Mereka akhirnya sepakat untuk membawa Azrah berobat jalan di Jakarta.Untuk pertama kalinya, Mira kembali setelah hampir enam tahun berlalu. Ia sungguh terkejut melihat rumah dan isinya tidak berubah samasekali. Ia bahkan menduga, tak satupun barang yang bergeser dari tempatnya setelah kepergiannya. Ia bahkan masih melihat Ting sampah yang masih terisi dengan sampah yang sama pada waktu itu. Masih ada struk belanja terakhir kalinya saat ia meminta Denny berperan sebagai suami terbaik di dunia ini.Hatinya berdesir dan tangannya bergetar menyentuh semua barang yang pernah ia miliki dahulu tidak berubah samasekali. Apakah arti semua ini? batinnya.Dalam keadaan termangu, Denny datang menghampirinya."Maaf, aku belum sempat mengganti dengan taplak meja yang bersih," katanya dan mengambil taplak meja di hadapan Mira.Mira langsung memegang tangan Denny refleks karena ia merasa taplak meja di hadapannya masih cukup bersih."Tidak, Mas. Ini masih bersih...tapi siapa yang melakukannya? Semua
"Iya Mas. Azrah harus segera kembali ke sekolah karena sebenarnya dia belum ada libur sekolah. Tujuan Azrah ke Jakarta adalah karena kompetisi Matematika yang disponsori perusahaan besar di Jakarta ini. Alhamdulillah, Azrah tidak mengecewakan...yah... seperti ayahnya dulu."Denny tercengang dengan penuturan Mira. Ia teringat dengan kompetisi yang diikuti Danial keponakannya di tayangan televisi waktu itu. Ia teringat pemenang pertama yang menginginkan bertemu ayahnya...dan ia tak mengira kalau itu adalah Azrah?"Mira... kalian...ah, aku tak percaya dengan semua ini," desisnya karena ia sangat sedih dengan kejadian tersebut, ia tak mengira bahwa itu adalah putranya sendiri!"Kenapa kamu merahasiakannya, padahal waktu itu kita sudah bertemu?"Mira ingat, ia sangat ingin mengatakannya, tapi Denny bersama wanita itu!"Tidak ada alasan, aku hanya takut kamu mengambil Azrah dariku, Mas. Bagaimanapun, aku hanya memiliki Azrah.""Kamu sangat egois, Mira.""Umi, aku tidak mau ikut ayah. Aku ha
Bagaimana bisa Denny hanya berharap ia hanya harus bertahan sementara saja sedangkan ia berharap berada di sisi Denny selamanya?Sementara itu Denny kecewa karena Mira ingin cepat kembali ke Kalimantan. Wanita ini pastilah sudah tidak mencintainya lagi karena terlalu sering dikecewakan. Ia merasa sangat kecewa. Ia telah berjanji kepada dirinya sendiri bahwa tidak akan ada lagi pernikahan yang ke empat kecuali itu adalah pernikahan terakhir kali dan wanita itu hanyalah Mira!Ia tak akan menikahi wanita manapun kecuali Mira mau kembali kepadanya. Tapi apa? Wanita ini bahkan mau buru-buru pulang ke Kalimantan? Apa yang harus ia lakukan demi membuat Mira bertahan?Mereka berdua terdiam dalam pikiran mereka masing masing hingga suara keluarga Denny yang cukup ramai masuk ke ruangan mereka."Denny, Mira!" suara Nia istri Danu menggelegar memenuhi ruangan. "Wah ini dia... Denny hampir gila mencarimu kesana-kemari, dan ternyata...kamu datang tepat pada waktunya, Mira," kata wanita itu membua
