Saat ini Revan tengah menikmati sarapan yang disediakan rumah sakit. Hari-hari yang ia lalui di kamar ini kebanyakan hanya sendiri. Revan bahkan tidak tahu kenapa orang tuanya tidak menjenguknya sama sekali.Saat tengah sibuk menyuapkan makanan ke mulutnya, seseorang memasuki kamar inapnya.Revan melihat mertuanya, Danial. Pria itu memang rutin mengunjunginya hanya untuk menanyakan hal yang sama.“Bagaimana keadaamu hari ini?”Entah dia memang mengkhawatirkan Revan, atau dia hanya ingin Revan cepat pulih supaya tidak membebaninya terlalu lama.“Sepertinya semakin baik,” jawab Revan. Dia juga tidak ini terus berada di tempat ini. Dia rindu suasana rumah. Meski ia tidak memiliki siapa pun, setidaknya jika ia sehat, ia bisa mencari hal yang bisa membuatnya terhibur.“Dokter mengatakan kamu bisa pulang besok jika hasil pemeriksaan terakhir bagus,” ucap Danial. “Jovanka juga sudah bersiap pulang hari ini.”“Dia baik-baik saja, kan?” tanya Revan. Meski ia sudah bertemu dengan istrinya itu,
Revan tiba di kantor polisi. Beberapa petugas yang berada di sana tampak menyambut hangat kedatangan mereka. Sepertinya Revan tahu mengapa mereka bersikap seramah itu. Pasti karena Danial yang bersamanya saat ini. Mertuanya itu selalu menjadi tokoh yang disegani orang-orang.“Bagaimana dengan kondisi wanita itu sekarang?” Danial bertanya pada salah satu polisi.Revan tentu sadar siapa yang dimaksud pria itu. Siapa lagi jika bukan Savira, istri sirinya.“Dia membuat banyak keributan. Beberapa kali dia mengamuk dan berkelahi dengan teman satu selnya. Ku rasa itu karena dia yang selalu membuat keributan dengan berteriak meminta sipir untuk melepaskannya sehingga membuat tahanan lainnya merasa terganggu,” jelas polisi itu.“Aku bisa mengerti perasaannya.” Danial mengangguk samar. Untuk seorang perempuan yang biasa tidak mengalami masalah serius dan hidup dalam kedamaian, perubahan seperti ini pasti membuat mentalnya terguncang. Dia bisa tiba-tiba menjadi kehilangan akal. ”Ku pikir dia aka
Setelah sampai di rumah, Jovanka lebih banyak mengurung diri di kamarnya. Dia memikirkan tentang suaminya yang pergi menemui perempuan itu lagi.Sesungguhnya, Jovanka merasa khawatir. Dia takut Revan masih belum bisa melupakan perempuan itu. Apa mungkin Revan memang masih mencintainya?Rasanya begitu sakit di dada saat Jovanka memikirkan semua itu. Meski masih hanya sebatas dugaan, entah kenapa sudah memberikan rasa yang menyesakkan. Air matanya bahkan sudah mendesak untuk berderai.Jovanka tidak ingin menjadi lemah lagi seperti ini. Tapi setiap saat rasanya dia memang semakin rentan. Jovanka pun tidak mengerti kenapa dia bisa seperti ini.“Adik, apa kamu di dalam?”Suara Raza terdengar dari luar. Jovanka menghapus air mata di wajahnya. Dia tidak boleh membuat keluarganya tahu jika suasana hatinya sedang kacau saat ini.“Iya.” Jovanka menyahut. Jika tidak menjawab, dia akan membuat kakaknya curiga. “Ada apa, kak?”“Ibu menyuruhmu turun dan makan siang. Apa kamu lapar? Atau ingin menun
