“Yang kamu lakukan sekarang sudah benar, Bi.” Alya berkomentar setelah Bian menceritakan apa yang sudah terjadi dan dialaminya selama lima tahun ini. Alya tidak menyalahkan Bian. Perempuan itu sangat memahami kondisi menantunya. Yang penting sekarang Bian mau bertanggung jawab akan perbuatannya.“Iya, Ma,” sahut Bian menimpali. Kalau setiap bicara dengan Camila percakapan mereka selalu diwarnai perdebatan, lain halnya dengan Alya. Sikap Alya yang bijak dan tidak banyak bicara membuat Bian menyeganinya.Alya kemudian meninggalkan Bian dan Tatiana berdua. Memberikan kesempatan pada pasangan muda itu untuk bersama. Alya tahu mereka butuh banyak waktu untuk melepas rindu dan berbagi rasa.“Yang, aku mau satu malam aja sama-sama kamu dan Angel, nggak apa-apa kan?” pinta Bian. Dia akan menggunakan seharian ini untuk mendekati dan mengambil hati anaknya itu.“Iya, Bi, tapi kamu sabar ya kalau Angel masih belum mau sama kamu.”“Hm… iya, yang penting kamu mau sama aku kan?” Bian mengusap lemb
Rei tahu dia tidak perlu bersusah-susah memaksa Feli untuk membantu Bian. Feli bisa saja bersaksi atas permintaan pihak penyidik. Tapi Rei ingin Feli melakukannya dengan sukarela, bukan karena terpaksa. Rei tidak tahu, tapi ada dorongan dari dalam hati yang begitu kuat untuk melakukannya.Sore itu Rei ikut antri di ruang tunggu poli kejiwaan bersama pasien lainnya. Rei datang sendiri tanpa ada yang menemani. Tadinya Bian dan Tatiana ingin ikut, tapi Rei melarang mereka. Masih belum aman bagi Bian untuk berkeliaran. Hal tersebut terlalu riskan dan akan mencelakai dirinya sendiri.“Bapak Reinhard Rafael Danner!” Suster keluar dari ruang dokter dan memanggil nama Rei.“Iya, Sus!” Rei bersuara kemudian berdiri.“Silhkan masuk, Pak!” Suster mempersilahkan dengan ramah.“Terima kasih.” Rei menerbitkan seulas senyum begitu pandangan suster itu tidak lepas darinya. Bahkan Rei bisa merasa punggungnya masih menjadi satu-satunya objek yang memenuhi ruang mata perempuan berpakaian putih-putih ter
Duduk bersandar di tembok yang warna catnya sudah tidak karuan, Bian memejamkan matanya. Lantai tempatnya duduk dan menginjakkan kaki terasa sangat dingin. Terlalu berlebihan kalau Bian bilang sedingin es apalagi salju. Tapi hawanya begitu menusuk sampai ke tulang.Membuka matanya, Bian menatap dirinya sendiri yang memakai baju berwarna biru dongker. Pun dengan celananya yang berwarna senada. Pakaian yang melekat di badannya kini adalah baju seragam tahanan. Sama dengan warga binaan lainnya. Setelah lima tahun, akhirnya Bian berada kembali di tempat ini. Bedanya, kalau dulu Bian berdua menghuni ruang pengap ini, sekarang hanya sendiri.Ini adalah hari ketiga Bian berada di hotel prodeo. Setelah tempo hari Bian menghubungi Hotma—pengacaranya, akhirnya setelah berbicara panjang lebar dan berdiskusi mengenai segala sesuatunya, Bian pun menyerahkan diri setelah diurus oleh pengacaranya itu.“Fabian, ada yang berkunjung!” Suara tegas sipir yang bertugas membuat Bian bangkit dari duduknya.
