Bian mendekap Tatiana erat dan sudah memejamkan mata. Pun dengan Tatiana. Tapi walaupun matanya terpejam, pikirannya masih terus bekerja. Meski tubuh dan batinnya lelah, keinginan untuk menunda semua rasa ingin tahunya hingga besok kembali menggurita.Semua ini menjadi tanda tanya besar bagi Tatiana. Ternyata serapi itu Camila menyimpan semua darinya. Sulit dipercaya, tapi nyata.Tatiana menyingkirkan tangan Bian pelan-pelan dari tubuhnya. Dengan teramat hati-hati perempuan itu turun dari tempat tidur tanpa menimbulkan suara apa pun. Tatiana tidak ingin Bian terbangun karena gerakannya. Yakin Bian sudah terlelap, Tatiana berjalan mengendap-ngendap keluar kamar. Mungkin ada sesuatu yang bisa ditemukannya dari dalam apartemen ini yang bisa menjelaskan sesuatu yang lain padanya. Ada dua kamar di apartemen ini. Keduanya terletak berjauhan. Tatiana memasuki kamar itu. Tempat tidur double bed, lemari pakaian serta meja dan kursi adalah furnitur standar yang ditemuinya di sana. Tatiana me
Tatiana terdiam mendengar kata-kata romantis yang diucapkan Bian. Pikirannya masih menelusuri kebenaran, hingga akhirnya dia menganggukkan kepala. “Iya, aku percaya sama kamu, Bi.”Kali ini Bian baru benar-benar bisa mengembuskan napas lega mendengar jawaban Tatiana. “Nggak ada lagi yang mau ditanyain kan? Kamu nggak curiga-curiga lagi sama aku kan?” Tatiana menggelengkan kepala lalu memejamkan mata. Pikirannya jauh lebih ringan sekarang. Mungkin dia bisa tidur dengan tenang sampai pagi.“Aku tahu mungkin pelarianku selama lima tahun ini dan alasannya nggak membuat kamu puas. Tapi aku juga tahu pasti kamu cukup cerdas untuk mencernanya. Oh iya, Yang, mana handphone kamu? Aku mau lihat foto-foto anak kita.” Suara Bian yang terdengar jelas di telinganya kembali membuat Tatiana membuka mata.“Masih di dalam tas.”“Aku ambil ya?”Bian beranjak dari tempat tidur setelah Tatiana mengizinkannya. Melangkah pelan, lel
Menginjak ubin dingin apartemennya, Bian keluar dari kamar. Sambil melewati ruang tengah yang akan menghubungkan ke ruang depan lelaki itu bertanya-tanya sendiri siapa kira-kira yang datang bertamu tengah malam begini.Apa mungkin delivery man yang mengantar cheese burger yang biasa dia pesan?Gila! Mana ada delivery man tengah malam begini. Lagi pula Bian tidak memesan apa pun. Dia memang lapar, tapi sayangnya perutnya sudah terlanjur kenyang. Bian lebih tertarik untuk melahap Tatiana meski pada akhirnya niat itu dia tunda dulu. Setidaknya sampai besok. Setelah mereka merasa sama-sama siap untuk berbagi rasa.Bian menepis dugaannya jauh-jauh. Dia tidak akan pernah tahu kalau tidak membuka pintu.“Hon, kamu kenapa ninggalin aku?” Perempuan cantik dengan tinggi tubuh seratus delapan puluh tujuh sentimeter yang tingginya selisih dua senti dari Bian kini berdiri di hadapannya dengan raut meminta penjelasan. Bian tampak terkejut namun lekas menguasai diri. “Greta, sorry, aku tadi ada uru
“Njir, sakit banget!” Bian mengaduh saat Tatiana mengobati dahinya yang kini terlihat bengkak. Darah yang tadi menitik beberapa setetes sekarang sudah kering.“Tahan sedikit ya, Bi…” Tatiana ikut meringis seolah mengalami apa yang dirasakan Bian.“Gimana bisa tahan kalo sakit kayak gini! Emang bangke tu orang! Dasar anj--““Ssst…!” Tatiana buru-buru menutup mulut Bian dengan tangan sebelum isi kebun binatang lolos keluar dari mulut tanpa filternya itu. “Udahlah, Bi, jangan marah-marah terus, nggak ada gunanya. Yang ada nanti kamu malah tambah sakit,” kata Tatiana menasihati. Dari dulu sampai sekarang Bian ternyata belum berubah. Masih identik dengan umpatan kasarnya dan suka bicara sembarangan.Tatiana menumpuk bantal lebih tinggi dan membantu Bian berbaring di atasnya. Perempuan itu menyelimuti suaminya.Rasa kantuk yang menderanya sudah menghilang karena kejadian dramatis yang baru saja dialaminya. Terlalu banyak hal-hal mengejutkan y
