Rong Guo segera melangkah keluar dari tempat persembunyiannya begitu mendengar namanya disebut-sebut.Hawa malam yang sejuk menerpa wajahnya, sementara matanya tertuju pada cakrawala yang berkilauan di kejauhan. Di sana, dua sosok setengah abadi melayang-layang dengan keanggunan yang luar biasa.Jubah mereka berkibar lembut di udara malam, seolah-olah terbuat dari sutra tipis yang bersinar, sementara lengan baju mereka yang lebar semakin menegaskan kesan, bahwa mereka seolah-olah dewa-dewa yang turun dari langit.Rong Guo menelan ludah, kemudian dengan penuh penghormatan, dia membungkukkan badan dalam-dalam, tangan ditangkupkan di depan dada."Dua abadi yang mulia," suaranya lambat namun penuh hormat, mengalun pelan di antara desiran angin yang membawa aroma tanah basah."Apa gerangan yang membuat orang kecil seperti saya dipanggil? Sesungguhnya, saya hanyalah manusia biasa, tak memahami seni bela diri yang tinggi. Mohon belas kasihan, jangan mempersulit orang kecil ini," lanjutnya de
Rong Guo terpaksa bermalam di pulau kecil yang terpencil itu, berlindung di dalam sebuah bangunan tua yang masih memancarkan sisa-sisa kemegahan masa lalu. Anehnya, perahu yang dipakai oleh Nelayan Yang beberapa waktu lalu untuk mengangkutnya kini lenyap tanpa jejak, seolah ditelan oleh kabut misterius yang menyelimuti danau."Apakah Nelayan itu sengaja menghilangkan perahu, agar aku terperangkap di pulau sunyi ini?" gumamnya dengan nada cemas, sambil menatap sekeliling dengan kewaspadaan yang meningkat.Seketika, wajah Rong Guo berubah pucat, ketakutan merayapi pikirannya.Sebelumnya, ia berpikir setidaknya bisa menggunakan perahu milik Nelayan Yang untuk meninggalkan pulau ini, namun harapan itu kini hancur berkeping-keping.Saat berdiri termenung di tepi danau yang gelombangnya tak henti-hentinya memukul pantai, tiba-tiba perutnya berbunyi nyaring, mengingatkannya pada kenyataan yang tak bisa dihindari—kelaparan yang mulai menyerangnya."Aku lapar. Sejak pagi belum makan. Sebaiknya
"Siapa di sana?" teriak Rong Guo dengan nada yang penuh kekuatan. Keheningan yang tadinya melingkupi danau itu mendadak terpecah oleh suaranya, mendatangkan aura mencekam yang menyelimuti sekeliling.Tanpa membuang waktu, Rong Guo segera berlari menuju sumber suara yang terdengar samar di antara desir angin malam.Dalam jarak sekitar sepuluh meter, matanya menangkap sosok Nelayan Yang, seorang setengah abadi yang mengenakan jubah sederhana, tampak mengambang di atas permukaan air danau. Arus Sungai Han Fenghe yang deras tampaknya siap menyeret tubuhnya yang lemah ke kedalaman."Pegang ini!" teriak Rong Guo, dengan cepat melempar sejalinan akar tua yang ia lilitkan menjadi tali darurat. Akar itu melayang di udara, sebelum mendarat tepat di jangkauan Nelayan Yang.Dengan sisa kekuatan yang ada, Nelayan Yang berhasil meraih akar tersebut, meski tubuhnya mulai melemah.Rong Guo segera menariknya dengan sekuat tenaga, merasakan beban berat seiring tubuh Nelayan Yang terangkat ke tepian dan
