Rei pindah ke sofa dan membiarkan Flo sendirian di ranjang mereka yang besar. Susah payah ditahannya hasrat yang makin tak terkendali. Andai saja dia meneruskan yang tadi telah terjadi pasti jadinya tidak akan tersiksa seperti ini.Berkali-kali Rei mengembuskan napas setelah menghelanya dalam-dalam. Rei merasa sesak sendiri dan sebisa mungkin mengatasinya. Dari sofa tempatnya berbaring dilayangkannya pandangan ke arah ranjang yang berada tidak jauh darinya. Di atas kasurnya yang empuk Flo melengkungkan tubuhnya yang panjang. Kelihatannya perempuan itu sudah pulas dalam lelapnya. Sedangkan Rei tersiksa sendiri menahan hasrat yang tak berkesudahan.Setelah sebelas tahun mati suri ternyata hasratnya tidak benar-benar mati dan tetap tinggi seperti dulu. Bukan Rei tidak ingin melakukannya. Tapi berhubungan intim tanpa cinta sebelah pihak, bagi Rei sama halnya dengan menggagahi seseorang yang tidak berdaya.***Flo menggeliat saat mendengar suara alarm. Setiap hari Rei memang menyetel peng
Rei tidak tahu mengapa Flo kabur begitu saja tanpa menghabiskan sarapannya. Dia lantas berpikir apa ada yang salah dengan kata-katanya tadi.“Pa, mommy Flo kenapa?” tanya Lala tidak mengerti akan sikap Flo yang aneh.“Mungkin mommy sedang buru-buru, takut terlambat ke kantornya,” ujar Rei memberi jawaban aman. “cepat habiskan sarapanmu biar Papa antar kamu ke sekolah.”Lala mengangguk patuh dan mengunyah potongan terakhir buah yang disediakan Flo untuk mereka bertiga.Usai sarapan, Lala masuk ke kamar mengambil tas sekolah lalu memasang sepatunya yang tersusun di rak bersama sepatu lainnya. Selama perjalanan ke sekolah Lala, Rei lebih banyak diam dan sibuk dengan pikirannya sendiri.“Sudah lama juga ya Papa tidak mengantarku ke sekolah?” celetuk Lala tiba-tiba memecah kesunyian.Rei menoleh ke arah anaknya. Sejak ada Flo otomatis intensitas kebersamaannya dengan Lala jauh berkurang. Karena sekarang ke mana-mana Lala selalu mengandalkan Flo ketimbang dirinya. Mulai dari mengantar ke s
Rei dan Clara dibawa ke ruangan lain untuk meeting dengan tim kreatif. Clara terlihat senang, sedang Rei merasa biasa-biasa saja. Mukanya juga tampak datar, sedatar hidupnya.Jack sebagai pimpinan tim kreatif membuka obrolan dan memulai pertemuan mereka hari itu.“Rei dan Clara, sesuai dengan yang kita rencanakan, nanti kalian harus tampil berdua ke mana pun. Kalian harus terlihat mesra di depan publik. Intinya, kalian harus membangun persepsi orang-orang kalau kalian berdua memiliki hubungan spesial.”Clara manggut-manggut tanda mengerti, tapi sepertinya Rei agak keberatan dengan rencana tersebut.“Mesra? Bukankah hanya perlu tampil bersama?”“Rei, untuk mencapai tujuan kita, kalian harus total. Di depan orang-orang kalian harus menunjukkan kalau benar-benar saling menyukai dan tertarik satu sama lain. Kalau perlu kamu peluk dan rangkul Clara di depan mereka.”“Apa?” kata Rei terkejut. “aku tidak setuju.” Rei menolak keras rencana itu. Rei mungkin bersedia kalau hanya tampil di publ
Flo baru saja datang dan bermaksud masuk ke kantornya saat Chelsea berteriak memanggil namanya.Menoleh ke belakang, Flo mendapati Chelsea sedang berjalan ke arahnya. Tangannya menggenggam tabloid atau majalah. Flo tidak tahu karena jarak mereka yang belum terlalu dekat.“Ada apa, Chel?”“Rei, Flo, Rei…,” jawab Chelsea dengan napas terengah-engah.“Rei suamiku?”“Iya. Rei yang kukenal kan hanya suamimu.”“Rei kenapa?”Lalu Chelsea menunjukkan majalah di tangannya pada Flo setelah membuka halamannya.Saat itu juga mata besar Flo melebar saat melihat tulisan yang ditulis besar-besar dalam artikel.REI AND CLARA, THE NEXT ROMEO AND JULIET.Darah Flo berdesir. Hatinya bergetar. Terlebih lagi saat melihat foto Rei bersama Clara di sana. Keduanya berdiri dengan jarak yang begitu rapat dengan senyum tersungging di bibir. Tapi di mana tangan Rei? Flo tidak melihatnya. Dan ternyata Rei menyembunyikan tangannya di belakang punggung Clara. Rei merangkul gadis itu.“Flo, kamu baik-baik saja kan?