Revan tidak bisa tenang seharian ini, karena semalam ia mengalami mimpi yang aneh. Karena perasaannya yang kacau itu, Revan sangat ingin menemui istrinya. Revan sampai memohon pada Danial untuk mengijinkannya bertemu Jovanka hari ini. Revan pun tidak masalah jika memang ia hanya memberi beberapa menit. Revan hanya merasa ingin melihat wajah istrinya yang sangat ia rindukan.Beruntungnya, Danial mengijinkannya. Dia menyuruh Revan datang ke rumah dan menemui Jovanka di sana. Dania tengah pergi karena urusan pekerjaan bersama istrinya, dan Razka juga sedang sibuk di kantornya hari ini.Meski begitu, Danial tetap memperingati Revan. Dia menempatkan banyak penjaga yang akan mengawasi setiap apa yang Revan lakukan. Dengan kata lain, meski Danial tidak berada di sana, ia masih tetap akan mengawasinya.“Aku ingin bertemu Jovanka,” Revan sampai di depan rumah istrinya. Dia bicara pada seorang penjaga yang berdiri di depan pos keamananTanpa banyak bertanya, penjaga itu membukakan gerbang untuk
Razka kembali bertemu dengan temannya, Farel. Pria itu tidak seperti terakhir kali saat ia menemuinya. Kali ini ekspresi wajahnya terlihat tidak bersemangat.“Ada masalah?” tanya Razka. Meski dia dan Farel sering bertengkar, bagaimana pun mereka berteman. Razka tentu saja peduli pada temannya itu.“Sedikit,” jawab Farel menghela napas. “Aku tidak yakin apakah ini bisa disebut masalah atau tidak.”“Kenapa seperti itu?” Razka terlihat bingung.“Orang tuaku sudah memilih seorang gadis untuk menjadi calon istriku. Mereka tidak mendengar penolakan ku dan memaksaku menikah dengan gadis itu segera.”Razka tidak merasa ini adalah masalah. Justru itu terdengar seperti kabar baik. Mendengar temannya itu akan segera menikah, Razka ikut senang. Selain itu, Farel juga pasti akan berhenti mengejar adiknya.“Selamat kalau begitu.”“Jangan berkata seperti itu!” protes Farel. Sudah jelas-jelas dia tidak menyukai pernikahan yang akan ia jalani. Tapi Razka seperti tidak peduli pada kesengsaraannya. “Sud
“Bagaimana keadaannya sekarang?” tanya Danial. Meski ia tengah bekerja sekali pun, ia tidak akan mengabaikan putrinya yang saat ini berada di rumah. Apalagi, ia tahu putrinya saat ini bersama mantan suami yang dulu menyakitinya. Danial harus lebih waspada.“Dia baik-baik saja, Tuan,” jawab asisten Danial. Dia menerima laporan dari pengawal yang bertugas mengawasi kegiatan Jovanka hari ini. “Selain Tuan Revan, Nona juga mendapat kunjungan dari salah satu temannya.”Danial mengernyit, penasaran. “Siapa?”“Nona Gilda.”“Ah, ya.” Pria itu mengangguk mengerti. “Ku dengar dia terlibat dalam masalah kemarin. Apa yang dia lakukan?”Danial tidak mungkin melewatkan satu hal kecil sekali pun. Tindakan Gilda yang tanpa pikir itu telah membuat Jovanka mengalami hal yang mengerikan. Danial mungkin memaafkannya, tapi akan sulit mendapat kepercayaannya kembali.“Nona Gilda yang membawa Luis, Tuan. Bodyguard yang bertugas menjaga Nona Jovanka hari itu.”Dia juga cukup menyayangkan sikap Luis ini. Tapi
Saat ini Jovanka tengah berkumpul dengan keluarganya menikmati acara makan malam. Kali ini suasana terasa lebih hangat karena kelengkapan anggota keluarga. Jovanka merasa rindu dengan suasana seperti ini. Rasanya sudah cukup lama ia tidak merasakannya lagi.“Jo, bagaimana pertemuanmu dengan Revan hari tadi?” tanya Mona pada putrinya.Semua mata seketika menatap ke arah Jovanka, menunggu jawaban darinya. Mereka semua memang sengaja membiarkan Revan bertemu Jovanka karena ingin Jovanka mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya ia inginkan.Jika Jovanka ingin kembali bersama Revan, mereka tidak akan menghalangi. Dan jika pun sebaliknya, mereka akan membantu proses penceraian keduanya.“Tidak ada masalah,” sahut Jovanka. “Kami hanya berbincang ringan, itu saja.”Tidak ada hal menarik yang bisa diceritakan. Jadi Jovanka pun bingung seperti apa ia harus menjawab pertanyaan orang tuanya.“Ku dengar temanmu ke sini,” ucap Danial.“Iya.” Jovanka tidak akan terkejut saat Ayahnya mengetahui semua
