"Aaaghh!!"Anggra meludahkan darah dari mulutnya seraya menatap nyalang pada tiga orang lelaki yang sedang mengeroyoknya. Sekujur tubuhnya nyeri dan penuh luka akibat pukulan mereka yang tak pernah jeda sejak setengah jam yang lalu.Ia mengira mereka bertiga ini adalah orang suruhan Regan Bradwell yang menjaga Bella dari kejauhan. Pasti Regan telah menugaskan mereka untuk menghajar dirinya jika berani menyentuh Bella, seperti ancaman yang pernah dilontarkan Regan kepadanya sebelumnya."Hentikan."Suara tenang seorang wanita membuat pukulan yang hendak melayang ke rahang Anggra pun sontak terhenti di udara. Ketiga orang algojo itu pun menoleh ke arah sumber suara, dan melihat sosok istri dari bos mereka sedang berdiri sambil tersenyum."Sudah cukup. Biarkan dia.""Tapi Nyonya Patricia, Tuan Regan berpesan--""Aku yang akan bertanggung jawab kepada Regan. Kalian semua pergilah!" Usirnya dengan dagu yang terangkat tinggi, menunjukkan statusnya yang merupakan seorang Nyonya Muda Bradwe
Bella berusaha membuka kedua bola matanya meskipun terasa sangat berat. Kesadarannya yang perlahan-lahan hadir memaksanya untuk segera mawas diri. Terutama saat ia merasakan seseorang menyentuh serta membelai kakinya."Uh? Siapa yang..." Bella mengerjap-kerjapkan mata untuk menyingkirkan kabut putih yang mengaburkan pandangannya. Ia melihat sosok gelap yang berdiri di dekat kakinya, yang sontak membuatnya terkejut dan menjerit ketakutan."Jangan takut, Bella. Ini aku."Napas Bella masih memburu setelah tadi menjerit-jerit histeris dan berusaha menendang orang yang mengelus kakinya. Namun ia pun baru sadar jika dirinya sedang dalam kondisi terikat di atas tempat tidur."Kamu sekarang sudah aman, Sayang. Aku sudah mengeluarkanmu dari penjara Regan Bradwell. Akhirnya kita bersatu lagi.""Mas... Anggra???" Bella meringis ketika melihat sosok gelap itu kini mulai terlihat jelas karena bergerak mendekatinya dan berdiri tepat di bawah sinar lampu remang-remang. Wanita itu mengernyit bing
Bella terduduk lemas di atas tanah. Kedua lututnya terlipat ke atas, dengan kening yang menyangga di atasnya. Malam ini begitu gelap dengan sedikit bintang yang menaungi cakrawala. Suara-suara asing entah hewan ataukah sesuatu yang lain membuat bulu kuduknya meremang, Bella sangat ketakutan. Napasnya mulai terasa sesak karena memikirkan peristiwa naas yang telah datang bertubi-tubi ke dalam hidupnya, dan terasa berat menghimpit dadanya. Cairan bening air mata pun mengalir turun membasahi pipinya. KRAKK!! Sebuah suara derak ranting pohon terinjak membuat Bella seketika mengangkat wajahnya dan melemparkan pandangan ke sekeliling dengan ketakutan. Ia hampir tak bisa melihat apa pun karena semuanya begitu gelap. 'Apa itu hewan buas?? Atau... Mas Anggra??' Bella bahkan tidak tahu mana yang harus ia pilih diantara kedua pilihan itu untuk ia temui saat ini. Dua-duanya membuatnya ketakutan! Ia cepat-cepat berdiri dan kembali berlari sekencang mungkin, tak sadar jika
