Evi ketakutan dan langsung menggelengkan kepalanya.“Suwear, Bulek! Aku tidak tahu apa-apa. Aku hanya menemukan buntelan itu saja tadi sewaktu selfi-selfi padahal pas aku sapu di sekitar bunga-bunga itu aku tidak lihat.”“Awas ya, kalau terjadi apa-apa pada Danu dan ternyata kamu atau pamanmu yang ada di balik ini semua maka aku akan buat perhitungan sama kamu!” Ancam ibu mertuaku.“Sabar, Bu. Sepertinya memang bukan Evi ataupun Paman, deh! Karena kalau itu ulah mereka tidak mungkin Evi berani membawa buntelan itu ke sini. Itu bisa membahayakan dirinya. Lagi pula kain ini seperti sudah terpendam lama di tanah. Lihat saja corak-corak warnanya sudah mulai pudar dan kainnya sudah agak lapuk,” kataku seraya membolak-balik buntelan kain batik itu.“Iya, benar! Tapi, kenapa tadi kita susah sekali ya, mau bukanya sampai digunting dan dibakar tidak bisa padahal ini kainnya ditarik saja rapuh,” sahut Mamah Atik.“Kia sekali tarik bisa. Mungkin karena Kia masih anak kecil,” timpal ibuku.Kami s
“Oh, penipu itu, Ta! Kamu sudah transfer?” tanya paman. Aku menggeleng.“Syukurlah kalau gitu. Untung saja belum kamu kirim.”“Suaranya benar-benar mirip denganmu, Nak Joko,” sahut ibuku.“Pakai HP-ku juga, Bu?” tanya Joko penasaran.“Enggak, Mas. Pakai nomor lain katanya HP-mu lowbat,” jawabku.“Aneh, sekali. HP-ku sama Opik ini baru saja dipakai untuk telepon istrinya,” kata Joko seraya menunjukkan HP-nya.“Lagi pula HP-ku tidak akan lowbat, Ta. Aku bawa casannya. Siapa yang mempermainkan kita begini kurang ajar sekali,” kata Joko lagi.“Syukurlah kamu tidak gegabah main transfer saja, Ta,” sahut bapak.“Kami tadi sudah mau transfer lalu dengar suara Paman teriak-teriak jadi langsung lari ke depan,” jelasku.“Alhamdulillah ... Allah melindungimu, Nak,” kata bapak lagi.“Benar kata Bapakmu, Ta. Syukurlah belum kamu transfer kalau sampai itu terjadi aku pun yang kelimpungan. Aku yakin orang itu kenal kalian berdua bahkan tahu orang-orang yang sering berinteraksi dengan kalian sampai t
Ibu dan paman langsung kicep diam. Mereka hanya saling lirik dan melototi satu sama lain.“Asih berkata benar dia memang lihat makhluk-makhluk aneh itu ....” ujar Joko menggantung ucapannya.“Aaa! Ngomong apa sih, Mas ... aku kan jadi takut,” teriak Evi. Dia merapatkan duduknya ke arah Joko.“Evi, jaga sikapmu atau kamu kucabein!” bentak Mamah Atik. Evi hanya senyum-senyum saja lalu mendekat ke arah Mamah Atik.“Apa Asih indigo seperti kamu, Jok, yang punya kelebihan bisa lihat-lihat yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang?” tanya ibu mertua.“Enggak tahu kalau itu Bu, tapi yang jelas Asih bisa lihat. Kalau dia bukan indigo mungkin efek dia dijadikan objek itulah. Ini pun aku lihat mereka masih berkeliaran di sini yang duduk persis di dekat Ibu pun ada,” jelas Joko.“Aaa! Apa sih, Joko! Kamu itu malah nakut-nakutin orang tua! Kualat nanti kamu!” bentak ibu seraya menoyor kepala Joko.“Kenapa mereka berkeliaran di rumah ini, Nak Joko?” tanya bapak.“Karena rumahnya rusak. Itu bun
