'Perhatian para penumpang pesawat Permata Airlines dengan nomor penerbangan RM613 tujuan Malaysia dipersilakan segera memasuki pesawat melalui pintu A12'
Samar-samar telinga gadis berjemari lentik yang tengah sibuk membenahi beberapa totbag menangkap pengumuman itu.
Sembari melepas pita berwarna hitam bercorak merah yang mencekik leher gadis berusia dua puluh delapan tahun itu melangkah keluar ruang istirahat. Setidaknya Jane bisa sedikit tenang karena telah mengganti siletto tujuh centi yang dipakainya selama penerbangan dengan slipper Dior yang dibelinya satu bulan lalu.
Oh iya, tenang, Pengumuman tadi bukan untuknya.
Secara ia barusaja turun ke bumi setelah hampir enam jam terbang dari Thailand. Ia salah satu pramugari senior Permata Airlines, sekaligus model utama yang dipilih maskapainya.
Rasanya menyenangkan, melayani orang-orang selama penerbangan, lelah? Tentunya, tetapi menjadi pramugari memang sudah jadi cita-cita Jane sejak SD jadi seberapapun lelahnya ia tetap menikmati ini, apalagi dengan bayaran yang terbilang besar, Jane tidak mau munafik kalau dia memang suka duit.
Huh, ingin rasanya cepat-cepat sampai rumah, mandi dan tidur.
Jika bukan karena titipan oleh-oleh Maria— ibu muda, janda tanpa pernikahan sekaligus housemate-nya yang suka merepotkan dengan menitip segala bentuk hal yang tidak sedikit jumlahnya ini, Jane sudah dipastikan telah sampai dirumah dan sedang berleha-leha.
"Jane!" Teriakan dari depan sana menghentikan langkah Jane.
Seorang wanita berseragam yang sama dengannya barusan memanggil, ditangannya ada dua koper berukuran sedang.
Jane sontak nyengir bahagia. Berlari kecil dengan gerakan antusias.
"Nih, kopermu gue ambilin."
Mengambil koper berwarna hitam miliknya Jane kemudian mengusel-usel manja dilengan wanita yang lebih tinggi darinya itu. "Aw! Pengertian banget sih, Lili. Jadi pengen traktir kopi."
Wanita yang dipanggil Lili itu mengibas tangan diudara. "Wajib lah itu. Tapi besok ya, gue kudu langsung pulang. Kangen suami."
Wajah ayu Jane dengan cepat berubah bosan. Ia mendecak. "Bojomu gak bisa ditinggal sebentar apa. Mentang-mentang pengantin baru."
Semenjak menikah beberapa bulan yang lalu, Lili yang notabenenya adalah rekan ngluyur diantara teman-teman pramugari Jane ini sudah tidak lagi pernah keluar bersama.
Wanita berponi depan itu mengangkat dua alisnya. "Lo kudu nikah, biar tau kalimat 'my husband my priority'."
Jane menurunkan bibir ragu. "Nikah trus dikurung at home gak bisa jalan-jalan kayak lo? Thanks."
Yang langsung disambut tawa Lili.
Tanpa menyudahi obrolan absurd itu mereka berjalan menuju pintu keluar. Sesekali terkikik karena merasa apa yang diucapkan lucu. Dan waktu pintu terbuka seorang pria tinggi bertato melambaikan tangan pada mereka, pada Lili lebih tepatnya. Dan Lili langsung berlari pada laki-laki itu setelah bicara 'duluan ya, bep.' pada Jane.
Trus yang jemput kamu mana, Jane? Jangan menghakimi ya, tolong, Jane ini single terhormat.
"Janela!"
Mata Jane langsung menyorot karah suara itu berasal.
Tuh, ada kok yang menjemput dia.
Jane berlari menghampiri mobil Mercedes Benz berwarna hitam yang bertengger elegan tepian jalan. Menghempaskan semua beban dikedua lengan Jane kemudian memeluk body kereta besi yang dibelinya dari tabungan sendiri.
Jane menciumi kaca mengkilap mobil itu hingga lipstik Chanel 804 Mauvy nude mengecap disana. Lalu kemudian bekas lipstik mahalnya digosok kembali dengan seragam kebesaran dengan sayang.
"Omaigat Mendes! Baby! Aku kangen banget sama kamu."
Jane itu istri sahnya Shawn ya.
Berpisah dengan Mendes dua hari memang terlalu lama untuk ukuran cewek yang suka berkendara namun sering sekali kena tilang seperti Jane.
"Malu-malu in banget, astaga," dumel wanita setengah baya yang diabaikan sedari tadi. Grasak-grusuk ia memasukan barang-barang Jane ke bagasi dan lalu berlari menutupi muka menuju bagian kemudi. "Cepet masuk!"
Jane mencebik sebal. Ditatapnya sekeliling. Oh ternyata memang banyak yang memperhatikan temu kangennya dengan Mendes tadi.
