“Awas, Hana! Menghindar dari situ! lampu gantungnya lepas,” seru seorang pria yang berprofesi sebagai seorang fotografer, di sesi pemotretan untuk iklan sebuah apartemen.
Hana, sang fotomodel pun menghindar dengan berupaya berlari menjauh dari sana. Namun, kostum yang Hana kenakan rupanya mempersulit langkah gadis itu. Hana yang saat ini memakai gaun panjang dengan high heels setinggi sepuluh sentimeter, hanya mampu bergerak satu langkah. Dia kemudian terjatuh akibat kakinya menginjak ujung gaun, karena melangkah dengan tergesa-gesa. Akhirnya lampu gantung itu terjatuh di samping Hana, dan serpihan kaca lampu itu mengenai wajahnya.
Prang!
“Argghh!” pekik Hana ketika serpihan kaca lampu gantung mengenai wajahnya. Dalam waktu sekejap, darah membasahi wajah gadis itu.
Manager Hana dan beberapa kru yang terlibat dalam pemotretan itu, segera menghambur ke arah Hana dan menggotong tubuh gadis itu ke sofa.
“Cepat panggil ambulans! Hana harus segera dibawa ke rumah sakit!” titah seorang pria pada Mutia, manager Hana.
Mutia dengan cepat menekan angka pada telepon genggamnya, dan melakukan panggilan telepon ke salah satu rumah sakit. Dia meminta agar rumah sakit itu segera mengirim ambulans ke lokasi pemotretan.
Tak lama, ambulans tiba di lokasi pemotretan dan membawa Hana menuju rumah sakit.
***
Mata Hana mengerjap kala sinar mentari menerobos masuk dari celah tirai jendela ruang rawat, tempat gadis itu berada saat ini. Hana membuka kelopak matanya, dan dia merasakan wajahnya dibungkus kain perban yang cukup tebal. Rasa nyeri perlahan menjalar di permukaan wajahnya. Dia menatap langit-langit kamar, dan matanya pun mulai berkaca-kaca kala kini dia merasa dunianya sudah berakhir.
Ingatan Hana kembali ke kejadian kemarin siang, kala dia sedang melakukan pekerjaannya sebagai seorang fotomodel. Pekerjaan yang baru dia tekuni selama enam bulan, dan untuk iklan apartemen tersebut adalah yang pertama kalinya dia menjalani sebagai model iklan. Biasanya dia bekerja sebagai model pakaian di sebuah butik. Namun, kini sepertinya dia harus rela kehilangan pekerjaannya itu, karena wajahnya sudah rusak akibat terkena serpihan kaca lampu gantung apartemen.
Hana seketika histeris menyadari kalau dia sudah terpuruk saat ini.
“Arghh.”
Teriakannya itu membuat Mutia yang sedang tidur di sofa, terbangun dan bergegas menghampiri Hana.
“Han, kamu sudah bangun?” tanya Mutia dengan suara serak, khas orang baru bangun tidur.
“Mbak Mutia, bagaimana dengan karir aku ke depannya kalau wajahku kini sudah hancur?” ucap Hana lirih. Ucapannya terdengar pilu, dan siapa saja yang mendengarnya akan iba pada nasib gadis itu.
“Dokter mengatakan kalau wajah kamu bisa pulih setelah dilakukan operasi, Han,” sahut Mutia.
“Tapi, biayanya pasti mahal, iya kan?” tebak Hana. Dia mulai frustasi karena sebagai model baru, dia tidak punya banyak tabungan. Penghasilannya sebagai fotomodel untuk membantu ibunya menutupi biaya hidup keluarga, setelah ayahnya meninggal dunia.
Mutia, sang manager sekaligus kakak sepupu Hana menganggukkan kepalanya pelan.
“Dokter bilang, biayanya sekitar seratus juta. Itu hanya biaya operasinya saja, belum termasuk biaya pengobatan dan biaya rawat inap. Kalau dijumlah mungkin bisa mencapai dua ratus juta atau lebih. Itu karena luka kamu cukup parah, Han,” jelas Mutia.