Keharuan menyelimuti kepulangan Mas Danu. Aku merasa ini adalah pertemuan termanis kami dan paling berkesan. Seperti sudah menunggu ribuan tahun untuk sampai di perjumpaan ini.Bagaimana tidak aku menunggu belahan jiwaku siang malam selama dua hari dengan hati yang diselimuti kecemasan tidak terkira.Aku sudah berpasrah diri jika tidak bertemu lagi maka aku minta untuk Allah pertemukan dan satukan kami kelak di surganya.Akan tetapi Allah sangatlah sayang padaku hingga kami bisa bersama lagi.Kupindai setiap inci wajah suamiku tidak ada yang kurang darinya. Hanya sedikit lebih celong atau sayu matanya dan badannya juga bau keringat mungkin Mas Danu menahan kantuk dan juga tidak mandi. Nanti akan aku tanyakan padanya.Ibu mertuaku dan Mamah Atik dibantu Evi menjamu tamu kami. Tamu yang mengantarkan Mas Danu pulang lebih dari 5 motor. Bapak, paman, Joko, dan yang lainnya menemani mereka mengobrol. Aku segera menyiapkan baju Mas Danu. Dia kusuruh bersih-bersih badan terlebih dahulu.“Di
"Bilang aja enggak usah sungkan gitu.”“Enggak jadi nanti aja, hehe ....”“Ehalah. Dasar enggak jelas. Kenapa bilang aja, Dan.” Joko memukul pundak Mas Danu.“Nanti saja.” Kita lanjutkan makan dulu aku sudah lapar sekali.Aku geleng-geleng kepala melihat tingkah suamiku. Serindu ini aku padanya hingga semua gerak-geriknya aku perhatikan. Seolah aku takut kehilangan suamiku lagi.Karena penasaran dengan ucapan Mas Danu aku kembali ke kamar untuk mengaktifkan ponselnya.[Danu, aku sudah kembali dari rumah sakit. Kapan kamu akan menjengukku?] WA dari Maya dikirim kemarin sore.[Danu, apa kamu sedang bersama istrimu yang cerewet itu? Kok, HP-mu enggak aktif, sih?] Skip aja bikin moodku buruk. Maya benar-benar tidak jera dan tidak tahu malu.Lalu ada 7 panggilan tak terjawab. Dari Maya dan dua nomor asing.[Mas, tolong aku. Ini Wira, sekarang aku sedang sembunyi di rumah temanku karena dikejar-kejar penagih hutang. Mereka sampai bawa parang. Aku takut makanya aku kabur. Tolong Mas aku tida
Dalam setiap kehidupan, hampir semua orang memiliki masalah, tetapi ketika kamu khawatir kamu menggandakannya.—Bobby McFerrin.🌸🌸🌸“Apa ini laki-laki yang dibawa dia ke sana?” tanya Mamah Atik seraya memperlihatkan foto Mas Roni yang ada di HP-nya.“Iya, benar ini orangnya. Apakah mereka betul suami istri? Kalau bukan kami bisa bertindak tegas jika mereka datang lagi ke rumah Mbah Wiji,” tanya bapak yang pakai peci. Kata Mas Danu tadi beliau konsumen langganan di toko. Beliau juga yang pertama kali mengenali Mas Danu.“Iya, benar ini mereka dulu suami istri sempat cerai dan katanya sudah rujuk,” jawab Mas Danu jujur.Sesaat kami saling diam. Aku sendiri bahkan sampai bingung harus bagaimana. Malu iya, kesal iya, capek juga iya.Mbak Asih selalu saja melempari kami dengan bau busuk. Apalagi semenjak ingatannya bermasalah. Polah tingkahnya membuat nyesek di dada. Kalau hati dan pikiranku bukan buatan Tuhan pasti sudah rusak karena saking banyaknya masalah hidup yang harus aku hadapi.
