“Mas, nomor itu mengirimi pesan begini lagi.” Kutunjukkan pesan WA itu pada Mas Danu. Dia berkali-kali menghembuskan nafas dalam-dalam seraya membetulkan selimutnya.Kami sudah berada di kamar. Tadi sewaktu masuk kamar suasananya begitu berbeda. Dingin dan pengap. Padahal baru ditinggal sehari semalam. Biasanya juga tidak pernah begini kalau kami tinggal pulang kampung ke rumah ibu, meski semingguan lebih.Aku abaikan perasaan tidak nyaman ini takut Mas Danu tidak kepikiran, meski aku yakin dia pun merasakan seperti yang aku rasa. Sepertinya Mas Danu pun mencoba menyembunyikannya dariku.“Sebenarnya dia itu siapa ya, Mas? Sudah hitungan bulan dia meneror kita,” tanyaku lagi mencairkan suasana. Mas Danu hanya menggeleng.“Apa sebaiknya kita lapor polisi saja ya, Dik?” usul Mas Danu.“Aku setuju, Mas, sebab dia sudah sangat meresahkan kita,” jawabku yakin. Dengan lapor polisi aku akan tahu sebenarnya dia siapa dan apa motifnya.“Coba diingat-ingat lagi, Dik, apa selama kita hidup enak i
“Iya, Kia masih kecil, jadi masih peka. Nah, itu dia sedang menatapku marah karena memberi tahu keberadaan dia pada kalian,” ucap Joko lagi. Dia balik menatap nyalang ke arah pintu. Aku bergidik ngeri.“Mungkinkah sakit Mas Danu ada hubungannya dengan ini semua, Mas?” tanyaku penasaran. Pasalnya Mas Danu sakitnya aneh.“Bisa iya, bisa juga tidak! Intinya kita harus waspada. Minum air putih yang sudah diruqyah mandiri, Dan,” saran Joko, Mas Danu mengiyakan.Malam ini kamar kami sebentar panas sebentar dingin. Kia menangis terus mungkin dia tidak nyaman akhirnya diambil alih oleh Mamah Atik dan diajak tidur bersamanya.Mas Danu tidurnya pun gelisah dan selalu berkeringat. Sedang aku sama sekali tidak bisa tidur padahal sudah jam 11 malam.Kuambil HP untuk sekedar melihat-lihat saja karena sudah beberapa hari ini aku tidak sempat.Ada banyak sekali obrolan di grup-grup WA. Bahkan grup WA RT kami sudah ada 1500-an obrolan. Ada beberapa yang ngetag namaku, tapi tidak mungkin aku manjat unt
“Toloooong!” teriak Mbak Asih. Bu Jum dan Bu Romlah justru tertawa melihat ibu mertuaku dan Mbak Asih saling bekejaran.Mbak Asih masuk rumah Bu warung tanpa permisi. Kami tentu saja panik.“Olahraga pagi, Yu. Dudududu ... bikin sehat,” ujar Bu Jum disambut gelak tawa Bu Romlah. Aku kesal sekali pada mereka berdua. Sama sekali tidak punya rasa simpati.“Ada apa, Bu? Kok, Mbak Asih lari ketakutan gitu?” tanyaku pada ibu setelah ibu sampai. Beliau ngos-ngosan.“Asih bangun tidur ngomel-ngomel enggak jelas, Ta. Ibu suruh mandi malah ngamuk. Ibu ikut emosi eh, malah dia lari-lari sambil teriak-teriak enggak mau diruqyah padahal Ibu sama sekali tidak bilang itu pada Asih.” Cerita ibu seraya mengatur nafasnya yang ngos-ngosan.“Minum dulu, Bu.” Kuambil sebotol Aqua dari rak dagangan Bu Warung. Hebat sekali minum langsung habis setengah.“Haus, Yu? Ha ha ha kasihan sekali dikerjain anak,” ejek Bu Jum lagi.“Eh, Yu, Asih itu lama-lama ngeri loh, masukin rumah sakit jiwa saja,” ucap Bu Jum l
