Sudah beberapa hari ini Tatiana tidak mendengar kabar Rei. Tatiana juga tidak pernah bertemu dengannya. Tiap kali Tatiana menghubunginya, Rei jarang merespon. Kalau pun Rei membalas pesan darinya maka pasti selalu terlambat. Tatiana tidak tahu kenapa Rei menghindar darinya. Tapi lama-lama dia sadar kalau hal itu pasti berhubungan dengan penolakannya pada laki-laki itu.“My, kenapa papa Rei nggak pernah datang ke sini lagi?” tanya Angel hari itu. Biasanya hampir setiap hari mereka berinteraksi, jadi wajar kalau anak itu merasa kehilangan. “Mungkin papa Rei lagi sibuk, makanya belum sempat ke sini,” jawab Tatiana.“Biasanya juga sibuk tapi masih sempat ke sini kok, My.” Angel yang cerdas tidak serta merta menerima begitu saja alasan Tatiana. Biasanya kalau Tatiana tidak sempat, maka Rei lah yang akan menggantikannya menjemput ke sekolah kemudian mengajaknya makan siang. Rei juga sering menemaninya main, mengantar les piano, dan banyak lagi kegiatan yang dilakukannya bersama laki-laki i
Indonesia sudah tertinggal lebih dari dua belas ribu kilometer di belakangnya. Sudah hampir dua puluh empat jam Tatiana berada di atas pesawat. Lelah sudah pasti, tapi rasa antusias lebih mendominasi. Bagaimana tidak. Ini adalah pengalaman pertamanya pergi ke luar negeri dan bukan main-main, langsung ke Eropa.Berangkat dari Jakarta, lalu transit di Turki, dan sebentar lagi mereka akan landing. Penerbangan dari Turki lebih singkat, hanya memakan waktu sekitar empat jam.Suara pemberitahuan yang mengatakan bahwa sebentar lagi mereka akan landing, menyentak Tatiana. Hatinya berdesir. Ada getar-getar asing yang menjalari dirinya. Detak jantungnya pun mengencang. Tatiana tidak tahu kenapa perasaannya tiba-tiba menjadi aneh.“Kamu kenapa?” tanya Fani melihat muka Tatiana berubah menjadi pucat. Mereka memang hanya pergi berdua.“Nggak apa-apa kok, mungkin aku hanya grogi.”Fani terkekeh. Dia mencoba memahami kegugupan Tatiana. “Santai saja, jangan kayak orang tipis.”Tatiana terkesiap. Kata
Tatiana dan Fani sudah bersiap-siap akan pergi menghadiri acara Madrid Fashion Week yang diselenggarakan malam itu. Keduanya tampil modis dan stunning.Berkesempatan datang ke pertunjukan fashion dalam pekan mode merupakan momen prestise bagi sebagian orang. Ajang ini pun menjadi tempat para pecinta fashion menyatakan kelas mereka. Apalagi jika mendapatkan tempat VIP atau pun front row.Seringkali, beberapa undangan merasa cukup penting untuk duduk di barisan paling depan atau front row. Barisan tersebut memang kasta tertinggi dalam sebuah pergelaran mode. Namun, ketika tamu mencuri tempat duduk orang lain akan mengganggu kenyamanan selama pergelaran dilangsungkan.Biasanya kaum sosialita suka membanding-bandingkan tempat duduk mereka dengan yang lain. Padahal, posisi front row atau second row yang termasuk VIP itu ditentukan oleh desainer atau sponsor.Lampu runway sudah dinyalakan. Para penonton tampak tenang di tempat duduknya masing-masing. Termasuk Tatiana. Baginya semua ini susa
