Kendati sudah tak ada partner gelut yang suka ikut pakai dan berakhir dengan saling memakaikan, Jane tentu harus tetap merawat kulit wajahnya dengan rajin.
Investasi pada tubuh itu penting, ladies.
Jane menepuk-nepuk wajahnya yang masih basah karena baru selesai mencuci muka serta eksfoliasi. Didepan meja rias, gadis dewasa yang memakai tangtop putih serta celana bahan sebatas paha itu kemudian membuka satu bungkus sheet mask.
Mengeluarkan isi tisyu penuh serum yang bergizi bagi kulit dengan hati-hati, melebarkannya lalu ia tempelkan di muka. Menekan-nekan pelan agar menempel sempurna sebelum meneteskan semua sisa serum yang ada dibungkus kewajah serta lehernya.
Mulut kecil wanita itu tak selesai bergumam nada dari sebuah lagu, meski tak terdengar jelas lagu berjudul apa. Yang jelas, itu adalah pertanda bahwa ia sedang gembira.
Setelah se
"Kita nggak melakukannya malam itu." Mendengar kalimat itu, bola mata Jane lantas bergerak-gerak canggung, sebelum kemudian si gadis ayu mengambil satu langkah mundur. Dia tidak mungkin percaya begitu saja. Bisa saja ini hanyalah akal-akalan Theo agar Jane tidak lagi malas dan canggung ketika diajak bicara. Apalagi, malam itu tubuh Jane jadi saksi. Selatannya perih, dilehernya ada beberapa tanda keunguan, perutnya mual dan juga ingat? Ia bangun dalam keadaan telanjang. Siapa yang akan percaya omong kosong itu. "Oke, jadi yang buat cupang di leher gue itu kadal Korea?" desis Jane tak tanggung-tanggung. Theo menyirit. "Yang bikin anu gue perih bukan lo tapi kodok Zimbabwe? Begitu?" Jane melepaskan sisa amunisi pancaran mematikan dari dua matanya. Gadis berkulit lembab itu mendecih."Gak sekalian lo bilang kalo yang telanjangin gue itu sotong Madagaskar?!" "Jeje?!" Panggilan keras dari Ratna mem
"Adek gue tau kalau tunangannya suka datang malam-malam kerumah tetangga buat minta makanan?" Untuk ukuran dua manusia, yang secara nyata adalah merupakan calon kakak dan adik ipar, Theo dan Juni memulai topik perbincangan dengan cara yang kurang mengenakkan. Terang saja, mereka memang tidak terlalu akrab. Pria tinggi yang mempunyai rahang tegas itu memasukan dua tangannya ke dalam kantong celana. Melirik sekilas antara piring nasi yang ada di tangan Theo dan juga wajah sang calon adik ipar secara bergantian. "Mau apa kemari," balas Theo tak basa-basi. Membuat konversasi bersama Juni selalunya harus memakai pasokan tenaga yang banyak. Cukup melelahkan. Hingga Theo kebanyakan diam jika pria yang lebih tinggi darinya itu memancing emosi dengan menggunakan kalimat-kalimat sensitif. Jengkitan pundak dan juga kepala miring menjadi balasan. "Not your business." Sikap yang wajar. Untuk ukuran lumrahnya seorang kakak te
"Adek gue tau kalau tunangannya suka datang malam-malam kerumah tetangga buat minta makanan?"Untuk ukuran dua manusia, yang secara nyata adalah merupakan calon kakak dan adik ipar, Theo dan Juni memulai topik perbincangan dengan cara yang kurang mengenakkan.Terang saja, mereka memang tidak terlalu akrab.Pria tinggi yang mempunyai rahang tegas itu memasukan dua tangannya ke dalam kantong celana.Melirik sekilas antara piring nasi yang ada di tangan Theo dan juga wajah sang calon adik ipar secara bergantian."Mau apa kemari," balas Theo tak basa-basi.Membuat konversasi bersama Juni selalunya harus memakai pasokan tenaga yang banyak. Cukup melelahkan. Hingga Theo kebanyakan diam jika pria yang lebih tinggi darinya itu memancing emosi dengan menggunakan kalimat-kalimat sensitif.Jengkitan pundak dan juga kepala miring menjadi balasan. "Not your business."Sikap yang wajar.Untuk ukuran lumrahnya seorang kakak terhadap ad