Melihat dua sosok setengah abadi yang awalnya sudah mulai pulih namun kini muntah darah, Rong Guo segera bergegas menghampiri mereka. Wajahnya seketika pucat, dan tangannya gemetar ketika ia mencoba memeriksa nadi kedua setengah abadi itu."Meridian mereka benar-benar kacau balau, tubuh mereka sedingin es. Aku tak bisa memastikan apakah mereka akan selamat atau tidak," batin Rong Guo dengan panik. Kecemasan menguasai dirinya, dan pikirannya berputar-putar mencari cara untuk menolong."Seandainya saja aku memiliki sedikit energi Qi, mungkin aku bisa memberikan sedikit kekuatan untuk menyelamatkan kedua Senior ini. Namun apalah dayaku, hanya seorang yang tak lebih dari manusia fana biasa," pikir Rong Guo dengan kesedihan yang mendalam.Hatinya terasa berat oleh ketidakmampuannya. Menyesalpun tak bisa, dia tak bisa mengalirkan energi Qi, meski ada beberapa titik akupunktur yang baru-baru ini terbuka. Itu adalah sangat jauh dari jumlah energi Qi yang dibutuhkan.Akibatnya, meskipun mataha
Di sana, di tepi danau, Rong Guo menyaksikan dua setengah abadi itu—Nelayan Yang dan Imam Qiu—sedang bertempur. Gerakan mereka sangat cepat. Energi berhamburan membuat air danau bergolak, bahkan sebagian air tampak terciprat ke udara.Namun, dalam pertarungan kali ini, ada yang berbeda dari sebelumnya.Keduanya bertarung dengan wajah yang terlihat penuh kegembiraan, hampir seperti sepasang teman lama yang bersuka ria dalam adu keahlian.Sesekali terdengar mereka saling memberi koreksi, ketika salah satu tertindih oleh serangan pedang, atau serangan telapak tangan yang penuh tenaga dalam.“Nelayan miskin! Seni telapakmu masih memiliki banyak kekurangan! Aku tak heran, kalau kamu lari seperti kucing hutan, dikejar-kejar para praktisi pemula dari Langit Biru,” ejek Imam Qiu dengan nada mengejek.Sementara pedangnya berkilat di udara, membentuk tembok pedang bercahaya, dan kecepatannya mengalir seperti cahaya kilat yang tiba-tiba menghantam Nelayan Yang.Sebaliknya, dengan gerakan yang te
Sebelum memakamkan dua ahli yang telah setengah abad menjadi bagian dari dunia kultivasi, Rong Guo mendapatkan catatan yang ditulis oleh masing-masing dari mereka.Dengan hati yang berat, ia memilih untuk membaca surat dari Imam Qiu terlebih dahulu.Pesan dari Imam Qiu tertulis dengan tangan yang mulai rapuh, namun tetap kuat dalam setiap goresan tinta."Anak muda, aku tahu kamu mengalami kemunduran dalam kultivasimu. Ada sesuatu yang telah mengganggu aliran energi internalmu. Namun, salinan buku Long Xuan Shu yang telah kau baca, aku yakin, akan membantumu perlahan-lahan untuk kembali menerobos batas dan menjadi seorang ahli yang tak tertandingi.""Bersama surat ini, aku menitipkan sebuah pedang – Pedang Halilintar. Aku harap kamu bersedia membantuku dengan mengembalikannya ke Sekte Pedang Emas. Selain itu, aku telah berbicara dengan Nelayan Yang. Kami berdua sepakat untuk menurunkan dua jenis ilmu yang kami miliki kepadamu.""Dariku, tentu saja, adalah Teknik Pedang Halilintar. Meng
Perjalanan menuju Kota Baiyung Chen, meskipun melalui jalur air tawar, diperkirakan oleh Rong Guo akan memakan waktu seminggu penuh. Waktu itu bisa lebih lama lagi jika ia hanya mengandalkan dahan pohon Willow yang diambilnya dari pulau terpencil sebagai tumpuan."Menggunakan Qinggong dan terbang di atas air seperti ini sangat menguras energi sejatiku. Apalagi, proses penyembuhan luka dalam ini belum mencapai optimal," keluhnya dalam hati, seraya merasakan denyut perih yang masih menyiksa di dadanya.Angin yang menerpa wajahnya dingin, membawa aroma lembab dari sungai yang deras mengalir di bawahnya.Namun, sungai itu sudah tidak sebuas sebelumnya, arusnya kini lebih tenang, membantu mempercepat perjalanan meski tetap menguras tenaga.Rong Guo terus melayang di atas air, hanya bertumpu pada sedikit energi spiritual yang ia kumpulkan. Setiap gerakan kecil terasa seperti beban berat, namun tekadnya tidak goyah.Pada hari kedua perjalanannya yang lambat, sebuah suara keras mencabik keten