Selama sepersekian menit keduanya saling berpelukan dan mendekap dengan erat seolah tidak ingin melepaskannya lagi. Lama tidak bertemu membuat mereka tidak ingin berpisah. Tatiana hampir saja larut dalam keharuan. Beruntung logikanya segera bekerja. Perempuan itu lantas melepaskan diri dari dekapan Bian. Suaminya itu berutang penjelasan padanya. Baru saja Tatiana akan bertanya, Bian sudah duluan berkata.“Ternyata kamu masih hidup, Yang,” ujarnya sambil mengusap kedua bagian pipi Tatiana dengan sepasang tangannya.Yang? Ternyata Bian masih memanggilnya dengan sebutan itu. Bian masih ingat namanya, aroma parfumnya, bahkan panggilan kesayangan untuk Tatiana.“Seharusnya aku yang bilang kayak gitu sama kamu. Ternyata kamu masih hidup dan kamu nggak kasih kabar sama sekali. Kenapa kamu tega, Bi? Apa kamu nggak kasihan sama aku dan anak kita?” Air mata Tatiana hampir berderai lagi begitu ingat hidupnya tanpa Bian selama lima tahun ini.“Ap-apa? Anak?” Bian terlihat shock mendengar ucapan T
Bian mendekap Tatiana erat dan sudah memejamkan mata. Pun dengan Tatiana. Tapi walaupun matanya terpejam, pikirannya masih terus bekerja. Meski tubuh dan batinnya lelah, keinginan untuk menunda semua rasa ingin tahunya hingga besok kembali menggurita.Semua ini menjadi tanda tanya besar bagi Tatiana. Ternyata serapi itu Camila menyimpan semua darinya. Sulit dipercaya, tapi nyata.Tatiana menyingkirkan tangan Bian pelan-pelan dari tubuhnya. Dengan teramat hati-hati perempuan itu turun dari tempat tidur tanpa menimbulkan suara apa pun. Tatiana tidak ingin Bian terbangun karena gerakannya. Yakin Bian sudah terlelap, Tatiana berjalan mengendap-ngendap keluar kamar. Mungkin ada sesuatu yang bisa ditemukannya dari dalam apartemen ini yang bisa menjelaskan sesuatu yang lain padanya. Ada dua kamar di apartemen ini. Keduanya terletak berjauhan. Tatiana memasuki kamar itu. Tempat tidur double bed, lemari pakaian serta meja dan kursi adalah furnitur standar yang ditemuinya di sana. Tatiana me
Tatiana terdiam mendengar kata-kata romantis yang diucapkan Bian. Pikirannya masih menelusuri kebenaran, hingga akhirnya dia menganggukkan kepala. “Iya, aku percaya sama kamu, Bi.”Kali ini Bian baru benar-benar bisa mengembuskan napas lega mendengar jawaban Tatiana. “Nggak ada lagi yang mau ditanyain kan? Kamu nggak curiga-curiga lagi sama aku kan?” Tatiana menggelengkan kepala lalu memejamkan mata. Pikirannya jauh lebih ringan sekarang. Mungkin dia bisa tidur dengan tenang sampai pagi.“Aku tahu mungkin pelarianku selama lima tahun ini dan alasannya nggak membuat kamu puas. Tapi aku juga tahu pasti kamu cukup cerdas untuk mencernanya. Oh iya, Yang, mana handphone kamu? Aku mau lihat foto-foto anak kita.” Suara Bian yang terdengar jelas di telinganya kembali membuat Tatiana membuka mata.“Masih di dalam tas.”“Aku ambil ya?”Bian beranjak dari tempat tidur setelah Tatiana mengizinkannya. Melangkah pelan, lel
Menginjak ubin dingin apartemennya, Bian keluar dari kamar. Sambil melewati ruang tengah yang akan menghubungkan ke ruang depan lelaki itu bertanya-tanya sendiri siapa kira-kira yang datang bertamu tengah malam begini.Apa mungkin delivery man yang mengantar cheese burger yang biasa dia pesan?Gila! Mana ada delivery man tengah malam begini. Lagi pula Bian tidak memesan apa pun. Dia memang lapar, tapi sayangnya perutnya sudah terlanjur kenyang. Bian lebih tertarik untuk melahap Tatiana meski pada akhirnya niat itu dia tunda dulu. Setidaknya sampai besok. Setelah mereka merasa sama-sama siap untuk berbagi rasa.Bian menepis dugaannya jauh-jauh. Dia tidak akan pernah tahu kalau tidak membuka pintu.“Hon, kamu kenapa ninggalin aku?” Perempuan cantik dengan tinggi tubuh seratus delapan puluh tujuh sentimeter yang tingginya selisih dua senti dari Bian kini berdiri di hadapannya dengan raut meminta penjelasan. Bian tampak terkejut namun lekas menguasai diri. “Greta, sorry, aku tadi ada uru