Bella telah sampai dengan selamat di Jakarta, helikopter yang membawanya telah mendarat dengan mulus di atas gedung salah satu rumah sakit besar di kota ini.Kedatangan pasien spesial ini disambut oleh tim medis rumah sakit tersebut yang setengah jam yang lalu telah stand by di atas gedung atas permintaan Regan Bradwell, pemegang saham terbesar rumah sakit ini.Tim medis dari rumah sakit asal yang ikut mendampingi pasien selama mengudara pun berdiskusi selama beberapa saat dengan tim medis rumah sakit setempat, memberikan beberapa informasi yang sekiranya diperlukan untuk penanganan pasien.Ketika semua dokumen telah selesai di urus, Regan mengikuti para tim medis yang membawa Bella melalui lift khusus untuk ke lantai bawah ruang perawatan.Tak ia hiraukan lagi tubuhnya yang lelah setelah menempuh perjalanan panjang 18 jam dari Amerika yang langsung disambung dengan pencarian akan keberadaan Bella. Sejak tadi pandangannya pun hanya tertuju kepada wanita yang sedang tertidur di atas b
Bella mengerjap-kerjapkan matanya dan menelan ludah mendengar perintah Regan barusan. Lelaki itu menyuruh dirinya untuk berjalan tanpa berpegangan dengan alat bantu apa pun?"Ayo, Arabella. Cobalah untuk berjalan ke arahku," Regan pun mengulang kembali perintahnya. Maniknya tak lepas menatap Bella tanpa berkedip, hal yang selalu ia lakukan tanpa sadar jika memandang sosok wanita itu.Regan mengagumi leher jenjang keemasan yang dipenuhi titik keringat itu terpampang dengan begitu jelas, karena Bella menata rambut ikal panjangnya dalam bentuk cepol di atas kepala. Beberapa helai ikal hitam jatuh dengan lembut di leher serta dahinya, yang juga ikut dibasahi oleh peluh.Bella terlihat menakjubkan, meskipun ia tidak berusaha untuk tampil menakjubkan. Kesederhanaannya justru membuat Regan terpukau. Kecantikan alami yang ia miliki membuat Bella tak perlu bersusah payah mengoleskan banyak make-up di wajahnya.Bella telah berkilau dengan cahayanya sendiri.Wanita itu menggeleng sambil berg
"Regan, a-aku benar-benar bisa mandi sendiri..."Bella hanya bisa meringis ketika melihat Regan yang sejak tadi sama sekali tidak mendengar protesnya. Seperti tuli, lelaki itu terus saja berjalan masuk ke dalam kamar mandi sambil membopong Bella."Sayang sekali di sini tidak ada bath tub," ucap Regan seraya mengedarkan pandangannya ke penjuru kamar mandi ruang rawat VIP milik Bella."Kamu bisa berdiri?" Tanya Regan, yang dibalas dengan anggukan kepala Bella.Regan kemudian menurunkan tubuh Bella hingga kaki wanita itu pun menjejak di atas lantai. "Angkat kedua tanganmu," titahnya.Bella menggigit bibir dan menggeleng kali ini. "Regan, aku--""Angkat tanganmu, Arabella."Bella menelan ludah, lalu perlahan mengangkat kedua tangannya yang gemetar ke atas kepala. Manik coklatnya terpejam karena malu, ketika Regan menarik ujung kaus oversize Bella ke atas.Dengan mata yang masih terpejam, Bella menurunkan tangannya kembali ke bawah saat ia merasakan kausnya telah lolos dari tubuhnya. Kehan
[Regan, aku menyukaimu]Kedua bola mata Bella yang terpejam pun sontak terbuka, ketika ucapannya sendiri tadi saat di dalam kamar mandi kembali terngiang di dalam otaknya.Bella yang semula sedang tertidur pun seketika terbangun dan meringis dalam hati.Ya ampun... apa yang dia pikirkan sih?? Bisa-bisanya dia mengatakan hal seperti itu??Wanita itu pun membalikkan badannya yang semula telentang hingga kini menjadi tertelungkup di atas ranjang rumah sakit, berusaha mengubur wajahnya yang sudah merona seperti kepiting rebus karena malu di atas bantal.Bella benar-benar tidak tahu apa yang telah merasuki dirinya hingga berkata bahwa ia menyukai Regan!"Aaa!! Aku pasti sudah gilaa!!" Serunya kesal pada diri sendiri.Sambil menggigit-gigit kuku, Bella pun mengingat kembali bagaimana reaksi Regan kala mendengar pengakuan perasaannya itu."Kamu yakin, Arabella?" Sahut Regan waktu itu. "Karena apa yang telah terucap, tak akan bisa ditarik lagi." Regan menatap tajam pada manik coklat Bella yan
