Jovanka, Kate, dan Hera saling bertos ria karena mereka berhasil menyatukan kembali Luis dengan Gilda. Bukan hanya itu, mereka pun mendengar kabar yang tidak kalah menggembirakan. Luis ternyata setuju menikah dengan Gilda. Pria itu akan segera mengurus pernikahan mereka.“Akhirnya misi kita selesai,” ucap Hera penuh rasa syukur. Sejak kemarin ia tidak bisa tenang karena memikirkan Gilda yang memusuhi mereka tanpa alasan. Padahal masalah utamanya hanya dengan Luis. Tapi karena sikapnya yang memang suka merajuk, dia ikut mendiamkan mereka semua.“Aku berharap bisa segera bertemu dengan Gilda supaya aku bisa memukul kepalanya,” timpal Kate. Dia sudah sangat geram. Karena sikap Gilda yang tidak masuk akal itu, rasanya Kate sangat ingin memukulinya. Dia ingin membuat temannya itu sadar jika sikapnya sangat memalukan.“Kamu berkata seperti itu, seolah tidak takut dengan Gilda,” cibir Jovanka. Padahal siapa pun selalu menjaga jarak supaya tidak memiliki masalah dengan Gilda. Karena Gilda mem
“Bagaimana pekerjaannya?” Danial bertanya pada Razka.“Sejauh ini lumayan bagus,” ucap Razka menganggukkan kepalanya. Dia sudah mengawasi kerja Revan selama ia bekerja di luar kota. Tentu saja lewat salah satu anak buah Razka yang sengaja ditempatkan di sana. Dia tidak mungkin repot-repot ke sana hanya untuk mengawasi pria itu.“Apa Ayah sungguh akan memberikan kesempatan untuknya?” Razka sebenarnya cukup menyayangkan. Pengkhianatan yang dilakukan Revan rasanya sulit dimaafkan. Tapi, dia tidak bisa membantah jika keputusan Ayahnya memang seperti itu.“Aku hanya ingin putriku bahagia.” Satu-satunya alasan yang membuat Danial menerima Revan kembali adalah karena Jovanka. Dia juga masih menyimpan rasa marah dan kecewa terhadap menantunya itu. Tapi, jika Jovanka saja sudah bisa melupakan semua rasa sakitnya, untuk apa Danial masih bergelung dalam dendam? Ia melihat putrinya masih menginginkan pria itu, jadi Danial mencoba menerima semuanya. Dia mencoba memberi Revan kesempatan. Tapi tentu
Razka menemui adiknya di kamarnya. Ia melihat Jovanka yang termenung menatap pantulan dirinya di cermin. Karena merasa perempuan itu tidak menyadari kehadirannya, Razka pun mendekat secara perlahan.“Adik!”“Astaga!” Jovanka berjengit. Dia berbalik, menatap kakaknya dengan kesal. “Kakak!”Razka tertawa. “Maafkan aku.”Dia mendudukkan diri di tepi ranjang, mengabaikan wajah merenggut adiknya. Lagi pula, ia hanya bercanda. Jovanka tidak perlu marah hanya karena candaan seperti itu.“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Razka. “Ku lihat tadi kamu sedang melamun, sampai mudah bagiku untuk mengejutkanmu.”Padahal bayangan Razka dapat dilihat dari cermin, tapi adiknya sama sekali tidak menyadari hal itu. Razka mulai sedikit khawatir, apakah Jovanka tengah memiliki masalah yang serius?“Aku baik-baik saja,” jawab Jovanka.Dia tidak terlihat mengatakan yang sebenarnya. Karena Razka melihat dengan jelas raut kesedihan di wajahnya.“Tidak baik berbohong pada kakakmu, Jo.”“Aku tidak berbohong,” tukas
Jovanka ikut bersama teman-temannya membantu persiapan pernikahan Gilda. Sebisa mungkin ia tidak terlalu memikirkan Revan. Jovanka memilih menyibukkan diri supaya ia tidak teringat tentang pria itu. Mengetahui jika pria itu kini menghilang dan tidak mengabarinya lagi membuat Jovanka merasakan sakit di dadanya. Ia takut dengan kemungkinan terburuk. Revan mungkin memilih untuk menyerah dan berhenti berjuang untuknya.Tapi, Jovanka tidak ingin kembali dibodohi oleh perasaannya sendiri. Jadi dia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan Revan. Meski pria itu memang memutuskan untuk pergi, ia mencoba tidak peduli.“Jo, menurutmu karangan bunga ini diletakkan di mana?” Hera bertanya padanya.“Emm, menurutku-“ Jovanka menatap sekitarnya, mencoba menerka di mana benda itu akan terlihat indah jika diletakkan. “Di sana saja.” Ia menunjuk tempat yang kosong di dekat pilar.“Baiklah.” Hera berjalan pergi dengan karangan bunga di tangannya.Lalu suara orang lain terdengar lagi. Jovanka yang menden
