Dengan didampingi kakaknya, Jovanka datang ke pernikahan Gilda. Ia menemui temannya itu ballroom. Ia tampak sangat memukau dengan gaun pengantinnya yang indah. Wajahnya juga terlihat jelas memancarkan kebahagiaan.Ekspresi Luis yang berdiri di sisinya juga tidak sedingin biasanya. Terkadang dia sedikit melengkungkan senyum untuk bertegur sapa dengan para tamu. Dia terlihat lebih ramah dari biasanya.“Hai, Jo!” Gilda menyapa dengan semangat saat melihat kedatangan Jovanka. Sejak tadi ia memang menunggu kehadirannya karena di antara ketiga temannya, Jovanka lah yang paling terlambat datang ke pestanya. “Aku sempat mengira kamu tidak akan datang.”“Bagaimana mungkin di hari bahagiamu aku tidak hadir?” balas Jovanka, tersenyum. Dia memeluk temannya itu dan memberinya ucapan selamat, “Untuk pernikahanmu, aku ucapkan selamat. Semoga Luis adalah pria yang tepat untukmu. Aku berharap kalian hidup dengan bahagia.”“Terima kasih.” Hati Gilda tersentuh mendengar doa yang diucapkan Jovanka untukn
Danial sampai di rumah sakit, tepat saat dokter selesai memeriksa kondisi putrinya.“Bagaimana keadaannya?” tanya Danial. Dia bahkan baru sampai dengan napas yang tampak terengah-engah. Danial berjalan secepat mungkin ke ruangan tempat putrinya dirawat hanya karena ingin segera memastikan kondisinya.“Dia baik-baik saja, Tuan.” Dokter itu menjawab. “Dia hanya kelelahan. Untuk Ibu yang sedang mengandung, memang tidak baik membiarkannya mengikuti acara seperti ini. Terlebih, dia berada di trimester pertama.”“Syukurlah.” Danial menghela napas lega.Tapi sesaat kemudian ia tercenung.“Mengandung?” Itu suara Razka yang bertanya penuh kebingungan.Lalu suara pekikan Ibunya menyusul, “Putriku hamil!?” Dia terlihat sangat bahagia.Danial sendiri tidak bisa berkata-kata. Ia bahkan tidak pernah mengira akan mendengar kabar ini.Ini terlalu mengejutkan.“Benar. Nona Jovanka sedang hamil saat ini. Usia kandungannya hampir menginjak satu bulan. Saya sarankan untuk tidak membiarkan dia terlalu ban
Danial menghampiri putrinya yang saat ini masih berbaring di ranjang rumah sakit. Ia sudah meminta pada Razka dan Mona untuk memberi waktu padanya supaya ia bisa bicara dengan putrinya tanpa gangguan.“Bagaimana perasaanmu sekarang?” Danial bertanya seraya mendudukkan dirinya di kursi tepat di samping ranjang putrinya.“Seperti yang Ayah lihat, tubuhku masih terasa sangat lemas,” jawab Jovanka terkekeh.Ia bahkan bisa tersenyum sekarang. Senyum dan tawa yang tidak terlihat palsu. Dia benar-benar bahagia.“Tapi, perasaanku sangat baik meski tubuhku tidak begitu baik.”“Bersabalah.” Danial mengusap kepala putrinya itu dengan sayang. “Ini hanya berlangsung selama beberapa minggu.”“Aku tahu,” balas Jovanka mengangguk. Dia meletakkan tangan di perutnya. “Aku akan menjaganya sampai dia terlahir dengan selamat.”Danial semakin merasa sesak saat melihat ketegaran putrinya. Seharusnya di saat seperti ini putrinya tidak sendirian. Melainkan ada suaminya yang menemaninya.Danial menghela napas
Saat ini Jovanka mendapat kunjungan dari teman-temannya. Dia merasa sedikit terhibur dengan adanya mereka. Terkadang, jika hanya bersama keluarganya, tidak banyak topik yang bisa ia bicarakan. Keluarganya hanya memberi terlalu banyak perhatian. Tapi tidak begitu bisa diajak melakukan obrolan yang menyenangkan.“Aku tidak percaya kamu benar-benar hamil.” Gilda sangat terkejut mendengar kabar ini pertama kali. Ia bahkan sempat mengira Jovanka berbohong padanya. Tapi saat ia melihat sendiri bagaimana kondisi temannya itu, ia mulai percaya dengan apa yang ia katakan. “Kapan kalian melakukannya?”“Itu juga yang ingin aku tanyakan,” timpal Kate.Hal yang paling mengherankan dari semua itu memang alasan mengapa Jovanka bisa sampai mengandung anak Revan, sedangkan Jovanka sendiri sebelumnya sangat enggan berhubungan dengan pria itu.Mereka jadi curiga, apa Revan memperkosa Jovanka?“Jangan berpikir yang tidak-tidak.” Jovanka sepertinya bisa menebak apa yang teman-temannya pikirkan, karena ia
