Bab 88. Ipar-iparku Menjadi Janda “Tidak, Mas! Aku tidak mau! Aku tidak mau kamu talak! Aku tidak mau kita berpisah! Harusnya aku yang marah! Harusnya aku yang minta talak. Kenapa malah kamu yang nalak aku, Mas!?” Mbak Ambar sontak memeluk kaki Mas Wisnu. “Ya, aku yang salah. Aku akui aku yang salah. Tapi, aku tidak akan minta maaf padamu. Karena aku memang sudah tak niat melanjutkan pernikahan ini. Sudah sangat lama aku memendam ini. Aku bosan padamu, Ambar. Aku jenuh di pernikahan kita! Sedikitpun aku tak nafsu lagi. Tolong lepaskan kakiku!” sergah Mas Wisnu melepaskan pegangan Mbak Ambar dengan kasar. “Aku akan maafin kamu, Mas! Aku enggak akan marah meskipun kamu sudah selingkuh dengan adikku! Aku yakin Sekarlah yang menggodamu! Kamu tidak bersalah, Mas! Asal kita tidak berpisah!” Mbak Ambar menghiba. Aku tersentak kaget. Segila itukah mantan kakak iparku ini? Sudah jelas-jelas melihat suaminya tidur dengan perempuan lain, adik kandungnya sendiri, tapi dia malah bilang mau
Bab 89. Mbak Ambar Menyerang Kaki Mas Elang “Ning!” Seseorang memanggil dan menghentikan langkahku. Itu suara Mbak Ambar. Terdengar langkahnya mendekat, aku sontak berbalik, khawatir dia menyerangku dari belakang. “Kamu hebat! Kamu sungguh-sungguh hebat!” ucapnya dengan senyum menyeringai. Apa maksudnya? Kenapa dia? “Semua yang menimpaku, menimpak keluargaku, ini adalah hasil dari doamu, kan?” tandasnya menatapku tajam. Kedua matanya merah, nafasnya terengah-engah. Sepertinya dia sedang sangat marah. Emosi tengah membakar, seperti letupan larva di kawah gunung berapi, siap untuk dimuntahkan. “Maksudnya apa, Mbak?” tanyaku bingung. “Kami berjuang menikahkan Sigit dengan Yosa, tapi kenikmatan yang kami dapat tak sampai belasan hari. Selanjutnya penderitaanlah yang kami perolah. Bahkan semua berakhir seperti ini. Aku, Sekar, Ibu, Sigit, Yosa, kami semua hidup menderita! Bahkan semua anak-anak juga akan kena imbasnya. Semua itu karena sumpahmu, iya, kan!” Wanita itu tiba-tiba
Bab 90. Bude Asih Datang Setelah Lama Menghilang “Kowe sopo? Aku mau cari Bening! Mantuku yang wes sugih! Minggir!” ketusnya melepaskan peganganku. Namun, tak mau kulepas. “Lepaskan tanganku! Aku mau keliling lagi! Mau cari Bening! Mau cari cucu-cucuku! Niken wes mati! Sigit wes mati! Ambar wes modar, Sekar wes eddan. Aku mau tinggal karo Bening. Mantu kesayanganku! Mantuku yang paling baik! Ndak pernah ngelawan! Selalu baik karo aku. Awas kowe!” Tiba-tiba dia menghentakkan tanganku dengan kencang. Aku hampir saja terjungkal. Tenaganya berubah menjadi begitu kuat. Kok, bisa? Padahal tubuh kurus tak berdaging itu tampak begitu lemah. Tenaga dari mana tadi itu. “Siapa, dia, Ning? Ibu yang sudah selesai memberi ramuan kepada Mas Elang datang menghampiriku. Bude Asih melangkah pergi. Kaki kurus tak beralas itu terus berjalan. Sementara mulutnya tak henti mengoceh. “Aku nggolek i Bening, neng endi, toh, kowe, nduk? Ning! Aku ra nduwe sopo-sopo meneh, ra nduwe omah, Ning! Mbuh a
Bab 91. Pengakuan Bude Asih “Yang kemarin aku ceritakan itu,” sergah Mas Elang semakin serius. “Yang mana?” “Ning?” “Beneran aku lupa, yang mana, Sayang?” “Yang masalah ranj –“ “Ssst! Itu gak penting! Kalau aku sih, enggak gituan juga enggak apa-apa! Tapi dari cara Mas mencuri cium ke aku, aku jadi ragu,” cecarku sengaja menggodanya. “Ragu apa?” Mas Elang mengernyit. “Aku yakin kalau sebenarnya Mas Elang itu baik-baik saja! Apa perlu kita tes dulu?” “Beneran kamu mau si tes dulu, ayo, sini!” Mas Elang tiba-tiba meraih leherku dan langsung menggelitik bagian tertentu tubuhku. “Ennnggak, ampuun, ampun, enggak jadi ….!” teriakku sambil tertawa kegelian. Tapi Mas Elang tak mau melepasku. “Ning! Jadi kowe beneran Bening, toh, Nduk?!” Sontak Mas Elang melepasku. Kami menoleh ke arah pintu yang menghubungkan halaman belakang ini dnegan dapur. Bude Asih sudah berdiri di sana dengan mata basah. “Bude, ini beneran Bude Asih, kan? Aku beneran Bening, Bude!” tukasku lalu berla
