Share

--

Penulis: Esteifa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Adek gue tau kalau tunangannya suka datang malam-malam kerumah tetangga buat minta makanan?"

Untuk ukuran dua manusia, yang secara nyata adalah merupakan calon kakak dan adik ipar, Theo dan Juni memulai topik perbincangan dengan cara yang kurang mengenakkan.

Terang saja, mereka memang tidak terlalu akrab.

Pria tinggi yang mempunyai rahang tegas itu memasukan dua tangannya ke dalam kantong celana.

Melirik sekilas antara piring nasi yang ada di tangan Theo dan juga wajah sang calon adik ipar secara bergantian.

"Mau apa kemari," balas Theo tak basa-basi.

Membuat konversasi bersama Juni selalunya harus memakai pasokan tenaga yang banyak. Cukup melelahkan. Hingga Theo kebanyakan diam jika pria yang lebih tinggi darinya itu memancing emosi dengan menggunakan kalimat-kalimat sensitif.

Jengkitan pundak dan juga kepala miring menjadi balasan. "Not your business."

Sikap yang wajar.

Untuk ukuran lumrahnya seorang kakak terhadap ad

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (5)
goodnovel comment avatar
Noufan Galang
bab nya kok diulang sih,,makin goblog aja
goodnovel comment avatar
Eisya Allysya
Babnya berulang, sama dgn di atas.. Semoga di perbaiki..
goodnovel comment avatar
Yanti Ariani
bab yang diulang..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • What the hell, Tetangga!   Lingsir wengi

    Minggu pagi, Tangerang punya cuaca cerah dan juga udara masih arsi. Setelah dua jam berikutnya berganti dengan panas polusi asap kendaraan ciri khas kota hectic yang satu ini. Seperti yang sudah ia janjikan pada ibunya kemarin malam. Jane akan kembali ke rumah sepagian. Membuka mata yang sudah terbiasa bangun pagi itu untuk beraktifitas, mengusung segala sesuatu yang sudah dibelinya untuk acara penting nanti malam. Jane memakai reap jeans high waist dengan kaos pendek berwarna putih yang dilapisi jaket denim. Dara rupawan itu membiarkan rambut lurusnya tergerai indah, menyempurnakan penampilannya wajahnya yang sudah di make up tipis. Tinggal menunggu grab car, Jane menghempaskan dirinya diatas sofa. Jane memeriksa ponselnya kala bunyi notifikasi hinggap ditelinganya. Ada sebuah pesan pemberitahuan sejumlah uang masuk ke dalam rekeningnya. Bayaran hutang dari Edgar. Detik berganti menit namun driver yang dipesan tak kunju

  • What the hell, Tetangga!   What the hell!

    “Nggak usah turun!” seru Jane agak keras, dua tangan gadis itu terbuka dan mengacung memberi gestur agar Theo yang terlihat sedang memegangi seat beltnya tidak beranjak dari tempat. Theo menggerakan bola matanya bingung. Jane menoleh lagi kearah rumahnya, ia merintih kesal, fakta bahwa gerbang putih di depan rumahnya sudah terbuka lebar dan ada satu mobil berwarna merah menyala yang bukan mobil keluarganya terparkir disana membuat Jane tidak ingin turun. Kenapa meraka datang secepat ini sih. Jane memejamkan mata sembari mengibaskan rambut ke belakang. Mereka yang dimaksud Jane barusan adalah keluarga bibi Jane yang tinggal di Jogja, kalau kalian cucu sulung dari sebuah keluarga dan masih single sementara adik serta sepupu yang lain sudah sold out dan beranak pasti kalian tau bagaimana perasaan Jane. Seberapa menyebalkannya. Tidak. Jelas bukan karena Jane minder. Ia super duper malas dengan wejangan yang kadang berlebihan dari adik kand