Luis kembali ke rumah Tuannya ketika urusannya dengan Gilda selesai. Ia tidak perlu mengantar perempuan itu, ia hanya memesakan sebuah taksi, dan memintanya mengantar Gilda hingga selamat sampai rumah. Meski tampak cemberut, Gilda tetap menurut karena ia tahu Luis tidak akan mendengarkan penolakannya. Jika Gilda menolak, Luis akan lebih memilih tidak peduli. Tampaknya Gidla mulai mengerti bagaimana menghadapinya.“Jam tangan ini sepertinya mahal.”“Benar. Harganya bisa mencapai ratusan dollar.”Suara teman-temannya terdengar saat Luis hampir tiba di asramanya. Dia mengintip apa yang sedang teman-temannya lakukan.Tertegun.Luis melihat mereka menggeledah sebuah tas yang terlihat tidak asing di matanya. Bagaimana Luis bisa lupa, tas itu adalah tas yang dikenakan Gilda hari ini, yang hilang diambil oleh seorang perampok.“Di dompet ini ada uang sebanyak delapan puluh dollar, bagaimana jika kita gunakan untuk membeli minuman?”“Aku setuju.”“Sialan!”Mereka semua terkejut dengan kedatang
Setelah badai, selalu ada pelangi. Jovanka pikir, kata-kata itu hanya omong kosong belaka. Karena sejak dulu kehidupannya selalu menyedihkan, tanpa ada setitik pun cahaya kebahagiaan di dalamnya. Tapi sekarang, setelah melalui semuanya, Jovanka sadar, memang semua ada saatnya. Ia yang telah lama berkubang dalam luka, berteman dengan rasa sakit, kini memiliki banyak kebahagiaan yang patut untuk disyukuri. Kehidupannya menjadi lebih indah. Di cuaca yang gelap sekali pun, ia selalu merasakan suasana hati yang cerah. Perceraian itu tidak pernah terjadi. Akhirnya setelah berhasil membuktikan kesungguhannya, Revan kembali padanya. Pria itu memperlakukan Jovanka dengan sangat baik. Ia memberikan begitu banyak cinta dan perhatian, hingga Jovanka merasa ia diperlakukan seperti perempuan paling istimewa. Pria itu terlalu sering memeluknya, dan kerap kali mencium keningnya. Revan tidak pernah absen melakukan hal kecil itu setiap hari. Tapi hal itu membuat perasaan Jovanka menghangat. Setiap h
Sudah tiga jam, tapi pembukaannya sama sekali tidak bertambah. Jovanka masih bertahan dengan rasa sakitnya. Sebisa mungkin ia berusaha menahan, tapi rasanya membuat ia semakin ingin melarikan diri dari rasa sakit ini.“Aku tidak tahan,” ucapnya dengan nada tertahan.“Bersabarlah, Nona. Ini sudah biasa dilalui setiap Ibu hamil. Sebentar lagi Anda akan segera menemui bayi kecil anda.” Seorang perawat yang bersamanya berusaha menghibur dan menenangkan.Meski begitu, Jovanka tidak merasa terbantu. Mereka semua yang berada di sana seolah tidak peduli pada rasa sakitnya. Andaikan saja di sini ada suaminya, Jovanka pasti akan sedikit memiliki kekuatan untuk melalui semua ini.“Sakit,” ringisnya.“Jika terlalu lama, kita terpaksa menyuntikkan obat perangsang supaya pembukaan bergerak dengan cepat. Tapi, rasa sakit yang Anda rasakan akan semakin kuat.” Seorang dokter yang menanganinya bertanya dengan keputusannya.Tapi, Jovanka tidak bisa memberikan jawaban. Ia malah ingin menangis. Ia memang
