“Duh… gimana ya, bukan aku nggak mau menolong kamu, tapi pesawatku lagi nggak ada yang stand by.”“Please, aku butuh pesawatnya sekarang,” mohon Bian begitu penuh harap.“Tapi untuk apa?” Pria yang bicara dengan Bian itu bertanya heran.“Aku ingin pulang ke Indonesia sekarang.”“Yang benar saja, Bian?” Kiano, lelaki yang sedang berbicara dengan Bian bertambah kaget. Dia baru akan naik ke tempat tidur untuk beristirahat ketika tiba-tiba saja mendapat telepon dari nomor asing dan tak dikenal.“Aku akan pulang ke Indonesia dan menyerahkan diri. Kamu jangan takut, kamu nggak akan aku libatkan dalam masalah ini.” Bian mencoba memberi penjelasan pada Kiano dan berharap temannya itu bisa mengerti. Awalnya mereka tidak tahu sama sekali nomor telepon Kiano, tapi berkat bantuan teman-teman Tatiana yang mengenal Adizty, mereka berhasil mendapatkannya.Kiano menghela napas, semuanya ini berat dan membuatnya serbah salah. Kiano ingat, lima tahun yang lalu ada orang yang menyewa private jet-nya. A
Mereka semakin dekat dengan polisi yang sedang melakukan razia. Sama dengan kendaraan lainnya, taksi yang mereka tumpangi juga diberhentikan. Polisi menanyakan surat-surat kendaraan pada supir taksi. Sembari menanti supir mengeluarkan SIM dan STNK dari dalam dompet, polisi mencondongkan kepalanya melongok ke dalam mobil.Genggaman tangan Bian dan Tatiana semakin erat saat pria berbaju coklat itu melihat ke jok belakang. Tatiana melempar senyum, sedangkan Bian menganggukkan sedikit kepalanya.Keduanya mengembuskan napas lega ketika akhirnya polisi itu melepaskan tatapan dari mereka dan kembali fokus pada supir taksi yang menunjukkan surat-surat kendaraan.Polisi itu tidak banyak bicara. Setelah memeriksa surat-surat kendaraan dia pun pergi. Di belakang taksi, kendaraan lain sudah menunggu untuk diperiksa.Bian dan Tatiana kembali saling pandang dengan senyum lega. Dan supir taksi kembali melanjutkan perjalanan mereka yang tertunda.Sepanjang perjalanan ke rumah Tatiana, Bian membatin
“Yang kamu lakukan sekarang sudah benar, Bi.” Alya berkomentar setelah Bian menceritakan apa yang sudah terjadi dan dialaminya selama lima tahun ini. Alya tidak menyalahkan Bian. Perempuan itu sangat memahami kondisi menantunya. Yang penting sekarang Bian mau bertanggung jawab akan perbuatannya.“Iya, Ma,” sahut Bian menimpali. Kalau setiap bicara dengan Camila percakapan mereka selalu diwarnai perdebatan, lain halnya dengan Alya. Sikap Alya yang bijak dan tidak banyak bicara membuat Bian menyeganinya.Alya kemudian meninggalkan Bian dan Tatiana berdua. Memberikan kesempatan pada pasangan muda itu untuk bersama. Alya tahu mereka butuh banyak waktu untuk melepas rindu dan berbagi rasa.“Yang, aku mau satu malam aja sama-sama kamu dan Angel, nggak apa-apa kan?” pinta Bian. Dia akan menggunakan seharian ini untuk mendekati dan mengambil hati anaknya itu.“Iya, Bi, tapi kamu sabar ya kalau Angel masih belum mau sama kamu.”“Hm… iya, yang penting kamu mau sama aku kan?” Bian mengusap lemb
Rei tahu dia tidak perlu bersusah-susah memaksa Feli untuk membantu Bian. Feli bisa saja bersaksi atas permintaan pihak penyidik. Tapi Rei ingin Feli melakukannya dengan sukarela, bukan karena terpaksa. Rei tidak tahu, tapi ada dorongan dari dalam hati yang begitu kuat untuk melakukannya.Sore itu Rei ikut antri di ruang tunggu poli kejiwaan bersama pasien lainnya. Rei datang sendiri tanpa ada yang menemani. Tadinya Bian dan Tatiana ingin ikut, tapi Rei melarang mereka. Masih belum aman bagi Bian untuk berkeliaran. Hal tersebut terlalu riskan dan akan mencelakai dirinya sendiri.“Bapak Reinhard Rafael Danner!” Suster keluar dari ruang dokter dan memanggil nama Rei.“Iya, Sus!” Rei bersuara kemudian berdiri.“Silhkan masuk, Pak!” Suster mempersilahkan dengan ramah.“Terima kasih.” Rei menerbitkan seulas senyum begitu pandangan suster itu tidak lepas darinya. Bahkan Rei bisa merasa punggungnya masih menjadi satu-satunya objek yang memenuhi ruang mata perempuan berpakaian putih-putih ter
Duduk bersandar di tembok yang warna catnya sudah tidak karuan, Bian memejamkan matanya. Lantai tempatnya duduk dan menginjakkan kaki terasa sangat dingin. Terlalu berlebihan kalau Bian bilang sedingin es apalagi salju. Tapi hawanya begitu menusuk sampai ke tulang.Membuka matanya, Bian menatap dirinya sendiri yang memakai baju berwarna biru dongker. Pun dengan celananya yang berwarna senada. Pakaian yang melekat di badannya kini adalah baju seragam tahanan. Sama dengan warga binaan lainnya. Setelah lima tahun, akhirnya Bian berada kembali di tempat ini. Bedanya, kalau dulu Bian berdua menghuni ruang pengap ini, sekarang hanya sendiri.Ini adalah hari ketiga Bian berada di hotel prodeo. Setelah tempo hari Bian menghubungi Hotma—pengacaranya, akhirnya setelah berbicara panjang lebar dan berdiskusi mengenai segala sesuatunya, Bian pun menyerahkan diri setelah diurus oleh pengacaranya itu.“Fabian, ada yang berkunjung!” Suara tegas sipir yang bertugas membuat Bian bangkit dari duduknya.
