[Kamu akan dapatkan karma itu!] Lagi pesan teror dari nomor itu masuk setelah beberapa detik aku membaca pesan yang pertama.Aku mengingat-ngingat apa yang sudah kami lakukan pada orang lain selama perjalanan rumah tangga kami. Kenapa ada orang yang semarah itu pada kami sampai meneror setiap hari. Jika saja identitasnya bisa kuketahui tentu saja aku bisa dengan cepat mengetahui siapa pelakunya. Sayangnya sampai sejauh ini kami sama sekali tidak bisa tahu siapa dia.Kulihat Mas Danu sedang menahan sakit. Niatku yang awalnya mau memberi tahukan padanya segera kuurungkan. Wajahnya Mas Danu pucat sekali, jadi kalau aku beritahukan ini padanya takut akan mengganggu kesehatannya.“Kenapa lama banget ya, Dik. Aku sudah tidak tahan,” keluh Mas Danu. Kami sedang menunggu giliran untuk ronsen.“Sabar ya, Mas. Sini rebahan saja kalau tidak kuat tidak apa-apa. Kakinya dilurusin, kepala aku pangku,” jawabku.Saat kepala Mas Danu kupangku rasanya panas sekali. Mas Danu benar-benar demam tinggi.
“Sabar, Mas. Ayo, istighfar,” jawabku. Mas Danu berkali-kali istighfar. Aku pun membaca doa yang kubisa. “Maaf ya, Bu. Kami tidak dengar kalau bel berbunyi. Padahal kami stay di ruang jaga,” ucap suster seraya memasang kembali infus Mas Danu.“Atau mungkin rusak, Sus?” tanya Mamah Atik.“Tidak, Bu, belnya baru. Sebentar saya coba, ya?”Suster memencet bel dan lampu menyala itu artinya bel ini berfungsi.“Tidak rusak, Bu. Ini lampunya menyala,” ujar suster ramah.“Tadi juga gitu, Sus. Menyala,” sahutku.“Baik, mungkin karena kelalaian kami dalam bekerja jadi tidak dengar. Misal nanti pasien ada keluhan lagi dan ibu sudah memencet bel, tapi tim kami tidak ada yang datang mohon langsung panggil ke sana saja ya, Bu,” jelas Suster. Kami mengangguk paham.“Bapak apa masih lemas?” tanya suster pada Mas Danu.“Masih, Sus, malah seperti tidak ada tulang. Perut saya tadi sakit sekali seperti diremas-remas makanya saya tidak tahan sampai selang infus terlepas,” jawab Mas Danu.“Baik, nanti sor
“Mas, nomor itu mengirimi pesan begini lagi.” Kutunjukkan pesan WA itu pada Mas Danu. Dia berkali-kali menghembuskan nafas dalam-dalam seraya membetulkan selimutnya.Kami sudah berada di kamar. Tadi sewaktu masuk kamar suasananya begitu berbeda. Dingin dan pengap. Padahal baru ditinggal sehari semalam. Biasanya juga tidak pernah begini kalau kami tinggal pulang kampung ke rumah ibu, meski semingguan lebih.Aku abaikan perasaan tidak nyaman ini takut Mas Danu tidak kepikiran, meski aku yakin dia pun merasakan seperti yang aku rasa. Sepertinya Mas Danu pun mencoba menyembunyikannya dariku.“Sebenarnya dia itu siapa ya, Mas? Sudah hitungan bulan dia meneror kita,” tanyaku lagi mencairkan suasana. Mas Danu hanya menggeleng.“Apa sebaiknya kita lapor polisi saja ya, Dik?” usul Mas Danu.“Aku setuju, Mas, sebab dia sudah sangat meresahkan kita,” jawabku yakin. Dengan lapor polisi aku akan tahu sebenarnya dia siapa dan apa motifnya.“Coba diingat-ingat lagi, Dik, apa selama kita hidup enak i