Belakangan ini Flo mengambil alih banyak tugas Rei. Seperti mengantar dan menjemput Lala ke sekolah, menemani belajar, hingga menyediakan apa pun kebutuhannya selengkap dan sedetail mungkin. Seperti saat ini. Di sela-sela kesibukannya Flo menyempatkan diri menjemput Lala ke sekolah karena tahu sendiri, Rei tidak akan bisa.Saat Flo tiba di sekolah Lala, anak itu masih berada di kelas. Gurunya mengatakan kalau Lala baru akan pulang tiga puluh menit lagi. Flo memutuskan menunggu di bangku di bawah pohon sambil menikmati semilir angin yang berembus.‘Sial, kenapa aku jadi memikirkan Rei terus?’ Flo mengumpat di dalam hati. Sejak mengetahui berita mengenai Rei dan Clara tadi pagi suasana hatinya memburuk sempurna. Ingin rasanya Flo berteriak keras-keras melampiaskan kekesalannya. Tapi yang bisa dilakukannya hanya berharap agar semua ini segera berlalu. Andai saja bisa, Flo ingin amnesia saja agar tidak mengetahui apa pun mengenai kedekatan Rei dan si kucing kecil itu.”Flo, kamu di sini
“Tunggu apa lagi, Kyle?” tegur Flo karena Kyle termangu saat keduanya tepat berada di depan sepeda motor milik lelaki itu.Kyle tampak ragu mengajak Flo pergi dan tetap berdiri di tempatnya. “Flo, bukankah dia Rei suamimu? Kenapa kalian seperti tidak saling kenal?” tanya Kyle heran karena melihat sepasang suami istri itu tidak saling berteguran.“Di rumah dia memang suamiku tapi kalau di luar dia adalah artis.”“Hah? Bisa jelaskan padaku apa maksudnya?” Kyle semakin heran mendengar kata-kata Flo.“Nanti aku jelaskan, tapi sekarang bawa aku pergi dari sini,” desis Flo dengan geraham gemeretuk menahan jengkel.Tanpa banyak kata Kyle segera menyalakan mesin motornya. Flo langsung meloncat ke boncengannya dan memeluknya erat-erat. Kyle terkesiap saat merasakan tangan Flo yang melekat erat di tubuhnya. Kenapa Flo memeluknya?Kyle memacu motor sport 250 cc miliknya di jalan raya begitu melihat mendung hitam menggantung di langit. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun membasahi bumi. Baru s
Setelah hujan reda Flo dan Kyle meninggalkan tempat berteduh mereka tadi. Keduanya langsung ke sekolah Lala. Tapi ternyata Lala sudah pergi.“Lala sudah dijemput papanya, Aunty,” beritahu Charlie—keponakan Kyle.Flo mendesah kecewa. Pasti Rei sengaja ingin membalasnya. Tapi tidak apa-apa. Lala kan anaknya, jadi dia lebih berhak atas gadis kecil itu.“Flo, aku duluan,” tegur Kyle pada Flo yang melamun.“Kyle, apa kamu mau bekerja di tempatku?” tanya Flo sebelum Kyle benar-benar pergi dari hadapannya.“Maksudmu?”“Tadi kamu bilang belum mendapat pekerjaan. Aku bisa membantumu. Memang gajinya tidak terlalu besar, tapi aku rasa jauh lebih baik daripada menjadi pengangguran.”“Jadi maksudmu aku menjadi wedding planner sepertimu?”“Iya, gimana?”Kyle diam dan tampak berpikir. Walaupun pekerjaan yang ditawarkan Flo bukanlah passion-nya, tapi mungkin akan lebih baik jika dia menerima dari pada menganggur seperti ini.“Oke, Flo, boleh. Jadi dokumen apa yang saja yang harus aku siapkan?"“Tidak