Denny masih gagap dengan penuturan Mira. Sedikit tak percaya, tapi ucapan Mira bukanlah sebuah bualan bukan? Ia sangat takut kalau-kalau Mira mempermainkan perasaannya. "Tunggu, kamu tadi bilang apa? Coba kamu ulangi sekali lagi ucapan kamu tadi, Mira." Denny mencoba mencerna ucapan Mira, ia takut salah menafsirkan.Mira tersenyum, sepertinya Denny memang tak memahami apa yang ia ucapkan."Mas, aku mau kembali ke Jakarta lagi setelah Azrah bisa pindah sekolah dan menempati rumah ini bersama Azrah jika kamu setuju. Apakah kamu tidak menyukainya, Mas?" tanya Mira menekankan."Kamu serius? Kamu serius mau pindah ke Jakarta ini? Kamu nggak lagi becanda kan, Mira?""Tentu saja, aku serius dalam hal ini."Sesaat kemudian, Mira terkejut karena Denny berjingkrak di hadapannya."YES!" pekiknya dan melompat girang.Mira semakin tak percaya, tak menyangka, Denny berlari keluar kamar dan segera memberitahukan hal itu kepada seluruh keluarganya. Ia hanya merasa lucu dan tersenyum geli dengan ting
Denny sangat terkejut karena pukulan itu telak mengenai rahangnya. Bahkan pria itu sempat memukul sekali lagi.yang membuat ia kepayahan.Darah segar mengucur di sudut bibirnya."Siapa kamu?" kata Denny sembari mengusap darah yang menetes di bibirnya.Sangat sulit melihat wajah pria itu dengan jelas dan bahkan ia tak mengenali postur tubuh pria itu."Bagaimana rasanya? Sudah lama saya menunggu saat seperti ini, dan saya tidak akan berhenti untuk melakukannya," ancam pria itu.Denny berusaha keras mengingat suara lelaki yang sepertinya lebih tua darinya itu. Akan tetapi tak seorangpun yang terlintas di kepalanya siapa pria asing itu."Apa maumu?" tanya Denny penasaran."Hah, berlagak tanya apa mauku? Seharusnya, kamu ingat bagaimana aku ikut merintis usahamu itu. Bagaimana perusahaan kamu bisa sebesar itu, pastilah ada andil kami yang berkerja lebih awal dari yang lain.""Siapa sebenarnya bapak ini? Saya sungguh tidak bisa mengingat. Apa kesalahanku sebenarnya?""Sebelumya, ayahmu sanga
Mira hanya menggelengkan kepalanya. Betapa gelisah menunggu Denny yang tak kunjung muncul. Ditambah lagi dengan wajahnya yang terluka. Ada apa sebenarnya? Apa mungkin Denny terlibat sebuah perkelahian?Meskipun sedikit lambat dan kacau, pernikahan itu bisa berlangsung dengan baik. Pada akhirnya, Mira dan Denny kembali bersatu. Malam itu juga, Mira dan Denny melangsungkan pernikahan mereka yang kedua kalinya tanpa sepengetahuan keluarga Mira di desa.Denny benar-benar tidak pernah membayangkan bahwa cinta yang Mira miliki hanyalah untuknya. Kekuatan itu begitu dalam dan mampu membuatnya tersadar.Di hadapan penghulu, Denny menangis bahagia. Ia berharap tak ada satupun rintangan di hari pernikahannya.Begitu juga keluarga Mira yang melihat Denny menangis, mereka juga tak bisa menahan air mata saat Denny menggenggam tangan Mira seperti tidak mau melepaskan lagi sedetikpun."Mas, apa begitu berat bagimu untuk melupakan aku selama ini? Bukankah kamu yang dulu ingin aku pergi?" tanya Mira
Jakun Denny turun naik, seolah menelan pahit kenyataan hidupnya saat ini. Seharusnya ia senang mendapati kenyataan bahwa ia punya seorang anak saat ini. Tapi kenapa ia juga harus menerima hujatan ini?"Azrah, ayah tau...tapi ayah sudah mencari kalian kemana-mana. Ayah menyesal karena tidak bisa menemani Azrah, akan tetapi ayah tidak berharap Azrah akan marah seperti ini," kata pria itu menatap lekat Azrah kecil di hadapannya."Azrah... masalah itu... bukannya ayah tidak mau datang, akan tetapi ayah sungguh tidak tau kalau Azrah ikut kompetisi di Jakarta," terang Denny lagi. Tidak cuma kompetisi matematika, ia bahkan tidak tahu punya seorang anak lelaki di muka bumi ini.Mira menggigit bibir bawahnya, ia juga tak mengira respon Azrah yang cukup agresif terhadap Denny. Sangat jelas bocah itu berontak dan merasa trauma. Saat Denny berusaha mendekati, Azrah melangkah mundur ke arah Mira, seolah melihat monster yang akan menerkamnya."Umi, kita harus pergi dari rumah ini. Azrah takut...