Keduanya hampir saja ketiduran saat mendengar suara bel menyeruak masuk dan menggema ke seisi ruangan. Bian mengesah malas. Matanya yang ngantuk saling menyaingi dengan perutnya yang lapar. Tapi akhirnya bagian tengah tubuhnya itulah yang menjadi pemenang.Malas-malasan Bian turun dari tempat tidur kemudian menyeret langkah berat menuju ruang depan. Baru saja dia akan meninggalkan kamar, Bian baru sadar kalau hanya menggunakan celana boxer.‘Oh, shit! Pikiranku di mana?’Bian mencari bajunya, tapi tak menemukannya. Sebelum memulai sesi panas percintaan tadi Bian lupa meletakkannya di mana. Lelaki itu mengingat-ingat tapi fungsi otaknya tidak bekerja dengan baik.“Kamu cari apa, Bi?”“Baju aku mana?”“Ini lagi aku pakai.” Tatiana tertawa melihat Bian yang kebingungan sendiri sembari menunjuk dadanya.Astaga! Bian menepuk jidatnya sendiri. ‘Kayaknya otakku mulai gesrek,’ batinnya.“Yang, kamu kenapa ngg
Semilir angin berhembus pelan. Tapi tidak cukup untuk menggoyangkan ujung rambut Tatiana. Sore itu mereka menyusuri jalan di kota Madrid setelah tadi mengunjungi royal palace dan berswafoto di depannya. Tatiana juga sempat menyaksikan pergantian beberapa penjaga di sana. Sayangnya mereka tidak boleh masuk.Mengobati kekecewaan istrinya, Bian mengajak Tatiana mengunjungi pusat perbelanjaan. Sayangnya juga Tatiana sudah kehilangan selera untuk shopping. Saat ini kepalanya dipenuhi oleh berbagai macam pikiran tentang keputusan mereka tadi. Bagaimana caranya Bian menyerahkan diri? Lantas apa nanti Bian akan dipenjara lagi?“Kamu kenapa lesu kayak gitu?” tanya Bian mengamati muka Tatiana yang tidak bersemangat.“Nggak apa-apa, Bi.” Tatiana mendustai suaminya. Tatiana tidak mau Bian ikut-ikutan goyah melihatnya yang meragu.“Yakin nih kita nggak mau beli apa-apa?” “Nggak usah, Bi, aku bisa sama-sama kamu kayak sekarang udah lebih dari cukup kok. Aku nggak mau yang lain lagi.”“Gombal!” Bi
Bian langsung berdiri saat melihat Tatiana datang. Di belakangnya petugas hotel membawakan koper Tatiana.Sebelum beranjak Bian masih sempat melihat ke arah pria bertopi yang masih terlihat serius membaca majalah atau mungkin pura-pura serius. Ah, entahlah. Entah siapa dia sebenarnya. Sikapnya sangat mencurigakan dan terlihat tidak biasa. Bian mengabaikannya dan mencoba menganggapnya biasa saja. Nyatanya sikap aneh pria itu sangat mengganggu pikirannya.“Kamu kenapa gelisah terus, Bi?” tanya Tatiana yang menyadari perubahan sikap Bian. Saat itu mereka sudah berada di café seberang hotel ditemani oleh dua porsi churros dan juga dua gelas casera.“Yang, tadi ada orang aneh di lobi hotel.”“Aneh gimana?” Tatiana bertanya lagi usai menyeruput casera-nya. Tenggorokannya menjadi lebih segar setelah dialiri cairan yang terbuat dari sparkling water yang kemudian ditambahkan sedikit aroma lemon ke dalamnya.“Tadi pas aku duduk di lobi ada orang yang ngeliat aku. Dia kayak yang curi-curi pandan
“Duh… gimana ya, bukan aku nggak mau menolong kamu, tapi pesawatku lagi nggak ada yang stand by.”“Please, aku butuh pesawatnya sekarang,” mohon Bian begitu penuh harap.“Tapi untuk apa?” Pria yang bicara dengan Bian itu bertanya heran.“Aku ingin pulang ke Indonesia sekarang.”“Yang benar saja, Bian?” Kiano, lelaki yang sedang berbicara dengan Bian bertambah kaget. Dia baru akan naik ke tempat tidur untuk beristirahat ketika tiba-tiba saja mendapat telepon dari nomor asing dan tak dikenal.“Aku akan pulang ke Indonesia dan menyerahkan diri. Kamu jangan takut, kamu nggak akan aku libatkan dalam masalah ini.” Bian mencoba memberi penjelasan pada Kiano dan berharap temannya itu bisa mengerti. Awalnya mereka tidak tahu sama sekali nomor telepon Kiano, tapi berkat bantuan teman-teman Tatiana yang mengenal Adizty, mereka berhasil mendapatkannya.Kiano menghela napas, semuanya ini berat dan membuatnya serbah salah. Kiano ingat, lima tahun yang lalu ada orang yang menyewa private jet-nya. A