“Bagaimana keadaannya sekarang?” tanya Danial. Meski ia tengah bekerja sekali pun, ia tidak akan mengabaikan putrinya yang saat ini berada di rumah. Apalagi, ia tahu putrinya saat ini bersama mantan suami yang dulu menyakitinya. Danial harus lebih waspada.“Dia baik-baik saja, Tuan,” jawab asisten Danial. Dia menerima laporan dari pengawal yang bertugas mengawasi kegiatan Jovanka hari ini. “Selain Tuan Revan, Nona juga mendapat kunjungan dari salah satu temannya.”Danial mengernyit, penasaran. “Siapa?”“Nona Gilda.”“Ah, ya.” Pria itu mengangguk mengerti. “Ku dengar dia terlibat dalam masalah kemarin. Apa yang dia lakukan?”Danial tidak mungkin melewatkan satu hal kecil sekali pun. Tindakan Gilda yang tanpa pikir itu telah membuat Jovanka mengalami hal yang mengerikan. Danial mungkin memaafkannya, tapi akan sulit mendapat kepercayaannya kembali.“Nona Gilda yang membawa Luis, Tuan. Bodyguard yang bertugas menjaga Nona Jovanka hari itu.”Dia juga cukup menyayangkan sikap Luis ini. Tapi
Saat ini Jovanka tengah berkumpul dengan keluarganya menikmati acara makan malam. Kali ini suasana terasa lebih hangat karena kelengkapan anggota keluarga. Jovanka merasa rindu dengan suasana seperti ini. Rasanya sudah cukup lama ia tidak merasakannya lagi.“Jo, bagaimana pertemuanmu dengan Revan hari tadi?” tanya Mona pada putrinya.Semua mata seketika menatap ke arah Jovanka, menunggu jawaban darinya. Mereka semua memang sengaja membiarkan Revan bertemu Jovanka karena ingin Jovanka mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya ia inginkan.Jika Jovanka ingin kembali bersama Revan, mereka tidak akan menghalangi. Dan jika pun sebaliknya, mereka akan membantu proses penceraian keduanya.“Tidak ada masalah,” sahut Jovanka. “Kami hanya berbincang ringan, itu saja.”Tidak ada hal menarik yang bisa diceritakan. Jadi Jovanka pun bingung seperti apa ia harus menjawab pertanyaan orang tuanya.“Ku dengar temanmu ke sini,” ucap Danial.“Iya.” Jovanka tidak akan terkejut saat Ayahnya mengetahui semua
Luis kembali ke rumah Tuannya ketika urusannya dengan Gilda selesai. Ia tidak perlu mengantar perempuan itu, ia hanya memesakan sebuah taksi, dan memintanya mengantar Gilda hingga selamat sampai rumah. Meski tampak cemberut, Gilda tetap menurut karena ia tahu Luis tidak akan mendengarkan penolakannya. Jika Gilda menolak, Luis akan lebih memilih tidak peduli. Tampaknya Gidla mulai mengerti bagaimana menghadapinya.“Jam tangan ini sepertinya mahal.”“Benar. Harganya bisa mencapai ratusan dollar.”Suara teman-temannya terdengar saat Luis hampir tiba di asramanya. Dia mengintip apa yang sedang teman-temannya lakukan.Tertegun.Luis melihat mereka menggeledah sebuah tas yang terlihat tidak asing di matanya. Bagaimana Luis bisa lupa, tas itu adalah tas yang dikenakan Gilda hari ini, yang hilang diambil oleh seorang perampok.“Di dompet ini ada uang sebanyak delapan puluh dollar, bagaimana jika kita gunakan untuk membeli minuman?”“Aku setuju.”“Sialan!”Mereka semua terkejut dengan kedatang