“Tuan Razka.”Razka menyorot tajam seseorang yang menerobos masuk ke ruang kerjanya tanpa permisi. Ia bahkan tidak mendengar suara ketukan pintu sebelumnya.“Kamu pikir ini rumahmu? Bisa seenaknya saja masuk sembarang.”“Maafkan aku, tuan.” Anak buahnya itu menunduk merasa bersalah. Ia juga takut akan menerima murka tuannya itu. Tapi saat ini ia terlalu panik hingga tidak bisa memikirkan apa yang ia lakukan. Ia berharap tuannya tidak mempermasalahkan kesalahan kecil yang ia lakukan ini. “Aku … membawa kebar penting.”“Kabar apa?” Razka bertanya dengan wajahnya yang masih menunjukkan kekesalan. “Jika tidak benar-benar penting menurutku, maka bersiaplah kehilangan pekerjaanmu.”Keringan dingin langsung bercucuran di wajah pria itu. Ekspresi wajahnya bahkan sudah sangat pucat.“Aku-““Bicaralah sebelum kesabaranku habis!” bentak Razka. Ia sudah sangat kesal dengan sikap anak buahnya itu, dan sekarang ia masih harus diuji kesabaran dengan mendengar nada bicaranya yang mendadak gagu.“No-n
“Awalnya memang sangat mengecewakan. Aku bahkan sempat berpikir dia tidak akan berhasil. Tapi sedikit demi sedikit dia mulai berubah. Dia mulai mengerti dan mau berusaha. Pekerjaannya menjadi semakin baik.”Danial mendengarkan laporan dari anak buahnya yang ia kirimkan untuk berada di sisi Revan. Dari orang itulah ia bisa mengetahui tentang perkembangan Revan.Bukan hanya membantu dan mengawasi, pria itu juga bertugas mengajari Revan tentang semua hal yang tidak ia ketahui. Dia dituntut untuk membuat Revan berkembang.“Berapa lama waktu yang ia butuhkan?” tanya Danial memastikan. Meski ia terlihat santai, bukan berarti dia tidak memikirkan putrinya. Danial pun mengawasi secara ketat tentang perkembangan Revan di sana. Ia juga ingin pria itu segera menyelesaikan pekerjaannya dan kembali ke sini untuk menemani putrinya.“Sejauh ini, semua sudah ditangani dengan baik, Tuan. Perusahaan sudah berjalan dengan normal seperti semula.”Senyum di wajah Danial terlukis. Ia benar-benar lega mende
Razka membuka pintu ruang kerja Ayahnya dengan kasar. Suara yang ia timbulkan bisa membuat orang yang mendengarnya terkejut. Tapi Danial yang berada di dalam tidak terlihat terusik sedikit pun. Ia masih berkutat dengan pekerjaannya.“Ayah.” Razka memanggil. Dia meletakkan kedua tangannya di meja, tepat di depan pria itu. Pandangannya terlihat menahan marah. Sepertinya Razka datang dalam suasana hati yang tidak begitu baik.“Ada apa?” sahut Danial terdengar dingin.“Kenapa Ayah masih bisa santai seperti ini?” tanya Razka geram. Ia mencoba menahan diri untuk tidak melempar semua benda yang ada di meja kerja Ayahnya itu. Namun, entah sampai kapan ia akan kuat menahan emosinya.“Memang aku harus bagaimana?” Danial menyahut dengan santai. Dia melepas kaca mata di wajahnya, dan mengelapnya sebentar. Dia melirik ke arah Razka yang masih tampak sangat marah.Putra sulungnya itu mendengus kasar.“Ini sudah berbulan-bulan, dan Adikku sebentar lagi akan melahirkan. Apa pria brengsek itu masih be
Jovanka terjaga. Dia melihat tempat ia berada saat ini. Ia berada di rumah sakit. Rasanya tidak mengherankan, karena sejak ia mengandung, tempat ini menjadi lebih sering ia kunjungi.“Bagaimana keadaanmu, nak?”Suara Ayahnya mengejutkannya. Dia melihat pria itu mendekat.“Aku baik-baik saja, Ayah,” jawab Jovanka seadanya.“Ibumu sudah ku beri peringatan.” Danial sedikit menyesal membiarkan Jovanka pergi bersama Mona. Seharusnya ia saja yang menemani putrinya berbelanja. Meski antusias menyambut cucu pertamanya, Danial tidak mungkin sampai melupakan kondisi putrinya sendiri.“Aku tidak apa-apa, Ayah. Jangan marah pada Ibu,” ucap Jovanka menenangkan. Dia tidak ingin hubungan Ayah dan Ibunya memburuk hanya karena dirinya. Jovanka ingin saat anak pertamanya lahir, semua orang bisa menyambutnya dengan gembira. Dia tidak ingin ada masalah yang terjadi sebelum itu semua.Lagi pula ia mengerti, Ibunya hanya terlalu bersemangat menyambut cucu pertamanya.“Dia sudah keterlaluan, Jovanka. Jangan