Proses peradilan terhadap Bian akhirnya pun diselenggarakan. Pada persidangan sebelumnya turut menghadirkan Feli sebagai saksi. Dan sekarang adalah persidangan terakhir yang menentukan keputusan hakim atas kasus Bian.Banyak yang menghadiri dan ikut menyaksikan persidangan yang akan menentukan nasib Bian selanjutnya. Mulai dari keluarga hingga teman-teman. Semua terlihat tegang dan mengikuti dengan hati harap-harap cemas.Sebagai saksi kunci, Feli sudah memberikan keterangan yang sebenar dan sejujurnya. Bahwa Gladys pernah mengakui padanya telah membunuh Darren karena tidak mau bertanggung jawab atas kehamilannya. Hanya saja Feli tidak tahu apakah Dylan adalah anak hasil hubungan Gladys bersama Darren, Willy or someone else.Akhirnya kesaksian Feli lah yang menyelamatkan Bian dari tuntutan apa pun. Bian terbukti secara konkrit dan meyakinkan tidak terlibat dalam kasus pembunuhan Darren. Hal itu membuatnya terbebas dari segala macam tuduhan dan tuntutan.Suasana di dalam ruang sidang p
“Bi, aku rasa kamu terlalu kejam,” komentar Tatiana saat Bian menyampaikan keinginannya melaporkan Camila pada pihak yang berwajib atas kejahatannya malam itu.“Lebih kejam mana aku atau mami? Andai saja mami nggak melakukannya, sudah pasti sejak lama aku sudah bebas. Mungkin aku hanya akan ditahan sebulan dua bulan karena faktanya aku memang nggak salah. Coba kamu bayangkan, anakku sendiri bahkan nggak kenal siapa aku,” ungkit Bian mengungkap dosa-dosa Camila. Mengingat itu semua dia kembali merasa sakit.“Tapi walau bagaimanapun mami tetap ibu kamu, Bi. Anggap saja dia khilaf. Kamu nggak usah jeblosin dia ke penjara. Kasihan, Bi, nggak boleh gitu sama orang tua.”“Mami harus tahu kesalahannya, Yang. Kalau nggak gitu mami nggak akan pernah sadar. Malah sampai sekarang mami masih sering nyepelein kamu kan? Aku nggak terima mami masih saja menganggap kamu rendahan dan kaum tipis.”“Nggak apa-apa, Bi, biarin aja. Asalnya aku memang orang tipis kok. Tapi aku nggak mau kamu jadi anak yang
“Kok hasilnya begini?” Rei memprotes hasil rekrutmen dan assessment karyawan baru yang disodorkan Franda padanya. Nama-nama kandidat yang menurutnya oke, ternyata berdasarkan hasil psikotes dinyatakan tidak qualified. Semua jauh di luar ekspektasinya.“Iya, Pak. Memang begitu hasil yang saya terima,” kata Franda menimpali.“Apa nggak salah? Nggak benar ini.” Rei merasa kurang yakin.“Nggak, Pak, sudah benar kok. Biro psikologi milik kakak saya sudah kredibel, Pak. Bapak nggak usah ragu lagi.” Franda mencoba meyakinkan Rei yang terlihat bimbang. Keningnya berkerut tapi tetap saja tidak mengurangi kadar ketampanannya.Rei memerhatikan lagi hasil psikotes karyawan barunya lantas mencocokkan dengan curriculum vitae mereka satu per satu. Lama laki-laki itu termenung hingga akhirnya mengucapkan kata, “Bisa saya bertemu dengan owner biro psikologi itu atau minimal penanggung jawabnya?”“Bisa banget, Pak. Ketemu sama sepupu saya saja langsung, dia owner-nya.”“Ayo kalau begitu!”Sepuluh meni
Lima belas menit sudah Bian bengong sendiri di luar kelas Angelica. Sama seperti tadi pagi, siang ini Bian kembali ke sekolah anaknya itu untuk menjemputnya. Karena khawatir akan terlambat, maka Bian pun gerak cepat. Tidak tahunya Angel masih belum keluar dari kelas.Setelah kejadian malam kemarin Angel melunak padanya. Buktinya dia mau Bian antar sekolah tadi pagi dan jemput siang ini.Bian membuang puntung rokoknya jauh-jauh bersamaan dengan seorang perempuan yang berjalan menghampirinya. Dari pakaian yang dia gunakan sepertinya dia adalah salah seorang pengajar di sekolah ini.“Selamat siang, Pak. Sedang menunggu siapa?” sapanya ramah pada Bian.“Saya sedang menunggu anak saya, namanya Angelica. Apa pulangnya masih lama?”Perempuan itu seperti tersentak, mulutnya setengah terbuka tapi tidak membulat sempurna. “Jadi Bapak orang tuanya Angel? Maksud saya suami ibu Tatiana?” Respon perempuan itu memberi keyakinan pada Bian pasti dia sedang memikirkan yang macam-macam mengenai diriny
Sepanjang perjalanan pulang, Angel terus memerhatikan rambutnya melalui kaca kecil yang selalu dia bawa dan berada di dalam tas. Sejak tadi senyum tipis begitu betah berada di bibirnya. Anak itu merasa senang hari ini karena apa yang sudah lama diimpikannya akhirnya dikabulkan Bian. Kalau dengan Tatiana mana bisa dia begini. “Kamu senyum terus dari tadi,” ujar Bian memerhatikan dari balik kacamata hitamnya.“Aku senang banget soalnya, Pi, tapi nanti Amy bakal marah nggak ya?” “Kamu tenang aja. Ada Papi, Amy kamu nggak akan berani marah-marah. Kamu nggak usah khawatir, okay?”“Okay, Pi!” Angel tersenyum senang. Baginya Bian adalah sumber lain kebahagiaannya. Andai saja dari dulu mereka bisa bersama.Angel tidak sabar ingin menunjukkan penampilan barunya pada Tatiana. Begitu turun dari mobil anak itu langsung berlari masuk ke dalam rumah.“Amy…! Amy…!” Suaranya menggema ke setiap penjuru ruangan.Tidak ada sahutan apa pu