Jovanka datang menjenguk Gilda bersama Kate dan Hera.Padahal sebelumnya, mereka berencana menjenguk Jovanka. Tapi, kondisi Jovanka sudah lebih baik. Berbeda dengan Gilda yang baru terkena musibah. Dia lebih membutuhkan perhatian mereka.“Kenapa akhir-akhir ini aku merasa banyak masalah yang terjadi pada kita?” Kate menghela napas. Yang pertama Jovanka, lalu Gilda. Setelah itu siapa lagi?“Musibah tidak ada yang tahu,” ucap Hera mengendikkan bahunya. “Ini juga bukan kemauan mereka.”“Bagaimana kamu bisa seperti ini?” tanya Jovanka pada Gilda. Temannya itu memakai kruk di kakinya. Dia memang sempat memberitahu mereka jika kakinya mengalami keretakkan tulang hingga tidak bisa berjalan untuk sementara waktu.“Seperti yang sudah kalian tahu, aku dirampok,” jawab Gilda.“Perampokan macam apa itu?” Hera mengenyit. “Bukankah terasa aneh? Perampok ini bukan hanya mencuri, tapi juga mencelakai.”“Mungkin itu karena Gilda melakukan perlawanan,” ucap Kate menanggapi. Dia tahu saat mengalami itu
Keadaan Gilda sudah sedikit membaik. Dia juga sudah bisa berjalan meski harus sangat hati-hati. Untuk bisa kembali berjalan secara normal mungkin masih membutuhkan satu hingga dua bulan. Kali ini Gilda harus bersabar jika ingin kembali sehat seperti semula.“Kaki yang seperti ini membuatku kesulitan bergerak,” rutuk Gilda. Dia menghempaskan tubuhnya di ranjang.Untungnya, di saat ia seperti ini teman-temannya menjadi lebih sering mengunjunginya. Mereka pun kini tengah bermalam di rumahnya.“Bersabarlah. Kamu akan segera sembuh,” ucap Jovanka.“Aku tahu itu. Tapi rasanya lama sekali.” Gilda sudah berusaha bersabar, tapi ia tidak sesabar itu. Ini sudah dua minggu, dan Gilda rasanya sudah geram ingin berlari.Dia juga belum menerima kabar lagi dari Luis. Tentang perbincangan mereka hari itu masih belum selesai. Tapi saat ini Gilda justru kesulitan menemui pria itu. “Aku sudah merindukan Luis.”“Luis?” Kate dan Hera saling melempar pandangan. Mereka tampaknya heran dengan sikap Gilda yang
Luis memandang tas di tangannya. Ia merasakan emosi aneh saat memegang tas itu. Seolah ada kejadian berarti di balik benda di tangannya itu.“Tas siapa ini?” Pertanyaan itu masih bersarang di benak Luis. Ia ingin mencari tahu, tapi dengan kondisinya yang seperti ini, ia akan kesulitan. Meminta orang lain untuk membantunya juga bukan ide yang bagus. Karena ingatannya yang terbatas, ia menjadi lebih waspada dan tidak mudah percaya dengan setiap orang yang ia temui.“Tas itu masih bersamamu?”Luis segera menyembunyikan benda di tangannya ketika mendengar suara seseorang bertanya. Dia sangat terkejut. Seharusnya Luis tidak lupa mengunci pintu, sehingga orang lain tidak melihat tas itu. Kini ia telah terlambat. Karena kecerobohannya sendiri, benda itu dilihat oleh orang lain.Saat Luis menoleh, orang yang menemuinya ternyata adalah Nonanya, putri dari Tuan Danial. Seingat Luis, ia pernah jadi bodyguard perempuan itu, tapi Luis mengecewakan semuanya.“Nona? Kenapa anda tidak mengetuk pintu
Jovanka terpaksa kembali membawa Luis pulang ke kediamannya. Tapi, saat ini suasaa hatinya benar-benar tidak baik. Niatnya tidak berlangsung dengan lancar. Ia malah membuat buruk keadaan dengan mempertemukan Gilda dengan Luis.Seharusnya Jovaka tidak terburu-buru. Dia mungkin bisa membawa Luis menemui Gilda saat ingatannya pulih. Tapi, Jovanka terlalu khawatir itu akan terlalu lama, sehingga Gilda tidak akan terlalu sabar menunggu.Sekarang, akibat kecerobohannya, ia justru membuat Gilda merasakan sakit karena sikap Luis padanya.“Seharusnya kamu tidak seperti itu,” ucap Jovanka pada Luis. Mereka saat ini tengah berada di mobil yang sama, dalam perjalanan pulang. Sejak beberapa menit, keadaan mobil terasa begitu hening. Baik Jovanka maupun Luis, memerlukan waktu untuk menenangkan diri dari kejadian beberapa saat lalu.Bukan hanya Jovanka yang merasa kacau karena melihat Gilda terluka, tapi juga Luis.Dia merasa bersalah, dan rasanya ingin mengulang semuanya dari awal.Seharusnya ia bi
