamu ketinggalan pesawat."
Jane hampir-hampir ingin memeriksa telinganya ketika mendengar kalimat itu. "God bless you, Theodore." Jane mendecih. "Lo tau gue ada flight, tapi lo nggak—aish!"
"Pulang sama saya."
Wah wah.
Buaya tidak tau malu.
Jane yakin ajakan pulang bersama ini bukan sekedar basa-basi keramahan antar tetangga saja. Theo benar-benar mau Jane jadi Dakyung.
"Ogah!" Selak Jane keras-keras. "Mending gue jadi gelandangan disini dari pada pulang bareng lo."
Setelah itu, Jane keluar dari unit apartemen Theo. Kaki telanjangnya langsung melangkah menuju lift, menekan dua lantai diatas.
Gak papa Jane. Gak papa, gak akan dipecat. Lo model maskapai, lo pramugari vip, lo sepenting itu, ingat lo bahkan pernah jadi pramugari buat private jet Presdir Permata, tenang, gak akan dipecat.
Jane menjerit seperti orang gila, memukuli kepalanya sendiri.
Apanya yang gak akan dipecat, hah?! Oncom! Lo pikir maskapai punya bapak lo!
———
Memejamkan mata Jane kemudian menunduk dalam-dalam. Dosa oh dosa, apakah ini ganjarannya?
Kenapa Ibu Sabrina harus ingat masalah tiga tahun lalu sih, pikun kek! Kenapa harus membawa masalah waktu ia hampir gelut dengan penumpang sialan yang juga sekaligus mantan pacar Jane masa SMA dulu.
"Kamu tau?"
Jane mendongak sedikit, matanya bergetar gelisah. Sebelum gelengan kecil dipilih ia sebagai jawaban.
"Kesalahan kamu ini mustahil dimaafkan. Bahkan sejak cekcok dengan rekan kerja dan penumpang. Mustahil kamu bertahan sejauh ini, Jane."
Lagi-lagi Jane menunduk.
"Saya bingung sebenarnya apa yang membuat Presdir secara langsung memilih kamu menjadi model padahal menurut saya jelas-jelas Lili atau Desi lebih pantas, mereka cantik dan tentunya lebih teladan daripada kamu."
Jane mendesah amat pelan, sebentar sekali ia mengerjap dan mengalihkan pandangannya kearah lain.
"Kenapa nggak nikah aja Jane, saya yakin kamu sudah lebih dari sekedar matang. Kenapa menyusahkan diri sendiri dengan bekerja padahal kamu nggak kompeten?"
Nafas yang diambil Jane lebih terasa berat. Dan ternyata bukan sekedar firasat belaka, kalimat Ibu Sabrina selanjutnya berhasil membuat jantung Jane mencelos.
"Kamu siapkan surat pengunduran diri dan segera kirim ke saya, kamu boleh pergi sekarang, selamat siang."
Jane membeku ditempat.
Jemari putihnya makin kuat meremat satu sama lain.
Jadi ini akhir dari karir penerbangannya setelah tujuh tahun?
Diusianya yang sudah berada pada ujung dua puluhan ini Jane tidak yakin ada maskapai lain yang akan merekrutnya. So, pengangguran lagi?
Jane mengambil napas panjang, menghembuskannya berat. Ia melirik sepatunya sekilas.
Kan, Lo bukan anak yang punya maskapai Jane.
"Saya permisi, Bu." Pamit Jane setelah mengangguk sopan sembari tersenyum seramah mungkin.
Teringin mendecih ketika Jane melihat Sabrina tidak mengangkat wajah sama sekali, malah sibuk dengan berkas ditangannya.
Jane memutar kaki hendak melangkah, tepat sebelum sampai pintu ia kemudian berbalik, mengingat kalau ia harus mengatakan perpisahan terlebih dahulu.
"Saya minta maaf kalau selama ini sudah cukup merepotkan. Soal pelanggaran yang sama buat— cuma ada tiga kan? Banyak kok staff kabin yang lebih bengal dari saya tapi tetap kerja sampai sekarang."