Denny menatap bingung mimik wajah ibunya yang murka. Seharusnya semua masalahnya sudah berakhir makam ini, setelah dirinya dan Mira memutuskan untuk menikah. Tapi ternyata tidak sesederhana kelihatannya.Sementara itu Mira sudah berada di sebuah ruangan seorang psikiater anak. Ia memegang tangan Azrah yang gemetar. Rasa perih mulai merayap di hatinya melihat tatapan berbeda di mata buah hatinya."Bagaimana, Dokter. Apakah kondisi Azrah baik-baik saja?" tanya Mira cemas.Dokter wanita itu tersenyum, sembari melihat catatan yang sudah ia tuliskan sebagai diagnosa atas pemeriksaan fisik dan psikis Azrah."Syukurlah, Azrah hanya shock karena bertemu dengan orang yang berkaitan erat dengan kejadian itu. Sepertinya pendekatan psikis butuh waktu dan metode yang tepat supaya Azrah bisa menerima kenyataan. Sayangnya orang itu adalah ayahnya sendiri...," ujar dokter itu ikut prihatin. Mira menelan ludah, tersenyum getir atas kenyataan pahit yang dokter itu sebutkan."Apa yang harus saya lakuka
Sugesti di masa kecil yang absurd seperti potongan kenangan yang unik untuk diingat.Seperti bagaimana biji semangka yang tertelan akan tumbuh dan berakar di dalam perut, mengeluarkan tangkai dan daun dari telinganya dan hidung lalu berbuah di puncak kepala. Begitulah seorang anak digiring dalam sebuah pemikiran tak masuk akal bahkan hanya karena sebuah nama."Apa kau terpengaruh?""Tentu saja. Sepertinya itu berhasil karena aku percaya dengan ibuku. Hahaha," Denny tergelak lagi karena konyolnya pemikiran saat itu.Mereka terlihat serasi dan bahagia."Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" Denny kemudian melihat Mira meminta pendapat soal rencana yang sebenarnya sudah mereka buat."Uhmm pertama, aku mau buat adik untuk Azrah, ini adalah tujuan yang paling bagus untuk dilakukan. Apa aku salah?""Haish... selalu saja cari keuntungan."Denny hanya nyengir, sementara ia tetap fokus berkendara."Rencana kedua adalah membangun usaha toko di pasar tradisional dan selanjutnya akan menjadi
Mira dan juga Denny sangat panik dan segera membawa Marina ketempat yang nyaman di dalam mobil.Mereka membawa pulang wanita itu dan memindahkannya ke kamar.Mira sangat iba melihatnya. Ia bisa merasakan Marina sangat terluka. Ia sangat mengerti bahwa Marina sangat mencintai Dika."Mira, sejak tadi kau melamun, apa yang kamu pikirkan?" tegur Denny karena Mira hanya termenung menatap wajah Marina."Selalu ada yang membuat wanita terluka sampai seperti ini. Apakah lelaki nggak tahu kalau wanita itu cuma makhluk yang lemah. Saat mencintai, dia sangat mudah dikhianati. Saat setia, pria tidak menyadari dan saat terluka ia hanya bisa menangis menyalahkan dirinya sendiri yang tak sempurna. Hanya saja, meskipun sangat lemah...wanita mampu bertahan dalam situasi seperti ini," ujarnya pelan, seolah mengenang apa yang dialaminya dulu.Saat itu Denny mengabaikan segala yang ia miliki. Cinta dan ketabahannya harus berakhir dengan selembar surat cerai.Akan tetapi Marina...dia mendapat selembar sur
