“Njir, sakit banget!” Bian mengaduh saat Tatiana mengobati dahinya yang kini terlihat bengkak. Darah yang tadi menitik beberapa setetes sekarang sudah kering.“Tahan sedikit ya, Bi…” Tatiana ikut meringis seolah mengalami apa yang dirasakan Bian.“Gimana bisa tahan kalo sakit kayak gini! Emang bangke tu orang! Dasar anj--““Ssst…!” Tatiana buru-buru menutup mulut Bian dengan tangan sebelum isi kebun binatang lolos keluar dari mulut tanpa filternya itu. “Udahlah, Bi, jangan marah-marah terus, nggak ada gunanya. Yang ada nanti kamu malah tambah sakit,” kata Tatiana menasihati. Dari dulu sampai sekarang Bian ternyata belum berubah. Masih identik dengan umpatan kasarnya dan suka bicara sembarangan.Tatiana menumpuk bantal lebih tinggi dan membantu Bian berbaring di atasnya. Perempuan itu menyelimuti suaminya.Rasa kantuk yang menderanya sudah menghilang karena kejadian dramatis yang baru saja dialaminya. Terlalu banyak hal-hal mengejutkan y
Keduanya hampir saja ketiduran saat mendengar suara bel menyeruak masuk dan menggema ke seisi ruangan. Bian mengesah malas. Matanya yang ngantuk saling menyaingi dengan perutnya yang lapar. Tapi akhirnya bagian tengah tubuhnya itulah yang menjadi pemenang.Malas-malasan Bian turun dari tempat tidur kemudian menyeret langkah berat menuju ruang depan. Baru saja dia akan meninggalkan kamar, Bian baru sadar kalau hanya menggunakan celana boxer.‘Oh, shit! Pikiranku di mana?’Bian mencari bajunya, tapi tak menemukannya. Sebelum memulai sesi panas percintaan tadi Bian lupa meletakkannya di mana. Lelaki itu mengingat-ingat tapi fungsi otaknya tidak bekerja dengan baik.“Kamu cari apa, Bi?”“Baju aku mana?”“Ini lagi aku pakai.” Tatiana tertawa melihat Bian yang kebingungan sendiri sembari menunjuk dadanya.Astaga! Bian menepuk jidatnya sendiri. ‘Kayaknya otakku mulai gesrek,’ batinnya.“Yang, kamu kenapa ngg
Semilir angin berhembus pelan. Tapi tidak cukup untuk menggoyangkan ujung rambut Tatiana. Sore itu mereka menyusuri jalan di kota Madrid setelah tadi mengunjungi royal palace dan berswafoto di depannya. Tatiana juga sempat menyaksikan pergantian beberapa penjaga di sana. Sayangnya mereka tidak boleh masuk.Mengobati kekecewaan istrinya, Bian mengajak Tatiana mengunjungi pusat perbelanjaan. Sayangnya juga Tatiana sudah kehilangan selera untuk shopping. Saat ini kepalanya dipenuhi oleh berbagai macam pikiran tentang keputusan mereka tadi. Bagaimana caranya Bian menyerahkan diri? Lantas apa nanti Bian akan dipenjara lagi?“Kamu kenapa lesu kayak gitu?” tanya Bian mengamati muka Tatiana yang tidak bersemangat.“Nggak apa-apa, Bi.” Tatiana mendustai suaminya. Tatiana tidak mau Bian ikut-ikutan goyah melihatnya yang meragu.“Yakin nih kita nggak mau beli apa-apa?” “Nggak usah, Bi, aku bisa sama-sama kamu kayak sekarang udah lebih dari cukup kok. Aku nggak mau yang lain lagi.”“Gombal!” Bi
Bian langsung berdiri saat melihat Tatiana datang. Di belakangnya petugas hotel membawakan koper Tatiana.Sebelum beranjak Bian masih sempat melihat ke arah pria bertopi yang masih terlihat serius membaca majalah atau mungkin pura-pura serius. Ah, entahlah. Entah siapa dia sebenarnya. Sikapnya sangat mencurigakan dan terlihat tidak biasa. Bian mengabaikannya dan mencoba menganggapnya biasa saja. Nyatanya sikap aneh pria itu sangat mengganggu pikirannya.“Kamu kenapa gelisah terus, Bi?” tanya Tatiana yang menyadari perubahan sikap Bian. Saat itu mereka sudah berada di café seberang hotel ditemani oleh dua porsi churros dan juga dua gelas casera.“Yang, tadi ada orang aneh di lobi hotel.”“Aneh gimana?” Tatiana bertanya lagi usai menyeruput casera-nya. Tenggorokannya menjadi lebih segar setelah dialiri cairan yang terbuat dari sparkling water yang kemudian ditambahkan sedikit aroma lemon ke dalamnya.“Tadi pas aku duduk di lobi ada orang yang ngeliat aku. Dia kayak yang curi-curi pandan