Tanpa ba-bi-bu Jane langsung membuka pintu mobilnya. Duduk di kursi penumpang depan. Malu juga.
Baru saja duduk telinga Jane langsung disumpal dengan ocehan khas ibu-ibu. 'Kamu tuh, sikap mbok ya dijaga, udah tua inget umur. Mukamu kan terkenal. Kalo cowok yang liat gimana? Ilfeel mereka, nggak ada yang mau sama kamu, jomblo seumur urip, mau?!'
Hihhh. Ini yang membuat Jane lebih baik pulang diantar om-om supir taksi online atau kadang nyetir sendiri. Mama sudah seperti mercon banting kalau sedang memberi wejangan.
"Katanya udah punya pacar, mana, Je? Ngeliat Lili dijemput suaminya aja kamu mupeng."
Iya, untuk menolak segala jenis tetek bengek perjodohan atau aturan kencan buta yang dibuat Mama untuknya, Jane mengaku sudah punya pacar saja. Lagian, apa sih? Memangnya kapan ia pasang muka pengen melihat Lili dan Jay? Sebagai salah satu teman yang menjadi saksi percintaan Lili, Jane sudah hampir gumoh dicekoki cinta-cintaan mereka yang alaynya setara dengan cara pacaran anak SMP.
Lagipula. Ini hidupnya.
Yang harus perduli tentang apa yang akan dilakukan Jane ya Jane sendiri. Dan tau ini tahun berapa? Jiwa-jiwa primitif tentu beranggapan kalau usia Jane ini sudah masuk kategori prawan tua. Tetapi bagi Jane sendiri, dia happy, dan dua puluh delapan itu masa yang tepat untuk mengembara. Dan Jane belum ingin membuat komitmen yang serius dengan laki-laki, kalau sekedar jalan pacaran main-main sih oke, tapi menikah? Entar dulu lah.
"Baru putus." Jawab Jane seadanya atas pertanyaan Mama mengenai pacarnya. "Ntar juga dapet lagi, Ma. Aku cantik banyak yang mau. Woles."
"Woles woles batukmu!" Selak Ratna—Mama Jane. "Dua puluh delapan! Besar banget itu angkanya masih bisa woles cari pacar lagi."
Jane menggaruk kepalanya yang dipenuhi hairsprai. Pengen cepet-cepet keramas rasanya. "Jodoh itu ditangan Tuhan, yang penting Je udah usaha."
Jane mulai meraih ponsel, membunuh waktu, tau ia takkan sampai dalam waktu dekat karena Ratna kalau nyetir memang seperti siput.
"Kamu itu udah mateng, saking matengnya kalo ada yang nyoblos bisa langsung melenting perutmu."
Jane sontak menyirit.
Apa hubungannya umur sama hamil coba? Hah? Subur tidak suburnya wanita kan tergantung diri mereka masing-masing. Dan apa ini? Jane bergidik, ia barusan membayangkan dirinya berdiri dengan perut besar. Ow, ngeri.
Gadis bersanggul rendah itu kemudian mengangguk-angguk kepala. Bukan sekali dua kali Ratna meminta cucu, jadi Jane bisa memakluminya. Tapi tidak sekarang juga. Pacar saja Jane gak ada.
Seperti biasa Jane hanya akan membalas asal sambil bermain ponsel.
'Semua akan melenting pada waktunya.'
Lima belas menit kemudian mobil yang ditumpangi Jane sudah sampai di komplek perumahan Tirta Ayu. Jane memang memilih hidup berpisah dengan orang tuanya, selain karena jarak tempuh ke bandara yang relatif lebih dekat, ia juga sedang belajar hidup mandiri. Ups, thats alibi. Yah, cewek yang suka dugem atau sekedar keluar malam sepertinya lebih enak tinggal terpisah dengan orang tua.
"Itu tetangga kamu, Je?"
Jane yang dari tadi masih sibuk scrolling feed I*******m langsung mendongak, meniti kemana arah telunjuk ibunya mengacung.
Wow.
Ponsel berloga apel keluaran terbaru ditangannya langsung dicampakkan. Matanya melebar. Mulutnya tak berhenti berdecak kagum. Sebelum sadar, itu kan rumah mbak Dewi yang sudah beberapa bulan kosong karena suaminya harus pindah tugas ke Jawa timur.
Ditelitinya lebih detail pria tinggi yang tengah mengeluarkan dus-dus berukuran sedang dari mobil. Style-nya oke paduan kemeja slimfit dengan rompi rajut juga celana bahan, cukup jarang ada pria yang memperhatikan penampilan seperti itu. Badannya tinggi, pundaknya lebar, dadanya bidang dan ow— pria itu menjunjung dua kardus sekaligus lalu melangkah masuk ke rumah mbak Dewi. Otot-otot, bicep dan... bokongnya seksi.