Saat ini Jovanka sedang berada di Mall. Ia bersama Ibunya tengah berbelanja kebutuhan bayi. Dimulai dari pakaian juga perlengkapan lainnya. Banyak barang yang dibeli olehnya. Tentu bukan Jovanka yang meminta, tapi Ibunya yang membeli semua itu, semua barang yang sebenarnya hanya bisa dipakai selama beberapa bulan. Apakah dia lupa jika seorang bayi akan mudah tumbuh besar? Jovanka sampai sakit kepala melihat Ibunya yang begitu antusias membeli semuanya.“Ibu, sudah cukup. Ini saja sudah banyak.” Jovanka mencoba menghentikan Ibunya. Saat ini barang di tangan pengawal yang ikut bersama mereka sudah terlihat begitu menumpuk. Padahal mereka hanya membeli kebutuhan untuk seorang makhluk kecil, kenapa belanjaan mereka bisa sebanyak ini? Jovanka sendiri tidak habis pikir.“Tapi kita masih belum membeli semuanya. Lihat! Kita bahkan belum membeli ranjang untuk cucuku,” seru Mona. Dengan semangat ia pergi ke bagian furniture dan mencari ranjang bayi di sana.Jovanka menghela napas. Ibunya bahkan
Jovanka sudah melalui beberapa bulan kehamilannnya. Awalnya memang terasa merepotkan. Terlebih, ia mengalami morning sickness di bulan kedua kehamilannya. Dia tidak bisa mencium bau yang menyengat. Bahkan tidak banyak makanan yang bisa ia konsumsi. Rasanya segala macam makanan yang biasa ia makan sebelum hamil tidak bisa lagi diterima perutnya. Jovanka paling-paling hanya mengkonsumsi buah dan biskuit. Untuk memastikan ia tidak kekurangan nutrisi, Jovanka juga rutin mengkonsumsi vitamin yang diresepkan dokter, juga tidak lupa meminum susu ibu hamil.Setiap bulan ia akan melakukan pemeriksaan kandungan, di mana saat itu keluarganya selalu berebut untuk mengantarnya ke rumah sakit. Alhasil, Jovanka berangkat bersama mereka semua.Saat ini usia kandungannya sudah menginjak trimester kedua. Banyak makanan yang ia inginkan, dan kakaknya selalu berjuang untuk mendapatkannya, sekali pun itu sulit. Hingga ia harus mengerahkan banyak anak buahnya untuk berpencar.Baru kali ini fenomena ibu ham
Saat ini Jovanka mendapat kunjungan dari teman-temannya. Dia merasa sedikit terhibur dengan adanya mereka. Terkadang, jika hanya bersama keluarganya, tidak banyak topik yang bisa ia bicarakan. Keluarganya hanya memberi terlalu banyak perhatian. Tapi tidak begitu bisa diajak melakukan obrolan yang menyenangkan.“Aku tidak percaya kamu benar-benar hamil.” Gilda sangat terkejut mendengar kabar ini pertama kali. Ia bahkan sempat mengira Jovanka berbohong padanya. Tapi saat ia melihat sendiri bagaimana kondisi temannya itu, ia mulai percaya dengan apa yang ia katakan. “Kapan kalian melakukannya?”“Itu juga yang ingin aku tanyakan,” timpal Kate.Hal yang paling mengherankan dari semua itu memang alasan mengapa Jovanka bisa sampai mengandung anak Revan, sedangkan Jovanka sendiri sebelumnya sangat enggan berhubungan dengan pria itu.Mereka jadi curiga, apa Revan memperkosa Jovanka?“Jangan berpikir yang tidak-tidak.” Jovanka sepertinya bisa menebak apa yang teman-temannya pikirkan, karena ia