  • What the hell, Tetangga!   Salah paham

    “Oh, jadi mas ini tetangganya Jeje toh.” Theo hanya menganggukan kepala dan terus berusaha untuk tersenyum saat bibi Jane melemparinya kata-kata panjang Dua orang ibu-ibu yang beberapa saat lalu menggedor-gedor pintu mobilnya ini masih mencoba mencari informasi dengan bertanya perihal hal pribadinya. Seperti usia, anak ke berapa dan lain-lain. Percakapan di sini hanya seperti dilakukan oleh dua orang kendati terdengar sangat ramai. Di sofa sebelah sana ada ibu dan juga ayah Jane. “Mbok ya bilang, kok malah diem aja. Kan jadi salah paham.” Bibi Jane duduk disebelah Theo persis dan mulai menepuk-nepuk pundak Theo dengan jemari berisi miliknya. Theo tersenyum tipis. Tipis sekali, bahkan nyaris tak terlihat. Ia tidak mengatakan apapun dari tadi karena bagaimana mau bilang kalau ia tak di beri luang untuk mengucapkan satu patah kata pun. Dua orang disamping Theo ini seperti sedang relay pertanyaan. Theo bahkan tidak diberi waktu unt

  • What the hell, Tetangga!   Kencan BUTA

    Kicau burung sudah tak terdengar merdu lagi, silau serta panasnya matahari mengalahkan semangat makhluk romantic itu untuk bernyanyi, dan memilih bersembunyi dari balik sangkarnya yang tinggi.Pukul sepuluh.Jika menilik kembali kebiasaan hari-hari Jane sebelum ini, pukul sepuluh merupakan jam yang selalu hectic.Memakai hills lima centi, atasan off shoulders berwarna biru pastel dan juga celana jeans biru muda lalu berdiri meneduh di bawah pohon rindang merupakan hal yang tak pernah Jane lakukan sebelumnya.Gadis tinggi yang rambut hitamnya di gerai itu celingukan, mata bermaskara tipis miliknya mengerjap, memeriksa sekilas benda digital yang berada di pergelangan tangannya.Kemudian mendesah lelah, mengibaskan rambut ke belakang tubuh karena panas.Memangnya ketemuan untuk sesi kencan buta selalu begini ya? Jane tidak begitu paham kenapa si teman kencannya itu menyuruh Jane untuk harus menunggu di bawah

  • What the hell, Tetangga!   Gossip

    “Sumpah?” Maria kembali menanyakan hal itu dengan wajah memerah setelah tawa terbahak-bahak. Ibu satu anak itu melanjutkan setelah tawanya reda. “Untung lo nggak diminta gantian bayar tukang parkir.” Berbagi itu indah. Namun berbagi pengalaman buruk, tidak seindah itu. Kalau kamu adalah termasuk dalam golongan jiwa-jiwa yang kurang bisa menerima ejekan lebih baik simpan kenangan busuk itu untuk dirimu sendiri. Berbeda dengan Jane. Ia dengan senang hati menerima semua ejekan gila. Bahkan ikut menertawakan kesialannya sendiri. “Nggak lagi-lagi kosplay jadi Mpok Siti.” Jane berikrar demikian. Kedua dara itu tiba-tiba menoleh bebarengan dan lalu tertawa kembali. Sebelum ini, kalau masalah kencan dan segala tetek bengek tentang pejantan, Maria yang paling sering membagikan cerita hariannya. Sebelum patah hati terakhir menghancurkan segenap kepercayaan semu yang ia yakini.

  • What the hell, Tetangga!   Change

    Pagi hari ini cuaca terasa segar pada taraf yang berbeda. Sekarang baru pukul lima lebih tiga puluh. Jane yang baru saja membuka mata setelah berkelana dalam mimpi itu kemudian segera bangkit dari ranjangnya. Membuka korden serta jendela, mengirup udara segar dalam-dalam lalu ke kamar mandi untuk membasuh muka. Jane menuju dapur, setelah itu ia mengambil beberapa air untuk di minum. Ada agenda yang sudah direncanakan Jane hari ini. Ia harus olahraga. Jane baru menemukan kalau treadmill di rumahnya rusak saat kemarin ia hendak menggunakannya. Padahal ini sudah hampir satu pekan sejak olahraga terakhir yang Jane lakukan. Jadi Jane berencana untuk membuang semua racun-racun yang ada di tubuhnya hari ini. Jane berganti baju, ia memakai hoodie besar berwarna merah jambu serta lagging berwarna hitam, rambut hitamnya sudah di satukan dengan posisi tinggi menjadi serupa ekor kuda, Jane kemudian memakai sepatu olahraga yang bias

  • What the hell, Tetangga!   Kenapa?

