Tiga minggu berlalu sejak Rei melamar Tatiana, tapi hingga saat ini Tatiana belum bisa memberi kepastian. Awalnya Rei masih menunggu dengan sabar dan tidak mendesak Tatiana. Tapi Rei rasa rentang waktu tiga minggu sudah lebih dari cukup bagi Tatiana untuk berpikir dan memberi keputusan padanya.Siang itu Rei mendatangi Tatiana di kantornya. Rei tidak bisa lagi menunggu sampai sore atau besok. Dia harus mendengar jawaban dari Tatiana sesegera mungkin. Hari ini juga. Tidak bisa diundur lagi.Tatiana sedang berjibaku dengan kertas-kertas berisi rancangan yang harus dikoreksinya ketika ada yang mengetuk pintu ruangan.“Masuk!” Tatiana menyahut dari tempat duduknya.Perempuan itu lantas mengangkat muka saat mendengar suara Rei menyapanya.“Apa aku menganggu?”“Nggak kok. Duduk Rei.”Rei menarik kursi lantas duduk di hadapan Tatiana. Diperhatikannya wajah perempuan itu dalam-dalam. Tatiana terlihat cantik hari ini dengan riasan minimalis yang menghiasi wajahnya. Dari dulu sampai sekarang ad
Sudah beberapa hari ini Tatiana tidak mendengar kabar Rei. Tatiana juga tidak pernah bertemu dengannya. Tiap kali Tatiana menghubunginya, Rei jarang merespon. Kalau pun Rei membalas pesan darinya maka pasti selalu terlambat. Tatiana tidak tahu kenapa Rei menghindar darinya. Tapi lama-lama dia sadar kalau hal itu pasti berhubungan dengan penolakannya pada laki-laki itu.“My, kenapa papa Rei nggak pernah datang ke sini lagi?” tanya Angel hari itu. Biasanya hampir setiap hari mereka berinteraksi, jadi wajar kalau anak itu merasa kehilangan. “Mungkin papa Rei lagi sibuk, makanya belum sempat ke sini,” jawab Tatiana.“Biasanya juga sibuk tapi masih sempat ke sini kok, My.” Angel yang cerdas tidak serta merta menerima begitu saja alasan Tatiana. Biasanya kalau Tatiana tidak sempat, maka Rei lah yang akan menggantikannya menjemput ke sekolah kemudian mengajaknya makan siang. Rei juga sering menemaninya main, mengantar les piano, dan banyak lagi kegiatan yang dilakukannya bersama laki-laki i
Indonesia sudah tertinggal lebih dari dua belas ribu kilometer di belakangnya. Sudah hampir dua puluh empat jam Tatiana berada di atas pesawat. Lelah sudah pasti, tapi rasa antusias lebih mendominasi. Bagaimana tidak. Ini adalah pengalaman pertamanya pergi ke luar negeri dan bukan main-main, langsung ke Eropa.Berangkat dari Jakarta, lalu transit di Turki, dan sebentar lagi mereka akan landing. Penerbangan dari Turki lebih singkat, hanya memakan waktu sekitar empat jam.Suara pemberitahuan yang mengatakan bahwa sebentar lagi mereka akan landing, menyentak Tatiana. Hatinya berdesir. Ada getar-getar asing yang menjalari dirinya. Detak jantungnya pun mengencang. Tatiana tidak tahu kenapa perasaannya tiba-tiba menjadi aneh.“Kamu kenapa?” tanya Fani melihat muka Tatiana berubah menjadi pucat. Mereka memang hanya pergi berdua.“Nggak apa-apa kok, mungkin aku hanya grogi.”Fani terkekeh. Dia mencoba memahami kegugupan Tatiana. “Santai saja, jangan kayak orang tipis.”Tatiana terkesiap. Kata
Tatiana dan Fani sudah bersiap-siap akan pergi menghadiri acara Madrid Fashion Week yang diselenggarakan malam itu. Keduanya tampil modis dan stunning.Berkesempatan datang ke pertunjukan fashion dalam pekan mode merupakan momen prestise bagi sebagian orang. Ajang ini pun menjadi tempat para pecinta fashion menyatakan kelas mereka. Apalagi jika mendapatkan tempat VIP atau pun front row.Seringkali, beberapa undangan merasa cukup penting untuk duduk di barisan paling depan atau front row. Barisan tersebut memang kasta tertinggi dalam sebuah pergelaran mode. Namun, ketika tamu mencuri tempat duduk orang lain akan mengganggu kenyamanan selama pergelaran dilangsungkan.Biasanya kaum sosialita suka membanding-bandingkan tempat duduk mereka dengan yang lain. Padahal, posisi front row atau second row yang termasuk VIP itu ditentukan oleh desainer atau sponsor.Lampu runway sudah dinyalakan. Para penonton tampak tenang di tempat duduknya masing-masing. Termasuk Tatiana. Baginya semua ini susa