God blessing you, Janela! Selamat anda mendapatkan tetangga baru yang Hot!
"Mukamu kayak cewek mesum tau!" Tangan Ratna mendorong mundur wajah Jane yang sudah seperti paparazi mengintai kencan selebriti. "Turun, nyapa tetangga."
Jane mencebik lagi.
Mengekor turun dari mobil dengan wajah sedikit malas. Namun berubah cerah ketika dengan jelas wajah si bokong seksi ini! Wajahnya halus, hidungnya bangir, garis rahangnya tegas dan kuat, matanya agak besar untuk ukuran kelopak mata monolid. Perfecto! Udah Hot ganteng lagi! Kayak cowok Korea.
"Halo, rumah Dewi ditempati kamu?"
Si bokong seksi terlihat kikuk sebelum mengangguk sopan, matanya kesana kemari dan sempat memperhatikan Jane sekilas. Haduh tatapannya tajam banget sih, tembus ke hati nih. Dan terimakasih pada kemampuan sosial Mama, Jane jadi tau nama si bokong sek— oke, sebut saja Theo.
"Rumah anak saya yang itu. Rukun-rukun ya jadi tetangga." Ujar Ratna seraya menunjuk rumah Jane diseberang.
Setelah Ratna selesai memperkenalkan diri, kini si mamas ganteng itu menatap bertanya kearah Jane. Meski mukanya sedatar aspal tol Cikampek, tetep aja, auranya itu lho. Jane baru tau rasanya melting.
Jane mengulurkan tangan. Memberikan senyum terbaik yang biasa ia berikan saat ia bertugas di pesawat. Dan ketika Theo menjabat tangannya Jane menahan jeritan.
Tangannya besar banget woi! Anget lagi.
Jane mendehem. "Janela Sarasvati. Kalo Lo punya tv, pernah naik pesawat, enggak habis koma atau tinggal di bawah batu kayak Patrick dan tetangganya seluruh penghuni bikini buttom, lo pasti tau gue." Kata Jane lancar layaknya tukang sales wajan keliling.
Kedipan lambat menjadi respon pertama dari lelaki tampan di depannya.
Sedangkan Ratna sudah ingin ganti muka, ibu dua anak itu tertawa canggung. Ratna menyenggol lengan putrinya. "Tangannya lepasin."
"Eh—sorry." Jane melepaskan tangan besar itu dengan tak rela.
"Sepertinya saya harus melihat televisi mulai sekarang." Suara berat dan dalam milik Theo benar-benar membuat Jane terenyuh. "Senang bisa mempunyai tetangga seorang aktris."
Jane masih senyum-senyum tidak jelas.
Aku juga senang kok punya tetangga kayak kam—
Seketika senyum diwajahnya raib.
—prett!
Aktris?! Memang sejak kapan Jane berlaga di depan kamera? Mau memberi kejutan ulang tahun pada sahabatnya—Maria saja selalu gagal karena tidak bisa berakting.
"Lo nggak tau gue?" Tanya Jane dengan raut muka tak percaya.
Kedipan mata Theo hadir lagi.
Pria itu terlihat menimbang sebelum menjawab. "Penyanyi?"
Hahahaha.
"Oke, bye Bicep, senang bertetangga dengan anda."
Setelah mengatakan itu, Jane langsung putar balik menuju rumahnya. Meninggalkan Ratna dibelakang yang sibuk memanggil-manggil namanya. Langkah kakinya dihentak-hentak. Decakan sebal terus mengudara.
Ih!!!
Gak jadi ganteng pokoknya!
———
Sudah tau dia.
Jika Mama Ratna mau jauh-jauh berkunjung menemuinya dan sampai jemput segala, padahal mamanya itu ibu paling mager sedunia sudah pasti ada alasan berbau apek dibelakangnya.
Biasanya, Ratna akan mengunjungi Jane kalau nenek ingin dikunjungi atau sedang berkunjung dari Jogja. Dan sumpah, ia memang rindu nenek, tetapi Jane juga malas sekali kalau harus bertatap muka dengan neneknya, berkumpul dengan sanak saudara dan handai taulan yang ujung-ujungnya pasti akan sampai pada pertanyaan 'Kapan nikah?'
Lalu kemudian satu nama lelaki akan disebutkan. Hendak diperkenalkan. OhmyNo! Jane tidak setua itu dan dia juga bisa mencari lelaki sendiri.
Atau alasan kedua.
Jane akan dijadikan koki dadakan.
Dan yang kedua merupakan alasan Ratna datang saat ini.
Mamanya memang tidak pengertian. Jane yang baru mandi, sudah wangi, bersih mengkilap dan hendak tidur karena lelah malah disuruh mengolah lele yang entah kapan dibawa.
'Pecak lele buatan kamu kan nomor satu, Mama mau kasih buat ibunya Adrian'
Adrian itu pacar dari adik perempuan Jane. Dan tentunya olahan kuliner jemari Jane mampu meluluhkan hati calon besan.
