Kicau burung sudah tak terdengar merdu lagi, silau serta panasnya matahari mengalahkan semangat makhluk romantic itu untuk bernyanyi, dan memilih bersembunyi dari balik sangkarnya yang tinggi.
Pukul sepuluh.Jika menilik kembali kebiasaan hari-hari Jane sebelum ini, pukul sepuluh merupakan jam yang selalu hectic.Memakai hills lima centi, atasan off shoulders berwarna biru pastel dan juga celana jeans biru muda lalu berdiri meneduh di bawah pohon rindang merupakan hal yang tak pernah Jane lakukan sebelumnya.Gadis tinggi yang rambut hitamnya di gerai itu celingukan, mata bermaskara tipis miliknya mengerjap, memeriksa sekilas benda digital yang berada di pergelangan tangannya.Kemudian mendesah lelah, mengibaskan rambut ke belakang tubuh karena panas.Memangnya ketemuan untuk sesi kencan buta selalu begini ya? Jane tidak begitu paham kenapa si teman kencannya itu menyuruh Jane untuk harus menunggu di bawah“Sumpah?” Maria kembali menanyakan hal itu dengan wajah memerah setelah tawa terbahak-bahak. Ibu satu anak itu melanjutkan setelah tawanya reda. “Untung lo nggak diminta gantian bayar tukang parkir.” Berbagi itu indah. Namun berbagi pengalaman buruk, tidak seindah itu. Kalau kamu adalah termasuk dalam golongan jiwa-jiwa yang kurang bisa menerima ejekan lebih baik simpan kenangan busuk itu untuk dirimu sendiri. Berbeda dengan Jane. Ia dengan senang hati menerima semua ejekan gila. Bahkan ikut menertawakan kesialannya sendiri. “Nggak lagi-lagi kosplay jadi Mpok Siti.” Jane berikrar demikian. Kedua dara itu tiba-tiba menoleh bebarengan dan lalu tertawa kembali. Sebelum ini, kalau masalah kencan dan segala tetek bengek tentang pejantan, Maria yang paling sering membagikan cerita hariannya. Sebelum patah hati terakhir menghancurkan segenap kepercayaan semu yang ia yakini.
Pagi hari ini cuaca terasa segar pada taraf yang berbeda. Sekarang baru pukul lima lebih tiga puluh. Jane yang baru saja membuka mata setelah berkelana dalam mimpi itu kemudian segera bangkit dari ranjangnya. Membuka korden serta jendela, mengirup udara segar dalam-dalam lalu ke kamar mandi untuk membasuh muka. Jane menuju dapur, setelah itu ia mengambil beberapa air untuk di minum. Ada agenda yang sudah direncanakan Jane hari ini. Ia harus olahraga. Jane baru menemukan kalau treadmill di rumahnya rusak saat kemarin ia hendak menggunakannya. Padahal ini sudah hampir satu pekan sejak olahraga terakhir yang Jane lakukan. Jadi Jane berencana untuk membuang semua racun-racun yang ada di tubuhnya hari ini. Jane berganti baju, ia memakai hoodie besar berwarna merah jambu serta lagging berwarna hitam, rambut hitamnya sudah di satukan dengan posisi tinggi menjadi serupa ekor kuda, Jane kemudian memakai sepatu olahraga yang bias
Hari sudah sore. Berada di rumah dua puluh empat jam tanpa keluar selalu jadi hal membosankan bagi Jane. Menonton tv, tidur, hp. Tv, tidur hp. Begitu terus. Boring banget kan? Di rumah saja memang bisa jadi surga, tapi kalau ada temannya, sementara Jane hari ini full sendirian. Hanya ditemani dua menit oleh abang-abang yang mengantarkan gallon ke rumahnya. Tapi tidak apa. Sahabat datang menolong. Jane menarik catokan rambut hingga tercipta gelombang besar di ujungnya. Dia sudah mandi, pakaiannya sudah ganti, dan wajah cantiknya sudah di bubuhi make up yang alami. Hari ini Jane akan kencan lagi, iya, keluar untuk memenuhi janji kencan dengan istri orang. Lili hari ini libur, dan sahabat seperjuangan itu mengajak Jane si pengangguran nge-mall dan berencana untuk memutari mall sampai di usir. Dan berhubung Jane bukan lagi orang yang sibuk, ia langsung mengiyakan ajakan Lili. Jane mengambil tas punggung berukuran kecil mili