    Hari sudah sore. Berada di rumah dua puluh empat jam tanpa keluar selalu jadi hal membosankan bagi Jane. Menonton tv, tidur, hp. Tv, tidur hp. Begitu terus. Boring banget kan? Di rumah saja memang bisa jadi surga, tapi kalau ada temannya, sementara Jane hari ini full sendirian. Hanya ditemani dua menit oleh abang-abang yang mengantarkan gallon ke rumahnya. Tapi tidak apa. Sahabat datang menolong. Jane menarik catokan rambut hingga tercipta gelombang besar di ujungnya. Dia sudah mandi, pakaiannya sudah ganti, dan wajah cantiknya sudah di bubuhi make up yang alami. Hari ini Jane akan kencan lagi, iya, keluar untuk memenuhi janji kencan dengan istri orang. Lili hari ini libur, dan sahabat seperjuangan itu mengajak Jane si pengangguran nge-mall dan berencana untuk memutari mall sampai di usir. Dan berhubung Jane bukan lagi orang yang sibuk, ia langsung mengiyakan ajakan Lili. Jane mengambil tas punggung berukuran kecil mili

  • What the hell, Tetangga!   Salah paham next level

    Hai, ladies. Boleh bertanya? Menurutmu apa manusia punya syarat dan limit dalam kebahagiaanmu? Oh ya? Sepertinya semua orang menjawab serempak, tidak. Selamat. Kamu betul, karena dalam kebahagiaan tidak terdapat sebuah batu yang bisa dijadikan tolak ukur. Berkeliling mall, melihat barang-barang bagus, tapi hanya membeli satu stuff? Itu juga membahagiakan bagi Jane. Bahagia tidak melulu tentang membawa pulang berkantong-kantong paper bag di tangan, memanjakan mata dengan melihat fashion yang baru di realise saja bahagianya luar biasa. Gadis cantik bersetelan santai itu terus menggeser satu demi satu baju-baju pria yang bergantungan kendati tak ada niat untuk membeli. Dari awal mereka mampir ke distro ini memang hanya karena Lili ingin berbelanja baju untuk sang suami. Dari rak-rak baju setinggi dada orang dewasa itu Lili memanggil nama Jane. “Bagus yang mana?” tanya Lili sembari menaik turunkan dua baju berwarna hitam di kedua tangannya

Bab terbaru

  • What the hell, Tetangga!   EPILOG

    7 tahun kemudian.- “What the hell!” Umpatan itu terdengar dari mulut anak laki-laki yang tengah duduk dikursi penumpang mobil, mengudara jelas saat hening tengah melanda, ponsel lipat baru pemberian kakeknya yang sedang ia gunakan untuk bermain games tiba-tiba saja berbunyi mengacaukan permainannya. Menampilkan notifikasi panggilan. Theo yang duduk di kursi kemudi menoleh, matanya menyorot sang putra sulung berusia tujuh tahun yang baru saja mengumpat di depan hidungnya. “Siapa yang ngajarin kamu kata itu?” tanya Theo. Anak laki-laki yang memiliki wajah perpaduan apik dari ayah dan ibunya itu menoleh, memerkan raut muka acuh. “Sam sering dengar mommy bilang begitu.” Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kata orang begitu. Dan Theo sudah membuktikannya sendiri. Bagaimana Samuel memiliki sifat acuh yang diturunkan darinya namun juga memiliki sisi nakal Jane yang sulit diatur. “Dad,” panggil bocah tampan itu, mata

  • What the hell, Tetangga!   Angel is come

    --Suara detik jarum jam mengisi kekosongan dalam hampanya ruang hening yang diputari dinding berwarna putih itu. Ruang yang besar dan berisi satu ranjang lengkap dengan sofa dan meja disana. Ada satu wanita yang tengah berbaring dengan mata menutup diatas brangkar itu, memakai pakaian berwarna biru khas pasien rumah sakit sementara pada tangan kanannya terdapat selang menjuntai yang terhubung dengan satu kantong infus menggantung. Jane bergerak kecil, wajahnya yang cantik megerut tipis kala merasa pilu disetiap sendi tubuh. Bahkan untuk melakukan gerakan kecil saja Jane harus menahan pegal. Wanita dua puluh delapan tahun itu akhirnya membuka mata, menatap segenap putih langit-langit ruangan, sebelum kemudian menggerakan kepala sedikit, Jane sadar betul ia sedang berada dimana jadi tak perlu lagi drama seperti aku dimana, aku siapa. Dan Jane tidak menemukan siapapun kecuali presesi adik perempuannya yang tengah duduk disana. Serin yang semu