"Serin sudah mau sidang, pacarnya juga sudah bilang ingin seriusan." Celetuk Ratna sambil menyisir gula jawa. "Kalo nanti Serin nikah, Mama sendirian dong, Je."
Jane mendengarkan sambil mengaduk supnya diwajan. Cukup tau kemana arah perbincangan ini akan bermuara. "Enggak lah, Ma, Serin kan gak mungkin langsung pindah keluar. Pasti dirumah dulu."
"Nah setelah itu?"
"Bapak kan ada." Sahut Jane tak pakai hati, masih sedikit sebal karena dipaksa memasak waktu sedang lelah-lelahnya. "Anggap aja lagi dikasih waktu pacaran."
"Kamu nggak mau pulang aja, Je?"
"Iya. Nanti aku sering pulang kok."
Jane meraih gula yang tadi diiris ibunya lalu dimasukkan kedalam sup yang hampir mendidih. Jane mengaduk-aduk supnya hingga muncul gelembung yang pecah. Setelah mencicipi kuahnya Jane langsung mematikan kompor.
"Pecaknya siap! Waktunya adinda bobok!"
Sembari melepas handuk dikepala Jane berlari merayakan kemerdekaannya, hendak menuju kamar. Namun sebelum tangannya meraih kenop pintu suara Ratna mencegah lagi.
Mengusir ibu sendiri itu hukumnya apa sih?
Jane membuat tatapan memelas, bibirnya mengerucut.
"Anterin ke tetangga baru," ujar ibunya tanpa belas kasihan.
Sumpah Jane tidak bohong waktu ia bilang kalau dia capek. Tetapi dari pada membantah dan malah jadi tambah panjang waktu tidurnya tertunda, Jennie segera mengambil mangkok bening berukuran sedang dimeja.
Mukanya masih dongkol. Sebal karena ibunya dan juga ia masih belum lupa rasa kesalnya pada si Bicep laki seksi pindahan dari bikini buttom itu.
"Eh! Je! Pake celana dulu!"
Jane mengabaikan. Belum tau ya? Jane memang cuma pakai tanktop hitam dan hotpants saja, setelan tidur harian, rambutnya bahkan masih basah, jane yakin tampilannya sudah seperti gadis haus belaian tetapi masa bodoh, ia sudah ingin cepat-cepat ketemu kasur.
Jemari lentik Jane mengetuk pintu kayu bercat putih didepannya. Sebelum sesaat memeriksa kukunya yang sudah minta dikikir kembali, Jane jadi mengingat kapan terakhir kali ia ke salon untuk many pady.
Tak lama si ganteng membuka pintu, Jane langsung menyodorkan mangkok ditangannya tanpa basa-basi. Jane sempat meneliti tampilan pria itu, dan sepertinya dia juga baru mandi.
"Dari Mama gue, salam hangat tetangga baru. Jangan lupa mangkoknya balikin," ucap Jane cepat, sedang tidak dalam mode genit seperti beberapa saat lalu, kemudian setelah mengkok berisi pecak lele itu diterima Jane langsung memutar langkah berniat kembali kerumah.
"Mbak, sebentar." Suara berat itu menginterupsi langkah Jane. Huh, Jane memejamkan mata sekilas. Ia bisa mendengar langkah orang menjauh.
"Mbak-mbak dia pikir gue kawin sama abangnya apa," dumel Jane sambil melipat tangan di dada.
Tidak lama Theo keluar lagi dengan dua buah bingkisan. Jane yakin itu isinya coklat, tetapi bukannya coklat merek ini tidak dipasarkan di Indonesia ya? Oh, di bikini buttom ada yang jual ternyata. Apapun itu, kebetulan Jane juga suka coklat ini.
Si muka datar, menyerahkan dua bingkisan tadi ke Jane melanjutkan kalimat dengan nada yang datar juga. "Ini saya juga ada hampers bu—"
"Makasih," potong Jane tak ingin lama-lama. "Ini Lo yang ngasih dua ya, jangan diminta lagi."
Dan Theo hanya mengangguk-angguk kepala, niatnya mau nitip untuk tetangga yang tinggal di sebelah rumah gadis ini namun sepertinya disalah arti, ya sudah, tak apa.
"Siapa, Te?" Tiba-tiba dari arah belakang sana terdengar suara wanita.
Nah lo.
Jiwa pergosipan Jane yang telah padam seketika bergejolak. Kepalanya bahkan melongok mengintip dari balik bahu lebar Theo.
Di pintu berdiri wanita cantik, cantik yang benar-benar cantik, memakai floral dress selutut dan rambutnya panjang hingga punggung, badannya kecil dan tidak terlalu tinggi, menambah kesan feminim dan anggun. Tidak seperti Jane yang muka judesnya khas dengan image swag, style, pawakan serta kematangan bagian tubuh Jane pun amat mengarah pada keseksian wanita.