Jane memandang ibu Sabrina dengan tatapan paling ramah yang ia punya.
"Kalau ibu emang dasarnya nggak suka sama saya bilang aja, nggak usah pakai bilang kalau saya nggak kompeten. Karena saya kompeten. Dan itu alasan Permata mempertahankan saya."
Jane bisa melihat kilatan tak terima di manik mata Ibu Sabrina.
"Ohya— soal model. Lili aja Bu, saya nggak papa, dia visualnya bak Aphrodite. jangan si Desi, ponakan Ibu itu tampangnya kurang menjual." Kata Jane diringi decakan halus. "Saya permisi."
Saat itu.
Waktu langkah Jane sudah berada lebih jauh dari kantor, dalam hati ada satu nama yang Jane sumpahi tak henti-henti.
Jane tidak akan di PHK kalau seseorang tidak memprovokasinya untuk minum alkohol hingga mabuk, Jane tidak akan di PHK kalau Theo membangunkannya lebih awal.
Saat Jane baru duduk di kursi mobil miliknya ponsel ditas kecil berbunyi.
"Hallo, Mah, Iya Jeje pulang lusa. Hm? Enggak, Je ambil cuti."
Jane sebenarnya tidak suka bicara lama-lama di telepon, tetapi saat ini entahlah, sepertinya Jane memang butuh teman bicara.
"Enggak ada apa-apa, udah mulai capek sama bosen kerja. Ohya, anak cowok Tante Ita yang waktu itu mau dikenalin siapa namanya? Hm— atur pertemuan deh, kembaran Paris Hilton mulai bosen menjomblo."
——— "Gue lagi nyetir, lu bawel amat sih!" Jika hari-hari biasa Jane akan langsung memandikan Mendes setelah mercy kesayangannya itu dibiarkan berhari-hari diparkiran bandara, ia tak akan membiarkan satu butir debupun menempel pada body sexy Mendes dan langsung menidurkannya di garasi. Tapi tidak untuk kali ini, em— sebetulnya bukan kali ini saja, Jane sudah beberapa kali melakukannya. Menyetir membawa belanjaan hasil jastipnya kerumah Maria. "Inget jalan rumah gue, kan? Gue bunuh lo kalo nyasar lagi, punya otak gak guna banget." Jane menyalahkan sign kanan, memutar kemudi ke kanan pula. Jane tidak perlu navigasi untuk sampai ke lokasi yang sudah lebih dari sepuluh ia datangi kan? Sebenarnya butuh, soalnya rumah Maria ada di tengah-tengah hutan, tidak punya tetangga, ala-ala mansyur, orang kaya. "Gas pol gak usah lelet. Gue ngga
Malam sudah datang.Komplek perumahan yang biasanya ramai ini tak seramai hari biasa, tak ada suara rengekan bayi, ataupun ibu-ibu muda yang rempongnya melebihi gadis remaja telat datang bulan.Jane dirumah sendirian.Malu mengatakannya namun, Iya, Jane memang merasa sedikit kesepian.Sesore ini hanya ditemani oleh tayangan netfix series yang sudah ditontonnya dua kali dan beberapa pesan singkat dari rekan kerja yang mungkin baru mendengar kabar bahwa ia di PHK.Bertanya ada apa dan kenapa bisa.Jane hanya mendesah kecil, membalas dalam grup obrolan. I'm Jane, i'm oke!Dan beberapa dari mereka berkata kalau ingin mengunjungi rumah Jane esok hari. Jane mengijinkan tentu saja, dengan syarat harus membawa beberapa menu minuman dari kedai kopi terkenal.Setelah itu? Setelah dramanya selesai dan ia sudah membalas semua pesan ya
Dengan gerak jurus seribu bayangan Jane langsung menutup pintu rumahnya secepat kilat. Memukuli kepalanya sendiri karena terlalu malu. Kenapa ia bisa punya kepercayaan diri yang tumpah-ruah seperti ini sih? Dari siapa turunnya? Jane kira Theo ingin membahas hal-hal yang sebelumnya terjadi. Tetapi ternyata, semua adalah hasil dari naskah yang dibuat Maria. Jane membenarkan tata rambutnya dengan cepat. Ia menetralkan napas dengan tenang, meyakinkan dirinya kalau apa yang baru terjadi memang tidak sememalukan itu. Jane berdehem kecil, ia kemudian membuka kembali pintu rumahnya. Manusia tinggi besar rupawan tadi juga masih disitu. Memasukan beberapa anak rambut di sela daun telinga Jane kemudian mendongak dengan ekspresi yang masih tak bisa diajak kompromi. "Gue pernah bilang, kan?" tanya Jane tiba-tiba. Taehyung menoleh pada Jane. "Hm?" Tidak terlalu m