  • What the hell, Tetangga!   Sorry

    Suara gemercik air mengalir masih terdengar deras dari kamar mandi yang pintunya tertutup rapat itu. Hari sudah melewati fajar, jarum jam menunjuk angka tujuh, sementara satu onggok tubuh kecil wanita yang berbalut selimut disana seakan tidak punya niatan untuk membuka mata. Theo sudah selesai dengan ritual mandinya, jelas kalau ia sudah terlambat untuk berangkat ke kantor tetapi meski begitu, Theo dengan santai berpakaian, sesekali melirik istrinya yang masih terlelap tentram tanpa usik kendati Theo bolak-balik diruang tidur mereka. Rampung berpakaian Theo mulai melangkahkan kaki mendekati ranjang, duduk ditepian kasur. Matanya memandangi bagaimana cara oksigen dihirup dengan ritme tenang oleh Jane, melihat cantik dari wajah istrinya yang entah kapan luntur itu. Theo tidak berniat untuk membangunkan Jane sama sekali. Ia cukup tau diri. Setelah semalam dan subuh tadi Jane memenuhi keinginan batinnya, Theo tentunya tidak tega kalau harus membuat Jane d

  • What the hell, Tetangga!   Couple things

    Siang yang cerah diakhir pekan ini Jane memutuskan untuk menghabiskan waktu dirumah, bermain bersama anjing-anjingnya serta merebah guna menonton serial televisi.Benar. Akhir pekan, yang artinya Theo sedang ada dirumah.Namun dimana pria itu sekarang? Jane pernah bilang kalau Theo itu punya penyakit akut perfeksionis menyangkut pekerjaan bukan? Iya, hari ini pun, bahkan saat akhir pekan yang harusnya digunakan untuk liburan ini Theo masih menerima telfon dari orang kantor, menganggurkan istrinya yang cantik dan seksi, membuatnya menonton sendirian.Untung suami sendiri, rutuk Jane dalam hati. Kalau tidak, sudah Jane tukar tambah.Jane mendesah bosan. Ia meraih remote dimeja dengan ujung kakinya dan segera mengganti saluran televisi yang tengah menyajikan pertengkaran ala anak muda yang sangat iyuh untuk ditonton. Mengganti channel ke acara pergosipan luar negeri.Memeriksa berita panas apa saja yang sempat ia lewatkan selama satu pek

  • What the hell, Tetangga!   Be kind

    "Apa-apaan kamu? Jangan bercanda, Karin!" Suara keras itu menggema di setiap sudut ruang rumah yang besar ini. Amarah wanita anggun itu sepertinya sudah tak mampu dibendung lagi setelah telinganya mendengar berita yang terlampau mengejutkan. Semburan kalimat yang keras kian lancar mengalir dengan segala raut kecewa yang tak lagi ragu disembunyikan. "Maaf, Mah." sang anak yang matanya sembab dan masih setia menangis itu kembali merisak, menunduk dalam-dalam di sofa dengan jari bertaut, tak mempu menatap mata sang ibu. Jane dan Theo masih terduduk bersebelahan ditempat mereka yang sama. Pada kursi paling jauh dari dua ibu dan anak itu. Menyimak saja, setelah diawal tadi tak disuguhi satu percik ramah pun Jane dan Theo tentunya tidak mau mengatakan hal yang panjang lebar. Jane merestui niat baik Theo yang teringin menuruti kemauan Karin, duduk mendengarkan, menemani wanita itu mengungkapkan kebenaran, dan itu sudah cukup. Jane tidak mau Theo ikut