“Iya, Kia masih kecil, jadi masih peka. Nah, itu dia sedang menatapku marah karena memberi tahu keberadaan dia pada kalian,” ucap Joko lagi. Dia balik menatap nyalang ke arah pintu. Aku bergidik ngeri.“Mungkinkah sakit Mas Danu ada hubungannya dengan ini semua, Mas?” tanyaku penasaran. Pasalnya Mas Danu sakitnya aneh.“Bisa iya, bisa juga tidak! Intinya kita harus waspada. Minum air putih yang sudah diruqyah mandiri, Dan,” saran Joko, Mas Danu mengiyakan.Malam ini kamar kami sebentar panas sebentar dingin. Kia menangis terus mungkin dia tidak nyaman akhirnya diambil alih oleh Mamah Atik dan diajak tidur bersamanya.Mas Danu tidurnya pun gelisah dan selalu berkeringat. Sedang aku sama sekali tidak bisa tidur padahal sudah jam 11 malam.Kuambil HP untuk sekedar melihat-lihat saja karena sudah beberapa hari ini aku tidak sempat.Ada banyak sekali obrolan di grup-grup WA. Bahkan grup WA RT kami sudah ada 1500-an obrolan. Ada beberapa yang ngetag namaku, tapi tidak mungkin aku manjat unt
“Toloooong!” teriak Mbak Asih. Bu Jum dan Bu Romlah justru tertawa melihat ibu mertuaku dan Mbak Asih saling bekejaran.Mbak Asih masuk rumah Bu warung tanpa permisi. Kami tentu saja panik.“Olahraga pagi, Yu. Dudududu ... bikin sehat,” ujar Bu Jum disambut gelak tawa Bu Romlah. Aku kesal sekali pada mereka berdua. Sama sekali tidak punya rasa simpati.“Ada apa, Bu? Kok, Mbak Asih lari ketakutan gitu?” tanyaku pada ibu setelah ibu sampai. Beliau ngos-ngosan.“Asih bangun tidur ngomel-ngomel enggak jelas, Ta. Ibu suruh mandi malah ngamuk. Ibu ikut emosi eh, malah dia lari-lari sambil teriak-teriak enggak mau diruqyah padahal Ibu sama sekali tidak bilang itu pada Asih.” Cerita ibu seraya mengatur nafasnya yang ngos-ngosan.“Minum dulu, Bu.” Kuambil sebotol Aqua dari rak dagangan Bu Warung. Hebat sekali minum langsung habis setengah.“Haus, Yu? Ha ha ha kasihan sekali dikerjain anak,” ejek Bu Jum lagi.“Eh, Yu, Asih itu lama-lama ngeri loh, masukin rumah sakit jiwa saja,” ucap Bu Jum l
"Apa, iya? Ibu malah enggak tahu, Ta. Kalau begitu berarti Asih ada kemajuan, Ta. Dia bisa lupa sama Roni.”“Tapi, tetap tidak boleh, Bu. Mbak Asih kan, lagi hamil anak orang. Takutnya hanya dimanfaatkan saja. Seperti yang sudah-sudah itu di berita yang selalu viral.”“Duh, Ibu jadi khawatir, Ta. Apa ponsel Asih disita saja, ya?”“Jangan, Bu. Nanti malah makin repot yang penting kita awasi terus Mbak Asihnya.“Lah, itu Asih lagi main air, astaghfirullah!” Ibu lari sekuat tenaga lalu mematikan kran air. Mbak Asih persis bocah cilik yang dengan senangnya basah-basahan main air. Apa itu bawaan bayi, ya? Jadi, Mbak Asih suka aneh.“Ibu, apa-apaan, Sih! Aku ini kan, lagi mandi. Tadi Ibu nyuruh aku mandi, kan?” protes Mbak Asih, dia terlihat sangat marah.“Iya, tapi, mandinya enggak di sini, Sih! Mandi di dalam kamar mandi. Lihat itu badanmu ngecap sana-sini. Ayo, pulang!” Ibu menjewer kuping Mbak Asih persis anak kecil.Mbak Asih menurut dan ikut pulang. Lega sudah hati ini.“Belanja di J
"Mbak bentar lagi sampai loh nanti aja ya, kita pipisnya di rumah yang kita tuju,” cegahku agar Mbak Asih tidak bersikeras untuk turun dari mobil.“Enggak bisa gitu Ita, aku sudah kebelet pipis banget. Masak aku mau putus di mobil ini mana jalannya jelek cepetan berhenti! Danu hentikan mobilnya!” teriak Mbak Asih.Mau tidak mau akhirnya Mas pelam menepikan mobil. Aku pun ikut turun bersama Mbak Asih. Aku harus menjaganya agar dia tidak kabur.Kami menumpang di sumur warga dan aku menunggu Mbak Asih di luar lama sekali sampai Mas Danu meneleponku.“Dik, lama amat sudah setengah jam loh buruan, ah!” ucap Mas Danu.“Astagfirullah ... iyakah Mas? Ya sebentar aku ketok pintunya dulu ya, masih lama juga ini sepertinya Mbak Asih tidak hanya buang air kecil. Mungkin dia buang air besar,” jawabku.“Ya, sudah, Mas tunggu ya, ini enggak enak juga kan, kita janjian sudah mau mepet waktunya.”“Iya, Mas tunggu, ya?”Kuketuk pintu kamar mandi sampai beberapa kali. Mbak Asih pun tidak menyahut. Apaka