Dua detik menyelam dalam pikiran, Jane langsung dapat menyimpulkan.
Jane pikir si bokong seksi ini masih bujangan, tetapi ternyata sudah ada istrinya.
Tersenyum ramah, Jane kemudian mengulurkan tangan. "Hai, gue Jane, tinggal dirumah yang itu."
Dan seperti yang Jane kira, wanita cantik ini ramah sekali. Dia balas tersenyum. "Karin."
"Suami istri?" Tanya Jane melirik sedikit wajah Theo.
Tawa ringan keluar dari bibir Karin. ia malu-malu menjawab. "Tunangan."
Sedangkan Theo tetap menunjukkan wajah yang sama. Tidak repot-repot menimpali satu atau dua kata diantara percakapan mereka.
Jane menganggukan kepala. Masih tersenyum sembari menenteng dua bungkus coklat ditangannya. "Cepet-cepet ke pelaminan ya. And btw, makasih hampers-nya."
Setelah mengatakan itu Jane langsung memutar langkah menuju rumahnya.
Manusia bicep itu sudah proses tawar menawar dan sebentar lagi sold out,
God bless you, Jeje!
Target dibatalkan.
——— Helaan nafas tak beraturan menjadi pengisi suara dalam ruangan berukuran enam kali lima meter itu, diatas treadmil yang disetel dengan kecepatan sedang Jane melajukan tungkai kakinya. Airpods putih menyumpal telinga, sedangkan matanya memeta halaman rumah yang kadang ada beberapa orang melintas. Sebenarnya daripada olahraga diruang tamu rumahnya begini, Jane lebih suka berlari diluar. Ruang terbuka. Karena selain mendapat udara segar yang sehat, matanya juga dimanjakan oleh beberapa bujangan yang sedang jogging juga. Tetapi berkat para ibu-ibu komplek yang protes padanya dengan alasan 'pakaian yang dipakai mbak Jane terlalu merisaukan' Jane jadi malas memutari komplek perumahannya. Padahal tidak ada yang salah dengan laging panjang dan croptie, kan? Jane mau pakai gamis kaftan pun akan terlihat seksi. Bukan salahnya karena punya body
"Ares sayang, baby," Jane menggapai Ares yang tengah duduk manis di kereta bayi. Setelah memastikan kalau Ares memakai diapers barulah Jane berani membawa bayi itu kegendongannya. "Iya sayang, Onty juga bakal kangen kamu kok, jangan nangis ya, nanti mau oleh-oleh apa? Hm? Iron man? Oh BT21?" Percakapan sepihak itu hanya dibalas tatapan lugu Ares, sedangkan Jane mulai mengecup rakus pipi ares yang mirip roti kukus. Maria yang melihat pemandangan itu cuma berdecak sebentar sebelum melanjutkan kegiatannya menyiram bunga-bunga di halaman rumah. Jane memang selalu begitu kalau hendak berangkat bertugas. Untung anaknya anteng mau diuwel-uwel kayak apa juga. Dan dilihat dari sini, Jane sudah terlihat pantas jadi ibu, membuat Maria gencar menjodoh-jodohkan kendati dirinya juga memilih setia single. "Jangan ilerin baju onty ya ganteng, please." Kata Jane cemas ketika Ares mul
'jangan ngadi-ngadi, lo tau apa kalimat terkenal dinegara kita ini kan? Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan!'Dari sambungan telepon antar negara itu celoteh nyolot tetap dilayangkan Maria. Setelah mendengar dengan pesan singkat dari Jane yang berbunyi: Theo laki bangsat, awas lo kalo tetep jodoh-jodohin gue.Sedangkan Jane? Semua yang dikatakannya nyata. Dia tidak sedang mengarang. Jadi bersamaan jemari lentiknya membenahi tatanan rambut dan gaun tipis berwarna merah yang menantang dengan potongan dada rendah itu Jane cuma memutar mata."Mata gue gak buta, burem aja nggak! Jadi gak perlu meragukan fitnah atau nggak, gue saksinya!"Jane mengimpit ponsel diantara pundak dan telinga, dia mencuci tangan.'mata bisa dipercaya kalo kuping lo juga bisa dengar penjelasannya. Kalo enggak? M
"Eh eh, apa lu, hah!? Jangan dekat-dekat. Lilili! Ini hik gue mao dicaplok buaya hik tolongin!" Pekikan histeris bernada sumbang dan tak jelas itu tiba-tiba diserukan. "Turunin gue! Biar gue diculik Massimo dan bikin gue jatuh cinta." Supir mobil suv yang sedari tadi hening fokus menyetir juga sekilas melirik kearah wanita bergaun merah yang tengah mengais-ngais jendela mobil dengan tenaga secuil. Mengigau. Karena mabuk. Rambut panjang lurusnya kian kusut, pipi sang gadis merona sempurna, efek alkohol, Jane merengek kecil. Kepalanya berputar dan seluruh isi perutnya bergejolak, apalagi tenggorokannya terasa panas. Tentu saja, lagian siapa yang tidak akan kobam begitu? Setelah benar-benar memberi kecupan untuk permintaan main-main yang diberikan Theo, pramugari jelita itu kembali meneguk dua gelas arak keras. D