Jovanka sudah melalui beberapa bulan kehamilannnya. Awalnya memang terasa merepotkan. Terlebih, ia mengalami morning sickness di bulan kedua kehamilannya. Dia tidak bisa mencium bau yang menyengat. Bahkan tidak banyak makanan yang bisa ia konsumsi. Rasanya segala macam makanan yang biasa ia makan sebelum hamil tidak bisa lagi diterima perutnya. Jovanka paling-paling hanya mengkonsumsi buah dan biskuit. Untuk memastikan ia tidak kekurangan nutrisi, Jovanka juga rutin mengkonsumsi vitamin yang diresepkan dokter, juga tidak lupa meminum susu ibu hamil.Setiap bulan ia akan melakukan pemeriksaan kandungan, di mana saat itu keluarganya selalu berebut untuk mengantarnya ke rumah sakit. Alhasil, Jovanka berangkat bersama mereka semua.Saat ini usia kandungannya sudah menginjak trimester kedua. Banyak makanan yang ia inginkan, dan kakaknya selalu berjuang untuk mendapatkannya, sekali pun itu sulit. Hingga ia harus mengerahkan banyak anak buahnya untuk berpencar.Baru kali ini fenomena ibu ham
Saat ini Jovanka sedang berada di Mall. Ia bersama Ibunya tengah berbelanja kebutuhan bayi. Dimulai dari pakaian juga perlengkapan lainnya. Banyak barang yang dibeli olehnya. Tentu bukan Jovanka yang meminta, tapi Ibunya yang membeli semua itu, semua barang yang sebenarnya hanya bisa dipakai selama beberapa bulan. Apakah dia lupa jika seorang bayi akan mudah tumbuh besar? Jovanka sampai sakit kepala melihat Ibunya yang begitu antusias membeli semuanya.“Ibu, sudah cukup. Ini saja sudah banyak.” Jovanka mencoba menghentikan Ibunya. Saat ini barang di tangan pengawal yang ikut bersama mereka sudah terlihat begitu menumpuk. Padahal mereka hanya membeli kebutuhan untuk seorang makhluk kecil, kenapa belanjaan mereka bisa sebanyak ini? Jovanka sendiri tidak habis pikir.“Tapi kita masih belum membeli semuanya. Lihat! Kita bahkan belum membeli ranjang untuk cucuku,” seru Mona. Dengan semangat ia pergi ke bagian furniture dan mencari ranjang bayi di sana.Jovanka menghela napas. Ibunya bahkan
Jovanka terjaga. Dia melihat tempat ia berada saat ini. Ia berada di rumah sakit. Rasanya tidak mengherankan, karena sejak ia mengandung, tempat ini menjadi lebih sering ia kunjungi.“Bagaimana keadaanmu, nak?”Suara Ayahnya mengejutkannya. Dia melihat pria itu mendekat.“Aku baik-baik saja, Ayah,” jawab Jovanka seadanya.“Ibumu sudah ku beri peringatan.” Danial sedikit menyesal membiarkan Jovanka pergi bersama Mona. Seharusnya ia saja yang menemani putrinya berbelanja. Meski antusias menyambut cucu pertamanya, Danial tidak mungkin sampai melupakan kondisi putrinya sendiri.“Aku tidak apa-apa, Ayah. Jangan marah pada Ibu,” ucap Jovanka menenangkan. Dia tidak ingin hubungan Ayah dan Ibunya memburuk hanya karena dirinya. Jovanka ingin saat anak pertamanya lahir, semua orang bisa menyambutnya dengan gembira. Dia tidak ingin ada masalah yang terjadi sebelum itu semua.Lagi pula ia mengerti, Ibunya hanya terlalu bersemangat menyambut cucu pertamanya.“Dia sudah keterlaluan, Jovanka. Jangan
Razka membuka pintu ruang kerja Ayahnya dengan kasar. Suara yang ia timbulkan bisa membuat orang yang mendengarnya terkejut. Tapi Danial yang berada di dalam tidak terlihat terusik sedikit pun. Ia masih berkutat dengan pekerjaannya.“Ayah.” Razka memanggil. Dia meletakkan kedua tangannya di meja, tepat di depan pria itu. Pandangannya terlihat menahan marah. Sepertinya Razka datang dalam suasana hati yang tidak begitu baik.“Ada apa?” sahut Danial terdengar dingin.“Kenapa Ayah masih bisa santai seperti ini?” tanya Razka geram. Ia mencoba menahan diri untuk tidak melempar semua benda yang ada di meja kerja Ayahnya itu. Namun, entah sampai kapan ia akan kuat menahan emosinya.“Memang aku harus bagaimana?” Danial menyahut dengan santai. Dia melepas kaca mata di wajahnya, dan mengelapnya sebentar. Dia melirik ke arah Razka yang masih tampak sangat marah.Putra sulungnya itu mendengus kasar.“Ini sudah berbulan-bulan, dan Adikku sebentar lagi akan melahirkan. Apa pria brengsek itu masih be