Selama sepersekian menit keduanya saling berpelukan dan mendekap dengan erat seolah tidak ingin melepaskannya lagi. Lama tidak bertemu membuat mereka tidak ingin berpisah. Tatiana hampir saja larut dalam keharuan. Beruntung logikanya segera bekerja. Perempuan itu lantas melepaskan diri dari dekapan Bian. Suaminya itu berutang penjelasan padanya. Baru saja Tatiana akan bertanya, Bian sudah duluan berkata.“Ternyata kamu masih hidup, Yang,” ujarnya sambil mengusap kedua bagian pipi Tatiana dengan sepasang tangannya.Yang? Ternyata Bian masih memanggilnya dengan sebutan itu. Bian masih ingat namanya, aroma parfumnya, bahkan panggilan kesayangan untuk Tatiana.“Seharusnya aku yang bilang kayak gitu sama kamu. Ternyata kamu masih hidup dan kamu nggak kasih kabar sama sekali. Kenapa kamu tega, Bi? Apa kamu nggak kasihan sama aku dan anak kita?” Air mata Tatiana hampir berderai lagi begitu ingat hidupnya tanpa Bian selama lima tahun ini.“Ap-apa? Anak?” Bian terlihat shock mendengar ucapan T
Bian mendekap Tatiana erat dan sudah memejamkan mata. Pun dengan Tatiana. Tapi walaupun matanya terpejam, pikirannya masih terus bekerja. Meski tubuh dan batinnya lelah, keinginan untuk menunda semua rasa ingin tahunya hingga besok kembali menggurita.Semua ini menjadi tanda tanya besar bagi Tatiana. Ternyata serapi itu Camila menyimpan semua darinya. Sulit dipercaya, tapi nyata.Tatiana menyingkirkan tangan Bian pelan-pelan dari tubuhnya. Dengan teramat hati-hati perempuan itu turun dari tempat tidur tanpa menimbulkan suara apa pun. Tatiana tidak ingin Bian terbangun karena gerakannya. Yakin Bian sudah terlelap, Tatiana berjalan mengendap-ngendap keluar kamar. Mungkin ada sesuatu yang bisa ditemukannya dari dalam apartemen ini yang bisa menjelaskan sesuatu yang lain padanya. Ada dua kamar di apartemen ini. Keduanya terletak berjauhan. Tatiana memasuki kamar itu. Tempat tidur double bed, lemari pakaian serta meja dan kursi adalah furnitur standar yang ditemuinya di sana. Tatiana me
Tatiana terdiam mendengar kata-kata romantis yang diucapkan Bian. Pikirannya masih menelusuri kebenaran, hingga akhirnya dia menganggukkan kepala. “Iya, aku percaya sama kamu, Bi.”Kali ini Bian baru benar-benar bisa mengembuskan napas lega mendengar jawaban Tatiana. “Nggak ada lagi yang mau ditanyain kan? Kamu nggak curiga-curiga lagi sama aku kan?” Tatiana menggelengkan kepala lalu memejamkan mata. Pikirannya jauh lebih ringan sekarang. Mungkin dia bisa tidur dengan tenang sampai pagi.“Aku tahu mungkin pelarianku selama lima tahun ini dan alasannya nggak membuat kamu puas. Tapi aku juga tahu pasti kamu cukup cerdas untuk mencernanya. Oh iya, Yang, mana handphone kamu? Aku mau lihat foto-foto anak kita.” Suara Bian yang terdengar jelas di telinganya kembali membuat Tatiana membuka mata.“Masih di dalam tas.”“Aku ambil ya?”Bian beranjak dari tempat tidur setelah Tatiana mengizinkannya. Melangkah pelan, lel
Menginjak ubin dingin apartemennya, Bian keluar dari kamar. Sambil melewati ruang tengah yang akan menghubungkan ke ruang depan lelaki itu bertanya-tanya sendiri siapa kira-kira yang datang bertamu tengah malam begini.Apa mungkin delivery man yang mengantar cheese burger yang biasa dia pesan?Gila! Mana ada delivery man tengah malam begini. Lagi pula Bian tidak memesan apa pun. Dia memang lapar, tapi sayangnya perutnya sudah terlanjur kenyang. Bian lebih tertarik untuk melahap Tatiana meski pada akhirnya niat itu dia tunda dulu. Setidaknya sampai besok. Setelah mereka merasa sama-sama siap untuk berbagi rasa.Bian menepis dugaannya jauh-jauh. Dia tidak akan pernah tahu kalau tidak membuka pintu.“Hon, kamu kenapa ninggalin aku?” Perempuan cantik dengan tinggi tubuh seratus delapan puluh tujuh sentimeter yang tingginya selisih dua senti dari Bian kini berdiri di hadapannya dengan raut meminta penjelasan. Bian tampak terkejut namun lekas menguasai diri. “Greta, sorry, aku tadi ada uru