“Baiklah kalau begitu terima kasih kami permisi dulu ya, Pak, Bu,” pamit Mamah Atik.Kembali kami masuk ke dalam mobil dengan perasaan yang sangat kecewa Mbak Asih benar-benar menguji kesabaran kami.Aku tidak enak pada Ustaz yang akan meruqyah Mbak Asih karena kami sudah janji hari ini.“Lebih baik kita tetap datang ke rumah Ustaz kalau kita tidak sampai ke sana takutnya beliau kecewa pada kita,” usul Mas Danu.“Iya, bener yang dikatakan Danu. Ya sudah kita gegas ke rumah Ustaz dulu nanti kita car Asih lagi semoga saja anak itu benar-benar pulang ke rumah,” jawab Mama Atik.Aku setuju saja dan aku tahu Mas Danu juga Mamah Atik sangat kecewa pada Mbak Asih.“Nanti kita minta saja pada Ustaz untuk datang ke rumah kita untuk meruqyah Mbak Asih,” ucap Mas Danu“Iya, Mas, nanti kita minta tolong sama ustaz nya saja untuk datang ke rumah kita Mbak Asih ini sudah benar-benar meresahkan mana dia sedang hamil aku yakin Mbak Asih itu tidak bawa uang. Bagaimana bisa dia pulang ke rumah?” jawa
"Ya, Allah, Asih memang benar-benar, ya, bikin orang tua khawatir! Semoga saja Ibumu baik-baik saja mau menerima maafnya Asih."“Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana ekspresi ibunya Asih pas tahu Asih sudah bertaubat,” sahut Mbak Wulan. “Yang pasti pertama kalinya adalah dia tidak percaya. Terus yang kedua bersyukur banget dan yang ketiga pasti Asih akan dicium-cium," kata Mbak Fitri.“Iya, semoga saja begitu. Ibunya nanti pasti akan terkejut sekali apalagi Asih sudah nge-prank sampai malam ini tidak pulang-pulang." “Iya, ya, sudah kita tinggalin dulu ya, Mbak, masakannya. Kita salat isya jamaah,” ucapku lagi kepada Mbak Fitri dan Mbak Wulan.Kami bergantian mengambil air wudu lalu melaksanakan salat Isya berjamaah. Ya, Tuhan, nikmat mana lagi yang pantas aku dustakan? Aku dikelilingi orang-orang baik dan juga memiliki tetangga yang baik, ipar yang baik, mertua yang baik, semoga tali persaudaraan kami sampai ke jannah-Mu.Setelah selesai salat Isya, kami menyaksikan Mbak Asih ke
Sebelum wudu aku bergegas menghampiri Mbak Wulan dan juga Mbak Fitri yang ternyata sedang sibuk meracik lalapan untuk diletakkan di dalam nampan panjang.“Mbak Fitri, Mbak Wulan, maaf, ya, aku jadi cuekin kalian berdua, loh. Bukan maksud hati mau mencuekin kalian berdua, cuman tadi Mbak Asih banyak curhat enggak enak juga kalau ditinggal. Maaf banget ya, Mbak,” ucapku tulus.“Tidak apa-apa, Ta. Kami happy-happy aja kok! Di sini enggak usah merasa dicuekin. Lagi pula kan, tuan rumahnya bukan cuma kamu. Ada ibumu, ada mama mertua kamu. Kami tadi asik ngobrol, tapi karena kamu memang kebetulan lama makanya mereka nyusul ke sana. Semua sudah selesai, kita tinggal bikin sambal terasi aja, bikinnya nanti kalau bapak-bapak sudah pada pulang. Kalau bikin sekarang nanti enggak seger," jawab Mbak Wulan.“Iya, betul! Apa yang dibilang Fitri. Kami enjoy aja kok, lagi pula mungkin Mbak Asih memang lagi merasa ingin didengarkan, tapi sepertinya happy ending, ya? Sebab tadi kelihatan dari sini kamu