"Siapa di sana?" tanya Rong Guo, suaranya tenang namun penuh waspada saat ia melihat sosok tubuh seorang pria tua yang meringkuk di pojok buritan kapal.Hanya suara batuk-batuk yang terdengar sebagai jawaban."Uhuk – uhuk!"Rong Guo segera melangkah mendekati pria tua itu, yang tergeletak di atas lantai kapal, hanya beralaskan selimut tipis yang sudah lusuh dan hampir lapuk oleh waktu."Yeye... Anda sakit. Mengapa hanya tidur di sini? Angin malam sangat kencang, udara dingin tidak baik bagi kesehatan. Tidakkah Anda memiliki bilik kamar di kapal ini?" tanya Rong Guo dengan nada prihatin.Dia seketika berjongkok di sebelah pria tua tersebut, mengecek kesehatan pria itu.Pria tua itu tetap tidak menjawab, batuknya terus berlanjut, semakin terdengar lemah dan menyedihkan.Rong Guo, dengan hati-hati, meraba dahi pria tua itu untuk merasakan suhu tubuhnya. Sentuhan dingin kulitnya terasa kontras dengan panas yang meradang dari dahi pria tersebut."Panas sekali!" gumamnya, wajahnya berubah s
Tiga bulan telah berlalu sejak peristiwa besar yang mengguncang dunia persilatan. Di Puncak Wudang, keramaian tak biasa memenuhi setiap sudut.“Pemimpin Sekte Wudang akan menikah!” teriak seseorang di kerumunan dengan semangat.“Mari kita saksikan! Ini peristiwa yang jarang terjadi!” sahut yang lain, ikut terbawa antusias.“Pemimpin Rong akan menikahi Penatua Xiao, sahabat semasa kecilnya!”Kabar ini telah menyebar ke seluruh penjuru negeri, membuat semua orang berbondong-bondong datang, meskipun tanpa undangan.Setelah kemenangan besar melawan Kekaisaran Matahari Emas, reputasi Sekte Wudang berada di puncaknya. Dipimpin oleh Rong Guo, seorang Abadi, Sekte ini kini menjadi pusat dunia persilatan.Pagi itu, Puncak Wudang terasa hidup. Murid-murid sibuk mempersiapkan segala sesuatu dengan teliti, sementara tokoh-tokoh dari dunia persilatan turut hadir untuk menyaksikan momen bersejarah ini. Para pemimpin sekte aliran putih, datuk sekte sesat, dan praktisi independen berkumpul, meningga
Peristiwa pertarungan itu menyisakan kepedihan yang mendalam. Bau darah masih memenuhi udara, bercampur dengan aroma tanah basah yang terhantam ledakan energi.Langit di atas Puncak Gunung Wudang kini mulai cerah, namun suasana di bawahnya tetap mencekam.Sosok Khaganate dari Benua Podura terbaring diam di atas tanah yang hancur.Armornya yang hitam pekat kini penuh retakan, memancarkan kilau redup seperti batu obsidian yang kehilangan cahayanya.Tubuhnya yang sebelumnya memancarkan aura menakutkan kini terlihat rapuh, seperti sisa abu dari api besar yang telah padam.Dalam sekejap mata, Rong Guo melesat, gerakannya begitu cepat hingga hanya meninggalkan bayangan samar di udara.Ketika orang-orang mengedipkan mata, ia sudah berdiri di sisi jasad Khagan, seperti bayangan yang muncul dari kehampaan.Semua ahli di puncak Wudang segera berkerumun, namun tidak ada yang berani terlalu dekat.Mereka berhenti beberapa langkah di belakang Rong Guo, mata mereka penuh dengan rasa ingin tahu berc