Bab 92. Nirmala Melabrakku “Temani Bude, ya, Ning! Sekalian Bude mau bertemu Sigit di penjara, Bude kangen! Opo kowe, enddak kangen, Nduk?” Sontak kulepas sutil di tanganku. Kak Runi mengambil alih, sambil berbisik. “Sebaiknya kau jelaskan saja semuanya, jangan tutupi lagi! Bilang kalau kamu bukan istri Sigit lagi!” usulnya. Tetapi aku ragu. Khawatir kalau penyakit Bude Asih kambuh lagi karena kecewa. “Nopo kowe diem? Kowe enddak mau? Ya sudah, enddak apa-apa. Aku biar pergi sendiri saja!” pungkas Bude langsung berjalan ke arah pintu utama. “Tunggu, Bude!” panggilku mengejarnya. Namun dia tak menghiraukan. Langkahnya semakin panjang-panjang. “Baik, kita akan jenguk Mas Sigit ke penjara! Kita juga akan ke rumah Bude. Tapi nanti, ya?” “Kenapa nanti? Sekarang saja, Ning! Bude mau mengusir Niken sama anak-anaknya! Mereka harus kembalikan rumah itu! Kowe karo anak-anakmu harus pindah ke sana! Itu rumah Sigit!” “Iya, Bude, nanti, ya!” “Enddak! Kowe selalu jani nanti – nanti! Bude e
Bab 93. Permintaan Aneh Bude Asih “Ya, kau tidak pernah mengeluh, Nirmala! Hakim akan memujimu sebagai istri yang baik, istri yang sholeha, mereka akan sangat percaya. Hakim tidak akan percaya dengan semua bukti-bukti yang sudah berhasil dikumpulkan oleh Pengacara baru yang ditunjuk oleh Nek Ayang. Bukti bukti saat kau cek-in di hotel dengan para pria itu.” “Apa? Kamu bilang apa, Mas?” “Oh, iya, apa perlu aku kirim foto-foto itu ke hapemu? Boleh, sebentar!” Mas Elang merogoh saku celananya, mengutak-atik ponselnya. “Buka hapemu, lihat sendiri, lalu pergi dari sini! Jangan pernah ganggu Bening lagi!” Mbak Nirmala mengaktifkan ponselnya, detik berikutnya dia terbelalak kaget. “Dari mana kamu dapat semua foto-foto ini? Kamu ngikutin aku ke hotel? Kamu mata-matain aku, Mas!” teriaknya masih tak percaya. “Tidak penting! Satu kata untukmu, Nirmala! Kau menjijikkan! Kau lebih rendah dari pelac*ur!” “Mas!” “Ning, ayo siap- siap, Sayang! Nek Ayang sudah menunggu, lho!” Mas Elang menol
Bab 94. Mas Sigit Bebas dari Penjara? “Bude, kalau boleh tau, Mas Agung itu siapanya Bude?” tanya Mas Elang menoleh ke belakang. “Ya, suami Budelah. Bapake si Sigit,” jawab Bude terlihat semringah. Sepertinya dia sangat senang mengenang nama itu. “Oh, Papanya si Sigit. Jadi Sigit itu anaknya Bude, bukannya anak Bu Niken?” lanjut Mas Elang. “Niken itu cuma minjem. Sigit itu anakku karo Mas Agung. Niken enddak punya anak lanang. Anak lanange meninggal saat umur setahun, ketabrak mobil di depan rumah iku, lho. Niken gak iso nerimo kenyataan. De e stress, gilo, eh, malah ngaku-ngaku cah lanangku sebagai anaknya. Sigit iku anakku, Ning! Kowe percaya karo aku, kan, Ning?” Bude menoleh ke arahku, menatap tepat di manik mataku. Tatapan yang begitu memohon. Entah kenapa, semakian dia memohon, semakin aku tak percaya. “Oh, begitu ceritanya.” Mas Elang bergumam. Sepertinya dia mulai percaya dengan uaraian tak masuk akal Bude Asih. “Iyo, Nak Elang. Nak Elang percaya karo Bude?” ta
Bab 95. Kejutan Manis Untuk Keluarga Mantan Suamiku “Buat Bening podo koyo Budemu, si Asih! Rebut anak-anakmu! Biar Bening gila, podo koyo Budemu iku! Balaskan sakit hati Ibu, yo, Le! Bening sudah keterlaluan! Beraninya dia menipu Ibu. Bisa-bisanya dia penjarakan kowe karo Yosa!” Itu suara ibu mertuaku. Terdengar begitu jelas. Aku dan Bude Asih seperti membeku, saling tatap tanpa berucap. Ini terlalu mengejutkan. Bagiku pun bagi Bude Asih. “Benar, Git! Kau harus bisa merebut hak asuh atas anak-anakmu! Biar Bening stress!” Kedua Kakaknya semakin menyemangati. “Tapi, Bening sepertinya susah untuk dikalahkan di dalam sidang nanti, Buk! Pengacaranya itu hampir tak pernah kalah dalam setiap kasus yang dia tangani. Aku ragu kalau soal hak asuh anak. Sepertinya dia bakal menang, Buk.” Terdengar suara Mas Sigit. Aku tak salah lagi, itu beneran Mas Sigit. Dia sudah keluar dari penjara. Tuntutan masa tahanan lima tahun hanya beberapa bulan di jalani. Apakah dia berhasil memenangkan ketik