“Lalu yang sekarang ini, siapa yang membiayai? Aku atau pihak pengembang apartemen itu?” tanya Hana.
“Kemarin malam perwakilan Barata Group mengatakan, bahwa pihak perusahaan akan bertanggung jawab atas kejadian itu. Mereka akan menanggung seluruh biaya pengobatan maupun rawat inap kamu selama di sini. Tapi, ketika dokter mengatakan kalau wajah kamu akan pulih kembali dengan cara melakukan operasi, pihak Barata Group tidak merespon,” ucap Mutia dengan suara perlahan.
“Lho, kok mereka tidak merespon? Seharusnya mereka juga bertanggung jawab atas musibah yang aku alami ini, Mbak. Aku juga tidak mau mengalami musibah seperti ini. Tapi, namanya musibah kan kita tidak bisa mengelak. Seharusnya mereka juga bertanggung jawab untuk mengembalikan wajahku seperti semula. Menurut Mbak Mutia, sekarang aku harus bagaimana?” tanya Hana lirih.
“Aku ada pikiran untuk mengajukan tuntutan ganti rugi ke pihak manajemen Barata Group, untuk membiayai operasi pada wajah kamu. Wajah kamu itu aset berharga kamu, Han. Jadi harus dipulihkan. Bagaimana? Apa kamu setuju dengan ideku ini?” tanya Mutia.
“Tolong lakukan hal itu untukku, Mbak. Wajah aku ini harus dipulihkan. Aku tidak mau kehilangan pekerjaanku. Mbak tahu sendiri kalau aku membiayai hidup keluarga dan kuliahku, dari pekerjaanku sebagai seorang fotomodel,” sahut Hana. Dia menggenggam erat jemari Mutia.
“Iya, Han. Kamu tenang saja. Hari ini aku akan ke kantor Barata Group meminta ganti rugi. Kamu nggak masalah kan kalau aku tinggal sebentar? Sebentar lagi ibu kamu akan datang kemari. Aku sudah menghubunginya semalam,” ucap Mutia.
“Iya, Mbak. Aku nggak apa-apa di sini sendiri,” sahut Hana.
“Ok, aku akan pulang sebentar untuk mandi. Setelah itu, aku langsung ke kantor Barata Group,” ucap Mutia yang diangguki oleh Hana.
Siang harinya, Mutia datang ke ruang rawat inap dengan langkah gontai. Wajahnya terlihat tak bersemangat. Hal itu membuat Hana risau.
“Bagaimana hasilnya, Mbak?” tanya Hana.
“Pihak perusahaan nggak mau menanggung biaya operasi pada wajah kamu, Han. Pihak Barata Group bilang, kalau mereka sudah bertanggung jawab dengan membiayai pengobatan dan rawat inap kamu di sini. Masalah operasi itu menjadi urusan kamu. Mereka juga mengatakan kalau pihak Barata Group sudah berbaik hati tidak membatalkan kontrak. Mereka tetap menunggu hingga kamu pulih dan siap untuk melakukan pemotretan lagi,” jelas Mutia.
“Tapi, musibah ini kan karena kelalaian mereka juga yang nggak tepat pasang lampu gantungnya,” ucap Hana mulai kesal.
“Aku sudah jelaskan pada mereka tadi. Mereka bilang, namanya musibah tidak bisa dicegah jadi jangan mencari kambing hitam, begitu kata mereka tadi. Aku juga kesal mendengar jawaban mereka, Han,” ucap Mutia.
“Tapi, ini tetap nggak adil buatku, Mbak,” ucap Hana mulai terisak.
Mutia terdiam. Dia tampak tengah berpikir untuk mencari solusi terbaik bagi adik sepupunya itu.
“Han, aku punya ide. Bagaimana kalau kita menempuh jalur hukum? Kamu setuju nggak? Barangkali saja pihak Barata Group bisa berubah pikiran jika kita menempuh jalur hukum,” tutur Mutia.
“Tapi, biaya pengacara kan mahal, Mbak. Bisa jadi biaya pengacara lebih mahal dari pada biaya operasi wajahku,” ucap Hana.