Getaran ledakan meruntuhkan tebing-tebing di kejauhan, sementara retakan-retakan dalam menjalar liar di tanah, melahap apa saja yang dilewatinya.“Langit akan runtuh! Kita semua akan mati!” teriak seorang pria tua, tubuhnya gemetar ketakutan.“Lari! Jangan lihat ke atas!” jerit seorang ibu sambil menarik anaknya yang menangis, wajahnya penuh kecemasan.Penduduk berlarian kacau, beberapa terjatuh akibat guncangan, sementara yang lain terus mencari tempat berlindung.Percikan energi dari ledakan di langit jatuh seperti hujan meteor, membakar apa saja yang disentuhnya.Di langit, tubuh kedua Abadi itu terlempar jauh ke belakang akibat dampak besar serangan mereka. Rong Guo tersungkur ke tanah, tubuhnya memar dan dipenuhi luka.Napas Rong Guo tersengal, darah mengalir di sudut bibirnya, tubuhnya bergetar karena energi yang hampir habis.Napas Rong Guo tersengal, darah mengalir di sudut bibirnya. Tubuhnya tampak melemah, tetapi auranya tetap menguasai langit. Ia melayang dengan stabil di u
Langit tampak seperti tercabik-cabik, retakannya menjalar seperti guratan api yang membakar langit malam.Setiap lapisan atmosfer bergetar hebat, seolah tak mampu lagi menahan kekuatan dahsyat dari dua ahli peringkat Abadi yang bertarung di cakrawala.Matahari memerah, cahayanya memudar seperti nyala lilin yang hampir padam.Dunia seolah berubah menjadi tua.Udara dipenuhi energi gelap dan terang yang saling bertabrakan, menciptakan ledakan menggema yang membuat tanah retak dan sungai meluap.Dua sosok raksasa, perwujudan energi mereka, melesat berpindah-pindah. Ke Utara, Selatan, Barat, dan Timur, setiap langkah mereka mengguncang bumi dan menghancurkan gunung.Bayangan mereka memanjang di atas tanah, menebar teror yang membuat semua makhluk di bawah langit merasa kecil dan tak berdaya.Di seluruh penjuru Benua Longhai, penduduk keluar dari rumah mereka.Wajah-wajah pucat pasi mendongak ke langit, menatap pemandangan apokaliptik yang terjadi di atas mereka.Napas mereka tertahan, dad
Secara alami, pertarungan antara dua Abadi di cakrawala adalah sesuatu yang sangat luar biasa.Pertarungan yang terjadi antara Rong Guo dan Khagan dari Benua Podura mengguncang cakrawala. Kedua sosok abadi itu bertarung dengan kekuatan luar biasa, memecah langit dan menggoncangkan bumi di sekitar mereka.Kedatangan Rong Guo yang terlambat membuatnya terkejut, melihat apa yang terjadi di puncak Gunung Wudang.“Terlambat! Kita terlambat,” tangis Biarawati Fear tak tertahankan.Ia merunduk di tanah puncak gunung, sambil menangisi satu demi satu jenazah murid-murid dari Sekte Gurun Gobi yang tergeletak kaku.Sementara Rong Guo hanya diam.Meski emosinya bergejolak, namun dengan tingkat kultivasi yang telah mencapai puncak dunia, yaitu Yongheng—atau abadi—dia tidak mudah hanyut dalam perasaan sedih yang mendalam.Sambil memindai dengan energi spiritualnya yang tajam, Rong Guo menemukan jejak aura ribuan tentara Kekaisaran Matahari Emas yang menyebar di Puncak Terlarang.Sedetik sorot mata
"Apa yang terjadi?" suara seseorang bergetar memecah keheningan."Siapa yang melakukan ini? Siapa yang menghabisi semua tentara Matahari Emas?"Tidak ada yang mampu menjawab. Keheningan kembali menyelimuti, berat dan penuh tanda tanya.Zhang Long Yin memandang pemandangan itu dengan dahi berkerut tajam. Ia mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi, tapi pikirannya dipenuhi kebingungan. Siapa yang memiliki kekuatan sebesar ini, yang mampu menyingkirkan ribuan tentara dalam sekejap?Xiao Ning menggigit bibir, emosinya bercampur aduk.Keajaiban ini mungkin telah menyelamatkan mereka, tetapi muncul pertanyaan besar: keajaiban macam apa yang terjadi di Puncak Terlarang malam tadi?>>> Di langit...Dua sosok bertarung dalam bentuk yang melampaui nalar manusia.Pemuda berbaju putih longgar berdiri di udara dengan ketenangan yang menusuk, seperti puncak gunung es yang tersembunyi.Senjata di tangannya adalah sebuah payung istimewa yang memancarkan aura magis. Angin berputar di sekelilingny