Hai, ladies. Boleh bertanya? Menurutmu apa manusia punya syarat dan limit dalam kebahagiaanmu? Oh ya? Sepertinya semua orang menjawab serempak, tidak. Selamat. Kamu betul, karena dalam kebahagiaan tidak terdapat sebuah batu yang bisa dijadikan tolak ukur. Berkeliling mall, melihat barang-barang bagus, tapi hanya membeli satu stuff? Itu juga membahagiakan bagi Jane. Bahagia tidak melulu tentang membawa pulang berkantong-kantong paper bag di tangan, memanjakan mata dengan melihat fashion yang baru di realise saja bahagianya luar biasa. Gadis cantik bersetelan santai itu terus menggeser satu demi satu baju-baju pria yang bergantungan kendati tak ada niat untuk membeli. Dari awal mereka mampir ke distro ini memang hanya karena Lili ingin berbelanja baju untuk sang suami. Dari rak-rak baju setinggi dada orang dewasa itu Lili memanggil nama Jane. “Bagus yang mana?” tanya Lili sembari menaik turunkan dua baju berwarna hitam di kedua tangannya
Jane pernah bilang pada seseorang kalau nanti di masa depan waktu ia jadi seorang istri Jane sesumbar akan melakukan tugas-tugas ibu rumah tangga dengan baik, berbeda dengan ibunya yang hanya ibu-ibu saja. Tetapi hari ini, Jane rasa ia bisa mencabut kembali kata-kata yang ia ucapkan. Jane menghela napas. Jemari putihnya mencoba menaikan topi dan mulai menyeka peluh di dahi, menggunakan tangannya yang di balut sarung tangan karet. Jangan pernah bilang kalau Jane terlalu lebay untuk ukuran orang yang tengah membersihkan rumput di halaman. Jane itu wanita. Sun screen yang ia kenakan memang sudah banyak tapi taukah kalian, matahari negara ini sangat jahat. Tidak lucu kalau kulit lengan Jane belang hanya dalam satu hari. Jane mengumpulkan lagi guguran bunga warna-warni keatas tumpukan rerumputan hijau yang ada di pengki. Ia juga memotongi deaunan layu yang sudah comong dari pot bunga miliknya. Waktu Jane bangkit untuk membuang kumpu
Memasak bukanlah hal susah bagi Jane. Malah cenderung mudah, bisa di bilang hoby dan kemampuan Jane memang terletak pada jemarinya saat memasak. Meski kadang, sebagai manusia, ada saja mood swing yang membuat Jane benar-benar tak ingin memegang alat dapur apapun. “Udah nemu tempat kursus pastry belom?” Pertanyaan itu menggema dari dalam dapur yang terlihat sibuk. Sambil masih menunggu mesin kopi yang diinginkannya ready dan di kirim Jane berniat untuk mengikuti kursus membuat dessert. Kecil-kecilan mah tidak usah rekrut pastry chef dulu. Jika Jane belajar, ia pasti bisa membuat kue-kue rumit seperti chef toko kue Italia. “Belum, gue baru mau tanya.” Jane berbicara pada handphone-nya yang di letakan di atas meja, jemari gadis itu pun mengaduk-aduk sayur yang sedang di masak di awas kompor yang menyala. “Lo nggak ada kenalan?” “Ntar gue coba tanya mama.” Maria di seberang sana menyahut. “So, udah review tempat? Mau buka di mana?”