“Njir, sakit banget!” Bian mengaduh saat Tatiana mengobati dahinya yang kini terlihat bengkak. Darah yang tadi menitik beberapa setetes sekarang sudah kering.“Tahan sedikit ya, Bi…” Tatiana ikut meringis seolah mengalami apa yang dirasakan Bian.“Gimana bisa tahan kalo sakit kayak gini! Emang bangke tu orang! Dasar anj--““Ssst…!” Tatiana buru-buru menutup mulut Bian dengan tangan sebelum isi kebun binatang lolos keluar dari mulut tanpa filternya itu. “Udahlah, Bi, jangan marah-marah terus, nggak ada gunanya. Yang ada nanti kamu malah tambah sakit,” kata Tatiana menasihati. Dari dulu sampai sekarang Bian ternyata belum berubah. Masih identik dengan umpatan kasarnya dan suka bicara sembarangan.Tatiana menumpuk bantal lebih tinggi dan membantu Bian berbaring di atasnya. Perempuan itu menyelimuti suaminya.Rasa kantuk yang menderanya sudah menghilang karena kejadian dramatis yang baru saja dialaminya. Terlalu banyak hal-hal mengejutkan y
Tokyo pagi itu lebih dingin dari biasanya. Gerimis yang turun sejak tadi menimbulkan rasa sejuk yang menembus hingga ke tulang. Membuat sebagian orang enggan keluar dari rumah. Jangankan dari rumah, bahkan Davin terlalu malas keluar dari selimut dan memilih meringkuk di dalamnya bersama wanita tercintanya.Sudah satu tahun belakangan Davin memboyong Angel dan anak-anak ke negara sakura itu. Sesuai dengan keinginan opinya—Delta Mahendra, yang mewariskan seluruh aset padanya. Maka Davin pun menggantikan Delta yang sudah sepuh menjalankan tugas sebagai pemimpin perusahaan dan pemilik berbagai usaha.Si kembar tiga saat ini sudah berusia sembilan tahun, disusul dengan El yang tahun ini menginjak delapan tahun. Sedangkan Romeo, ini adalah tahun ketiga hidupnya di dunia. Repot? Itu pasti. Pusing apalagi. Sering kali terdengar keributan di rumah itu. Semakin bertambah usia anak-anak rumah itu semakin ramai dan ricuh. Setiap hari ada saja yang diributkan. Yang besar suka mengganggu, sedangka
Lima tahun kemudian.Davin mondar-mandir sepanjang lorong rumah sakit. Sudah sejak tadi dia melakukan hal tersebut. Pikirannya kacau balau. Hatinya resah dan gelisah memikirkan seseorang yang berada di dalam ruangan sana. Seharusnya Davin mendampinginya, menemaninya dan tetap berada di sisinya sambil membisikkan kata-kata cinta dan semangat, serta sesekali mengecup lembut keningnya dengan tangan saling menggenggam. Namun semua itu hanya ada di dalam angan-angannya. Karena…Sembilan bulan yang lalu.Saat itu Angel dan Davin sedang bercengkerama di suatu sore di teras belakang rumah mereka. Sementara itu El dan si kembar yang sudah bersekolah di bangku taman kanak-kanak sedang bermain di taman belakang rumah yang sudah mereka modifikasi menjadi mini playground lengkap dengan kolam renang.Anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan sehat dan cerdas membuat keduanya bahagia. Pelan-pelan mereka mulai menunjukkan bakat, minat, serta hobi masing-masing. Si kecil El mewarisi nyaris seratus