——— "Ganteng banget Weh, ampun Jane, punya tetangga caem begini diam-diam bae." Jane memutar mata malas satu kali lagi. Siapa yang sangka. Kata-kata 'kita ke rumah lo besok' yang dimaksud oleh rekan-rekan seprofesinya ini adalah tepat besok setelah mereka landing dari penerbangan, yang mana subuh-subuh sekali, waktu Jane masih terpejam dalam kedamaian tiba-tiba ada segerombolan wanita berseragam datang kerumahnya membawa kopi dan juga makanan manis. Dan juga! Hei! Kenapa hari ini harus akhir pekan sih! Kenapa tidak hari kerja saja. Waktu berkumpul ciwi-ciwi jadi harus terpecah setelah satu burung merpati melintas, mengunakan setelan olahraga yang pas di tubuh dan juga badan berkeringat karena telah berkeliling komplek perumahan. Jane jadi berpikir. Mereka ini mau acara pelepasan Jane dari maskapai atau cuma menonton manusia yang se
Tanggerang, 2015.Bandar Udara internasional Soekarno Hatta.— Waktu itu seorang laki-laki berusia awal dua puluhan duduk di bangku tunggu yang terlihat kosong dengan menenteng satu lembar tiket pesawat ditangan. Ia menatap bergantian antara tiket itu dengan ubin bandara sebagai landasan pikiran. Menimbang kembali. Iya atau tidak. Berangkat atau jangan. Sampai akhirnya ia hanya bisa mengerjap tipis ketika bunyi pengumuman berhasil mampir ke rungunya. Ia tertinggal pesawat. Tak apa. Tidak terlalu terasa mengesalkan. Malah sebaliknya, ia merasa batu ragu yang ada di benaknya telah terangkat. Semuanya wajar untuk ukuran anak yang diperintahkan pergi dari rumahnya sendiri untuk hidup bersama sang ayah di benua jauh. Meski sejujurnya ia amat sangat enggan. Membuatnya meragu ditiap detik hingga akhir waktu. Lebih baik disini. Betul. Menyadari hal itu, Theodore yang masih berusia dua puluh
Sabtu sore adalah jadwal paten dalam hidup Jane untuk menggunakan serangkaian perawatan wajah. Kendati sudah tak ada partner gelut yang suka ikut pakai dan berakhir dengan saling memakaikan, Jane tentu harus tetap merawat kulit wajahnya dengan rajin. Investasi pada tubuh itu penting, ladies. Jane menepuk-nepuk wajahnya yang masih basah karena baru selesai mencuci muka serta eksfoliasi. Didepan meja rias, gadis dewasa yang memakai tangtop putih serta celana bahan sebatas paha itu kemudian membuka satu bungkus sheet mask. Mengeluarkan isi tisyu penuh serum yang bergizi bagi kulit dengan hati-hati, melebarkannya lalu ia tempelkan di muka. Menekan-nekan pelan agar menempel sempurna sebelum meneteskan semua sisa serum yang ada dibungkus kewajah serta lehernya. Mulut kecil wanita itu tak selesai bergumam nada dari sebuah lagu, meski tak terdengar jelas lagu berjudul apa. Yang jelas, itu adalah pertanda bahwa ia sedang gembira. Setelah se
