Luis memandang tas di tangannya. Ia merasakan emosi aneh saat memegang tas itu. Seolah ada kejadian berarti di balik benda di tangannya itu.“Tas siapa ini?” Pertanyaan itu masih bersarang di benak Luis. Ia ingin mencari tahu, tapi dengan kondisinya yang seperti ini, ia akan kesulitan. Meminta orang lain untuk membantunya juga bukan ide yang bagus. Karena ingatannya yang terbatas, ia menjadi lebih waspada dan tidak mudah percaya dengan setiap orang yang ia temui.“Tas itu masih bersamamu?”Luis segera menyembunyikan benda di tangannya ketika mendengar suara seseorang bertanya. Dia sangat terkejut. Seharusnya Luis tidak lupa mengunci pintu, sehingga orang lain tidak melihat tas itu. Kini ia telah terlambat. Karena kecerobohannya sendiri, benda itu dilihat oleh orang lain.Saat Luis menoleh, orang yang menemuinya ternyata adalah Nonanya, putri dari Tuan Danial. Seingat Luis, ia pernah jadi bodyguard perempuan itu, tapi Luis mengecewakan semuanya.“Nona? Kenapa anda tidak mengetuk pintu
Jovanka terpaksa kembali membawa Luis pulang ke kediamannya. Tapi, saat ini suasaa hatinya benar-benar tidak baik. Niatnya tidak berlangsung dengan lancar. Ia malah membuat buruk keadaan dengan mempertemukan Gilda dengan Luis.Seharusnya Jovaka tidak terburu-buru. Dia mungkin bisa membawa Luis menemui Gilda saat ingatannya pulih. Tapi, Jovanka terlalu khawatir itu akan terlalu lama, sehingga Gilda tidak akan terlalu sabar menunggu.Sekarang, akibat kecerobohannya, ia justru membuat Gilda merasakan sakit karena sikap Luis padanya.“Seharusnya kamu tidak seperti itu,” ucap Jovanka pada Luis. Mereka saat ini tengah berada di mobil yang sama, dalam perjalanan pulang. Sejak beberapa menit, keadaan mobil terasa begitu hening. Baik Jovanka maupun Luis, memerlukan waktu untuk menenangkan diri dari kejadian beberapa saat lalu.Bukan hanya Jovanka yang merasa kacau karena melihat Gilda terluka, tapi juga Luis.Dia merasa bersalah, dan rasanya ingin mengulang semuanya dari awal.Seharusnya ia bi
Revan baru akan pulang. Tapi ia berpapasan dengan Razka. Pria itu seperti sengaja menghalangi jalannya.“Ikut aku,” titahnya. Dia berjalan lebih dulu, dan memberi interuksi pada Revan untuk berjalan di belakangnya.Karena tidak ingin membuat masalah, Revan pun mengikuti pria itu.Razka ternyata membawanya ke ruang kerja Danial. Perasaan Revan mulai memburuk. Ia khawatir Danial dan Razka akan melakukan sesuatu padanya. Bagaimana pun juga kedua orang itu memang tidak menyukainya. Revan tidak bisa memikirkan hal yang baik tentang mereka.“Masuk,” titah Razka tegas. Dia tidak membiarkan Revan melarikan diri. Karena itu ia masih berdiri di sana, memastikan Revan benar-benar masuk ke ruang kerja Ayahnya. “Ada Ayahku menunggumu di sana.”Revan sebenarnya ingin bertanya untuk apa dia dipanggil. Tapi, ia yakin Razka tidak akan menjawabnya. Ia memutuskan untuk masuk saja dan mencari tahu sendiri.Di dalam sana nanti, Danial sendiri pasti akan menjelaskan maksudnya.Pintu tertutup kembali tepat
Selama beberapa hari Jovanka sibuk memperbaiki hubungannya dengan Gilda. Temannya itu menjadi sulit dihubungi dan selalu menolak bertemu dengan siapa pun. Tiap kali Jovanka berpapasan dengan Luis di rumahnya, ia akan melempar tatapan tajam karena menyalahkannya. Ini semua tidak akan terjadi jika bukan karenanya. Luis juga terlihat tidak masalah ketika Jovanka memperlakukannya seperti musuh. Dia tampaknya sadar diri.“Sebenarnya aku merasa heran, kenapa Gilda bisa menjadi begitu kekanakkan?” Hera mengeluh. Dia merasa cukup lelah terus mencoba menemui Gilda di rumahnya dengan hasil yang tidak memuaskan. Mereka selalu terpaksa kembali karena Gilda yang menolak membukakan pintu untuk mereka.“Aku juga heran,” jawab Kate kesal. “Seharusnya kita mendobrak saja pintu rumahnya.”Jika cara halus tidak berhasil. Kate lebih memilih menggunakan cara keras. Lagi pula, mau sampai kapan mereka terus seperti ini? Dia juga tidak ingin terus mengemis dan membujuk. Kesabarannya juga ada batasnya. Jika a