"Alhamdulillah, terima kasih banyak ya, Ta. Kamu sungguh berhati mulia. Aku menyesal sudah menyia-nyiakanmu selama ini."“Sama-sama, Mbak."“Oh, ya, Ita, nanti juga aku mau belajar ngaji Tahsin ikut kamu pengajian di rumah Ustazah, boleh?"“Boleh, pokoknya boleh semua kalau itu untuk kebaikan, Mbak Asih," jawabku semangat.“Sekali lagi, terima kasih atas kesabaranmu, aku jadi bisa begini. Karena kesabaran ibu dan doa ibu, aku jadi bisa memperbaiki diri seperti ini. Aku akan buktikan ke kamu dan orang-orang yang sudah menghinaku bahwa aku bisa jadi lebih baik lagi dari sebelumnya."“Nah, gitu dong, Mbak, semangat pokoknya! Mbak Asih harus tetap semangat dan istiqomah, bagaimana pun nanti rintangan dan ujiannya. Aku yakin, Mbak Asih, bisa karena aku tahu Mbak Asih ini Wonder Woman."“Wonder Woman sudah kayak lagunya Mulan Jameela aja. Makasih banyak, ya, adikku yang cantik. Alhamdulillah aku malam ini bahagia sekali, Ita."“Sama-sama, Mbakku yang cantik. Aku pun bahagia," jawabku.Kami
Sejatinya manusia itu memang berproses, dari yang tidak tahu apa-apa hingga tahu segalanya.Itulah sebabnya pendidikan sangat penting untuk kehidupan kita baik itu pendidikan agama, pendidikan di bangku sekolahan, ataupun pendidikan dari lingkungan sekitar. Itu semua yang akan menyebabkan kita jadi lebih baik, dewasa, dan bisa menyikapi segala sesuatu dengan adil sesuai porsinya.Aku percaya memang semuanya butuh proses, begitupun dengan Mbak Asih. Siapa yang akan menyangka dengan tiba-tiba di senja ini penuh dengan kejutan. Dia menyadari semua kesalahannya, dia menyadari semua kekhilafannya.Senja bahagia bagiku dan keluargaku, meskipun masih banyak kerikil yang menghalangi jalan hidup kami di depan. Salah satunya adalah teror yang ditujukan untuk keluarga kecilku. Tapi, itu semua tidak berarti apa-apa karena aku malam ini sungguh bahagia dengan perubahan Mbak Asih.Terima kasih ya, Allah ... Engkau telah kabulkan doa kami. Terima kasih ya, Allah, satu demi satu kehidupan yang aku j
Aku tersenyum menanggapi curhatan Mbak Asih. Dia memang benar-benar luar biasa bisa mengendalikan emosinya saat bertemu dengan orang yang dicintainya sekaligus orang yang membuat hidupnya berantakan dan hancur.“Alhamdulillah ... semoga Mbak Asih tetap istiqomah pada keputusan, Mbak Asih. Mbak Asih tidak goyah lagi. Aku doakan semoga suatu hari nanti akan dapat jodoh yang jauh lebih baik dari Mas Roni. Kalau Ibu tahu ini pasti Ibu senang banget, Mbak, nanti aku kasih tahu Ibu, ya?” ucapku.“Jangan, Ta, jangan dikasih tahu ibu, biar aku saja yang bilang sekaligus aku meminta maaf pada ibu,” jawab Mbak Asih.“Oh, gitu, Mbak. Ya, sudah baiklah ... semangat ya, Mbak, untuk hidup yang lebih baik lagi. Intinya aku hari ini senang sekali bisa melihat Mbak Asih begini. Oh, ya, lusa kita ada ruqyah lagi, Mbak Asih, mau kan, di ruqyah lagi?” tanyaku.“Mau, dong, Ta! Setelah ruqyah dua kali kemarin aku memang merasa lebih nyaman dan tenang gitu. Jadi, kalau besok aku di ruqyah lagi aku senang. T
“Mbak Asih, mau ikut masak-masak atau tetap di sini?” tanyaku padannya.“Aku, mau di sini saja, Ta, sambil menunggu waktu Isya Aku ingin ngaji,” jawab Mbak Asih.“Alhamdulillah ... aku senang sekali. Mbak Asih bisa begini. Akhirnya doa-doa tulus kami untuk Mbak Asih dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Kalau boleh tahu memang tadi Mbak Asih ketemu dengan Mas Roni, apa yang dibicarakan, kok sampai Mbak Asih bisa berubah sedrastis ini?” tanyaku padanya.Aku penasaran sekali karena setelah pertemuan tadi dengan Mas Roni Mbak Asih tiba-tiba saja langsung berubah. Aku percaya tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah dan Allah itu maha membolak-balikkan hati hambanya itu sebabnya Mbak Asih bisa berubah seperti ini.Aku hanya penasaran saja apa yang katakan dengan Mas Roni sampai membuatnya tersadar bahwa yang dilakukannya selama ini adalah salah.“Tadi itu, Ta, aku dan Mas Roni berantem hebat,” jawab Mbak Asih.“Berantem gimana maksudnya? Mas Roni tidak main fisik, kan, Mbak? Dia tidak