BRAAK!!! Regan menggebrak meja kerjanya dengan keras sebelum ia berdiri dan berjalan menuju jendela kaca. Tatapannya nanar menatap pemandangan indah gedung-gedung tinggi, namun pikirannya melanglang buana entah kemana. Ia sebenarnya sudah memperkirakan Patricia yang akan mengadu kepada Chelsea, bahkan Regan pun sudah menyusun rencana tindakan selanjutnya untuk menjegal Patricia. Namun apa yang dilakukan Chelsea adalah bola liar yang berada di luar prediksinya. Chelsea pasti benar-benar marah, hingga mengambil jalan pintas melalui media. Jalan yang selalu dihindari Regan karena hanya akan menimbulkan sensasi yang akan berimbas pada nama Bradwell Company yang susah payah ia besarkan. "Aku akan pulang," ucap Regan kepada Gala yang masih setia menanti perintahnya. "Tolong awasi terus pergerakan saham perusahaan, dan jika ada Dewan Direksi yang menanyakan masalah ini, katakan bahwa ini cuma salah paham." "Baik, Tuan Regan," sahut Gala patuh. "Peningkatan serta penjagaan keamana
((SATU MINGGU KEMUDIAN)) "Regan?" Lelaki berpostur tubuh tinggi dengan ototnya yang maskulin itu menoleh kepada sumber suara yang memanggilnya. Senyum lebar pun sontak terkembang di bibirnya, kala melihat sosok menawan yang telah menyapanya dengan suara lembut. "Sweetie, kamu sudah datang?" Dengan langkahnya yang lebar, Regan pun menyongsong wanita cantik berkulit keemasan yang kini telah menjadi istrinya. Kedatangan Bella ke kantor Bradwell Company ini adalah atas permintaan suaminya. Hari ini adalah hari dimana Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) diselenggarakan, sekaligus penentuan apakah Regan masih menjabat sebagai CEO ataukah tidak. Berbagai tekanan dari Dewan Direksi untuk menurunkan dirinya dari jabatan tertinggi itu adalah alasan utama diselenggarakannya RUPS hari ini. Harga saham Bradwell Company yang anjlok cukup drastis beberapa minggu ini adalah penyebabnya, hingga membuat para pemegang saham atau shareholders gusar. Padahal selama bertahun-tahun harga saham Bradwell
Renata dan Chelsea, kedua wanita yang saling berpelukan itu kini sama-sama mencurahkan air mata. Mereka semua berkumpul di Penthouse Regan, dengan maksud untuk menjalin kembali apa yang telah tercerai-berai sebelumnya. Setelah seluruh cerita telah diungkapkan, ketika semua kesalahpahaman diluruskan, dan saat sebuah kata 'maaf' terucap dengan penuh ketulusan, maka jiwa-jiwa yang terluka itu tetaplah terluka. Namun dibalik itu, ada sebuah harapan dan janji yang tersemat di dalam hati, bahwa suatu hari nanti semua luka memerihkan itu perlahan sirna ditelan oleh rasa bahagia. Suasana penuh haru itu membuat Bella dan Axel tak pelak ikut menitikkan air mata. Sementara Regan, lelaki itu masih membisu dalam keheningan pikiran yang tak dapat terbaca. George mendekati putranya dan menepuk pelan pundak Regan. "Bisakah Daddy bicara sebentar denganmu?" Pinta lelaki itu dengan sorot penuh permohonan. Regan melarikan maniknya ke arah Bella yang ternyata juga sedang memandanginya, dan tersenyum
