Arka dan Kiara melangkah cepat memasuki gedung perusahaan. Wajah mereka serius. Setelah serangan siber sebelumnya, mereka harus memastikan siapa dalang di balik upaya peretasan sistem perusahaan.
Di ruang kendali, Raka dan tim IT sudah bersiap dengan berbagai layar yang menampilkan data analisis jejak digital dari peretas. "Raka, bagaimana situasinya?" tanya Arka langsung begitu memasuki ruangan. Raka menunjuk ke salah satu layar. "Kami sudah melacak IP mereka. Mereka menggunakan sistem yang cukup canggih untuk menyembunyikan jejak, tapi mereka bukan tandingan kita." Kiara melangkah mendekat, matanya menelusuri data yang terpampang di layar. "Dari mana mereka berasal?" Salah satu teknisi IT menjawab, "Sepertinya dari organisasi bayangan yang pernah menyerang kita sebelumnya. Mereka mencoba masuk ke server cadangan kita, tetapi kami berhasil menggagalkan upaya mereka." Arka menyipitkan mata. "JaSuara dentuman keras menggema di udara. Jeritan dan suara benturan terdengar dari halaman depan kediaman keluarga Kiara. Arka dan Kiara segera berlari ke luar, diikuti oleh tetua keluarga dan anggota keluarga lainnya. Di depan gerbang utama, puluhan pria berpakaian gelap telah menerobos masuk. Mereka semua membawa aura membunuh yang kuat, mata mereka dipenuhi kebencian. Tetua keluarga Kiara mengerutkan kening. "Mereka akhirnya menunjukkan diri." Salah satu pria dari kelompok musuh melangkah maju. "Keluarga Kiara sudah terlalu lama berada di atas. Hari ini, kami akan menggulingkan kalian dan merebut posisi yang seharusnya menjadi milik kami!" Kiara mengepalkan tinjunya. "Mereka selalu menjadi ancaman bagi keluarga kami. Kali ini, mereka benar-benar berani menyerang secara langsung." Tetua keluarga Kiara menoleh ke belakang, memberi perintah kepada anggota keluarga lainnya. "Siapkan pertahanan! Jangan biarkan m
Setelah pertempuran sengit melawan musuh-musuh keluarga Kiara, keadaan akhirnya mereda. Cahaya pagi mulai muncul di ufuk timur, menerangi halaman kediaman keluarga Kiara yang dipenuhi bekas pertarungan semalam. Arka berdiri di depan Kiara dan tetua keluarga. "Sudah waktunya aku pergi," katanya dengan suara tenang. Kiara menatapnya dalam diam. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi ia tahu Arka bukan tipe orang yang mudah membuka hati. "Kalau begitu, hati-hati di jalan, Arka." Tetua keluarga Kiara mengangguk. "Terima kasih atas bantuanmu. Keluarga kami berhutang budi padamu. Jika kau butuh sesuatu, jangan ragu untuk meminta." Arka hanya tersenyum tipis. "Aku melakukan ini bukan untuk hutang budi. Aku hanya tidak suka melihat orang berbuat semena-mena." Dia lalu berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan Kiara yang masih memandangnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Hari-hari berlalu s
Di sebuah restoran mewah yang tersembunyi di pusat kota, Arka duduk berhadapan dengan Raka. Secangkir kopi masih mengepul di depannya, sementara Raka dengan serius menatap layar tabletnya, menunjukkan beberapa data penting. "Arka, aku sudah melakukan investigasi lebih lanjut tentang keluarga Kiara," kata Raka sambil mengetuk layar tabletnya. Arka mengangkat alisnya. "Apa yang kau temukan?" Raka menarik napas dalam sebelum menjelaskan. "Keluarga Kiara bukan hanya keluarga beladiri biasa. Mereka memiliki posisi yang sangat kuat dalam dunia beladiri di kota ini dan juga di Jakarta. Bahkan, ada sesepuh mereka yang sangat dihormati di kalangan pejabat negara. Dia bukan hanya seorang pendekar legendaris, tetapi juga pahlawan nasional yang berjasa dalam operasi rahasia untuk melindungi negara." Arka menyandarkan punggungnya, mencerna informasi itu. "Jadi, selain kekuatan bisnis mereka, mereka juga memiliki pengaruh besar di dunia
Nama Arka semakin dikenal di berbagai kalangan. Dia bukan hanya seorang pengusaha brilian, tetapi juga seorang pendekar yang tak terkalahkan. Kehebatannya dalam pertarungan terakhir menyebar luas, membuatnya menjadi sosok yang dihormati sekaligus ditakuti. Di sisi lain, negara menghadapi ancaman yang lebih besar. Sebuah kelompok bayangan dari dunia internasional mulai menyusup, berusaha meruntuhkan pemerintahan dan menciptakan kekacauan. Mereka bukan orang-orang biasa, melainkan mantan prajurit dan ahli beladiri yang pernah dikalahkan oleh para pendekar dalam negeri di masa lalu. Kini mereka kembali, lebih kuat dan lebih ganas dari sebelumnya. Pemerintah mulai gelisah. Militer dan aparat keamanan sudah bersiaga, tetapi mereka tahu bahwa menghadapi musuh dengan kemampuan beladiri luar biasa membutuhkan pendekatan berbeda. Di suatu pagi yang tenang, Arka menerima panggilan tak terduga. "Tuan Arka, seseorang ingin bertemu deng
Malam itu, Arka menerima panggilan darurat dari Panglima Damar. Suaranya terdengar tegang di ujung telepon. "Arka, musuh telah tiba di perbatasan. Mereka bergerak dalam bayangan, mencoba menyusup ke wilayah kita. Ini bukan ancaman biasa. Kazuro dan beberapa ahli beladiri kelas dunia ada di antara mereka." Arka yang sedang berada di ruang latihan rahasianya dikediamannya menatap peta yang terbentang di meja. Ia sudah memperkirakan bahwa serangan seperti ini akan datang, tapi tidak menyangka akan secepat ini. "Apa rencananya, Panglima?" tanya Arka. "Kita akan melakukan operasi penghancuran. Aku butuh kau di garis depan. Kau akan memimpin tim kecil, terdiri dari para tentara pilihan. Mereka sudah terlatih, tapi melawan orang-orang seperti Kazuro, senjata biasa tidak akan cukup. Kau harus menghadapi mereka secara langsung." Arka terdiam sejenak. Ia tahu bahwa misi ini akan sangat ber