Flo baru saja pulang kerja dan masuk ke dalam rumah saat Lala menyongsongnya dan menyambut dengan riang. “Mommy, aku punya ini.”“Apa itu, La?” tanya Flo memerhatikan kotak yang berada dalam genggaman Lala. “Ini puding, Mom, aunty Clara yang kasih. Aku sudah coba satu slice, rasanya enak. Mommy juga harus mencobanya.”Rasanya kepala Flo langsung pusing. Dia baru saja pulang dan berharap bisa beristirahat dengan tenang tapi malah merasa semakin penat saat mendengar pujian Lala terhadap Clara.“Maaf, La, Mommy tidak suka puding, lagi pula Mommy baru saja selesai makan dan masih kenyang,” tolak Flo halus.“Tapi puding yang ini sangat enak, Mom. Mommy harus mencobanya.” Lala terus berusaha membujuk Flo agar mengikuti kemauannya.“Letakkan saja di kulkas dulu, nanti kalau Mommy lapar, Mommy akan memakannya,” tandas Flo dan segera masuk ke kamar.Rei baru saja selesai mandi dan keluar dari ruang basah itu dengan handuk putih yang menggantung rendah di pinggulnya.Tanpa sengaja mata Flo te
Tokyo pagi itu lebih dingin dari biasanya. Gerimis yang turun sejak tadi menimbulkan rasa sejuk yang menembus hingga ke tulang. Membuat sebagian orang enggan keluar dari rumah. Jangankan dari rumah, bahkan Davin terlalu malas keluar dari selimut dan memilih meringkuk di dalamnya bersama wanita tercintanya.Sudah satu tahun belakangan Davin memboyong Angel dan anak-anak ke negara sakura itu. Sesuai dengan keinginan opinya—Delta Mahendra, yang mewariskan seluruh aset padanya. Maka Davin pun menggantikan Delta yang sudah sepuh menjalankan tugas sebagai pemimpin perusahaan dan pemilik berbagai usaha.Si kembar tiga saat ini sudah berusia sembilan tahun, disusul dengan El yang tahun ini menginjak delapan tahun. Sedangkan Romeo, ini adalah tahun ketiga hidupnya di dunia. Repot? Itu pasti. Pusing apalagi. Sering kali terdengar keributan di rumah itu. Semakin bertambah usia anak-anak rumah itu semakin ramai dan ricuh. Setiap hari ada saja yang diributkan. Yang besar suka mengganggu, sedangka
Lima tahun kemudian.Davin mondar-mandir sepanjang lorong rumah sakit. Sudah sejak tadi dia melakukan hal tersebut. Pikirannya kacau balau. Hatinya resah dan gelisah memikirkan seseorang yang berada di dalam ruangan sana. Seharusnya Davin mendampinginya, menemaninya dan tetap berada di sisinya sambil membisikkan kata-kata cinta dan semangat, serta sesekali mengecup lembut keningnya dengan tangan saling menggenggam. Namun semua itu hanya ada di dalam angan-angannya. Karena…Sembilan bulan yang lalu.Saat itu Angel dan Davin sedang bercengkerama di suatu sore di teras belakang rumah mereka. Sementara itu El dan si kembar yang sudah bersekolah di bangku taman kanak-kanak sedang bermain di taman belakang rumah yang sudah mereka modifikasi menjadi mini playground lengkap dengan kolam renang.Anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan sehat dan cerdas membuat keduanya bahagia. Pelan-pelan mereka mulai menunjukkan bakat, minat, serta hobi masing-masing. Si kecil El mewarisi nyaris seratus