“Duh… gimana ya, bukan aku nggak mau menolong kamu, tapi pesawatku lagi nggak ada yang stand by.”“Please, aku butuh pesawatnya sekarang,” mohon Bian begitu penuh harap.“Tapi untuk apa?” Pria yang bicara dengan Bian itu bertanya heran.“Aku ingin pulang ke Indonesia sekarang.”“Yang benar saja, Bian?” Kiano, lelaki yang sedang berbicara dengan Bian bertambah kaget. Dia baru akan naik ke tempat tidur untuk beristirahat ketika tiba-tiba saja mendapat telepon dari nomor asing dan tak dikenal.“Aku akan pulang ke Indonesia dan menyerahkan diri. Kamu jangan takut, kamu nggak akan aku libatkan dalam masalah ini.” Bian mencoba memberi penjelasan pada Kiano dan berharap temannya itu bisa mengerti. Awalnya mereka tidak tahu sama sekali nomor telepon Kiano, tapi berkat bantuan teman-teman Tatiana yang mengenal Adizty, mereka berhasil mendapatkannya.Kiano menghela napas, semuanya ini berat dan membuatnya serbah salah. Kiano ingat, lima tahun yang lalu ada orang yang menyewa private jet-nya. A
Mereka semakin dekat dengan polisi yang sedang melakukan razia. Sama dengan kendaraan lainnya, taksi yang mereka tumpangi juga diberhentikan. Polisi menanyakan surat-surat kendaraan pada supir taksi. Sembari menanti supir mengeluarkan SIM dan STNK dari dalam dompet, polisi mencondongkan kepalanya melongok ke dalam mobil.Genggaman tangan Bian dan Tatiana semakin erat saat pria berbaju coklat itu melihat ke jok belakang. Tatiana melempar senyum, sedangkan Bian menganggukkan sedikit kepalanya.Keduanya mengembuskan napas lega ketika akhirnya polisi itu melepaskan tatapan dari mereka dan kembali fokus pada supir taksi yang menunjukkan surat-surat kendaraan.Polisi itu tidak banyak bicara. Setelah memeriksa surat-surat kendaraan dia pun pergi. Di belakang taksi, kendaraan lain sudah menunggu untuk diperiksa.Bian dan Tatiana kembali saling pandang dengan senyum lega. Dan supir taksi kembali melanjutkan perjalanan mereka yang tertunda.Sepanjang perjalanan ke rumah Tatiana, Bian membatin
“Yang kamu lakukan sekarang sudah benar, Bi.” Alya berkomentar setelah Bian menceritakan apa yang sudah terjadi dan dialaminya selama lima tahun ini. Alya tidak menyalahkan Bian. Perempuan itu sangat memahami kondisi menantunya. Yang penting sekarang Bian mau bertanggung jawab akan perbuatannya.“Iya, Ma,” sahut Bian menimpali. Kalau setiap bicara dengan Camila percakapan mereka selalu diwarnai perdebatan, lain halnya dengan Alya. Sikap Alya yang bijak dan tidak banyak bicara membuat Bian menyeganinya.Alya kemudian meninggalkan Bian dan Tatiana berdua. Memberikan kesempatan pada pasangan muda itu untuk bersama. Alya tahu mereka butuh banyak waktu untuk melepas rindu dan berbagi rasa.“Yang, aku mau satu malam aja sama-sama kamu dan Angel, nggak apa-apa kan?” pinta Bian. Dia akan menggunakan seharian ini untuk mendekati dan mengambil hati anaknya itu.“Iya, Bi, tapi kamu sabar ya kalau Angel masih belum mau sama kamu.”“Hm… iya, yang penting kamu mau sama aku kan?” Bian mengusap lemb
Rei tahu dia tidak perlu bersusah-susah memaksa Feli untuk membantu Bian. Feli bisa saja bersaksi atas permintaan pihak penyidik. Tapi Rei ingin Feli melakukannya dengan sukarela, bukan karena terpaksa. Rei tidak tahu, tapi ada dorongan dari dalam hati yang begitu kuat untuk melakukannya.Sore itu Rei ikut antri di ruang tunggu poli kejiwaan bersama pasien lainnya. Rei datang sendiri tanpa ada yang menemani. Tadinya Bian dan Tatiana ingin ikut, tapi Rei melarang mereka. Masih belum aman bagi Bian untuk berkeliaran. Hal tersebut terlalu riskan dan akan mencelakai dirinya sendiri.“Bapak Reinhard Rafael Danner!” Suster keluar dari ruang dokter dan memanggil nama Rei.“Iya, Sus!” Rei bersuara kemudian berdiri.“Silhkan masuk, Pak!” Suster mempersilahkan dengan ramah.“Terima kasih.” Rei menerbitkan seulas senyum begitu pandangan suster itu tidak lepas darinya. Bahkan Rei bisa merasa punggungnya masih menjadi satu-satunya objek yang memenuhi ruang mata perempuan berpakaian putih-putih ter