Proses peradilan terhadap Bian akhirnya pun diselenggarakan. Pada persidangan sebelumnya turut menghadirkan Feli sebagai saksi. Dan sekarang adalah persidangan terakhir yang menentukan keputusan hakim atas kasus Bian.Banyak yang menghadiri dan ikut menyaksikan persidangan yang akan menentukan nasib Bian selanjutnya. Mulai dari keluarga hingga teman-teman. Semua terlihat tegang dan mengikuti dengan hati harap-harap cemas.Sebagai saksi kunci, Feli sudah memberikan keterangan yang sebenar dan sejujurnya. Bahwa Gladys pernah mengakui padanya telah membunuh Darren karena tidak mau bertanggung jawab atas kehamilannya. Hanya saja Feli tidak tahu apakah Dylan adalah anak hasil hubungan Gladys bersama Darren, Willy or someone else.Akhirnya kesaksian Feli lah yang menyelamatkan Bian dari tuntutan apa pun. Bian terbukti secara konkrit dan meyakinkan tidak terlibat dalam kasus pembunuhan Darren. Hal itu membuatnya terbebas dari segala macam tuduhan dan tuntutan.Suasana di dalam ruang sidang p
“Bi, aku rasa kamu terlalu kejam,” komentar Tatiana saat Bian menyampaikan keinginannya melaporkan Camila pada pihak yang berwajib atas kejahatannya malam itu.“Lebih kejam mana aku atau mami? Andai saja mami nggak melakukannya, sudah pasti sejak lama aku sudah bebas. Mungkin aku hanya akan ditahan sebulan dua bulan karena faktanya aku memang nggak salah. Coba kamu bayangkan, anakku sendiri bahkan nggak kenal siapa aku,” ungkit Bian mengungkap dosa-dosa Camila. Mengingat itu semua dia kembali merasa sakit.“Tapi walau bagaimanapun mami tetap ibu kamu, Bi. Anggap saja dia khilaf. Kamu nggak usah jeblosin dia ke penjara. Kasihan, Bi, nggak boleh gitu sama orang tua.”“Mami harus tahu kesalahannya, Yang. Kalau nggak gitu mami nggak akan pernah sadar. Malah sampai sekarang mami masih sering nyepelein kamu kan? Aku nggak terima mami masih saja menganggap kamu rendahan dan kaum tipis.”“Nggak apa-apa, Bi, biarin aja. Asalnya aku memang orang tipis kok. Tapi aku nggak mau kamu jadi anak yang
“Kok hasilnya begini?” Rei memprotes hasil rekrutmen dan assessment karyawan baru yang disodorkan Franda padanya. Nama-nama kandidat yang menurutnya oke, ternyata berdasarkan hasil psikotes dinyatakan tidak qualified. Semua jauh di luar ekspektasinya.“Iya, Pak. Memang begitu hasil yang saya terima,” kata Franda menimpali.“Apa nggak salah? Nggak benar ini.” Rei merasa kurang yakin.“Nggak, Pak, sudah benar kok. Biro psikologi milik kakak saya sudah kredibel, Pak. Bapak nggak usah ragu lagi.” Franda mencoba meyakinkan Rei yang terlihat bimbang. Keningnya berkerut tapi tetap saja tidak mengurangi kadar ketampanannya.Rei memerhatikan lagi hasil psikotes karyawan barunya lantas mencocokkan dengan curriculum vitae mereka satu per satu. Lama laki-laki itu termenung hingga akhirnya mengucapkan kata, “Bisa saya bertemu dengan owner biro psikologi itu atau minimal penanggung jawabnya?”“Bisa banget, Pak. Ketemu sama sepupu saya saja langsung, dia owner-nya.”“Ayo kalau begitu!”Sepuluh meni