"Apa, iya? Ibu malah enggak tahu, Ta. Kalau begitu berarti Asih ada kemajuan, Ta. Dia bisa lupa sama Roni.”“Tapi, tetap tidak boleh, Bu. Mbak Asih kan, lagi hamil anak orang. Takutnya hanya dimanfaatkan saja. Seperti yang sudah-sudah itu di berita yang selalu viral.”“Duh, Ibu jadi khawatir, Ta. Apa ponsel Asih disita saja, ya?”“Jangan, Bu. Nanti malah makin repot yang penting kita awasi terus Mbak Asihnya.“Lah, itu Asih lagi main air, astaghfirullah!” Ibu lari sekuat tenaga lalu mematikan kran air. Mbak Asih persis bocah cilik yang dengan senangnya basah-basahan main air. Apa itu bawaan bayi, ya? Jadi, Mbak Asih suka aneh.“Ibu, apa-apaan, Sih! Aku ini kan, lagi mandi. Tadi Ibu nyuruh aku mandi, kan?” protes Mbak Asih, dia terlihat sangat marah.“Iya, tapi, mandinya enggak di sini, Sih! Mandi di dalam kamar mandi. Lihat itu badanmu ngecap sana-sini. Ayo, pulang!” Ibu menjewer kuping Mbak Asih persis anak kecil.Mbak Asih menurut dan ikut pulang. Lega sudah hati ini.“Belanja di J
"Mbak bentar lagi sampai loh nanti aja ya, kita pipisnya di rumah yang kita tuju,” cegahku agar Mbak Asih tidak bersikeras untuk turun dari mobil.“Enggak bisa gitu Ita, aku sudah kebelet pipis banget. Masak aku mau putus di mobil ini mana jalannya jelek cepetan berhenti! Danu hentikan mobilnya!” teriak Mbak Asih.Mau tidak mau akhirnya Mas pelam menepikan mobil. Aku pun ikut turun bersama Mbak Asih. Aku harus menjaganya agar dia tidak kabur.Kami menumpang di sumur warga dan aku menunggu Mbak Asih di luar lama sekali sampai Mas Danu meneleponku.“Dik, lama amat sudah setengah jam loh buruan, ah!” ucap Mas Danu.“Astagfirullah ... iyakah Mas? Ya sebentar aku ketok pintunya dulu ya, masih lama juga ini sepertinya Mbak Asih tidak hanya buang air kecil. Mungkin dia buang air besar,” jawabku.“Ya, sudah, Mas tunggu ya, ini enggak enak juga kan, kita janjian sudah mau mepet waktunya.”“Iya, Mas tunggu, ya?”Kuketuk pintu kamar mandi sampai beberapa kali. Mbak Asih pun tidak menyahut. Apaka
“Baiklah kalau begitu terima kasih kami permisi dulu ya, Pak, Bu,” pamit Mamah Atik.Kembali kami masuk ke dalam mobil dengan perasaan yang sangat kecewa Mbak Asih benar-benar menguji kesabaran kami.Aku tidak enak pada Ustaz yang akan meruqyah Mbak Asih karena kami sudah janji hari ini.“Lebih baik kita tetap datang ke rumah Ustaz kalau kita tidak sampai ke sana takutnya beliau kecewa pada kita,” usul Mas Danu.“Iya, bener yang dikatakan Danu. Ya sudah kita gegas ke rumah Ustaz dulu nanti kita car Asih lagi semoga saja anak itu benar-benar pulang ke rumah,” jawab Mama Atik.Aku setuju saja dan aku tahu Mas Danu juga Mamah Atik sangat kecewa pada Mbak Asih.“Nanti kita minta saja pada Ustaz untuk datang ke rumah kita untuk meruqyah Mbak Asih,” ucap Mas Danu“Iya, Mas, nanti kita minta tolong sama ustaz nya saja untuk datang ke rumah kita Mbak Asih ini sudah benar-benar meresahkan mana dia sedang hamil aku yakin Mbak Asih itu tidak bawa uang. Bagaimana bisa dia pulang ke rumah?” jawa
“Ada apa Mbak Ita, sepertinya terjadi sesuatu?” tanya ustazah.“Ya, Usatzah, tadi Mbak Asih ikut kami dan turun di jalan. Mungkin Mas Danu dan Mamah Atik sudah menjelaskan pada Ustazah. Herannya yang membuat tidak diterima oleh akal sehat adalah Mbak Asih sudah sampai rumah,” jelasku.Mas Danu tentu saja tampak kaget, tapi ustazah hanya tersenyum.“Kita tunggu suami saya pulang setelah ini kita berangkat ke rumah Mbak Ita. Sepertinya memang saudara Mas Danu tidak bisa dibawa ke sini maka nanti saya dan suami insya Allah ikut pulang ke rumah Mas Danu. Saat ini ustaz sedang mengisi ceramah di majelis taklim masjid samping rumah. Kita tunggu saja Insya Allah nanti sekitar jam menjelang asar sudah selesa,” ucap ustazah.“Alhamdulillah .... terima kasih Ustazah atas pengertiannya dan juga atas waktunya,” jawab Mas Danu.“Ya, sudah saya tinggal sebentar ke belakang untuk menyiapkan segala sesuatunya. Maaf ini Mbak, Mas bukannya dicuekin,” pamit ustazah.“Iya, Ustazah tidak kenapa-kenapa sil