Angel dan Davin sama-sama menghempaskan badan ke kasur begitu mereka sampai di kamar hotel. Nyaris sembilan puluh menit tayangan film di bioskop, dan keduanya tidak tahu apa-apa. Mereka ikut keluar ketika para penonton lain juga keluar saat film sudah selesai.“Duh, capek banget…,” keluh Angel sambil mengembuskan nafas.“Nggak ngapa-ngapain kenapa capek?”Mereka mungkin hanya duduk saja, tapi tingkah Davin yang terus menggerayanginya membuat Angel lelah. “Capeknya kerena kamu.”“Memangnya aku ngapain?” tanya Davin pura-pura bodoh dengan ekspresi yang membuat Angel gemas. Angel mendekat, melingkari pundak Davin dengan tangannya lalu mengecup lembut bibirnya yang hangat.“Dave, kira-kira anak-anak sekarang lagi ngapain ya?” tanyanya kemudian. Seharian ini mereka sama sekali tidak tahu bagaimana keadaan para buah hati mereka.“Mungkin udah tidur,” jawab Davin mengira-ngira sambil melirik arloji mahalnya yang limited edition itu.“Kita telfon yuk, aku kangen.”“Nggal usah, Dek, katanya
Seperti rencana yang sudah tersusun di kepalanya, Davin membawa Angel ke hotel paling mewah di kota mereka. The Sun, namanya. Hotel itu teletak di pinggir kota dan jauh dari kawasan pemukiman penduduk. Namun sengaja dibangun dengan konsep all in one building. Semuanya ada di sana. Mulai dari pusat perbelanjaan, restoran, pusat kebugaran tubuh dan kecantikan hingga playground. Tempat itu memang dirancang bagi orang-orang yang ingin menghilangkan penat dan beristirahat sejenak, namun tetap bisa memanjakan diri dengan hal-hal apapun yang mereka butuhkan.Setelah check in dan meletakkan barang-barang di kamar hotel, Davin mengajak Angel ke pusat perawatan kecantikan. Davin memang paling mengerti perempuan dan memahami istrinya. Mereka akan melakukan perawatan tubuh di sana. Berpasang-pasang mata tertuju pada pasangan ideal tersebut ketika tangan Davin membuka pintu kaca dan mempersilakan Angel masuk terlebih dahulu. Untuk sesaat mata keduanya menyapu sekitar. Menyaksikan resepsionis dan
“Kita mau ngobrolin apa, Dave?” tanya Angel di atas pangkuan Davin. Embusan nafas hangat Davin menggelitik lehernya. Membuat sekujur tubuhnya meremang. Memanggil-manggil jiwa terdalamnya untuk datang.“Aku rasa kita perlu honeymoon lagi, Sayang…,” bisik Davin dari belakang. Tangannya melingkari Angel dengan erat dan rapat.“Maksudnya mau nambah anak lagi?” sahut Angle seperti tersentak.“Lho, kok nambah anak? Memangnya orang yang pergi honeymoon itu mau nambah anak?”“Tapi biasanya kan gitu. Aku nggak mau lagi lho, Dave, udah cukup El yang terakhir,” ucap Angel sambil memberengut.Davin tersenyum kecil. Dikecupnya pundak Angel yang membuatnya gemas. “Anak itu kan rezeki. Rezeki nggak boleh ditolak kan? Aku ngajak kamu honeymoon tapi kapan-kapan, kalo El udah bisa ditinggal lama-lama. Sekarang honeymoon-nya di sini aja dulu.”Bisikan Davin di telinganya membuat Angel kian meremang. Pasti sebentar lagi Davin akan mengeksekusinya.Davin membalikkan tubuh Angel mengarah padanya sehingga s
Jujur saja selama ada Gendiz sedikit banyak meringankan Angel dan Davin. Hampir setiap hari Gendiz bermain ke rumahnya, atau memboyong anak-anak ke rumah orang tua mereka. Saking sayangnya pada para bocah, Gendiz juga menahan si kembar agar menginap bersamanya dan tidak mengantarnya pulang. Sesekali Davin dan Angel membiarkan si kembar tidur bersama Gendiz di rumah Kiano dan Adizty. Mereka yakin dan percaya sepenuhnya kalau adiknya itu bisa menjaga ketiganya dengan baik. Meskipun sepanjang malam keduanya tidak bisa memejamkan mata karena tidak terbiasa berpisah dengan anak-anak mereka.“Kalian kalo mau kencan, pergi aja, biar anak-anak aku yang urus,” ucap Gendiz pada suatu hari. Melihat keseharian Angel yang disibukkan dengan mengasuh, menjaga, merawat dan mengurus anak-anaknya membuat Gendiz merasa kasihan. Begitu pula dengan Davin yang terlalu sibuk bekerja dari pagi hingga sore. Kadang sampai senja atau malam. Pasti keduanya butuh waktu untuk hanya berdua saja tanpa direcoki anak-