Gilda merasa sakit saat mengingat sikap Luis padanya. Setelah hari itu ia mengurung diri di kamar, menolak siapa pun yang datang untuk menemuinya. Ia tahu teman-temannya pasti kecewa dengan sikap Gilda. Tapi, harus bagaimana lagi? Gilda memang belum siap bertemu dengan siapa pun. Ia memerlukan waktu untuk mencari ketenangan dirinya.Setelah terlalu banyak berharap, bersabar menunggu, pria yang ia tunggu justru menorehkan luka tanpa ragu. Gilda tidak bisa menahan rasa sakit yang ia terima. Rasanya ada pisau yang menyayat permukaan hatinya. Benar-benar terasa menyakitkan.“Gild!”Lagi-lagi Gilda mendengar suara teman-temannya. Mereka sepertinya belum menyerah untuk membujuk Gilda. Tapi, Gilda masih tidak ingin bertemu dengan mereka. Suasana hatinya masih kacau hingga sekarang.“Apa kamu masih belum mau keluar? Mau sampai kapan kamu mengurung diri seperti ini?”Dia mendengar suara Kate mengeluh tentang sikapnya. Temannya itu pasti sudah mulai lelah dengan sikap Gilda.“Jangan salahkan ka
Jovanka, Kate, dan Hera saling bertos ria karena mereka berhasil menyatukan kembali Luis dengan Gilda. Bukan hanya itu, mereka pun mendengar kabar yang tidak kalah menggembirakan. Luis ternyata setuju menikah dengan Gilda. Pria itu akan segera mengurus pernikahan mereka.“Akhirnya misi kita selesai,” ucap Hera penuh rasa syukur. Sejak kemarin ia tidak bisa tenang karena memikirkan Gilda yang memusuhi mereka tanpa alasan. Padahal masalah utamanya hanya dengan Luis. Tapi karena sikapnya yang memang suka merajuk, dia ikut mendiamkan mereka semua.“Aku berharap bisa segera bertemu dengan Gilda supaya aku bisa memukul kepalanya,” timpal Kate. Dia sudah sangat geram. Karena sikap Gilda yang tidak masuk akal itu, rasanya Kate sangat ingin memukulinya. Dia ingin membuat temannya itu sadar jika sikapnya sangat memalukan.“Kamu berkata seperti itu, seolah tidak takut dengan Gilda,” cibir Jovanka. Padahal siapa pun selalu menjaga jarak supaya tidak memiliki masalah dengan Gilda. Karena Gilda mem
“Bagaimana pekerjaannya?” Danial bertanya pada Razka.“Sejauh ini lumayan bagus,” ucap Razka menganggukkan kepalanya. Dia sudah mengawasi kerja Revan selama ia bekerja di luar kota. Tentu saja lewat salah satu anak buah Razka yang sengaja ditempatkan di sana. Dia tidak mungkin repot-repot ke sana hanya untuk mengawasi pria itu.“Apa Ayah sungguh akan memberikan kesempatan untuknya?” Razka sebenarnya cukup menyayangkan. Pengkhianatan yang dilakukan Revan rasanya sulit dimaafkan. Tapi, dia tidak bisa membantah jika keputusan Ayahnya memang seperti itu.“Aku hanya ingin putriku bahagia.” Satu-satunya alasan yang membuat Danial menerima Revan kembali adalah karena Jovanka. Dia juga masih menyimpan rasa marah dan kecewa terhadap menantunya itu. Tapi, jika Jovanka saja sudah bisa melupakan semua rasa sakitnya, untuk apa Danial masih bergelung dalam dendam? Ia melihat putrinya masih menginginkan pria itu, jadi Danial mencoba menerima semuanya. Dia mencoba memberi Revan kesempatan. Tapi tentu
Razka menemui adiknya di kamarnya. Ia melihat Jovanka yang termenung menatap pantulan dirinya di cermin. Karena merasa perempuan itu tidak menyadari kehadirannya, Razka pun mendekat secara perlahan.“Adik!”“Astaga!” Jovanka berjengit. Dia berbalik, menatap kakaknya dengan kesal. “Kakak!”Razka tertawa. “Maafkan aku.”Dia mendudukkan diri di tepi ranjang, mengabaikan wajah merenggut adiknya. Lagi pula, ia hanya bercanda. Jovanka tidak perlu marah hanya karena candaan seperti itu.“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Razka. “Ku lihat tadi kamu sedang melamun, sampai mudah bagiku untuk mengejutkanmu.”Padahal bayangan Razka dapat dilihat dari cermin, tapi adiknya sama sekali tidak menyadari hal itu. Razka mulai sedikit khawatir, apakah Jovanka tengah memiliki masalah yang serius?“Aku baik-baik saja,” jawab Jovanka.Dia tidak terlihat mengatakan yang sebenarnya. Karena Razka melihat dengan jelas raut kesedihan di wajahnya.“Tidak baik berbohong pada kakakmu, Jo.”“Aku tidak berbohong,” tukas