Minggu pagi, Tangerang punya cuaca cerah dan juga udara masih arsi. Setelah dua jam berikutnya berganti dengan panas polusi asap kendaraan ciri khas kota hectic yang satu ini. Seperti yang sudah ia janjikan pada ibunya kemarin malam. Jane akan kembali ke rumah sepagian. Membuka mata yang sudah terbiasa bangun pagi itu untuk beraktifitas, mengusung segala sesuatu yang sudah dibelinya untuk acara penting nanti malam. Jane memakai reap jeans high waist dengan kaos pendek berwarna putih yang dilapisi jaket denim. Dara rupawan itu membiarkan rambut lurusnya tergerai indah, menyempurnakan penampilannya wajahnya yang sudah di make up tipis. Tinggal menunggu grab car, Jane menghempaskan dirinya diatas sofa. Jane memeriksa ponselnya kala bunyi notifikasi hinggap ditelinganya. Ada sebuah pesan pemberitahuan sejumlah uang masuk ke dalam rekeningnya. Bayaran hutang dari Edgar. Detik berganti menit namun driver yang dipesan tak kunju
“Nggak usah turun!” seru Jane agak keras, dua tangan gadis itu terbuka dan mengacung memberi gestur agar Theo yang terlihat sedang memegangi seat beltnya tidak beranjak dari tempat. Theo menggerakan bola matanya bingung. Jane menoleh lagi kearah rumahnya, ia merintih kesal, fakta bahwa gerbang putih di depan rumahnya sudah terbuka lebar dan ada satu mobil berwarna merah menyala yang bukan mobil keluarganya terparkir disana membuat Jane tidak ingin turun. Kenapa meraka datang secepat ini sih. Jane memejamkan mata sembari mengibaskan rambut ke belakang. Mereka yang dimaksud Jane barusan adalah keluarga bibi Jane yang tinggal di Jogja, kalau kalian cucu sulung dari sebuah keluarga dan masih single sementara adik serta sepupu yang lain sudah sold out dan beranak pasti kalian tau bagaimana perasaan Jane. Seberapa menyebalkannya. Tidak. Jelas bukan karena Jane minder. Ia super duper malas dengan wejangan yang kadang berlebihan dari adik kand
“Oh, jadi mas ini tetangganya Jeje toh.” Theo hanya menganggukan kepala dan terus berusaha untuk tersenyum saat bibi Jane melemparinya kata-kata panjang Dua orang ibu-ibu yang beberapa saat lalu menggedor-gedor pintu mobilnya ini masih mencoba mencari informasi dengan bertanya perihal hal pribadinya. Seperti usia, anak ke berapa dan lain-lain. Percakapan di sini hanya seperti dilakukan oleh dua orang kendati terdengar sangat ramai. Di sofa sebelah sana ada ibu dan juga ayah Jane. “Mbok ya bilang, kok malah diem aja. Kan jadi salah paham.” Bibi Jane duduk disebelah Theo persis dan mulai menepuk-nepuk pundak Theo dengan jemari berisi miliknya. Theo tersenyum tipis. Tipis sekali, bahkan nyaris tak terlihat. Ia tidak mengatakan apapun dari tadi karena bagaimana mau bilang kalau ia tak di beri luang untuk mengucapkan satu patah kata pun. Dua orang disamping Theo ini seperti sedang relay pertanyaan. Theo bahkan tidak diberi waktu unt