“Iya, ayo kita salat dulu, Ta! Nanti keburu waktu maghribnya habis!” ajak Mbak Asih.Aku, Mbak Wulan, Mbak Fitri, saling berpandangan heran melihat tingkah Mbak Asih yang tiba-tiba bisa senormal ini. Ya, Allah, semoga saja Mbak Asih tidak akan kumat lagi dan benar-benar menjadi orang normal seperti sebelumnya.“Ini coklat dari mana, Ta?" tanya Mama Atik.“Mbak Asih yang bawa. Itu katanya dikasih Mas Roni. Tadi mereka habis ketemuan di ujung gang sana.”“Ya, Allah, ketemuan sama istri cuma dikasih coklat!?” Mamah Atik pun heran dengan tingkah Mas Roni.“Iya, gitulah, Mah, namanya juga Mas Roni. Ya, sudah, aku salat dulu minta tolong itu kue cubitnya, ya, Mah? bentar lagi mateng.”“Iya, ya, sudah sana kalian salat dulu.”selesai salat aku bermunajat pada Allah Subhanahu Wa Ta'ala atas segala nikmat yang telah diberikan padaku dan keluargaku hari ini. Semoga apa yang kami lakukan hari ini jika terdapat banyak kekhilafan Allah yang mengampuni dosa-dosa kami dan apabila terdapat banyak ke
"Ada apa, ya, Guccinya bisa jatuh sendiri, Ta?” tanya Mbak Wulan..“Setahu, aku, Mbak, biasanya sih, kesenggol kucing. Dia itu kan, punya kucing kecil. Dia tuh suka lari sana, lari sini dan suka merobohkan benda-benda gitu, tidak sengaja sih,” jawabku beralasan.“Ya, sudah enggak usah di perhatikan lebih baik kita sekarang masak sebentar lagi Magrib dan suami-suami kita pasti akan pulang," imbuhku.Kami menyiapkan bahan-bahan yang akan kami masak setelah Maghrib, meski sebenarnya hatiku gelisah karena memikirkan Gucci yang jatuh tadi, tapi aku berusaha bersikap biasa saja agar tetanggaku tidak mengetahui masalah yang kami hadapi saat ini.“Ita ... assalamualaikum lihat nih aku dapat coklat,” sapa Mbak Asih, dia masuk dari pintu samping.”“Coklat dari mana, Mbak, banyak sekali?” jawabku. Mbak Asih masih menenteng plastik berlogo minimarket terkenal seantero negeri ini.“Dapat, dari Mas Roni. Tadi aku ketemuan sama dia di ujung gang sana,” jawab Mbak Asih. Berarti benar apa yang diceri
“Wah, boleh itu nanti habis Maghrib. Kalu kita masak-masaknya sekarang kan, ini sudah mau Maghrib lebih baik kita persiapan untuk salat dulu.”Tak lama berselang Mbak Wulan dan Mbak Fitri datang.“Waalaikumsalam ... alhamdulillah ada tamu jauh silakan Mbak Fitri, Mbak Wulan, masuk. Ayo, kita langsung ke ruang tengah saja!” ajakku pada kedua temanku. Aku bahagia sekali kalau ada tamu yang datang ke rumah.“Masya Allah ... Ita, Mbak benar-benar baru kali ini masuk rumah kamu. Waktu pengajian itu kan, tidak sempat datang yang datang suami. Masya Allah rumahmu bagus sekali, ya. Doakan Mbak Fitri biar bisa punya juga rumah begini, ya, walaupun tidak sebagus punya kamu setidaknya mirip-mirip sedikit lah, Mbak seneng loh kalau main di rumah orang kaya, tapi orang kayanya baik hati,” ucap Mbak Fitri.“Alhamdulillah Mbak ... ini semua berkat doa orang tua dan kegigihan kerja keras suamiku. Mari silakan, aku ambilin minum dulu ya, Mbak Wulan sama Mbak Fitri mau minum apa, nih?”“Ya, Allah, sera