Berjalan beriringan dengan satu pria bersama troli besar dalam dorongan biasanya terlihat kalau memang pasangan baru sedang membeli belanjaan bulanan. Mereka dikira demikian. Sejak tadi berjalan, beberapa orang terang-terangan menatap Jane dan Theo seolah mereka adalah pasangan visual yang terpilih di acara tahunan. Padahal kenyataannya apa? Hubungan mereka hanyalah sebatas tetangga, atau lebih tepatnya sekarang ini, pohon manga yang dermawan membiarkan parasite baik menempel di salah satu rantingnya. Jane seratus persen mengabaikan pandangan-pandangan orang. Ia sudah biasa di pandangi demikian, kendati tidak terlalu peduli dengan apa yang mereka pikirkan, tapi apapun itu, masa bodoh. Troli yang di dorong Theo berbelok pada deretan rak-rak yang lain. Dengan suhu ruangan yang lebih dingin, mengikuti langkah gadis berjaket navy yang memimpin di depannya. Jane menyortir segala sayuran yang singgah di pandangan matanya. Karena di rasa
Terpujilah kalian para penghuni kota Tangerang dengan segala kesibukannya. Jane menghela napas lelah. Sepertinya Jane mamang terlahir sebagai cenayang sebelum menjadi seorang pramugari. Lihatlah? Prediksi Jane waktu mereka masih di parkiran mall pun terjadi. Mereka terjebak dalam kungkungan mobil-mobil dalam kemacetan di jalan raya. Tetapi memang setiap hari begini sih, bisa di bilang ramalan Jane tadi itu karena pengalamannya mengarungi kota ini tiap malam hari. Sementara Theo mengetuk-etukan jemarinya di setir mobil, Jane mulai meraih ponselnya untuk menghilangkan bosan. Hening masih melanda. Karena Theo tidak di ijinkan sama sekali memutar lagu dari playlistnya, Jane menentang dengan tegas ide yang mengerikan itu. Sebaliknya. Theo hanya mengangguk saja ketika Jane tanpa ijin mengoneksikan handphonenya dengan speaker mobil. Memutar lagu berbahasa Inggris yang sepertinya di nyanyikan oleh penyanyi muda yang punya suara raspy.
7 tahun kemudian.- “What the hell!” Umpatan itu terdengar dari mulut anak laki-laki yang tengah duduk dikursi penumpang mobil, mengudara jelas saat hening tengah melanda, ponsel lipat baru pemberian kakeknya yang sedang ia gunakan untuk bermain games tiba-tiba saja berbunyi mengacaukan permainannya. Menampilkan notifikasi panggilan. Theo yang duduk di kursi kemudi menoleh, matanya menyorot sang putra sulung berusia tujuh tahun yang baru saja mengumpat di depan hidungnya. “Siapa yang ngajarin kamu kata itu?” tanya Theo. Anak laki-laki yang memiliki wajah perpaduan apik dari ayah dan ibunya itu menoleh, memerkan raut muka acuh. “Sam sering dengar mommy bilang begitu.” Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kata orang begitu. Dan Theo sudah membuktikannya sendiri. Bagaimana Samuel memiliki sifat acuh yang diturunkan darinya namun juga memiliki sisi nakal Jane yang sulit diatur. “Dad,” panggil bocah tampan itu, mata
--Suara detik jarum jam mengisi kekosongan dalam hampanya ruang hening yang diputari dinding berwarna putih itu. Ruang yang besar dan berisi satu ranjang lengkap dengan sofa dan meja disana. Ada satu wanita yang tengah berbaring dengan mata menutup diatas brangkar itu, memakai pakaian berwarna biru khas pasien rumah sakit sementara pada tangan kanannya terdapat selang menjuntai yang terhubung dengan satu kantong infus menggantung. Jane bergerak kecil, wajahnya yang cantik megerut tipis kala merasa pilu disetiap sendi tubuh. Bahkan untuk melakukan gerakan kecil saja Jane harus menahan pegal. Wanita dua puluh delapan tahun itu akhirnya membuka mata, menatap segenap putih langit-langit ruangan, sebelum kemudian menggerakan kepala sedikit, Jane sadar betul ia sedang berada dimana jadi tak perlu lagi drama seperti aku dimana, aku siapa. Dan Jane tidak menemukan siapapun kecuali presesi adik perempuannya yang tengah duduk disana. Serin yang semu