"Maaf, Dik, bukan bermaksud menyembunyikan, tapi aku tidak ingin kamu kepikiran. Kasihan kamu, selama hidup denganku selalu saja terlibat masalah,” jawab Mas Danu seraya mencium pucuk kepalaku.“Jangan berkata begitu, Mas. Kita ini, kan, suami istri. Jadi, kita ini satu. Masalahmu ya, masalahku. Kalau kamu enggak mau melibatkanku seolah tidak menghargai diriku,” kataku lagi. “Maaf bukan gitu, Dik. Karena kamu sudah tahu jadi nanti kita bahas. Boleh aku tidur sebentar saja. Aku sangat lelah.”“Iya, Mas, tidurlah.”“Tidur di pangkuanmu, ya, rasanya nyaman sekali. Aku bisa langsung terlelap,” pinta Mas Danu, alis matanya dinaik turunkan menggodaku.“Dih, aleman! Sini!”Mas Danu meletakkan kepalanya di pangkuanku hingga dia terlelap. Kubelai rambutnya yang sudah mulai ada yang putih beruban padahal usia baru kepala tiga. Pasti suamiku banyak beban pikiran.Aku kembali mengambil ponsel Mas Danu yang kucas di atas nakas. Ada 3 WA masuk. Segera kubuka ternyata dari dua nomor asing itu lagi
Jadilah orang baik meski kebaikan kita tidak dianggap oleh orang lain atau bahkan karena kebaikan kita itu kita jadi dimanfaatkan orang lain. Tetaplah jadi orang baik karena kita tidak tahu kebaikan kita yang mana yang akan membawa kita ke surga. 🌸🌸🌸🌸“Ooh, ini keluarga Paman? Duuh, jangan begitu kalau sama keluarga. Mongga Bibi, masuk!” ajakku ramah. Mereka bingung terlebih Evi melihat perubahan sikapku.“Apaan sih, Mbak, tambah nyusahin aja deh, udah biarin aja mereka pulang. Sana pulang. Kamu bukan suamiku!” bentak Evi.“Ini rumah siapa? Aku tuan rumah, jadi aku yang menentukan mereka masuk atau tidak!” hardikku.Evi mendengus kesal, lalu masuk rumah dengan menghentak-hentakkan kakinya.“Jangan sungkan, mari-mari masuk!” ujakku lagi mempersilakan mereka masuk.Meski terlihat canggung mereka tetap masuk. Aku memang sengaja menyambut mereka selain kasihan karena perjalanan jauh, aku punya rencana untuk mereka.“Dik?” Mas Danu tampak mau protes.“Ssstt ... bukankah tamu adalah ra
"Ya, Allah, Asih memang benar-benar, ya, bikin orang tua khawatir! Semoga saja Ibumu baik-baik saja mau menerima maafnya Asih."“Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana ekspresi ibunya Asih pas tahu Asih sudah bertaubat,” sahut Mbak Wulan. “Yang pasti pertama kalinya adalah dia tidak percaya. Terus yang kedua bersyukur banget dan yang ketiga pasti Asih akan dicium-cium," kata Mbak Fitri.“Iya, semoga saja begitu. Ibunya nanti pasti akan terkejut sekali apalagi Asih sudah nge-prank sampai malam ini tidak pulang-pulang." “Iya, ya, sudah kita tinggalin dulu ya, Mbak, masakannya. Kita salat isya jamaah,” ucapku lagi kepada Mbak Fitri dan Mbak Wulan.Kami bergantian mengambil air wudu lalu melaksanakan salat Isya berjamaah. Ya, Tuhan, nikmat mana lagi yang pantas aku dustakan? Aku dikelilingi orang-orang baik dan juga memiliki tetangga yang baik, ipar yang baik, mertua yang baik, semoga tali persaudaraan kami sampai ke jannah-Mu.Setelah selesai salat Isya, kami menyaksikan Mbak Asih ke
Sebelum wudu aku bergegas menghampiri Mbak Wulan dan juga Mbak Fitri yang ternyata sedang sibuk meracik lalapan untuk diletakkan di dalam nampan panjang.“Mbak Fitri, Mbak Wulan, maaf, ya, aku jadi cuekin kalian berdua, loh. Bukan maksud hati mau mencuekin kalian berdua, cuman tadi Mbak Asih banyak curhat enggak enak juga kalau ditinggal. Maaf banget ya, Mbak,” ucapku tulus.“Tidak apa-apa, Ta. Kami happy-happy aja kok! Di sini enggak usah merasa dicuekin. Lagi pula kan, tuan rumahnya bukan cuma kamu. Ada ibumu, ada mama mertua kamu. Kami tadi asik ngobrol, tapi karena kamu memang kebetulan lama makanya mereka nyusul ke sana. Semua sudah selesai, kita tinggal bikin sambal terasi aja, bikinnya nanti kalau bapak-bapak sudah pada pulang. Kalau bikin sekarang nanti enggak seger," jawab Mbak Wulan.“Iya, betul! Apa yang dibilang Fitri. Kami enjoy aja kok, lagi pula mungkin Mbak Asih memang lagi merasa ingin didengarkan, tapi sepertinya happy ending, ya? Sebab tadi kelihatan dari sini kamu