“Halo, Mbak Angel, masih ingat sama saya?” Suara Nilam mengagetkan Angel yang berdiri di tempatnya dan belum bergeming sejak berdetik-detik yang lalu.Angel maju beberapa langkah mendekati Gendiz dan Nilam. “Tentu saja aku ingat. Kamu yang dulu resek kan? Yang suka menggoda suamiku?” sahut Angel tidak suka. Kehadiran Nilam membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan karena dia takut akan kehilangan Davin, tapi tingkah Nilam begitu meresahkan.“Hehe…” Nilam tertawa canggung sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “maaf ya, Mbak Angel, tapi Mbak Angel jangan salah sangka dulu sama saya. Maksud saya baik kok. Saya hanya ingin menguji kadar cinta Mbak Angel sama mas Davin. Dan ternyata Mbak Angel cemburu sama saya. Hehehe…,” ucap Nilam penuh percaya diri.Angel tidak mengerti dengan gadis di hadapannya. Setelah minta maaf, eh bisa-bisanya bicara sesantai itu. Tidak ingin ambil pusing, Angel beralih pada Gendiz dan memeluk adik iparnya itu. Wangi vanila dari tubuh dan rambut Gendiz me
“Halo, Mas Davin, masih ingat siapa saya?” Nilam memamerkan senyum lebar pada Davin yang termangu saat beradu mata dengannya. Nilam harap pemuda tampan yang menawan hatiya sejak awal perkenalan itu tidak melupakannya.Davin membalas senyum Nilam sekenanya dan berbasa-basi sekadarnya. “Hai, apa kabar?”“Baik, Mas, bapak sama ibu juga sehat. Mereka titip salam buat Mas Davin.”“Terima kasih,” jawab Davin singkat, lalu segera menarik tangan Gendiz menjauh dari sana diiringi tatapan penuh tanda tanya Kiano, Adizty serta Nilam. Sedangkan anak-anak sibuk bermain dengan bonekanya.“Ada apa sih, Dave?” tanya Gendiz tidak mengerti karena Davin menarik tangannya tiba-tiba.“Ndiz, kenapa kamu bawa dia ke sini?” Suara Davin setengah berbisik. Meskipun saat itu mereka berada di ruangan yang terpisah, tapi bisa saja dinding mempunyai telinga dan menyampaikannya.“Maksudnya Nilam?”“Iya, siapa lagi kalo bukan dia,” jawab Davin kesal. D
“Dave, jangan lupa nanti jemput anak-anak di rumah mami,” kata Angel mengingatkan saat menelepon Davin melalui panggilan video sore itu, meskipun dia tahu kalau Davin tidak akan pernah melupakan hal tersebut.Davin tersenyum sambil merebahkan kepala ke sandaran kursi. Mendengar suara Angel mengusir penat yang menderanya.“Iya, Dek, aku nggak akan lupa kok. Mana mungkin aku bisa lupa. Kamu pasti modus kan?”“Modus apa?”“Bilang aja kalo sebenarnya kamu lagi kangen sama aku, pengen dengar suara aku terus pake alasan mengingatkan aku biar nggak lupa jemput anak-anak.”“Ih, apaan sih, Dave?” Angel tertawa saat merasakan pipinya menghangat digoda Davin.“Jadi serius kamu nelfon aku cuma buat kasih tahu jemput anak-anak?”“Kangen juga sih sebenarnya.”“Tuh kan ngaku akhirnya.” Davin tertawa karena berhasil menggoda Angel dan membuatnya mengakui perasaannya. “Aku juga kangen kamu, suara kamu itu bagai candu buat aku. Kamu nelfon kayak gini udah bikin aku bersemangat dan ngilangin semua rasa