"Kita nggak melakukannya malam itu." Mendengar kalimat itu, bola mata Jane lantas bergerak-gerak canggung, sebelum kemudian si gadis ayu mengambil satu langkah mundur. Dia tidak mungkin percaya begitu saja. Bisa saja ini hanyalah akal-akalan Theo agar Jane tidak lagi malas dan canggung ketika diajak bicara. Apalagi, malam itu tubuh Jane jadi saksi. Selatannya perih, dilehernya ada beberapa tanda keunguan, perutnya mual dan juga ingat? Ia bangun dalam keadaan telanjang. Siapa yang akan percaya omong kosong itu. "Oke, jadi yang buat cupang di leher gue itu kadal Korea?" desis Jane tak tanggung-tanggung. Theo menyirit. "Yang bikin anu gue perih bukan lo tapi kodok Zimbabwe? Begitu?" Jane melepaskan sisa amunisi pancaran mematikan dari dua matanya. Gadis berkulit lembab itu mendecih."Gak sekalian lo bilang kalo yang telanjangin gue itu sotong Madagaskar?!" "Jeje?!" Panggilan keras dari Ratna mem
"Adek gue tau kalau tunangannya suka datang malam-malam kerumah tetangga buat minta makanan?" Untuk ukuran dua manusia, yang secara nyata adalah merupakan calon kakak dan adik ipar, Theo dan Juni memulai topik perbincangan dengan cara yang kurang mengenakkan. Terang saja, mereka memang tidak terlalu akrab. Pria tinggi yang mempunyai rahang tegas itu memasukan dua tangannya ke dalam kantong celana. Melirik sekilas antara piring nasi yang ada di tangan Theo dan juga wajah sang calon adik ipar secara bergantian. "Mau apa kemari," balas Theo tak basa-basi. Membuat konversasi bersama Juni selalunya harus memakai pasokan tenaga yang banyak. Cukup melelahkan. Hingga Theo kebanyakan diam jika pria yang lebih tinggi darinya itu memancing emosi dengan menggunakan kalimat-kalimat sensitif. Jengkitan pundak dan juga kepala miring menjadi balasan. "Not your business." Sikap yang wajar. Untuk ukuran lumrahnya seorang kakak te
7 tahun kemudian.- “What the hell!” Umpatan itu terdengar dari mulut anak laki-laki yang tengah duduk dikursi penumpang mobil, mengudara jelas saat hening tengah melanda, ponsel lipat baru pemberian kakeknya yang sedang ia gunakan untuk bermain games tiba-tiba saja berbunyi mengacaukan permainannya. Menampilkan notifikasi panggilan. Theo yang duduk di kursi kemudi menoleh, matanya menyorot sang putra sulung berusia tujuh tahun yang baru saja mengumpat di depan hidungnya. “Siapa yang ngajarin kamu kata itu?” tanya Theo. Anak laki-laki yang memiliki wajah perpaduan apik dari ayah dan ibunya itu menoleh, memerkan raut muka acuh. “Sam sering dengar mommy bilang begitu.” Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kata orang begitu. Dan Theo sudah membuktikannya sendiri. Bagaimana Samuel memiliki sifat acuh yang diturunkan darinya namun juga memiliki sisi nakal Jane yang sulit diatur. “Dad,” panggil bocah tampan itu, mata
--Suara detik jarum jam mengisi kekosongan dalam hampanya ruang hening yang diputari dinding berwarna putih itu. Ruang yang besar dan berisi satu ranjang lengkap dengan sofa dan meja disana. Ada satu wanita yang tengah berbaring dengan mata menutup diatas brangkar itu, memakai pakaian berwarna biru khas pasien rumah sakit sementara pada tangan kanannya terdapat selang menjuntai yang terhubung dengan satu kantong infus menggantung. Jane bergerak kecil, wajahnya yang cantik megerut tipis kala merasa pilu disetiap sendi tubuh. Bahkan untuk melakukan gerakan kecil saja Jane harus menahan pegal. Wanita dua puluh delapan tahun itu akhirnya membuka mata, menatap segenap putih langit-langit ruangan, sebelum kemudian menggerakan kepala sedikit, Jane sadar betul ia sedang berada dimana jadi tak perlu lagi drama seperti aku dimana, aku siapa. Dan Jane tidak menemukan siapapun kecuali presesi adik perempuannya yang tengah duduk disana. Serin yang semu