"Auuww!! Bisa pelan-pelan nggak sih??" Protes Axel sambil mendelik kesal ke arah Renata, yang dengan sengaja menekan kuat-kuat kapas yang dibubuhi obat luka itu ke pipi Axel. Renata membalas dengan ikut-ikutan mendelikkan matanya. "Rasakan! Salahmu sendiri kenapa bisa-bisanya membuat Regan marah! Sudah kubilang untuk sembunyi, eeh... kamu malah memanggil namanya!" Dengus Renata sebal. "Dasar bodoh!" Umpat Renata gusar. Axel pun hanya bisa meringis walaupun dalam hati merasa senang, karena lagi-lagi dengan alasan ini ia bisa lebih lama bersama Renata. Si Psikiater ini tentu saja sudah bisa meramalkan apa yang akan terjadi, jika ia dengan terang-terangan mengakui kepada Regan bahwa semalam ia meniduri Renata. Ya, Regan benar-benar murka dan memukulnya. "Dia sangat overprotektif kepada semua wanita yang berada di sekitarnya, ya?" Cetus Axel menyimpulkan. Renata mengangguk kecil. Ia menempelkan plester ke sisi wajah Axel yang lukanya terbuka, lalu mengoleskan gel anti lebam di sudut
"Arabella Kanaya, maukah kamu menjadi istriku?" Pertanyaan yang diucapkan dengan lantunan nada yang lembut namun suara yang maskulin itu membuat jantung Bella tak henti berdebar. Wajah Regan terlihat semakin tampan di bawah bias cahaya lilin yang berpendar hangat menyinari kulitnya, serta lampu-lampu aneka warna dari gedung di sekitar mereka. Apakah Bella sedang bermimpi? Apakah ini nyata? Karena ini semua terlalu indah, hingga Bella khawatir bahwa ini hanyalah ilusinya semata. Namun semua keragu-raguan Bella yang insecure itu segera terbantahkan, saat Regan meraih jemari lentiknya untuk dikecup satu persatu dengan lembut. "Apakah pertanyaanku begitu sulit untuk dijawab?" Tanyanya dengan raut sendu. Serta merta Bella pun menggelengkan kepalanya. "Bukan begitu, Regan. Aku hanya... benar-benar tidak menyangka. Dan aku mengira yang kudengar barusan adalah khayalanku saja," ucapnya berterus terang. Kali ini Regan mengecup telapak tangan dan bagian pergelangan tangan Bella dimana ur
"Another shot, please!" Seru Renata kepada bartender sembari mengacungkan gelasnya yang telah kosong. "Apa Anda yakin, Nona?" Tanya bartender itu setelah mengamati Renata yang mulai terlihat mabuk. Renata memandangi name tag di dada sang bartender. "Devin," ia membaca tulisan yang tertera di sana. "Tentu saja aku yakin, Devin. Jangan khawatir. Tolong berikan aku minuman lagi." Bartender itu pun kembali menuangkan cairan keemasan yang menguarkan aroma alkohol yang pekat ke dalam gelas Renata, membuat senyum cantik terpulas di bibir itu. "Terima kasih, Devin. Oh iya," Renata mengeluarkan dompet dari tasnya, lalu menarik sebuah black card dan menaruhnya di atas meja di hadapan sang bartender. "Ini, bawa saja kartuku," cetusnya santai sembari mengangkat gelasnya yang telah terisi dengan gestur bersulang. "Jaga-jaga saja kalau-kalau aku sudah tak sadar saat pulang nanti." "Oke," sahut Devin dengan mata bersinar-sinar dan cepat-cepat menyelipkan kartu hitam itu di saku dadanya. "Akan
Renata menatap Regan dengan tatapan yang tak terbaca. Seluruh cerita yang disampaikan saudara kembarnya dengan tenang dan runut itu membuat sesuatu di dalam dirinya patah. Jadi selama belasan tahun ini Regan telah memendam kebencian dan kesedihannya sendiri? "Kenapa kamu tidak menceritakannya kepadaku?" Tanya Renata tak mengerti. "Karena aku tidak mau membuatmu ikut terluka, Ren," sahut Regan sambil tersenyum tipis, namun kilas kepedihan terpatri di garis bibirnya. "Lagipula kamu itu tipe yang nekat, aku khawatir kalau kamu tiba-tiba kabur dari rumah untuk mencari ibu biologis kita," cetus Regan sambil terkekeh pelan. Renata tidak ikut tertawa, meskipun apa yang diucapkan Regan adalah benar adanya. Memang hanya Regan yang benar-benar mengetahui dirinya, namun untuk kali ini Renata tidak menyukai keputusan Regan yang sepihak itu. Renata memejamkan kedua matanya sejenak, sebelum akhirnya ia membuka mata dan menggenggam jemari kakak kembarnya dengan kedua tangannya. "Regan, bagaima