"Iya, Mah, aamiin. Terima kasih Mamah.”“Mas, coba nanti kita tanyakan pada sstaz tentang siapa yang ngirim pesan misterius itu di HP-mu siapa tahu Ustaz Ari bisa tahu,” saranku.“Pak Ustaz ahli ruqyah, Dik, bukan ahli IT. Ya, jelas beliau tidak tahu,” jawab Mas Danu seraya terkekeh.“Ya, barangkali aja, kan, beliau tahu tidak ada salahnya kan, kalau kita tanya”.“Iya, nanti Mas coba tanyakan, setelah beliau selesai meruqyah Mbak Asih karena Mbak Asih adalah prioritas utama kita. Kalau mbak Asih sudah sembuh maka dunia kita terasa aman sekali. Kasihan Mbak Asih jika terus-terusan begitu rasanya aku tidak tega meskipun Mbak Asih selalu saja jahat pada kita, tapi kita tidak boleh jahat dan juga semena-mena padanya,” ujar Mas Danu lagi.Benar yang dikatakan Mas Danu. Prioritas kami adalah Mbak Asih, dia harus sembuh dulu. Apalagi sekarang Mbak Asih sedang hamil kalau dia terus-terusan begitu kasihan juga anaknya nanti.Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga Pak ustaz sudah selesai me
Wak Tono melotot begitu juga dengan istrinya. Pasti mereka benar-benar tidak menyangka bahwa aku akan nekat seperti ini mempolisikan mereka berdua.“Sabar Ita, sabar dulu. Kita dengarkan dulu penjelasan Wak Tono. Barangkali itu memang bukan barang milik Wak Tono atau mungkin memang punya dia, tapi tidak untuk dipakai mencelakai kamu ataupun Danu,” bela Mbak Ning.“Kalau tidak tahu apa-apa enggak usah banyak komentar Mbak. Lama-lama mulut Mbak Ning, aku sumpel pakai paku ini. Aku tidak butuh saran dari Mbak Ning dan Mbak Ning tidak usah mencampur urusan rumah tanggaku. Aku sudah benar-benar kesal dan batas ambang sabarku sudah habis, Mbak! Pokoknya aku mau kita selesaikan ini secara hukum. Wak Tono dan istrinya harus benar-benar dihukum dengan setimpal karena ini membahayakan nyawa orang lain,” tegasku. Mbak Ning diam saja mungkin dia takut akan aku masukkan ke penjara juga jika membantah ucapanku.“Benar sekali apa yang dikatakan oleh Ita. Baik Wak Tono maupun istrinya harus kita pro
"Hentikan! Tolong hentikan dan jangan kamu pukuli suamiku!” sela istri Wak Tono seraya memukul-mukul punggung Mas Danu. Aku yang geram pun langsung mendorong tubuh tua istri Wak Tono hingga dia tersungkur tepat di bawah kaki suaminya.“Jahat! Kalian jahat!” teriak istri Wak Tono lagi dan berusaha bangun untuk menyerangku. Badannya yang gemuk membuatnya susah untuk leluasa bergerak sedangkan wajah Wak Tono sudah babak belur. Wak Tono diseret oleh Pak RT dan beberapa warga ke rumah kami.Istri Wak Tono terus saja meraung-raung menangisi suaminya. Semua saudara-saudara yang sudah terlelap tidur pun terpaksa bangun untuk melihat apa yang terjadi di sini, bahkan ibu mertuaku dan Mbak Lili yang berada di rumahnya pun tergopoh-gopoh menghampiri kami.“Ada apa ini, Ita? Kenapa istrinya Wak Tono menangis begitu?” tanya ibuku.“Mereka itu penjahat, Bu! Ternyata yang meneror keluarga kita selama ini adalah Wak Tono dan juga istrinya. Itu sebabnya istrinya Wak Tono menangis karena Wak Tono sudah