Suara gemercik air mengalir masih terdengar deras dari kamar mandi yang pintunya tertutup rapat itu. Hari sudah melewati fajar, jarum jam menunjuk angka tujuh, sementara satu onggok tubuh kecil wanita yang berbalut selimut disana seakan tidak punya niatan untuk membuka mata. Theo sudah selesai dengan ritual mandinya, jelas kalau ia sudah terlambat untuk berangkat ke kantor tetapi meski begitu, Theo dengan santai berpakaian, sesekali melirik istrinya yang masih terlelap tentram tanpa usik kendati Theo bolak-balik diruang tidur mereka. Rampung berpakaian Theo mulai melangkahkan kaki mendekati ranjang, duduk ditepian kasur. Matanya memandangi bagaimana cara oksigen dihirup dengan ritme tenang oleh Jane, melihat cantik dari wajah istrinya yang entah kapan luntur itu. Theo tidak berniat untuk membangunkan Jane sama sekali. Ia cukup tau diri. Setelah semalam dan subuh tadi Jane memenuhi keinginan batinnya, Theo tentunya tidak tega kalau harus membuat Jane d
Siang yang cerah diakhir pekan ini Jane memutuskan untuk menghabiskan waktu dirumah, bermain bersama anjing-anjingnya serta merebah guna menonton serial televisi.Benar. Akhir pekan, yang artinya Theo sedang ada dirumah.Namun dimana pria itu sekarang? Jane pernah bilang kalau Theo itu punya penyakit akut perfeksionis menyangkut pekerjaan bukan? Iya, hari ini pun, bahkan saat akhir pekan yang harusnya digunakan untuk liburan ini Theo masih menerima telfon dari orang kantor, menganggurkan istrinya yang cantik dan seksi, membuatnya menonton sendirian.Untung suami sendiri, rutuk Jane dalam hati. Kalau tidak, sudah Jane tukar tambah.Jane mendesah bosan. Ia meraih remote dimeja dengan ujung kakinya dan segera mengganti saluran televisi yang tengah menyajikan pertengkaran ala anak muda yang sangat iyuh untuk ditonton. Mengganti channel ke acara pergosipan luar negeri.Memeriksa berita panas apa saja yang sempat ia lewatkan selama satu pek
"Apa-apaan kamu? Jangan bercanda, Karin!" Suara keras itu menggema di setiap sudut ruang rumah yang besar ini. Amarah wanita anggun itu sepertinya sudah tak mampu dibendung lagi setelah telinganya mendengar berita yang terlampau mengejutkan. Semburan kalimat yang keras kian lancar mengalir dengan segala raut kecewa yang tak lagi ragu disembunyikan. "Maaf, Mah." sang anak yang matanya sembab dan masih setia menangis itu kembali merisak, menunduk dalam-dalam di sofa dengan jari bertaut, tak mempu menatap mata sang ibu. Jane dan Theo masih terduduk bersebelahan ditempat mereka yang sama. Pada kursi paling jauh dari dua ibu dan anak itu. Menyimak saja, setelah diawal tadi tak disuguhi satu percik ramah pun Jane dan Theo tentunya tidak mau mengatakan hal yang panjang lebar. Jane merestui niat baik Theo yang teringin menuruti kemauan Karin, duduk mendengarkan, menemani wanita itu mengungkapkan kebenaran, dan itu sudah cukup. Jane tidak mau Theo ikut