Revan baru akan pulang. Tapi ia berpapasan dengan Razka. Pria itu seperti sengaja menghalangi jalannya.“Ikut aku,” titahnya. Dia berjalan lebih dulu, dan memberi interuksi pada Revan untuk berjalan di belakangnya.Karena tidak ingin membuat masalah, Revan pun mengikuti pria itu.Razka ternyata membawanya ke ruang kerja Danial. Perasaan Revan mulai memburuk. Ia khawatir Danial dan Razka akan melakukan sesuatu padanya. Bagaimana pun juga kedua orang itu memang tidak menyukainya. Revan tidak bisa memikirkan hal yang baik tentang mereka.“Masuk,” titah Razka tegas. Dia tidak membiarkan Revan melarikan diri. Karena itu ia masih berdiri di sana, memastikan Revan benar-benar masuk ke ruang kerja Ayahnya. “Ada Ayahku menunggumu di sana.”Revan sebenarnya ingin bertanya untuk apa dia dipanggil. Tapi, ia yakin Razka tidak akan menjawabnya. Ia memutuskan untuk masuk saja dan mencari tahu sendiri.Di dalam sana nanti, Danial sendiri pasti akan menjelaskan maksudnya.Pintu tertutup kembali tepat
Setelah badai, selalu ada pelangi. Jovanka pikir, kata-kata itu hanya omong kosong belaka. Karena sejak dulu kehidupannya selalu menyedihkan, tanpa ada setitik pun cahaya kebahagiaan di dalamnya. Tapi sekarang, setelah melalui semuanya, Jovanka sadar, memang semua ada saatnya. Ia yang telah lama berkubang dalam luka, berteman dengan rasa sakit, kini memiliki banyak kebahagiaan yang patut untuk disyukuri. Kehidupannya menjadi lebih indah. Di cuaca yang gelap sekali pun, ia selalu merasakan suasana hati yang cerah. Perceraian itu tidak pernah terjadi. Akhirnya setelah berhasil membuktikan kesungguhannya, Revan kembali padanya. Pria itu memperlakukan Jovanka dengan sangat baik. Ia memberikan begitu banyak cinta dan perhatian, hingga Jovanka merasa ia diperlakukan seperti perempuan paling istimewa. Pria itu terlalu sering memeluknya, dan kerap kali mencium keningnya. Revan tidak pernah absen melakukan hal kecil itu setiap hari. Tapi hal itu membuat perasaan Jovanka menghangat. Setiap h
Sudah tiga jam, tapi pembukaannya sama sekali tidak bertambah. Jovanka masih bertahan dengan rasa sakitnya. Sebisa mungkin ia berusaha menahan, tapi rasanya membuat ia semakin ingin melarikan diri dari rasa sakit ini.“Aku tidak tahan,” ucapnya dengan nada tertahan.“Bersabarlah, Nona. Ini sudah biasa dilalui setiap Ibu hamil. Sebentar lagi Anda akan segera menemui bayi kecil anda.” Seorang perawat yang bersamanya berusaha menghibur dan menenangkan.Meski begitu, Jovanka tidak merasa terbantu. Mereka semua yang berada di sana seolah tidak peduli pada rasa sakitnya. Andaikan saja di sini ada suaminya, Jovanka pasti akan sedikit memiliki kekuatan untuk melalui semua ini.“Sakit,” ringisnya.“Jika terlalu lama, kita terpaksa menyuntikkan obat perangsang supaya pembukaan bergerak dengan cepat. Tapi, rasa sakit yang Anda rasakan akan semakin kuat.” Seorang dokter yang menanganinya bertanya dengan keputusannya.Tapi, Jovanka tidak bisa memberikan jawaban. Ia malah ingin menangis. Ia memang