Kicau burung sudah tak terdengar merdu lagi, silau serta panasnya matahari mengalahkan semangat makhluk romantic itu untuk bernyanyi, dan memilih bersembunyi dari balik sangkarnya yang tinggi.Pukul sepuluh.Jika menilik kembali kebiasaan hari-hari Jane sebelum ini, pukul sepuluh merupakan jam yang selalu hectic.Memakai hills lima centi, atasan off shoulders berwarna biru pastel dan juga celana jeans biru muda lalu berdiri meneduh di bawah pohon rindang merupakan hal yang tak pernah Jane lakukan sebelumnya.Gadis tinggi yang rambut hitamnya di gerai itu celingukan, mata bermaskara tipis miliknya mengerjap, memeriksa sekilas benda digital yang berada di pergelangan tangannya.Kemudian mendesah lelah, mengibaskan rambut ke belakang tubuh karena panas.Memangnya ketemuan untuk sesi kencan buta selalu begini ya? Jane tidak begitu paham kenapa si teman kencannya itu menyuruh Jane untuk harus menunggu di bawah
“Sumpah?” Maria kembali menanyakan hal itu dengan wajah memerah setelah tawa terbahak-bahak. Ibu satu anak itu melanjutkan setelah tawanya reda. “Untung lo nggak diminta gantian bayar tukang parkir.” Berbagi itu indah. Namun berbagi pengalaman buruk, tidak seindah itu. Kalau kamu adalah termasuk dalam golongan jiwa-jiwa yang kurang bisa menerima ejekan lebih baik simpan kenangan busuk itu untuk dirimu sendiri. Berbeda dengan Jane. Ia dengan senang hati menerima semua ejekan gila. Bahkan ikut menertawakan kesialannya sendiri. “Nggak lagi-lagi kosplay jadi Mpok Siti.” Jane berikrar demikian. Kedua dara itu tiba-tiba menoleh bebarengan dan lalu tertawa kembali. Sebelum ini, kalau masalah kencan dan segala tetek bengek tentang pejantan, Maria yang paling sering membagikan cerita hariannya. Sebelum patah hati terakhir menghancurkan segenap kepercayaan semu yang ia yakini.
7 tahun kemudian.- “What the hell!” Umpatan itu terdengar dari mulut anak laki-laki yang tengah duduk dikursi penumpang mobil, mengudara jelas saat hening tengah melanda, ponsel lipat baru pemberian kakeknya yang sedang ia gunakan untuk bermain games tiba-tiba saja berbunyi mengacaukan permainannya. Menampilkan notifikasi panggilan. Theo yang duduk di kursi kemudi menoleh, matanya menyorot sang putra sulung berusia tujuh tahun yang baru saja mengumpat di depan hidungnya. “Siapa yang ngajarin kamu kata itu?” tanya Theo. Anak laki-laki yang memiliki wajah perpaduan apik dari ayah dan ibunya itu menoleh, memerkan raut muka acuh. “Sam sering dengar mommy bilang begitu.” Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kata orang begitu. Dan Theo sudah membuktikannya sendiri. Bagaimana Samuel memiliki sifat acuh yang diturunkan darinya namun juga memiliki sisi nakal Jane yang sulit diatur. “Dad,” panggil bocah tampan itu, mata
--Suara detik jarum jam mengisi kekosongan dalam hampanya ruang hening yang diputari dinding berwarna putih itu. Ruang yang besar dan berisi satu ranjang lengkap dengan sofa dan meja disana. Ada satu wanita yang tengah berbaring dengan mata menutup diatas brangkar itu, memakai pakaian berwarna biru khas pasien rumah sakit sementara pada tangan kanannya terdapat selang menjuntai yang terhubung dengan satu kantong infus menggantung. Jane bergerak kecil, wajahnya yang cantik megerut tipis kala merasa pilu disetiap sendi tubuh. Bahkan untuk melakukan gerakan kecil saja Jane harus menahan pegal. Wanita dua puluh delapan tahun itu akhirnya membuka mata, menatap segenap putih langit-langit ruangan, sebelum kemudian menggerakan kepala sedikit, Jane sadar betul ia sedang berada dimana jadi tak perlu lagi drama seperti aku dimana, aku siapa. Dan Jane tidak menemukan siapapun kecuali presesi adik perempuannya yang tengah duduk disana. Serin yang semu