Dulu sekali, waktu Jane masih SMP pergosipan ditiap-tiap lorong koridor sekolahnya tak jauh-jauh soal kakak kelas yang bibirnya terlihat jontor tiba-tiba, katanya— hasil cipokan di pojokan wc. Dan Jane percaya teori satu itu, salah satu penyebab jontornya bibir adalah ciuman yang terlalu menggebu-gebu. Lalu dengan mudah gadis-gadis sebayanya mengkategorikan mana cewek-cewek jablay dan mana yang tidak. Dan setelah memasuki SMA dunia pergosipan di circlenya pun mulai glowing up, memasuki tahap yang lebih serius. Maklum, termasuk Maria teman-teman Jane memang tak ada yang waras. Tuh kakak kelas jalannya ngangkang, udah gak prawan pasti. Jane yang teramat realis ini langsung menyeletuk. Apaan, emak gue lahiran dua kali jalannya biasa aja. Awalnya Jane juga iya-iya saja sambil ikut mengira-ngira kakak kela
——— "Gue lagi nyetir, lu bawel amat sih!" Jika hari-hari biasa Jane akan langsung memandikan Mendes setelah mercy kesayangannya itu dibiarkan berhari-hari diparkiran bandara, ia tak akan membiarkan satu butir debupun menempel pada body sexy Mendes dan langsung menidurkannya di garasi. Tapi tidak untuk kali ini, em— sebetulnya bukan kali ini saja, Jane sudah beberapa kali melakukannya. Menyetir membawa belanjaan hasil jastipnya kerumah Maria. "Inget jalan rumah gue, kan? Gue bunuh lo kalo nyasar lagi, punya otak gak guna banget." Jane menyalahkan sign kanan, memutar kemudi ke kanan pula. Jane tidak perlu navigasi untuk sampai ke lokasi yang sudah lebih dari sepuluh ia datangi kan? Sebenarnya butuh, soalnya rumah Maria ada di tengah-tengah hutan, tidak punya tetangga, ala-ala mansyur, orang kaya. "Gas pol gak usah lelet. Gue ngga
Malam sudah datang.Komplek perumahan yang biasanya ramai ini tak seramai hari biasa, tak ada suara rengekan bayi, ataupun ibu-ibu muda yang rempongnya melebihi gadis remaja telat datang bulan.Jane dirumah sendirian.Malu mengatakannya namun, Iya, Jane memang merasa sedikit kesepian.Sesore ini hanya ditemani oleh tayangan netfix series yang sudah ditontonnya dua kali dan beberapa pesan singkat dari rekan kerja yang mungkin baru mendengar kabar bahwa ia di PHK.Bertanya ada apa dan kenapa bisa.Jane hanya mendesah kecil, membalas dalam grup obrolan. I'm Jane, i'm oke!Dan beberapa dari mereka berkata kalau ingin mengunjungi rumah Jane esok hari. Jane mengijinkan tentu saja, dengan syarat harus membawa beberapa menu minuman dari kedai kopi terkenal.Setelah itu? Setelah dramanya selesai dan ia sudah membalas semua pesan ya
Dengan gerak jurus seribu bayangan Jane langsung menutup pintu rumahnya secepat kilat. Memukuli kepalanya sendiri karena terlalu malu. Kenapa ia bisa punya kepercayaan diri yang tumpah-ruah seperti ini sih? Dari siapa turunnya? Jane kira Theo ingin membahas hal-hal yang sebelumnya terjadi. Tetapi ternyata, semua adalah hasil dari naskah yang dibuat Maria. Jane membenarkan tata rambutnya dengan cepat. Ia menetralkan napas dengan tenang, meyakinkan dirinya kalau apa yang baru terjadi memang tidak sememalukan itu. Jane berdehem kecil, ia kemudian membuka kembali pintu rumahnya. Manusia tinggi besar rupawan tadi juga masih disitu. Memasukan beberapa anak rambut di sela daun telinga Jane kemudian mendongak dengan ekspresi yang masih tak bisa diajak kompromi. "Gue pernah bilang, kan?" tanya Jane tiba-tiba. Taehyung menoleh pada Jane. "Hm?" Tidak terlalu m
7 tahun kemudian.- “What the hell!” Umpatan itu terdengar dari mulut anak laki-laki yang tengah duduk dikursi penumpang mobil, mengudara jelas saat hening tengah melanda, ponsel lipat baru pemberian kakeknya yang sedang ia gunakan untuk bermain games tiba-tiba saja berbunyi mengacaukan permainannya. Menampilkan notifikasi panggilan. Theo yang duduk di kursi kemudi menoleh, matanya menyorot sang putra sulung berusia tujuh tahun yang baru saja mengumpat di depan hidungnya. “Siapa yang ngajarin kamu kata itu?” tanya Theo. Anak laki-laki yang memiliki wajah perpaduan apik dari ayah dan ibunya itu menoleh, memerkan raut muka acuh. “Sam sering dengar mommy bilang begitu.” Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kata orang begitu. Dan Theo sudah membuktikannya sendiri. Bagaimana Samuel memiliki sifat acuh yang diturunkan darinya namun juga memiliki sisi nakal Jane yang sulit diatur. “Dad,” panggil bocah tampan itu, mata