Suara gemercik air mengalir masih terdengar deras dari kamar mandi yang pintunya tertutup rapat itu. Hari sudah melewati fajar, jarum jam menunjuk angka tujuh, sementara satu onggok tubuh kecil wanita yang berbalut selimut disana seakan tidak punya niatan untuk membuka mata. Theo sudah selesai dengan ritual mandinya, jelas kalau ia sudah terlambat untuk berangkat ke kantor tetapi meski begitu, Theo dengan santai berpakaian, sesekali melirik istrinya yang masih terlelap tentram tanpa usik kendati Theo bolak-balik diruang tidur mereka. Rampung berpakaian Theo mulai melangkahkan kaki mendekati ranjang, duduk ditepian kasur. Matanya memandangi bagaimana cara oksigen dihirup dengan ritme tenang oleh Jane, melihat cantik dari wajah istrinya yang entah kapan luntur itu. Theo tidak berniat untuk membangunkan Jane sama sekali. Ia cukup tau diri. Setelah semalam dan subuh tadi Jane memenuhi keinginan batinnya, Theo tentunya tidak tega kalau harus membuat Jane d
Siang yang cerah diakhir pekan ini Jane memutuskan untuk menghabiskan waktu dirumah, bermain bersama anjing-anjingnya serta merebah guna menonton serial televisi.Benar. Akhir pekan, yang artinya Theo sedang ada dirumah.Namun dimana pria itu sekarang? Jane pernah bilang kalau Theo itu punya penyakit akut perfeksionis menyangkut pekerjaan bukan? Iya, hari ini pun, bahkan saat akhir pekan yang harusnya digunakan untuk liburan ini Theo masih menerima telfon dari orang kantor, menganggurkan istrinya yang cantik dan seksi, membuatnya menonton sendirian.Untung suami sendiri, rutuk Jane dalam hati. Kalau tidak, sudah Jane tukar tambah.Jane mendesah bosan. Ia meraih remote dimeja dengan ujung kakinya dan segera mengganti saluran televisi yang tengah menyajikan pertengkaran ala anak muda yang sangat iyuh untuk ditonton. Mengganti channel ke acara pergosipan luar negeri.Memeriksa berita panas apa saja yang sempat ia lewatkan selama satu pek
"Apa-apaan kamu? Jangan bercanda, Karin!" Suara keras itu menggema di setiap sudut ruang rumah yang besar ini. Amarah wanita anggun itu sepertinya sudah tak mampu dibendung lagi setelah telinganya mendengar berita yang terlampau mengejutkan. Semburan kalimat yang keras kian lancar mengalir dengan segala raut kecewa yang tak lagi ragu disembunyikan. "Maaf, Mah." sang anak yang matanya sembab dan masih setia menangis itu kembali merisak, menunduk dalam-dalam di sofa dengan jari bertaut, tak mempu menatap mata sang ibu. Jane dan Theo masih terduduk bersebelahan ditempat mereka yang sama. Pada kursi paling jauh dari dua ibu dan anak itu. Menyimak saja, setelah diawal tadi tak disuguhi satu percik ramah pun Jane dan Theo tentunya tidak mau mengatakan hal yang panjang lebar. Jane merestui niat baik Theo yang teringin menuruti kemauan Karin, duduk mendengarkan, menemani wanita itu mengungkapkan kebenaran, dan itu sudah cukup. Jane tidak mau Theo ikut