Aku bergegas keluar. Tak pedulikan panggilan Mamah Atik dan juga Ibuku. Rupanya mereka juga belum tidur. Mungkin sedang menyusun rencana untuk acara besok. Sedangkan Dina tadi tidak aku memperbolehkan ikut karena dia harus tetap tinggal di kamar untuk menjaga anak-anak.Teras depan langsung sepi sepertinya bapak-bapak yang ikut mengobrol tadi langsung menuju ke samping kamarku. Ya, Allah aku deg-degan sekali. Takut sesuatu terjadi pada Mas Danu karena dia jalannya saja susah agak pincang kalau dia berduel dengan orang yang mengetuk jendelaku tentu saja dia kalah.Aku yakin sekali bahwa itu adalah manusia, kalau hantu tentu saja tidak akan seperti itu. Mana bisa hantu melakukan hal-hal yang bisa dilakukan oleh manusia. Walaupun ada itu hanya dalam cerita saja.“Wak, kenapa di luar begini? Apa Wak dengar keributan juga?” tanyaku pada istri Wak Tono, tapi istri Wak Tono diam saja justru jalannya terburu-buru menghampiri kerumunan. Rupanya dia pun penasaran sama sepertiku.Memang sih,
“Iya, Din, Betul kata kamu. Makanya tadi pas Mbak ke sana, ya, hanya ngasih saran sekedarnya saja. Sepertinya juga Mas Roni tadi ketakutan karena aku ancam akan kupolisikan kalau masih memaksa Mbak Asih dengan kekerasan.”“Ya, Allah ngeri banget, sih! Mas Roni benar-benar nekat!” ujar Dina.“Ya, begitulah kalau orang sudah nekat pasti segala cara akan dilakukan. Sebentar, ya, Din, aku mau WA Mas Danu dulu. Tadi mau manggil dia enggak enak karena sedang ngobrol sama Pak RT dan juga bapakku.”[Mas, ada yang ketuk-ketuk jendela kamar kita. Sewaktu Dina berniat untuk melihatnya, tapi tidak ada siapa-siapa. Tolong Mas Danu awasi barangkali setelah ini akan ada ketukan selanjutnya.] terkirim dan langsung dibaca oleh Mas Danu.[Iya, Sayang! Ini Mas juga sambil ngawasin saudara-saudara kita. Karena tadi Mas seperti melihat bayangan hitam menyelinap. Mas pikir hanya halusinasi saja.][Iya, Mas. Sepertinya yang meneror keluarga kita mulai beraksi lagi, setelah tiga hari kemarin dia tidak mela
"Mbak, Mbak, itu apa seperti bayangan hitam?” tanyaku pada Mbak Mala. Dia justru memegang lenganku dengan erat. Mbak Mala ketakutan.“Duh, apa, ya, aku pun tidak tahu Ita? Aku takut. Ayo, ah, kita masuk rumah saja!” ajak Mbak Mala seraya menyeret lenganku untuk segera masuk ke dalam rumah.“Itu manusia loh, bukan hantu. Kakinya saja tadi napak tanah, tapi dia tidak melihat kita. Mungkin dia terburu-buru. Ayo, Mbak, kita, intip!” ajakku pada Mbak Mala.“Enggak maulah, Ta, aku takut!” tolak Mbak Mala kemudian dia buru-buru menutup pintu aku pun mengekorinya.“Tuh, kan, Ta, semuanya sudah tidur hanya para bapak-bapak saja itu di depan yang sedang main gaple. Ayolah, kita tidur juga biar besok bisa bangun pagi! Mungkin tadi itu beneran hantu tahu, Ta. Kita sih, malam-malam kelayapan,” ucap Mbak Mala. Lucu sekali ekspresinya dia. Mbak Mala menunjukkan bahwa dia benar-benar ketakutan.“Iya, Mbak Mala tidur sana. Terima kasih infonya nanti kalau misalnya beneran ada apa-apa kita selidiki b
“Mbak Asih, kamu tidak apa-apa, Mbak? Bagaimana perutmu apa sakit? tanyaku khawatir pada Mbak Asih. Mbak Asih hanya menggeleng saja mulutnya terus saja beristighfar. Kasihan sekali. Aku tidak tega melihat dia begini.“Ayo, Ibu, Mbak Lili, Mbak Mala sudah jangan hiraukan Mas Roni dulu. Kita tolong Mbak Asih. Kasihan dia sedang hamil pasti perutnya sakit karena tersungkur begini. Ini pasti Mas Roni kan, yang sudah mendorong Mbak Asih,” kataku lagi. Mereka bertiga bergegas menghampiri untuk membantu Mbak Asih berdiri dan pindah duduk ke sofa.“Iya, benar sekali ini ulah si Roni laknat itu! Padahal Asih sudah menolaknya berkali-kali ini tetap saja si Roni memaksanya untuk kembali. Asih tidak mau lalu si Roni mendorong Asih. Dia itu tidak punya otak dan pikiran padahal Asih sedang hamil besar. Ibu benar-benar benci pada dia. Kalau bisa jebloskan saja Roni ke penjara!” ucap ibu.“Mana bisa begitu, Bu, kalian tidak berhak mengatur hidupku dan juga Asih. Aku ini masih suami sahnya Asih, ja