"Aku membebaskan kamu, tapi kamu kembalikan kerugian yang sudah kamu tumbukan sejak awal, bagaimana?""Hah, omong kosong! Kau kira aku percaya?""Tidak. Kau tidak perlu percaya. Karen aku juga yakin kamu tidak punya uang untuk melakukannya. Kau kan cuma bisa memeras perempuan, mana mungkin bisa kembalikan uang sebanyak itu. Tapi...aku bisa sih mengurangi dakwaan soal pemerasan kamu yang terakhir, dengan syarat kamu ikuti permainan kami."Dika meremas tangannya kuat, sebab, dakwaan soal pemerasan uang itu berbuntut panjang. Marina minta uang itu dikembalikan tiga kali lipat berikut biaya persalinannya kelak."Aku tidak memeras, tapi dia yang memberikan.""Marina juga mendapatkan tamparan keras darimu, apa itu juga bisa dilaporkan tindak kekerasan? Ah Dika, sangat banyak catatan kriminal yang kau lakukan," ejek Denny. "Mungkin hukuman lima belas tahun penjara tidak cukup untuk kamu.""Jadi apa maumu?!" kali ini Dika terlihat menyerah.Denny tersenyum menang. Ia sudah membaca gelagat Dik
Seperti yang dikatakan Mira, polisi memang sudah berhasil meringkus Dika sehingga mereka mendapatkan pemberitahuan keesokan harinya.Mira segera menemui Marina dan menceritakan apa yang telah ia lakukan untuk Dika."Marina, aku minta maaf karena terpaksa menguntit kepergian kamu ke bank. Dan inilah akhirnya, kami memutuskan penyelesaian dengan polisi saja.*Marina menunduk dalam. Sepertinya ia ragu menyetujui tindakan Mira."Kau masih menyukai Dika, Marina? Apakah pria itu layak untuk wanita sebaik kamu?"Marina masih tak menjawab. Dilema di hatinya saat ini adalah soal harga dirinya yang hancur. Bagaimana mungkin ia melahirkan tanpa seorang suami, apa yang akan ia lakukan?"Kau berpikir bahwa Dika akan menikahi kamu, Marina? Itu tidak mungkin, Marina. Tidak semudah itu untuk memiliki suami yang baik seperti yang kita inginkan.""Tapi Bu....saya butuh status, meskipun hanya seorang janda, bukan sampah seperti ini," isaknya kemudian. "Saya masih tak mengerti, apakah kesalahan ini semua
Mereka sepakat untuk menguntit kemana Marina pergi. Dan benar saja, Marina memang datang mengambil uang di sebuah Bank. Mereka bahkan bisa memperkirakan berapa jumlah uang yang diambil Marina di bank tersebut."Kenapa Marina membutuhkan uang sebanyak itu?" gumam Mira yang sempat didengar Denny."Sudahlah, kita hanya butuh menguntit apa yang sebenarnya ia lakukan."Tak lama kemudian, wanita itu menuju sebuah restoran kecil di pinggir jalan tak jauh dari bank itu.Denny dan Mira tetap menguntit dan memperhatikan gerak gerik Marina yang terlihat gelisah seperti menunggu seseorang.Dan ternyata tak lama kemudian, seorang pria berhodie mendekati dan duduk di hadapan Marina.Marina menoleh kesana kemari untuk memastikan tidak ada yang melihat pertemuan mereka. Marina tahu, ini tidak benar, tapi ia ingin mengungkapkan perasaannya pada pria itu saat ini."Heh, kau datang juga akhirnya," bisik pria itu menatap puas wanita di hadapannya. "Benar, aku datang dan membawa apa yang kau minta, Mas."