Suara gemercik air mengalir masih terdengar deras dari kamar mandi yang pintunya tertutup rapat itu. Hari sudah melewati fajar, jarum jam menunjuk angka tujuh, sementara satu onggok tubuh kecil wanita yang berbalut selimut disana seakan tidak punya niatan untuk membuka mata. Theo sudah selesai dengan ritual mandinya, jelas kalau ia sudah terlambat untuk berangkat ke kantor tetapi meski begitu, Theo dengan santai berpakaian, sesekali melirik istrinya yang masih terlelap tentram tanpa usik kendati Theo bolak-balik diruang tidur mereka. Rampung berpakaian Theo mulai melangkahkan kaki mendekati ranjang, duduk ditepian kasur. Matanya memandangi bagaimana cara oksigen dihirup dengan ritme tenang oleh Jane, melihat cantik dari wajah istrinya yang entah kapan luntur itu. Theo tidak berniat untuk membangunkan Jane sama sekali. Ia cukup tau diri. Setelah semalam dan subuh tadi Jane memenuhi keinginan batinnya, Theo tentunya tidak tega kalau harus membuat Jane d
Siang yang cerah diakhir pekan ini Jane memutuskan untuk menghabiskan waktu dirumah, bermain bersama anjing-anjingnya serta merebah guna menonton serial televisi.Benar. Akhir pekan, yang artinya Theo sedang ada dirumah.Namun dimana pria itu sekarang? Jane pernah bilang kalau Theo itu punya penyakit akut perfeksionis menyangkut pekerjaan bukan? Iya, hari ini pun, bahkan saat akhir pekan yang harusnya digunakan untuk liburan ini Theo masih menerima telfon dari orang kantor, menganggurkan istrinya yang cantik dan seksi, membuatnya menonton sendirian.Untung suami sendiri, rutuk Jane dalam hati. Kalau tidak, sudah Jane tukar tambah.Jane mendesah bosan. Ia meraih remote dimeja dengan ujung kakinya dan segera mengganti saluran televisi yang tengah menyajikan pertengkaran ala anak muda yang sangat iyuh untuk ditonton. Mengganti channel ke acara pergosipan luar negeri.Memeriksa berita panas apa saja yang sempat ia lewatkan selama satu pek
"Apa-apaan kamu? Jangan bercanda, Karin!" Suara keras itu menggema di setiap sudut ruang rumah yang besar ini. Amarah wanita anggun itu sepertinya sudah tak mampu dibendung lagi setelah telinganya mendengar berita yang terlampau mengejutkan. Semburan kalimat yang keras kian lancar mengalir dengan segala raut kecewa yang tak lagi ragu disembunyikan. "Maaf, Mah." sang anak yang matanya sembab dan masih setia menangis itu kembali merisak, menunduk dalam-dalam di sofa dengan jari bertaut, tak mempu menatap mata sang ibu. Jane dan Theo masih terduduk bersebelahan ditempat mereka yang sama. Pada kursi paling jauh dari dua ibu dan anak itu. Menyimak saja, setelah diawal tadi tak disuguhi satu percik ramah pun Jane dan Theo tentunya tidak mau mengatakan hal yang panjang lebar. Jane merestui niat baik Theo yang teringin menuruti kemauan Karin, duduk mendengarkan, menemani wanita itu mengungkapkan kebenaran, dan itu sudah cukup. Jane tidak mau Theo ikut