Angel dan Davin sama-sama menghempaskan badan ke kasur begitu mereka sampai di kamar hotel. Nyaris sembilan puluh menit tayangan film di bioskop, dan keduanya tidak tahu apa-apa. Mereka ikut keluar ketika para penonton lain juga keluar saat film sudah selesai.“Duh, capek banget…,” keluh Angel sambil mengembuskan nafas.“Nggak ngapa-ngapain kenapa capek?”Mereka mungkin hanya duduk saja, tapi tingkah Davin yang terus menggerayanginya membuat Angel lelah. “Capeknya kerena kamu.”“Memangnya aku ngapain?” tanya Davin pura-pura bodoh dengan ekspresi yang membuat Angel gemas. Angel mendekat, melingkari pundak Davin dengan tangannya lalu mengecup lembut bibirnya yang hangat.“Dave, kira-kira anak-anak sekarang lagi ngapain ya?” tanyanya kemudian. Seharian ini mereka sama sekali tidak tahu bagaimana keadaan para buah hati mereka.“Mungkin udah tidur,” jawab Davin mengira-ngira sambil melirik arloji mahalnya yang limited edition itu.“Kita telfon yuk, aku kangen.”“Nggal usah, Dek, katanya
Seperti rencana yang sudah tersusun di kepalanya, Davin membawa Angel ke hotel paling mewah di kota mereka. The Sun, namanya. Hotel itu teletak di pinggir kota dan jauh dari kawasan pemukiman penduduk. Namun sengaja dibangun dengan konsep all in one building. Semuanya ada di sana. Mulai dari pusat perbelanjaan, restoran, pusat kebugaran tubuh dan kecantikan hingga playground. Tempat itu memang dirancang bagi orang-orang yang ingin menghilangkan penat dan beristirahat sejenak, namun tetap bisa memanjakan diri dengan hal-hal apapun yang mereka butuhkan.Setelah check in dan meletakkan barang-barang di kamar hotel, Davin mengajak Angel ke pusat perawatan kecantikan. Davin memang paling mengerti perempuan dan memahami istrinya. Mereka akan melakukan perawatan tubuh di sana. Berpasang-pasang mata tertuju pada pasangan ideal tersebut ketika tangan Davin membuka pintu kaca dan mempersilakan Angel masuk terlebih dahulu. Untuk sesaat mata keduanya menyapu sekitar. Menyaksikan resepsionis dan
“Kita mau ngobrolin apa, Dave?” tanya Angel di atas pangkuan Davin. Embusan nafas hangat Davin menggelitik lehernya. Membuat sekujur tubuhnya meremang. Memanggil-manggil jiwa terdalamnya untuk datang.“Aku rasa kita perlu honeymoon lagi, Sayang…,” bisik Davin dari belakang. Tangannya melingkari Angel dengan erat dan rapat.“Maksudnya mau nambah anak lagi?” sahut Angle seperti tersentak.“Lho, kok nambah anak? Memangnya orang yang pergi honeymoon itu mau nambah anak?”“Tapi biasanya kan gitu. Aku nggak mau lagi lho, Dave, udah cukup El yang terakhir,” ucap Angel sambil memberengut.Davin tersenyum kecil. Dikecupnya pundak Angel yang membuatnya gemas. “Anak itu kan rezeki. Rezeki nggak boleh ditolak kan? Aku ngajak kamu honeymoon tapi kapan-kapan, kalo El udah bisa ditinggal lama-lama. Sekarang honeymoon-nya di sini aja dulu.”Bisikan Davin di telinganya membuat Angel kian meremang. Pasti sebentar lagi Davin akan mengeksekusinya.Davin membalikkan tubuh Angel mengarah padanya sehingga s
Jujur saja selama ada Gendiz sedikit banyak meringankan Angel dan Davin. Hampir setiap hari Gendiz bermain ke rumahnya, atau memboyong anak-anak ke rumah orang tua mereka. Saking sayangnya pada para bocah, Gendiz juga menahan si kembar agar menginap bersamanya dan tidak mengantarnya pulang. Sesekali Davin dan Angel membiarkan si kembar tidur bersama Gendiz di rumah Kiano dan Adizty. Mereka yakin dan percaya sepenuhnya kalau adiknya itu bisa menjaga ketiganya dengan baik. Meskipun sepanjang malam keduanya tidak bisa memejamkan mata karena tidak terbiasa berpisah dengan anak-anak mereka.“Kalian kalo mau kencan, pergi aja, biar anak-anak aku yang urus,” ucap Gendiz pada suatu hari. Melihat keseharian Angel yang disibukkan dengan mengasuh, menjaga, merawat dan mengurus anak-anaknya membuat Gendiz merasa kasihan. Begitu pula dengan Davin yang terlalu sibuk bekerja dari pagi hingga sore. Kadang sampai senja atau malam. Pasti keduanya butuh waktu untuk hanya berdua saja tanpa direcoki anak-