“Tuan Razka.”Razka menyorot tajam seseorang yang menerobos masuk ke ruang kerjanya tanpa permisi. Ia bahkan tidak mendengar suara ketukan pintu sebelumnya.“Kamu pikir ini rumahmu? Bisa seenaknya saja masuk sembarang.”“Maafkan aku, tuan.” Anak buahnya itu menunduk merasa bersalah. Ia juga takut akan menerima murka tuannya itu. Tapi saat ini ia terlalu panik hingga tidak bisa memikirkan apa yang ia lakukan. Ia berharap tuannya tidak mempermasalahkan kesalahan kecil yang ia lakukan ini. “Aku … membawa kebar penting.”“Kabar apa?” Razka bertanya dengan wajahnya yang masih menunjukkan kekesalan. “Jika tidak benar-benar penting menurutku, maka bersiaplah kehilangan pekerjaanmu.”Keringan dingin langsung bercucuran di wajah pria itu. Ekspresi wajahnya bahkan sudah sangat pucat.“Aku-““Bicaralah sebelum kesabaranku habis!” bentak Razka. Ia sudah sangat kesal dengan sikap anak buahnya itu, dan sekarang ia masih harus diuji kesabaran dengan mendengar nada bicaranya yang mendadak gagu.“No-n
“Awalnya memang sangat mengecewakan. Aku bahkan sempat berpikir dia tidak akan berhasil. Tapi sedikit demi sedikit dia mulai berubah. Dia mulai mengerti dan mau berusaha. Pekerjaannya menjadi semakin baik.”Danial mendengarkan laporan dari anak buahnya yang ia kirimkan untuk berada di sisi Revan. Dari orang itulah ia bisa mengetahui tentang perkembangan Revan.Bukan hanya membantu dan mengawasi, pria itu juga bertugas mengajari Revan tentang semua hal yang tidak ia ketahui. Dia dituntut untuk membuat Revan berkembang.“Berapa lama waktu yang ia butuhkan?” tanya Danial memastikan. Meski ia terlihat santai, bukan berarti dia tidak memikirkan putrinya. Danial pun mengawasi secara ketat tentang perkembangan Revan di sana. Ia juga ingin pria itu segera menyelesaikan pekerjaannya dan kembali ke sini untuk menemani putrinya.“Sejauh ini, semua sudah ditangani dengan baik, Tuan. Perusahaan sudah berjalan dengan normal seperti semula.”Senyum di wajah Danial terlukis. Ia benar-benar lega mende
Razka membuka pintu ruang kerja Ayahnya dengan kasar. Suara yang ia timbulkan bisa membuat orang yang mendengarnya terkejut. Tapi Danial yang berada di dalam tidak terlihat terusik sedikit pun. Ia masih berkutat dengan pekerjaannya.“Ayah.” Razka memanggil. Dia meletakkan kedua tangannya di meja, tepat di depan pria itu. Pandangannya terlihat menahan marah. Sepertinya Razka datang dalam suasana hati yang tidak begitu baik.“Ada apa?” sahut Danial terdengar dingin.“Kenapa Ayah masih bisa santai seperti ini?” tanya Razka geram. Ia mencoba menahan diri untuk tidak melempar semua benda yang ada di meja kerja Ayahnya itu. Namun, entah sampai kapan ia akan kuat menahan emosinya.“Memang aku harus bagaimana?” Danial menyahut dengan santai. Dia melepas kaca mata di wajahnya, dan mengelapnya sebentar. Dia melirik ke arah Razka yang masih tampak sangat marah.Putra sulungnya itu mendengus kasar.“Ini sudah berbulan-bulan, dan Adikku sebentar lagi akan melahirkan. Apa pria brengsek itu masih be
Jovanka terjaga. Dia melihat tempat ia berada saat ini. Ia berada di rumah sakit. Rasanya tidak mengherankan, karena sejak ia mengandung, tempat ini menjadi lebih sering ia kunjungi.“Bagaimana keadaanmu, nak?”Suara Ayahnya mengejutkannya. Dia melihat pria itu mendekat.“Aku baik-baik saja, Ayah,” jawab Jovanka seadanya.“Ibumu sudah ku beri peringatan.” Danial sedikit menyesal membiarkan Jovanka pergi bersama Mona. Seharusnya ia saja yang menemani putrinya berbelanja. Meski antusias menyambut cucu pertamanya, Danial tidak mungkin sampai melupakan kondisi putrinya sendiri.“Aku tidak apa-apa, Ayah. Jangan marah pada Ibu,” ucap Jovanka menenangkan. Dia tidak ingin hubungan Ayah dan Ibunya memburuk hanya karena dirinya. Jovanka ingin saat anak pertamanya lahir, semua orang bisa menyambutnya dengan gembira. Dia tidak ingin ada masalah yang terjadi sebelum itu semua.Lagi pula ia mengerti, Ibunya hanya terlalu bersemangat menyambut cucu pertamanya.“Dia sudah keterlaluan, Jovanka. Jangan