"Alhamdulillah, terima kasih banyak ya, Ta. Kamu sungguh berhati mulia. Aku menyesal sudah menyia-nyiakanmu selama ini."“Sama-sama, Mbak."“Oh, ya, Ita, nanti juga aku mau belajar ngaji Tahsin ikut kamu pengajian di rumah Ustazah, boleh?"“Boleh, pokoknya boleh semua kalau itu untuk kebaikan, Mbak Asih," jawabku semangat.“Sekali lagi, terima kasih atas kesabaranmu, aku jadi bisa begini. Karena kesabaran ibu dan doa ibu, aku jadi bisa memperbaiki diri seperti ini. Aku akan buktikan ke kamu dan orang-orang yang sudah menghinaku bahwa aku bisa jadi lebih baik lagi dari sebelumnya."“Nah, gitu dong, Mbak, semangat pokoknya! Mbak Asih harus tetap semangat dan istiqomah, bagaimana pun nanti rintangan dan ujiannya. Aku yakin, Mbak Asih, bisa karena aku tahu Mbak Asih ini Wonder Woman."“Wonder Woman sudah kayak lagunya Mulan Jameela aja. Makasih banyak, ya, adikku yang cantik. Alhamdulillah aku malam ini bahagia sekali, Ita."“Sama-sama, Mbakku yang cantik. Aku pun bahagia," jawabku.Kami
Sejatinya manusia itu memang berproses, dari yang tidak tahu apa-apa hingga tahu segalanya.Itulah sebabnya pendidikan sangat penting untuk kehidupan kita baik itu pendidikan agama, pendidikan di bangku sekolahan, ataupun pendidikan dari lingkungan sekitar. Itu semua yang akan menyebabkan kita jadi lebih baik, dewasa, dan bisa menyikapi segala sesuatu dengan adil sesuai porsinya.Aku percaya memang semuanya butuh proses, begitupun dengan Mbak Asih. Siapa yang akan menyangka dengan tiba-tiba di senja ini penuh dengan kejutan. Dia menyadari semua kesalahannya, dia menyadari semua kekhilafannya.Senja bahagia bagiku dan keluargaku, meskipun masih banyak kerikil yang menghalangi jalan hidup kami di depan. Salah satunya adalah teror yang ditujukan untuk keluarga kecilku. Tapi, itu semua tidak berarti apa-apa karena aku malam ini sungguh bahagia dengan perubahan Mbak Asih.Terima kasih ya, Allah ... Engkau telah kabulkan doa kami. Terima kasih ya, Allah, satu demi satu kehidupan yang aku j
Aku tersenyum menanggapi curhatan Mbak Asih. Dia memang benar-benar luar biasa bisa mengendalikan emosinya saat bertemu dengan orang yang dicintainya sekaligus orang yang membuat hidupnya berantakan dan hancur.“Alhamdulillah ... semoga Mbak Asih tetap istiqomah pada keputusan, Mbak Asih. Mbak Asih tidak goyah lagi. Aku doakan semoga suatu hari nanti akan dapat jodoh yang jauh lebih baik dari Mas Roni. Kalau Ibu tahu ini pasti Ibu senang banget, Mbak, nanti aku kasih tahu Ibu, ya?” ucapku.“Jangan, Ta, jangan dikasih tahu ibu, biar aku saja yang bilang sekaligus aku meminta maaf pada ibu,” jawab Mbak Asih.“Oh, gitu, Mbak. Ya, sudah baiklah ... semangat ya, Mbak, untuk hidup yang lebih baik lagi. Intinya aku hari ini senang sekali bisa melihat Mbak Asih begini. Oh, ya, lusa kita ada ruqyah lagi, Mbak Asih, mau kan, di ruqyah lagi?” tanyaku.“Mau, dong, Ta! Setelah ruqyah dua kali kemarin aku memang merasa lebih nyaman dan tenang gitu. Jadi, kalau besok aku di ruqyah lagi aku senang. T