Suasana semakin riuh saat mengetahui bahwa Mira adalah orang yang paling berkuasa di perusahaan tersebut.Apa ini? Mereka semakin tak percaya. Bagaimana mungkin Denny yang begitu keras dalam berusaha ternyata tidak memiliki apapun di perusahaan.Begitu juga Danu. Ia semakin tak mengerti bagaimana mungkin keluarga mereka hanya memiliki tidak lebih dari dua puluh persen saham? Kemana uang yang mereka miliki selama ini? Apakah ada suatu permainan yang dimainkan Denny untuk mengalihkan hartanya kepada istrinya?Itulah sebabnya kenapa Denny begitu berat melepaskan perusahaan itu untuknya!Dan karena kenyataan itu, Danu sangat marah lalu iapun segera keluar ruangan untuk mencari udara segar."Mas, aku minta maaf perihal Mira tadi, tapi bukankah itu yang mas Danu inginkan? Mas Danu ingin menerima tanggung jawab ini dan istriku tidak mempermasalahkannya. Untuk itu, aku juga tidak masalah." "Kenapa kau berubah pikiran? Apa kau sudah merasa cukup puas dengan permainan kamu? Kalian mengalihkan
Marina tahu, ia telah bersalah, tapi untuk kali ini saja, ia akan menuruti kemauan Dika. Ia ingin bernapas sejenak dan setidaknya tidak merepotkan Mira untuk menghadapi Dika. Selain itu, keluarganya akan merasa aman dari gangguan Dika."Sungguh, Bu. Sungguh tidak terjadi apapun denganku. Aku hanya menangis karena merindukan keluarga sehingga terasa bengkak wajahku karena menangis," ujar Marina beralasan.Meskipun tak sepenuhnya percaya, Mira menerima saja alasan Marina."Baiklah, kalau begitu cepatlah beristirahat, dan jangan lupa untuk minum vitamin kehamilan supaya tubuhmu tidak terlalu lemah.""Baik, Bu. Terimakasih."***Hari ini, Denny mengadakan pertemuan dewan direksi masalah perwakilan direktur perusahaan yang akan dipegang Danu. Ia harus memberikan pengumuman dan penyerahan alih tugas sementara. Selagi menyiapkan, Danu datang dengan wajah kesal seperti biasa."Apa maksudmu dengan alih tugas sementara? Apa kau pikir aku selemah itu?" protesnya dengan melempar map berisi undan
Marina menahan perih teramat sangat, sedangkan hatinya lebih dari itu. Ingin rasanya ia mengambil pisau yang terselip di pinggang Dika lalu menghujam pria itu dengannya. Tapi ia merasa lemah dan takut dengan bentuk kekerasan seperti itu."Marina, kau harus mengambil langkah yang bagus untuk mengambil kekayaan Denny. Anggap saja tidak perlu buru-buru, sedikit demi sedikit juga bisa kita mulai. Kau tentu bisa melakukannya."Wanita itu masih dalam memegangi pipinya yang terasa panas, ia hanya mendengar ucapan Dika dengan ketidak pastian."Sekarang aku butuh uang lima juta saja untuk membeli motor bekas, tapi bulan depan aku harus membeli motor yang baru, bagaimana, ini adil untuk kita bukan?"Kali ini Marina menatap tajam tak percaya pada pria yang di hadapannya. Ia tak percaya Dika hanyalah monster bertubuh manusia tampan. Sisi hidupnya sangat gelap maka ia tidak akan mau berada di lingkup hidup pria ini sampai kapanpun."Kenapa? Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa kau kira aku tidak
Denny mendengus, "Andaikan itu mudah bagiku, aku memilih untuk bersikap tidak perduli. Tapi bagaimana lagi jika itu sudah menyangkut istri cantikku?""Hehe, menggombal ya? Sudah baikan?" tanya Mira lembut. Tangannya menjangkau rahang suaminya dengan kasih sayang.Ya, ia memang akan merasa lebih baik dengan pelukan dan senyuman Mira yang indah. Akan tetapi setelah ia kembali dalam polemik hidupnya, ia merasa sangat ingin berlari dalam pelukan wanita ini. "Tentu saja. Aku akan semakin baik kalau kau selalu seperti ini, selalu bersikap lembut dan tersenyum.""Kalau begitu, sebaiknya kita kembali ke desa saja, Mas. Dan...aku sangat setuju kalau kamu menyerahkan perusahaan ini untuk Mas Danu."Atas ucapan Mira itu, Denny membelalakkan matanya. Ia tak mengerti bagaimana bisa Mira tahu apa yang sedang ia pikirkan saat ini."Kenapa kita harus ke Desa? Apakah semudah itu menyerahkan perusahaan pada Mas Danu?""Iya, Mas. Setidaknya berikan kesempatan untuk mas Danu bangkit seperti kamu,. berik