Malam yang panjang berlalu dengan cepat.Di dalam array Puncak Terlarang, semua orang terdiam, menutup mata, berusaha mengabaikan hiruk pikuk di luar. Ada yang tenggelam dalam meditasi, ada pula yang sibuk mencoba menyembuhkan luka dengan sisa obat seadanya.Kesibukan itu membuat tak seorang pun memperhatikan keanehan yang muncul di luar.Di langit yang kelam, sebuah kilat tiba-tiba menyala, hanya sekejap. Namun, efeknya sungguh menggetarkan.Saat kilat itu lenyap, ribuan tentara Kekaisaran Matahari Emas tergeletak, saling bertumpuk di atas tanah Puncak Terlarang.Tubuh-tubuh mereka tidak bergerak tak bernyawa, nyaris menyatu dengan ribuan jasad yang sudah lebih dulu menjadi korban perang.Tak lama kemudian, matahari mulai bersinar lembut.Cahayanya menyelinap melalui celah array, menyentuh permukaan tanah yang dingin dengan kehangatan samar.Zhang Long Yin, pemimpin Sekte Wudang, membuka mata perlahan setelah semalaman bermeditasi untuk memulihkan energi Qi-nya.Di dekatnya, Xiao Nin
Jauh sebelum perang ini pecah, dalam sebuah diskusi, Zhang Long Yin pernah mengungkapkan bahwa mereka masih memiliki tempat persembunyian, jika keadaan mendesak.“Aku akan bersiul sebagai kode, dan semua orang harus segera bergegas menuju Puncak Terlarang Sekte Wudang. Di sana, kita akan aman!” ujarnya dengan tegas, suaranya penuh keyakinan.Namun, siapa yang bisa membayangkan bahwa saat ini, kata-katanya akan menjadi kenyataan yang mengerikan?“Array dan formasi sihir di Puncak Terlarang sangat kuat. Tidak ada yang bisa menembusnya jika kita berlindung di sana!” jelas Zhang Long Yin lebih lanjut, seperti mengingatkan dirinya sendiri bahwa satu-satunya harapan adalah puncak terlarang itu.Para pemimpin sekte, bersama datuk-datuk dunia persilatan, bahkan telah melakukan simulasi tentang cara evakuasi ke Puncak Terlarang jika keadaan semakin genting.Namun, mereka tidak menyangka bahwa hari itu akan datang dengan begitu cepat.“Tapi semoga ini tak terjadi. Kita akan berperang mati-matia
Di belakang Sekte Wudang, terdapat satu puncak yang belum pernah tersentuh oleh siapapun. Puncak itu dikenal sebagai "Puncak Terlarang", dan hanya pemimpin sekte yang diperbolehkan menginjakkan kaki di sana.Desas-desus beredar bahwa di puncak daerah terlarang tersebut terdapat sebuah jurang yang sangat dalam, yang disebut-sebut sebagai neraka dunia.Jurang itu mendapat juluka "Neraka Dunia" karena di sanalah para praktisi Sekte Wudang yang sesat dan melanggar aturan golongan putih dibuang.Tempat itu menyimpan penderitaan yang tak terbayangkan, dan tak seorang pun yang pernah kembali untuk menceritakan kisahnya.Pagi mulai menjelang, cahaya matahari menyemburat lembut di ufuk timur, namun pertempuran yang berkecamuk tak juga mereda.Di atas Puncak Sekte Wudang, bukanlah pemandangan yang biasanya terlihat—sekarang lebih tepat disebut puncak pemakaman daripada puncak sekte dari dunia persilatan aliran putih. Lantaran darah yang berceceran, dan tubuh yang berserakan, udara terasa begit