--Suara detik jarum jam mengisi kekosongan dalam hampanya ruang hening yang diputari dinding berwarna putih itu. Ruang yang besar dan berisi satu ranjang lengkap dengan sofa dan meja disana. Ada satu wanita yang tengah berbaring dengan mata menutup diatas brangkar itu, memakai pakaian berwarna biru khas pasien rumah sakit sementara pada tangan kanannya terdapat selang menjuntai yang terhubung dengan satu kantong infus menggantung. Jane bergerak kecil, wajahnya yang cantik megerut tipis kala merasa pilu disetiap sendi tubuh. Bahkan untuk melakukan gerakan kecil saja Jane harus menahan pegal. Wanita dua puluh delapan tahun itu akhirnya membuka mata, menatap segenap putih langit-langit ruangan, sebelum kemudian menggerakan kepala sedikit, Jane sadar betul ia sedang berada dimana jadi tak perlu lagi drama seperti aku dimana, aku siapa. Dan Jane tidak menemukan siapapun kecuali presesi adik perempuannya yang tengah duduk disana. Serin yang semu
Suara gemercik air mengalir masih terdengar deras dari kamar mandi yang pintunya tertutup rapat itu. Hari sudah melewati fajar, jarum jam menunjuk angka tujuh, sementara satu onggok tubuh kecil wanita yang berbalut selimut disana seakan tidak punya niatan untuk membuka mata. Theo sudah selesai dengan ritual mandinya, jelas kalau ia sudah terlambat untuk berangkat ke kantor tetapi meski begitu, Theo dengan santai berpakaian, sesekali melirik istrinya yang masih terlelap tentram tanpa usik kendati Theo bolak-balik diruang tidur mereka. Rampung berpakaian Theo mulai melangkahkan kaki mendekati ranjang, duduk ditepian kasur. Matanya memandangi bagaimana cara oksigen dihirup dengan ritme tenang oleh Jane, melihat cantik dari wajah istrinya yang entah kapan luntur itu. Theo tidak berniat untuk membangunkan Jane sama sekali. Ia cukup tau diri. Setelah semalam dan subuh tadi Jane memenuhi keinginan batinnya, Theo tentunya tidak tega kalau harus membuat Jane d
Siang yang cerah diakhir pekan ini Jane memutuskan untuk menghabiskan waktu dirumah, bermain bersama anjing-anjingnya serta merebah guna menonton serial televisi.Benar. Akhir pekan, yang artinya Theo sedang ada dirumah.Namun dimana pria itu sekarang? Jane pernah bilang kalau Theo itu punya penyakit akut perfeksionis menyangkut pekerjaan bukan? Iya, hari ini pun, bahkan saat akhir pekan yang harusnya digunakan untuk liburan ini Theo masih menerima telfon dari orang kantor, menganggurkan istrinya yang cantik dan seksi, membuatnya menonton sendirian.Untung suami sendiri, rutuk Jane dalam hati. Kalau tidak, sudah Jane tukar tambah.Jane mendesah bosan. Ia meraih remote dimeja dengan ujung kakinya dan segera mengganti saluran televisi yang tengah menyajikan pertengkaran ala anak muda yang sangat iyuh untuk ditonton. Mengganti channel ke acara pergosipan luar negeri.Memeriksa berita panas apa saja yang sempat ia lewatkan selama satu pek
"Apa-apaan kamu? Jangan bercanda, Karin!" Suara keras itu menggema di setiap sudut ruang rumah yang besar ini. Amarah wanita anggun itu sepertinya sudah tak mampu dibendung lagi setelah telinganya mendengar berita yang terlampau mengejutkan. Semburan kalimat yang keras kian lancar mengalir dengan segala raut kecewa yang tak lagi ragu disembunyikan. "Maaf, Mah." sang anak yang matanya sembab dan masih setia menangis itu kembali merisak, menunduk dalam-dalam di sofa dengan jari bertaut, tak mempu menatap mata sang ibu. Jane dan Theo masih terduduk bersebelahan ditempat mereka yang sama. Pada kursi paling jauh dari dua ibu dan anak itu. Menyimak saja, setelah diawal tadi tak disuguhi satu percik ramah pun Jane dan Theo tentunya tidak mau mengatakan hal yang panjang lebar. Jane merestui niat baik Theo yang teringin menuruti kemauan Karin, duduk mendengarkan, menemani wanita itu mengungkapkan kebenaran, dan itu sudah cukup. Jane tidak mau Theo ikut