“Mbak Asih, mau ikut masak-masak atau tetap di sini?” tanyaku padannya.“Aku, mau di sini saja, Ta, sambil menunggu waktu Isya Aku ingin ngaji,” jawab Mbak Asih.“Alhamdulillah ... aku senang sekali. Mbak Asih bisa begini. Akhirnya doa-doa tulus kami untuk Mbak Asih dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Kalau boleh tahu memang tadi Mbak Asih ketemu dengan Mas Roni, apa yang dibicarakan, kok sampai Mbak Asih bisa berubah sedrastis ini?” tanyaku padanya.Aku penasaran sekali karena setelah pertemuan tadi dengan Mas Roni Mbak Asih tiba-tiba saja langsung berubah. Aku percaya tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah dan Allah itu maha membolak-balikkan hati hambanya itu sebabnya Mbak Asih bisa berubah seperti ini.Aku hanya penasaran saja apa yang katakan dengan Mas Roni sampai membuatnya tersadar bahwa yang dilakukannya selama ini adalah salah.“Tadi itu, Ta, aku dan Mas Roni berantem hebat,” jawab Mbak Asih.“Berantem gimana maksudnya? Mas Roni tidak main fisik, kan, Mbak? Dia tidak
“Iya, ayo kita salat dulu, Ta! Nanti keburu waktu maghribnya habis!” ajak Mbak Asih.Aku, Mbak Wulan, Mbak Fitri, saling berpandangan heran melihat tingkah Mbak Asih yang tiba-tiba bisa senormal ini. Ya, Allah, semoga saja Mbak Asih tidak akan kumat lagi dan benar-benar menjadi orang normal seperti sebelumnya.“Ini coklat dari mana, Ta?" tanya Mama Atik.“Mbak Asih yang bawa. Itu katanya dikasih Mas Roni. Tadi mereka habis ketemuan di ujung gang sana.”“Ya, Allah, ketemuan sama istri cuma dikasih coklat!?” Mamah Atik pun heran dengan tingkah Mas Roni.“Iya, gitulah, Mah, namanya juga Mas Roni. Ya, sudah, aku salat dulu minta tolong itu kue cubitnya, ya, Mah? bentar lagi mateng.”“Iya, ya, sudah sana kalian salat dulu.”selesai salat aku bermunajat pada Allah Subhanahu Wa Ta'ala atas segala nikmat yang telah diberikan padaku dan keluargaku hari ini. Semoga apa yang kami lakukan hari ini jika terdapat banyak kekhilafan Allah yang mengampuni dosa-dosa kami dan apabila terdapat banyak ke
"Ada apa, ya, Guccinya bisa jatuh sendiri, Ta?” tanya Mbak Wulan..“Setahu, aku, Mbak, biasanya sih, kesenggol kucing. Dia itu kan, punya kucing kecil. Dia tuh suka lari sana, lari sini dan suka merobohkan benda-benda gitu, tidak sengaja sih,” jawabku beralasan.“Ya, sudah enggak usah di perhatikan lebih baik kita sekarang masak sebentar lagi Magrib dan suami-suami kita pasti akan pulang," imbuhku.Kami menyiapkan bahan-bahan yang akan kami masak setelah Maghrib, meski sebenarnya hatiku gelisah karena memikirkan Gucci yang jatuh tadi, tapi aku berusaha bersikap biasa saja agar tetanggaku tidak mengetahui masalah yang kami hadapi saat ini.“Ita ... assalamualaikum lihat nih aku dapat coklat,” sapa Mbak Asih, dia masuk dari pintu samping.”“Coklat dari mana, Mbak, banyak sekali?” jawabku. Mbak Asih masih menenteng plastik berlogo minimarket terkenal seantero negeri ini.“Dapat, dari Mas Roni. Tadi aku ketemuan sama dia di ujung gang sana,” jawab Mbak Asih. Berarti benar apa yang diceri
“Wah, boleh itu nanti habis Maghrib. Kalu kita masak-masaknya sekarang kan, ini sudah mau Maghrib lebih baik kita persiapan untuk salat dulu.”Tak lama berselang Mbak Wulan dan Mbak Fitri datang.“Waalaikumsalam ... alhamdulillah ada tamu jauh silakan Mbak Fitri, Mbak Wulan, masuk. Ayo, kita langsung ke ruang tengah saja!” ajakku pada kedua temanku. Aku bahagia sekali kalau ada tamu yang datang ke rumah.“Masya Allah ... Ita, Mbak benar-benar baru kali ini masuk rumah kamu. Waktu pengajian itu kan, tidak sempat datang yang datang suami. Masya Allah rumahmu bagus sekali, ya. Doakan Mbak Fitri biar bisa punya juga rumah begini, ya, walaupun tidak sebagus punya kamu setidaknya mirip-mirip sedikit lah, Mbak seneng loh kalau main di rumah orang kaya, tapi orang kayanya baik hati,” ucap Mbak Fitri.“Alhamdulillah Mbak ... ini semua berkat doa orang tua dan kegigihan kerja keras suamiku. Mari silakan, aku ambilin minum dulu ya, Mbak Wulan sama Mbak Fitri mau minum apa, nih?”“Ya, Allah, sera