"Lu amatiran ya?" Jane menoleh cepat ketika telinganya mendengar suara Maria berbicara demikian. Dengan badan yang masih bergerak karena ada Ares dipangkuannya Jane menaikan alis kebingungan, ia bahkan menoleh ke sekeliling, mengira kalau Maria berbicara bukan padanya. "Apaan?" jawab Jane dengan pertanyaan juga ketika ia yakin kalau pertanyaan tentang amatir itu memang ditujukan untuknya. Wanita cantik yang rambutnya blonde itu mendecak-decak sembari menggelengkan kepala, dia kemudian mengukurkan tangan dan menyentuh sekitaran leher Jane. Jane mendelik kecil. "Nanti kakak ajarin adek cara menutup hickey dengan baik dan benar ya." Jangan lupa dengan nada suara Maria saat mengatakan itu. Jane bahkan sampai harus memicing sebal. Kalian tau kalau orang sedang mengejek sambil sok-sok mengajari? Seperti itulah Maria tadi. Tapi Jane juga tidak menyangka kalau tato yang Theo buat tadi pagi tidak tersamarkan dengan benar. Padaha
Pagi ini adalah jadwal rutin Jane untuk berolahraga. Memakai setelan ketat berwarna abu-abu tua dan juga rambut diikat satu Jane masih semangat melakukan gerakan-gerakan yang dilakukan instruktur di televisi sana. Lili memang niat sekali membantu Jane. Bumil itu bahkan memberikan CD senam yang lain, ada yoga, aerobik dan juga senam SKJ. Jane tinggal pilih mau olahraga jenis apa yang sedang ia inginkan. Padahal dari pada sendirian dirumah, Jane inginnya olahraga bersama dengan dua temannya itu. Tapi apalah daya, yang lain sedang sok sibuk dan Jane jadi satu-satunya orang yang kesepian.Jane menyeka sedikit keringat yang mulai muncul di dahinya. Menghela napas panjang sementara ia duduk guna menetralkan lelah, setelah dirasa cukup Jane segera berdiri, mematikan televisi dan menggulung matras berwarna merah muda yang ia gunakan tadi.Beralih melangkahkan kaki menuju dapur, mengambil satu gelas air putih kemudian diteguknya sembari berjalan menuju kamar.
Jika Jane selalu mengagum-agumkan kelebihan Theo pada setiap kesempatan, entah itu fisik atau kemampuannya, kali ini sebuah kejutan mendatanginya, sebuah pembuktian akan kalimat terkenal yang berbunyi ‘Tuhan itu maha adil’. Karena jika sebelumnya Jane pikir Theo sempurna dengan semua kelebihannya, kini Jane tau satu hal, bahwa Theo takut ketinggian. Dan tentunya Jane memang istri yang laknat karena bukannya khawatir ia justru tertawa terbahak-bahak sembari mengabadikan video dan foto wajah Theo yang pucat ketika berada di puncak. Bahkan Jane mengunggah video singkat saat Theo melakukan lepas landas ke beranda social medianya. ‘Kalo takut tinggi harusnya bilang dari awal dong, babe, denial teross sampe semaput.’ Padahal Theo tidak pingsan, hanya gemetaran dan pucat. Jane tidak henti menggoda Jane akan hal itu bahkan saat mereka sudah sampai di rumah dengan baik hari ini. Setelah pulang dari paralayang, Jane dan Theo langsung pulang ke Tangerang karena
Jane pernah mendengar nasihat ini dari seseorang. ‘Hiduplah dalam kebahagiaan, bersyukur, jangan terjun bebas hanya karena sebuah masalah, kalau ada masalah besar anggap kecil. Ada masalah kecil? Anggap tidak ada.’ Dan setuju serratus persen dengan itu. Kalian tau? Hidup tidak selalu harus berpikir atau tentang nelangsa. Meski, tentu saja tidak akan selalu bahagia, sedih juga bagian dari indahnya hidup, namun amat penting untuk manusia bisa menyikapi dengan benar kesedihan itu. Sebab beberapa kali angin menyampaikan, manusia-manusia terlampau frustasi dan menyalahkan masalah yang tengah dihadapi. Kanapa bicara panjang lebar sih, Je. Apa intinya? Jadi intinya, Jane tidak telalu memikirkan hasutan-hasutan negative yang Bu RT dan juga Serin berikan padanya. Jane memikirkannya tentu, hanya saja ia memilih untuk menunggu Theo menjelaskan. Terbukti dengan hari ini. Setelah berkeliling melawat dan berbelanja di Malioboro siang tadi, Jane dan Theo lan