Saat ini Jovanka sedang berada di Mall. Ia bersama Ibunya tengah berbelanja kebutuhan bayi. Dimulai dari pakaian juga perlengkapan lainnya. Banyak barang yang dibeli olehnya. Tentu bukan Jovanka yang meminta, tapi Ibunya yang membeli semua itu, semua barang yang sebenarnya hanya bisa dipakai selama beberapa bulan. Apakah dia lupa jika seorang bayi akan mudah tumbuh besar? Jovanka sampai sakit kepala melihat Ibunya yang begitu antusias membeli semuanya.“Ibu, sudah cukup. Ini saja sudah banyak.” Jovanka mencoba menghentikan Ibunya. Saat ini barang di tangan pengawal yang ikut bersama mereka sudah terlihat begitu menumpuk. Padahal mereka hanya membeli kebutuhan untuk seorang makhluk kecil, kenapa belanjaan mereka bisa sebanyak ini? Jovanka sendiri tidak habis pikir.“Tapi kita masih belum membeli semuanya. Lihat! Kita bahkan belum membeli ranjang untuk cucuku,” seru Mona. Dengan semangat ia pergi ke bagian furniture dan mencari ranjang bayi di sana.Jovanka menghela napas. Ibunya bahkan
Jovanka sudah melalui beberapa bulan kehamilannnya. Awalnya memang terasa merepotkan. Terlebih, ia mengalami morning sickness di bulan kedua kehamilannya. Dia tidak bisa mencium bau yang menyengat. Bahkan tidak banyak makanan yang bisa ia konsumsi. Rasanya segala macam makanan yang biasa ia makan sebelum hamil tidak bisa lagi diterima perutnya. Jovanka paling-paling hanya mengkonsumsi buah dan biskuit. Untuk memastikan ia tidak kekurangan nutrisi, Jovanka juga rutin mengkonsumsi vitamin yang diresepkan dokter, juga tidak lupa meminum susu ibu hamil.Setiap bulan ia akan melakukan pemeriksaan kandungan, di mana saat itu keluarganya selalu berebut untuk mengantarnya ke rumah sakit. Alhasil, Jovanka berangkat bersama mereka semua.Saat ini usia kandungannya sudah menginjak trimester kedua. Banyak makanan yang ia inginkan, dan kakaknya selalu berjuang untuk mendapatkannya, sekali pun itu sulit. Hingga ia harus mengerahkan banyak anak buahnya untuk berpencar.Baru kali ini fenomena ibu ham
Saat ini Jovanka mendapat kunjungan dari teman-temannya. Dia merasa sedikit terhibur dengan adanya mereka. Terkadang, jika hanya bersama keluarganya, tidak banyak topik yang bisa ia bicarakan. Keluarganya hanya memberi terlalu banyak perhatian. Tapi tidak begitu bisa diajak melakukan obrolan yang menyenangkan.“Aku tidak percaya kamu benar-benar hamil.” Gilda sangat terkejut mendengar kabar ini pertama kali. Ia bahkan sempat mengira Jovanka berbohong padanya. Tapi saat ia melihat sendiri bagaimana kondisi temannya itu, ia mulai percaya dengan apa yang ia katakan. “Kapan kalian melakukannya?”“Itu juga yang ingin aku tanyakan,” timpal Kate.Hal yang paling mengherankan dari semua itu memang alasan mengapa Jovanka bisa sampai mengandung anak Revan, sedangkan Jovanka sendiri sebelumnya sangat enggan berhubungan dengan pria itu.Mereka jadi curiga, apa Revan memperkosa Jovanka?“Jangan berpikir yang tidak-tidak.” Jovanka sepertinya bisa menebak apa yang teman-temannya pikirkan, karena ia