"Apa??" Renata membelalakan maniknya menatap Regan dengan sorot tak percaya. "K-kau sudah... tahu??" Regan mengulurkan tangannya untuk menggenggam erat jemari adik kembarnya itu. Kedua manik indah biru safir itu pun saling bertemu namun dengan makna yang berbeda. "Ya, Renata. Sebenarnya aku sudah mengetahuinya sejak 16 tahun yang lalu..." guman Regan sembari tersenyum sedih. "Dan kurasa ini saatnya kamu juga mengetahui apa yang terjadi, Ren..." **FLASHBACK 16 TAHUN YANG LALU** Remaja lelaki itu melangkah masuk menuju pintu gerbang rumahnya dengan gontai karena sekujur tubuhnya terasa lelah. Tugas-tugas sekolah dan banyaknya ekstrakuler yang ia ikuti terkadang memang membuat tenaganya terkuras habis, namun dibalik itu semua, sesungguhnya ia menyukai kesibukan. "Aah, pundakku pegal sekali!" Keluhnya sembari memukul-mukul pelan pundak kiri dengan kepalan tangan kanannya. Semalaman ia menginap di rumah salah seorang temannya untuk mengerjakan sebuah project sains untuk klub fisika
"Jadi dia masih hidup??!" Patricia terkesiap saat mendengar suara ayahnya yang terdengar gusar pada seseorang di sambungan telepon. Dengan perlahan dan tanpa suara, ia pun menjalankan kursi rodanya semakin mendekati pintu ruang kerja Maxwell Harrison agar bisa mendengarkan dengan lebih jelas. BRAAKK!!! Hampir saja Patricia berteriak karena terkejut saat Maxwell menggebrak mejanya dengan keras. Untungnya wanita itu cepat-cepat menutup mulut dengan kedua tangan untuk meredam suara yang keluar. "Aku tidak mau tahu! Laksanakan tugasmu atau lehermu yang akan menggantikan nyawanya!!" Bentak Maxwell sembari menutup sambungan telepon dengan geram. "Daddy?" Lelaki yang juga ayahanda Patricia itu pun sontak menoleh ke arah sumber suara yang memanggil namanya. "Patrice? Kamu sudah datang?" Maxwell berdiri dari kursinya dan berjalan menuju pintu dimana Patricia masih terdiam di atas kursi rodanya. "Kenapa kamu tidak bilang kalau hari ini keluar dari rumah sakit? Daddy bisa menjemputmu."
Awan mendung dengan semilir angin dingin yang berhembus menerbangkan dedaunan kering di atas rumput. Titik-titik air pun mulai meluruh turun dari atas langit, menjanjikan curahnya yang akan jauh lebih deras. Dua sosok itu masih berada di sana, di depan sebuah makam berbatu granit putih. Rambut dan pakaian mereka mulai lembab dibasahi rintik hujan, namun tak ada satu pun dari mereka yang bergeming. Sang lelaki masih berdiri di sisi sang wanita yang sedang duduk berlutut di atas rumput, manik biru safirnya yang basah tak lepas memandang sayu pada nisan putih itu. "Apa yang harus kulakukan sekarang, George?" Rintih Chelsea pilu. Hujaman rasa bersalah yang begitu masif membuat sekujur tubuhnya lemas. "Semua ini salahku. Salahku!! Aku berdosa kepada Chloe!!" Chelsea kembali meraung keras sambil menjambak rambutnya frustasi. "Bangunlah, Chloe! Aku mohon, hiduplah!! Kau... kau berhak mendapatkan kebahagiaan, Kak..." jeritannya melengking penuh kesedihan yang mendalam. Air mata yang ber