Arka duduk di dalam mobil yang membawanya kembali ke kota. Setelah pertempuran sengit di perbatasan, ia akhirnya bisa menghela napas sejenak. Namun, pikirannya masih dipenuhi dengan berbagai hal—tentang musuh yang kabur, tentang masa depan, dan tentang misinya sebagai seorang pengusaha yang harus tetap menjaga perusahaannya. Panglima Damar telah berterima kasih padanya sebelum ia pergi. "Arka, negara ini berhutang budi padamu. Kau telah membuktikan bahwa masih ada patriot sejati yang akan melindungi tanah air ini." Arka hanya tersenyum tipis. "Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan, Panglima." Namun, tanpa sepengetahuan Arka, Panglima Damar telah menceritakan kisahnya kepada kepala negara dan para elit pemerintahan. Mereka terkejut sekaligus kagum, bahwa seorang pemuda yang dikenal sebagai pengusaha ternyata memiliki kemampuan bertarung yang luar biasa dan mampu melindungi perbatasan seorang diri.
Arka terus mempertahankan rahasia besar tentang dirinya sebagai patriot negara. Meskipun banyak pihak mulai menaruh curiga, ia tetap memainkan perannya sebagai pengusaha yang fokus mengembangkan perusahaannya. Namun, di balik ketenangan itu, dunia bisnis dan politik mulai mengincarnya. Di ruang rapat eksklusif sebuah hotel bintang lima, sekelompok elit pengusaha berkumpul. Mereka berbincang dengan penuh kehati-hatian, mencoba mengungkap identitas sang patriot yang telah menyelamatkan negara. "Orang ini bukan sekadar pejuang, dia juga sangat cerdas dalam bisnis," ujar seorang pria tua berjas hitam. "Kita harus menemukan dia. Jika dia bergabung dengan kita, masa depan bisnis kita akan lebih kuat," tambah seorang wanita berusia sekitar lima puluhan dengan suara berwibawa. "Tapi bagaimana kita bisa menemukannya? Pemerintah merahasiakan identitasnya dengan sangat ketat," sahut pengusaha muda lainnya. "Ada satu car
Arka mulai merasakan tekanan dari berbagai sisi. Dunia bisnis semakin bergejolak, hubungan dengan Kiara menjadi semakin rumit, dan musuh-musuhnya tidak tinggal diam. Kali ini, ancaman yang datang jauh lebih besar dari sebelumnya. Di ruang rapat eksklusif perusahaan miliknya, Arka dan Raka sedang membahas ekspansi bisnis mereka. "Arka, sepertinya para investor besar mulai menunjukkan ketertarikan pada perusahaan kita. Beberapa dari mereka bahkan menawarkan kerja sama eksklusif," ujar Raka sambil menyerahkan beberapa dokumen. Arka melihat sekilas dokumen itu. "Menarik. Tapi kita harus berhati-hati. Tidak semua yang mendekat itu punya niat baik." "Aku juga berpikir begitu. Lagipula, beberapa dari mereka tampaknya lebih tertarik pada dirimu daripada bisnis kita," tambah Raka dengan senyum penuh arti. Arka tertawa kecil. "Aku sudah terbiasa dengan itu. Dunia ini bukan hanya tentang uang, tapi juga tentang kekuatan
Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. “Masih terasa aneh ya,” gumam Kiara di belakangnya. “Kita barusan keluar dari altar kehendak… dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.” Genta menyeringai sambil menenteng tas data. “Aneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.” Raka menepuk bahunya. “Jangan beri semesta ide aneh, Gen.” Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. “Kita berhasil. Dunia masih berdiri.” “Dan kita masih satu,” Kiara menambahkan,
Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. “Tempat ini hidup,” bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. “Tapi bukan seperti teknologi. Ini… sesuatu yang lain.” Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. “Seolah-olah tempat ini mengenali kita.” Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. “Tunggu,” ucap Arka sambil menatap sekeliling. “Kalian dengar itu?” Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m
Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. “Tahan formasi! Jangan terpisah!” “Aku kehilangan gravitasi!” teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. “Aku dapat dia! Tapi ini… bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!” Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. “Kita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!” Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini
Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. “Tempat ini… terasa seperti dalam mimpiku,” gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. “Tapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.” Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. “Aku lihat bayangan Ayah tadi… seperti nyata.” “Bukan bayangan,” sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. “Tempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.” Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabut—wajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara
Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. “Gelombangnya meningkat,” gumamnya. “Ini bukan hanya sinyal… ini panggilan.” Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. “Kau siapa sebenarnya?” tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. “Pertanyaan yang salah, Arka Wijaya,” suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. “Pertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?” Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. “Kau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.
Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…
Bayangan hitam yang mengambang di atas cakrawala makin jelas. Bukan retakan dimensi, bukan pula makhluk seperti Zerah—melainkan armada. Puluhan—tidak, ratusan kapal udara taktis melayang membentuk formasi setengah lingkaran di langit senja. Baling-baling rotor mereka tak menimbulkan suara, hanya getaran halus yang merambat ke tanah, seperti denyut jantung dunia yang baru bangkit. “Ini bukan invasi, kan?” bisik Raka sambil meraih senjata di pinggang. Genta menatap hasil pemindaian di alatnya. “Bukan. Ini… pasukan militer. Tanda pengenal mereka sah. Tapi mereka dalam mode siaga tinggi.” Beberapa pesawat turun perlahan, melepaskan platform logam yang terhampar rapi di tanah. Dari sana, pasukan berseragam hitam-hijau turun, berbaris dalam diam. Seorang pria berambut putih dan berseragam panglima berdiri di tengah mereka, mengenakan lencana khusus bertuliskan SATGAS ARDHA GARDA NASIONAL. Arka maju beberapa langkah
Cahaya biru menyelimuti medan pertempuran. Pilar-pilar energi yang sebelumnya mencabik langit kini membeku di udara, seolah diperintah oleh kehendak yang lebih tua dari waktu. Sosok asing yang muncul dari celah realitas itu melayang perlahan, jubah panjangnya berpendar lembut, dan matanya memancarkan cahaya keemasan yang menembus jiwa siapa pun yang menatapnya. Arka berdiri membeku di tengah pusaran penyegelan. Energi di sekeliling tubuhnya masih berkobar, tapi kini tertahan—seolah sebuah tangan tak kasatmata menggenggamnya. “Siapa… kau sebenarnya?” tanya Arka pelan. Sosok itu turun menyentuh tanah. “Aku adalah bagian dari darahmu. Dan engkau adalah bagian dari kehendakku yang tertinggal di dunia ini.” Raka terhuyung, menahan luka di lengannya, matanya terpaku pada simbol bercahaya di udara—tiga garis spiral yang saling berpotongan membentuk mata ketiga di tengah kehampaan. Kiara berbisik, “Simbol itu… mengik
Tanah terbelah. Awan menghitam. Dari tubuh Sakarat, sosok Zerah melayang perlahan—gerakannya anggun seperti kabut, tapi tekanan kehadirannya menekan dada semua orang. Di sekelilingnya, waktu bergetar. Suara-suara dari masa lalu bergema lirih, menciptakan irama aneh yang menyesakkan telinga. Kiara mundur beberapa langkah. “Itu… bukan makhluk biasa.” “Bukan,” desis Arka. “Dia bukan makhluk. Dia… adalah kehendak yang ditolak oleh alam semesta.” Zerah menatap ke arah mereka, topengnya berganti-ganti bentuk—wajah-wajah yang familiar muncul sekilas: wajah Raksa, wajah Nadira, bahkan wajah Reza. Setiap wajah muncul hanya untuk digantikan oleh kekosongan tanpa ekspresi. “Arka Wijaya,” suaranya terdengar seperti ribuan orang berbicara bersamaan. “Darahmu adalah kunci. Warisanmu adalah pengikat. Maka, akulah yang berhak menuntutnya.” Tubuh Arka bergetar saat aliran energi dari dalam dadanya berdenyut semakin kuat. Simb