Aku mengikuti Mbak Mala ke luar rumah dan terpaksa meninggalkan piring makan malamku. Untungnya tinggal sedikit lagi. Gampanglah nanti bisa aku habiskan.Malam ini rembulan memang bersinar terang sekali sepertinya memang hari ini tanggal 15, jadi bulan purnama bertengger cantik di langit malam.Sejujurnya memang dari awal Wak Tono datang ke rumah aku sudah sedikit tidak sreg dengan segala tingkah lakunya. Seperti ucapannya yang terkesan selalu ketus, selalu menyudutkanku dan Mas Danu dan juga seperti mengawasi keadaan rumahku.“Mbak Mala apa beneran tadi Wak Tono ke sini?” tanyaku pada Mbak Mala, dia hanya mengangguk dan terus menggandeng tanganku.“Iya, Ita. Tadi aku lihat Wak Tono tlewat sini terus ke arah sana, ke pohon jeruk kamu dan membakar sesuatu seperti yang aku jelaskan tadi,” jawab Mbak Mala.“Baiklah kalau gitu, ayo kita cek ke sana!” Kami berdua gegas mengecek pohon jeruk yang dimaksud oleh Mbak Mala. Aku menggunakan senter HP untuk lebih menerangi jalanan kami karena me
"Ya, Allah ... sungguh mulia hatimu, Dina. Bapak jadi malu karena tidak bisa mengontrol emosi. Bapak begitu mendengar kabar dari Danu bahwa Wira besok akan menikah sungguh Bapak benar-benar malu. Maafkan kekhilafan Bapak Dina,” ucap bapak dengan tulus.“Iya, Pak. Aku memaafkan semua orang-orang yang menyakitiku karena aku merasa lebih tenang dan damai jika aku berbuat demikian. Sudahlah lebih baik kita jangan bahas Mas Wira lagi nanti selera makanku jadi turun kasihan kan, cucu Bapak dan Ibu, jadi asinya nanti enggak berkualitas kalau aku makannya tidak banyak.”“Iya, iya, betul. Benar apa yang kamu bilang, ya, sudah Bapak kembali ke depan untuk menemui Danu. Kamu tetap di sini dengan ibu dan juga kakak-kakakmu. Terima kasih sudah menjadi menantu Bapak yang baik hati. Terima kasih Dina,” ucap bapak lagi sebelum pergi meninggalkan kamar ini. Matanya berkaca-kaca, tangannya mengelus pundak Dina.Aku tahu Dina pun menahan gejolak yang ada di hatinya itu terbukti dari tatapan Dina yang s
"Ya, Allah, Dina! Kamu yang sabar, ya, sayang? Di sini ada Bulek yang akan selalu membelamu. Apa pun yang terjadi Bulek akan menjadi garda terdepan untuk kamu. Apalagi hanya laki-laki pecundang macam Wira. Bulek akan polisikan dia, sampai bertekuk lutut padamu. Memang Tuhan itu menunjukkan siapa sebenarnya suamimu itu, Dina. Di saat kamu berhijrah ke jalan Allah menjalani hidup menjadi lebih baik justru suamimu perbuatannya makin tidak terkendali. Makin bobrok sehingga melupakan anak istrinya. Tenanglah Dina. Jangan kamu tangisi laki-laki seperti itu. Jangan pernah kamu bersedih karena ulahnya. Allah sudah merencanakan masa depanmu yang jauh lebih indah dari pada ini. Bulek yakin suatu hari nanti kamu akan mendapatkan jodoh yang lebih baik dari Wira. Kamu masih muda, cantik, saleha pasti banyak laki-laki yang jauh di atas Wira yang mau dengan kamu. Percayalah pada Bulekmu ini Dina, kesedihan kamu kesedihan Bulek juga. Sakitmu sakitnya Bulek juga," ucap Mamah Atik seraya memeluk Din