"Lu amatiran ya?" Jane menoleh cepat ketika telinganya mendengar suara Maria berbicara demikian. Dengan badan yang masih bergerak karena ada Ares dipangkuannya Jane menaikan alis kebingungan, ia bahkan menoleh ke sekeliling, mengira kalau Maria berbicara bukan padanya. "Apaan?" jawab Jane dengan pertanyaan juga ketika ia yakin kalau pertanyaan tentang amatir itu memang ditujukan untuknya. Wanita cantik yang rambutnya blonde itu mendecak-decak sembari menggelengkan kepala, dia kemudian mengukurkan tangan dan menyentuh sekitaran leher Jane. Jane mendelik kecil. "Nanti kakak ajarin adek cara menutup hickey dengan baik dan benar ya." Jangan lupa dengan nada suara Maria saat mengatakan itu. Jane bahkan sampai harus memicing sebal. Kalian tau kalau orang sedang mengejek sambil sok-sok mengajari? Seperti itulah Maria tadi. Tapi Jane juga tidak menyangka kalau tato yang Theo buat tadi pagi tidak tersamarkan dengan benar. Padaha
Pagi ini adalah jadwal rutin Jane untuk berolahraga. Memakai setelan ketat berwarna abu-abu tua dan juga rambut diikat satu Jane masih semangat melakukan gerakan-gerakan yang dilakukan instruktur di televisi sana. Lili memang niat sekali membantu Jane. Bumil itu bahkan memberikan CD senam yang lain, ada yoga, aerobik dan juga senam SKJ. Jane tinggal pilih mau olahraga jenis apa yang sedang ia inginkan. Padahal dari pada sendirian dirumah, Jane inginnya olahraga bersama dengan dua temannya itu. Tapi apalah daya, yang lain sedang sok sibuk dan Jane jadi satu-satunya orang yang kesepian.Jane menyeka sedikit keringat yang mulai muncul di dahinya. Menghela napas panjang sementara ia duduk guna menetralkan lelah, setelah dirasa cukup Jane segera berdiri, mematikan televisi dan menggulung matras berwarna merah muda yang ia gunakan tadi.Beralih melangkahkan kaki menuju dapur, mengambil satu gelas air putih kemudian diteguknya sembari berjalan menuju kamar.
Jika Jane selalu mengagum-agumkan kelebihan Theo pada setiap kesempatan, entah itu fisik atau kemampuannya, kali ini sebuah kejutan mendatanginya, sebuah pembuktian akan kalimat terkenal yang berbunyi ‘Tuhan itu maha adil’. Karena jika sebelumnya Jane pikir Theo sempurna dengan semua kelebihannya, kini Jane tau satu hal, bahwa Theo takut ketinggian. Dan tentunya Jane memang istri yang laknat karena bukannya khawatir ia justru tertawa terbahak-bahak sembari mengabadikan video dan foto wajah Theo yang pucat ketika berada di puncak. Bahkan Jane mengunggah video singkat saat Theo melakukan lepas landas ke beranda social medianya. ‘Kalo takut tinggi harusnya bilang dari awal dong, babe, denial teross sampe semaput.’ Padahal Theo tidak pingsan, hanya gemetaran dan pucat. Jane tidak henti menggoda Jane akan hal itu bahkan saat mereka sudah sampai di rumah dengan baik hari ini. Setelah pulang dari paralayang, Jane dan Theo langsung pulang ke Tangerang karena
Jane pernah mendengar nasihat ini dari seseorang. ‘Hiduplah dalam kebahagiaan, bersyukur, jangan terjun bebas hanya karena sebuah masalah, kalau ada masalah besar anggap kecil. Ada masalah kecil? Anggap tidak ada.’ Dan setuju serratus persen dengan itu. Kalian tau? Hidup tidak selalu harus berpikir atau tentang nelangsa. Meski, tentu saja tidak akan selalu bahagia, sedih juga bagian dari indahnya hidup, namun amat penting untuk manusia bisa menyikapi dengan benar kesedihan itu. Sebab beberapa kali angin menyampaikan, manusia-manusia terlampau frustasi dan menyalahkan masalah yang tengah dihadapi. Kanapa bicara panjang lebar sih, Je. Apa intinya? Jadi intinya, Jane tidak telalu memikirkan hasutan-hasutan negative yang Bu RT dan juga Serin berikan padanya. Jane memikirkannya tentu, hanya saja ia memilih untuk menunggu Theo menjelaskan. Terbukti dengan hari ini. Setelah berkeliling melawat dan berbelanja di Malioboro siang tadi, Jane dan Theo lan