"Lu amatiran ya?" Jane menoleh cepat ketika telinganya mendengar suara Maria berbicara demikian. Dengan badan yang masih bergerak karena ada Ares dipangkuannya Jane menaikan alis kebingungan, ia bahkan menoleh ke sekeliling, mengira kalau Maria berbicara bukan padanya. "Apaan?" jawab Jane dengan pertanyaan juga ketika ia yakin kalau pertanyaan tentang amatir itu memang ditujukan untuknya. Wanita cantik yang rambutnya blonde itu mendecak-decak sembari menggelengkan kepala, dia kemudian mengukurkan tangan dan menyentuh sekitaran leher Jane. Jane mendelik kecil. "Nanti kakak ajarin adek cara menutup hickey dengan baik dan benar ya." Jangan lupa dengan nada suara Maria saat mengatakan itu. Jane bahkan sampai harus memicing sebal. Kalian tau kalau orang sedang mengejek sambil sok-sok mengajari? Seperti itulah Maria tadi. Tapi Jane juga tidak menyangka kalau tato yang Theo buat tadi pagi tidak tersamarkan dengan benar. Padaha
Pagi ini adalah jadwal rutin Jane untuk berolahraga. Memakai setelan ketat berwarna abu-abu tua dan juga rambut diikat satu Jane masih semangat melakukan gerakan-gerakan yang dilakukan instruktur di televisi sana. Lili memang niat sekali membantu Jane. Bumil itu bahkan memberikan CD senam yang lain, ada yoga, aerobik dan juga senam SKJ. Jane tinggal pilih mau olahraga jenis apa yang sedang ia inginkan. Padahal dari pada sendirian dirumah, Jane inginnya olahraga bersama dengan dua temannya itu. Tapi apalah daya, yang lain sedang sok sibuk dan Jane jadi satu-satunya orang yang kesepian.Jane menyeka sedikit keringat yang mulai muncul di dahinya. Menghela napas panjang sementara ia duduk guna menetralkan lelah, setelah dirasa cukup Jane segera berdiri, mematikan televisi dan menggulung matras berwarna merah muda yang ia gunakan tadi.Beralih melangkahkan kaki menuju dapur, mengambil satu gelas air putih kemudian diteguknya sembari berjalan menuju kamar.
Jika Jane selalu mengagum-agumkan kelebihan Theo pada setiap kesempatan, entah itu fisik atau kemampuannya, kali ini sebuah kejutan mendatanginya, sebuah pembuktian akan kalimat terkenal yang berbunyi ‘Tuhan itu maha adil’. Karena jika sebelumnya Jane pikir Theo sempurna dengan semua kelebihannya, kini Jane tau satu hal, bahwa Theo takut ketinggian. Dan tentunya Jane memang istri yang laknat karena bukannya khawatir ia justru tertawa terbahak-bahak sembari mengabadikan video dan foto wajah Theo yang pucat ketika berada di puncak. Bahkan Jane mengunggah video singkat saat Theo melakukan lepas landas ke beranda social medianya. ‘Kalo takut tinggi harusnya bilang dari awal dong, babe, denial teross sampe semaput.’ Padahal Theo tidak pingsan, hanya gemetaran dan pucat. Jane tidak henti menggoda Jane akan hal itu bahkan saat mereka sudah sampai di rumah dengan baik hari ini. Setelah pulang dari paralayang, Jane dan Theo langsung pulang ke Tangerang karena
Jane pernah mendengar nasihat ini dari seseorang. ‘Hiduplah dalam kebahagiaan, bersyukur, jangan terjun bebas hanya karena sebuah masalah, kalau ada masalah besar anggap kecil. Ada masalah kecil? Anggap tidak ada.’ Dan setuju serratus persen dengan itu. Kalian tau? Hidup tidak selalu harus berpikir atau tentang nelangsa. Meski, tentu saja tidak akan selalu bahagia, sedih juga bagian dari indahnya hidup, namun amat penting untuk manusia bisa menyikapi dengan benar kesedihan itu. Sebab beberapa kali angin menyampaikan, manusia-manusia terlampau frustasi dan menyalahkan masalah yang tengah dihadapi. Kanapa bicara panjang lebar sih, Je. Apa intinya? Jadi intinya, Jane tidak telalu memikirkan hasutan-hasutan negative yang Bu RT dan juga Serin berikan padanya. Jane memikirkannya tentu, hanya saja ia memilih untuk menunggu Theo menjelaskan. Terbukti dengan hari ini. Setelah berkeliling melawat dan berbelanja di Malioboro siang tadi, Jane dan Theo lan