“Halo, Mbak Angel, masih ingat sama saya?” Suara Nilam mengagetkan Angel yang berdiri di tempatnya dan belum bergeming sejak berdetik-detik yang lalu.Angel maju beberapa langkah mendekati Gendiz dan Nilam. “Tentu saja aku ingat. Kamu yang dulu resek kan? Yang suka menggoda suamiku?” sahut Angel tidak suka. Kehadiran Nilam membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan karena dia takut akan kehilangan Davin, tapi tingkah Nilam begitu meresahkan.“Hehe…” Nilam tertawa canggung sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “maaf ya, Mbak Angel, tapi Mbak Angel jangan salah sangka dulu sama saya. Maksud saya baik kok. Saya hanya ingin menguji kadar cinta Mbak Angel sama mas Davin. Dan ternyata Mbak Angel cemburu sama saya. Hehehe…,” ucap Nilam penuh percaya diri.Angel tidak mengerti dengan gadis di hadapannya. Setelah minta maaf, eh bisa-bisanya bicara sesantai itu. Tidak ingin ambil pusing, Angel beralih pada Gendiz dan memeluk adik iparnya itu. Wangi vanila dari tubuh dan rambut Gendiz me
“Halo, Mas Davin, masih ingat siapa saya?” Nilam memamerkan senyum lebar pada Davin yang termangu saat beradu mata dengannya. Nilam harap pemuda tampan yang menawan hatiya sejak awal perkenalan itu tidak melupakannya.Davin membalas senyum Nilam sekenanya dan berbasa-basi sekadarnya. “Hai, apa kabar?”“Baik, Mas, bapak sama ibu juga sehat. Mereka titip salam buat Mas Davin.”“Terima kasih,” jawab Davin singkat, lalu segera menarik tangan Gendiz menjauh dari sana diiringi tatapan penuh tanda tanya Kiano, Adizty serta Nilam. Sedangkan anak-anak sibuk bermain dengan bonekanya.“Ada apa sih, Dave?” tanya Gendiz tidak mengerti karena Davin menarik tangannya tiba-tiba.“Ndiz, kenapa kamu bawa dia ke sini?” Suara Davin setengah berbisik. Meskipun saat itu mereka berada di ruangan yang terpisah, tapi bisa saja dinding mempunyai telinga dan menyampaikannya.“Maksudnya Nilam?”“Iya, siapa lagi kalo bukan dia,” jawab Davin kesal. D
“Dave, jangan lupa nanti jemput anak-anak di rumah mami,” kata Angel mengingatkan saat menelepon Davin melalui panggilan video sore itu, meskipun dia tahu kalau Davin tidak akan pernah melupakan hal tersebut.Davin tersenyum sambil merebahkan kepala ke sandaran kursi. Mendengar suara Angel mengusir penat yang menderanya.“Iya, Dek, aku nggak akan lupa kok. Mana mungkin aku bisa lupa. Kamu pasti modus kan?”“Modus apa?”“Bilang aja kalo sebenarnya kamu lagi kangen sama aku, pengen dengar suara aku terus pake alasan mengingatkan aku biar nggak lupa jemput anak-anak.”“Ih, apaan sih, Dave?” Angel tertawa saat merasakan pipinya menghangat digoda Davin.“Jadi serius kamu nelfon aku cuma buat kasih tahu jemput anak-anak?”“Kangen juga sih sebenarnya.”“Tuh kan ngaku akhirnya.” Davin tertawa karena berhasil menggoda Angel dan membuatnya mengakui perasaannya. “Aku juga kangen kamu, suara kamu itu bagai candu buat aku. Kamu nelfon kayak gini udah bikin aku bersemangat dan ngilangin semua rasa