Danial merasa berat sekarang. Sejak putrinya menanyakan tentang Revan, Danial merasakan dilemma. Ia ingin mengatakan pada Jovanka, tapi ia merasa ini bukanlah waktu yang tepat. Baru beberapa hari lalu ia membirkan Revan pergi, kini jika ia memberitahu Jovanka tentang kepergian pria itu, putrinya mungkin akan meminta untuk membuat pria itu kembali.Danial tidak mungkin melakukannya karena ia masih ingin melihat usaha yang dilakukan Revan. Dia ingin melihat kesungguhan pria itu, demi putrinya.Jika Revan berhasil, maka Danial tidak akan ragu untuk membuat ia kembali pada putrinya. Akan tetapi, jika ia tidak serius menjalankan pekerjaan yang ia berikan, bukan hanya kehilangan Jovanka, Revan juga akan menerima imbas dari ketidakbecusannya dalam menangani perusahaan.Pekerjaan yang Danial berikan memang cukup sulit, tapi baginya ini sebanding dengan apa yang akan diterima oleh pria itu.Jika bukan demi Jovanka, Danial tidak akan mau merepotkan dirinya dengan memberikan kesempatan kedua unt
Dengan didampingi kakaknya, Jovanka datang ke pernikahan Gilda. Ia menemui temannya itu ballroom. Ia tampak sangat memukau dengan gaun pengantinnya yang indah. Wajahnya juga terlihat jelas memancarkan kebahagiaan.Ekspresi Luis yang berdiri di sisinya juga tidak sedingin biasanya. Terkadang dia sedikit melengkungkan senyum untuk bertegur sapa dengan para tamu. Dia terlihat lebih ramah dari biasanya.“Hai, Jo!” Gilda menyapa dengan semangat saat melihat kedatangan Jovanka. Sejak tadi ia memang menunggu kehadirannya karena di antara ketiga temannya, Jovanka lah yang paling terlambat datang ke pestanya. “Aku sempat mengira kamu tidak akan datang.”“Bagaimana mungkin di hari bahagiamu aku tidak hadir?” balas Jovanka, tersenyum. Dia memeluk temannya itu dan memberinya ucapan selamat, “Untuk pernikahanmu, aku ucapkan selamat. Semoga Luis adalah pria yang tepat untukmu. Aku berharap kalian hidup dengan bahagia.”“Terima kasih.” Hati Gilda tersentuh mendengar doa yang diucapkan Jovanka untukn
Danial sampai di rumah sakit, tepat saat dokter selesai memeriksa kondisi putrinya.“Bagaimana keadaannya?” tanya Danial. Dia bahkan baru sampai dengan napas yang tampak terengah-engah. Danial berjalan secepat mungkin ke ruangan tempat putrinya dirawat hanya karena ingin segera memastikan kondisinya.“Dia baik-baik saja, Tuan.” Dokter itu menjawab. “Dia hanya kelelahan. Untuk Ibu yang sedang mengandung, memang tidak baik membiarkannya mengikuti acara seperti ini. Terlebih, dia berada di trimester pertama.”“Syukurlah.” Danial menghela napas lega.Tapi sesaat kemudian ia tercenung.“Mengandung?” Itu suara Razka yang bertanya penuh kebingungan.Lalu suara pekikan Ibunya menyusul, “Putriku hamil!?” Dia terlihat sangat bahagia.Danial sendiri tidak bisa berkata-kata. Ia bahkan tidak pernah mengira akan mendengar kabar ini.Ini terlalu mengejutkan.“Benar. Nona Jovanka sedang hamil saat ini. Usia kandungannya hampir menginjak satu bulan. Saya sarankan untuk tidak membiarkan dia terlalu ban
Danial menghampiri putrinya yang saat ini masih berbaring di ranjang rumah sakit. Ia sudah meminta pada Razka dan Mona untuk memberi waktu padanya supaya ia bisa bicara dengan putrinya tanpa gangguan.“Bagaimana perasaanmu sekarang?” Danial bertanya seraya mendudukkan dirinya di kursi tepat di samping ranjang putrinya.“Seperti yang Ayah lihat, tubuhku masih terasa sangat lemas,” jawab Jovanka terkekeh.Ia bahkan bisa tersenyum sekarang. Senyum dan tawa yang tidak terlihat palsu. Dia benar-benar bahagia.“Tapi, perasaanku sangat baik meski tubuhku tidak begitu baik.”“Bersabalah.” Danial mengusap kepala putrinya itu dengan sayang. “Ini hanya berlangsung selama beberapa minggu.”“Aku tahu,” balas Jovanka mengangguk. Dia meletakkan tangan di perutnya. “Aku akan menjaganya sampai dia terlahir dengan selamat.”Danial semakin merasa sesak saat melihat ketegaran putrinya. Seharusnya di saat seperti ini putrinya tidak sendirian. Melainkan ada suaminya yang menemaninya.Danial menghela napas