  • What the hell, Tetangga!   The baby

    "Lu amatiran ya?" Jane menoleh cepat ketika telinganya mendengar suara Maria berbicara demikian. Dengan badan yang masih bergerak karena ada Ares dipangkuannya Jane menaikan alis kebingungan, ia bahkan menoleh ke sekeliling, mengira kalau Maria berbicara bukan padanya. "Apaan?" jawab Jane dengan pertanyaan juga ketika ia yakin kalau pertanyaan tentang amatir itu memang ditujukan untuknya. Wanita cantik yang rambutnya blonde itu mendecak-decak sembari menggelengkan kepala, dia kemudian mengukurkan tangan dan menyentuh sekitaran leher Jane. Jane mendelik kecil. "Nanti kakak ajarin adek cara menutup hickey dengan baik dan benar ya." Jangan lupa dengan nada suara Maria saat mengatakan itu. Jane bahkan sampai harus memicing sebal. Kalian tau kalau orang sedang mengejek sambil sok-sok mengajari? Seperti itulah Maria tadi. Tapi Jane juga tidak menyangka kalau tato yang Theo buat tadi pagi tidak tersamarkan dengan benar. Padaha

  • What the hell, Tetangga!   Saranghae

    Pagi ini adalah jadwal rutin Jane untuk berolahraga. Memakai setelan ketat berwarna abu-abu tua dan juga rambut diikat satu Jane masih semangat melakukan gerakan-gerakan yang dilakukan instruktur di televisi sana. Lili memang niat sekali membantu Jane. Bumil itu bahkan memberikan CD senam yang lain, ada yoga, aerobik dan juga senam SKJ. Jane tinggal pilih mau olahraga jenis apa yang sedang ia inginkan. Padahal dari pada sendirian dirumah, Jane inginnya olahraga bersama dengan dua temannya itu. Tapi apalah daya, yang lain sedang sok sibuk dan Jane jadi satu-satunya orang yang kesepian.Jane menyeka sedikit keringat yang mulai muncul di dahinya. Menghela napas panjang sementara ia duduk guna menetralkan lelah, setelah dirasa cukup Jane segera berdiri, mematikan televisi dan menggulung matras berwarna merah muda yang ia gunakan tadi.Beralih melangkahkan kaki menuju dapur, mengambil satu gelas air putih kemudian diteguknya sembari berjalan menuju kamar.

  • What the hell, Tetangga!   Kejujuran

    Jika Jane selalu mengagum-agumkan kelebihan Theo pada setiap kesempatan, entah itu fisik atau kemampuannya, kali ini sebuah kejutan mendatanginya, sebuah pembuktian akan kalimat terkenal yang berbunyi ‘Tuhan itu maha adil’. Karena jika sebelumnya Jane pikir Theo sempurna dengan semua kelebihannya, kini Jane tau satu hal, bahwa Theo takut ketinggian. Dan tentunya Jane memang istri yang laknat karena bukannya khawatir ia justru tertawa terbahak-bahak sembari mengabadikan video dan foto wajah Theo yang pucat ketika berada di puncak. Bahkan Jane mengunggah video singkat saat Theo melakukan lepas landas ke beranda social medianya. ‘Kalo takut tinggi harusnya bilang dari awal dong, babe, denial teross sampe semaput.’ Padahal Theo tidak pingsan, hanya gemetaran dan pucat. Jane tidak henti menggoda Jane akan hal itu bahkan saat mereka sudah sampai di rumah dengan baik hari ini. Setelah pulang dari paralayang, Jane dan Theo langsung pulang ke Tangerang karena

  • What the hell, Tetangga!   Be with you

    Jane pernah mendengar nasihat ini dari seseorang. ‘Hiduplah dalam kebahagiaan, bersyukur, jangan terjun bebas hanya karena sebuah masalah, kalau ada masalah besar anggap kecil. Ada masalah kecil? Anggap tidak ada.’ Dan setuju serratus persen dengan itu. Kalian tau? Hidup tidak selalu harus berpikir atau tentang nelangsa. Meski, tentu saja tidak akan selalu bahagia, sedih juga bagian dari indahnya hidup, namun amat penting untuk manusia bisa menyikapi dengan benar kesedihan itu. Sebab beberapa kali angin menyampaikan, manusia-manusia terlampau frustasi dan menyalahkan masalah yang tengah dihadapi. Kanapa bicara panjang lebar sih, Je. Apa intinya? Jadi intinya, Jane tidak telalu memikirkan hasutan-hasutan negative yang Bu RT dan juga Serin berikan padanya. Jane memikirkannya tentu, hanya saja ia memilih untuk menunggu Theo menjelaskan. Terbukti dengan hari ini. Setelah berkeliling melawat dan berbelanja di Malioboro siang tadi, Jane dan Theo lan

DMCA.com Protection Status