"Lu amatiran ya?" Jane menoleh cepat ketika telinganya mendengar suara Maria berbicara demikian. Dengan badan yang masih bergerak karena ada Ares dipangkuannya Jane menaikan alis kebingungan, ia bahkan menoleh ke sekeliling, mengira kalau Maria berbicara bukan padanya. "Apaan?" jawab Jane dengan pertanyaan juga ketika ia yakin kalau pertanyaan tentang amatir itu memang ditujukan untuknya. Wanita cantik yang rambutnya blonde itu mendecak-decak sembari menggelengkan kepala, dia kemudian mengukurkan tangan dan menyentuh sekitaran leher Jane. Jane mendelik kecil. "Nanti kakak ajarin adek cara menutup hickey dengan baik dan benar ya." Jangan lupa dengan nada suara Maria saat mengatakan itu. Jane bahkan sampai harus memicing sebal. Kalian tau kalau orang sedang mengejek sambil sok-sok mengajari? Seperti itulah Maria tadi. Tapi Jane juga tidak menyangka kalau tato yang Theo buat tadi pagi tidak tersamarkan dengan benar. Padaha
Pagi ini adalah jadwal rutin Jane untuk berolahraga. Memakai setelan ketat berwarna abu-abu tua dan juga rambut diikat satu Jane masih semangat melakukan gerakan-gerakan yang dilakukan instruktur di televisi sana. Lili memang niat sekali membantu Jane. Bumil itu bahkan memberikan CD senam yang lain, ada yoga, aerobik dan juga senam SKJ. Jane tinggal pilih mau olahraga jenis apa yang sedang ia inginkan. Padahal dari pada sendirian dirumah, Jane inginnya olahraga bersama dengan dua temannya itu. Tapi apalah daya, yang lain sedang sok sibuk dan Jane jadi satu-satunya orang yang kesepian.Jane menyeka sedikit keringat yang mulai muncul di dahinya. Menghela napas panjang sementara ia duduk guna menetralkan lelah, setelah dirasa cukup Jane segera berdiri, mematikan televisi dan menggulung matras berwarna merah muda yang ia gunakan tadi.Beralih melangkahkan kaki menuju dapur, mengambil satu gelas air putih kemudian diteguknya sembari berjalan menuju kamar.
Jika Jane selalu mengagum-agumkan kelebihan Theo pada setiap kesempatan, entah itu fisik atau kemampuannya, kali ini sebuah kejutan mendatanginya, sebuah pembuktian akan kalimat terkenal yang berbunyi ‘Tuhan itu maha adil’. Karena jika sebelumnya Jane pikir Theo sempurna dengan semua kelebihannya, kini Jane tau satu hal, bahwa Theo takut ketinggian. Dan tentunya Jane memang istri yang laknat karena bukannya khawatir ia justru tertawa terbahak-bahak sembari mengabadikan video dan foto wajah Theo yang pucat ketika berada di puncak. Bahkan Jane mengunggah video singkat saat Theo melakukan lepas landas ke beranda social medianya. ‘Kalo takut tinggi harusnya bilang dari awal dong, babe, denial teross sampe semaput.’ Padahal Theo tidak pingsan, hanya gemetaran dan pucat. Jane tidak henti menggoda Jane akan hal itu bahkan saat mereka sudah sampai di rumah dengan baik hari ini. Setelah pulang dari paralayang, Jane dan Theo langsung pulang ke Tangerang karena
Jane pernah mendengar nasihat ini dari seseorang. ‘Hiduplah dalam kebahagiaan, bersyukur, jangan terjun bebas hanya karena sebuah masalah, kalau ada masalah besar anggap kecil. Ada masalah kecil? Anggap tidak ada.’ Dan setuju serratus persen dengan itu. Kalian tau? Hidup tidak selalu harus berpikir atau tentang nelangsa. Meski, tentu saja tidak akan selalu bahagia, sedih juga bagian dari indahnya hidup, namun amat penting untuk manusia bisa menyikapi dengan benar kesedihan itu. Sebab beberapa kali angin menyampaikan, manusia-manusia terlampau frustasi dan menyalahkan masalah yang tengah dihadapi. Kanapa bicara panjang lebar sih, Je. Apa intinya? Jadi intinya, Jane tidak telalu memikirkan hasutan-hasutan negative yang Bu RT dan juga Serin berikan padanya. Jane memikirkannya tentu, hanya saja ia memilih untuk menunggu Theo menjelaskan. Terbukti dengan hari ini. Setelah berkeliling melawat dan berbelanja di Malioboro siang tadi, Jane dan Theo lan