“Aku punya teman yang berprofesi sebagai pengacara, Han. Kita bisa negosiasi nanti sama dia, bagaimana?” tanya Mutia.
Hana terdiam sejenak, hingga akhirnya dia menganggukkan kepalanya. “Ok, Mbak, aku setuju.”
***
Hana dengan diwakili oleh Mutia, akhirnya melakukan tuntutan ganti rugi melalui jalur hukum. Hal itu membuat pihak Barata Group merasa kesal. Terlebih lagi masalah ini terdengar ke telinga Andhika Barata, CEO Barata Group.
“Gus, ini kenapa kita bisa berurusan dengan masalah hukum? Apa nggak bisa diselesaikan dengan baik-baik?” tanya Andhika pada asistennya.
“Manager wanita itu minta ganti rugi untuk operasi wajah fotomodel itu, Pak. Kita sudah membiayai pengobatan dan rawat inap. Jadi kalau untuk operasi wajah, kita nggak menanggung lagi biayanya, dong.” Bagus, sang asisten menjelaskan awal mula mereka dituntut melalui jalur hukum.
Andhika menghela napas panjang. “Coba kamu atur pertemuanku dengan fotomodel itu. Aku mau bicara sama dia supaya dia mau mencabut tuntutannya. Bikin malu saja, Barata Group dituntut masalah ganti rugi operasi wajah.”
“Bapak serius mau ketemu sama fotomodel itu?” tanya Bagus memastikan.
“Hu’um.”
“Ok, akan saya atur waktunya,” ucap Bagus.
Tiga hari kemudian, Hana ditemani oleh Mutia datang ke kantor Barata Group untuk menemui Andhika Barata. Mereka diantar oleh Bagus menuju ruangan Andhika.
“Pak Andhika, ini Hana, fotomodel yang wajahnya terkena serpihan kaca lampu gantung itu,” ucap Bagus memperkenalkan Hana pada sang CEO, ketika sudah berada di ruangan Andhika.
Andhika menganggukkan kepalanya seraya berkata, “Bisa saya bicara empat mata dengan Hana?”
Ucapan Andhika sontak membuat Hana serta Mutia terkejut dan saling tatap.
Mutia sebagai manager Hana, tampak keberatan apabila Hana berbicara empat mata dengan Andhika tanpa dia dampingi. Apalagi Mutia merasa kalau ada maksud tersembunyi di balik undangan Andhika hari ini.“Maaf, Pak Andhika. Saya sebagai manager Hana wajib untuk mendampinginya. Apalagi kedatangan kami kemari untuk kepentingan pekerjaan Hana ke depannya nanti,” ucap Mutia.Andhika menghela napas, dan menatap Mutia lekat. “Saya juga ingin berbicara empat mata dengan Hana demi kepentingan pekerjaan dia ke depannya nanti. Tapi, kalau keberatan untuk bicara empat mata, saya tidak masalah. Jadi sepertinya tidak perlu ada yang dibicarakan lagi. Kita akan bertemu di pengadilan, dan itu juga belum tentu Anda akan menang.”Hana dan Mutia kembali saling tatap. Mereka merasa gentar juga dengan ucapan Andhika tadi. Sebagai orang yang memiliki uang dan kekuasaan, tentunya Andhika akan meminta anak buahnya mencari pengacara kondang untuk menyelesaikan masalah ini. Bisa jadi Hana akan kalah di pengadilan.
Andhika tersenyum penuh arti dan menatap Hana seraya berkata, “Kekasih kamu seorang aktor muda yang bernama Rama, bukan?” Hana terkesiap mendengar ucapan Andhika yang benar adanya. Dia menatap lekat manik mata Andhika. ‘Dari mana dia tahu tentang Rama? Apa Pak Andhika menyelidiki semuanya sebelum dia mengajukan penawaran padaku?’ ucap Hana dalam hati. “Bapak rupanya tahu segalanya tentang kehidupan pribadi saya. Apa Bapak sengaja menyelidiki? Lalu setelah tahu kalau saya telah memiliki kekasih, kenapa juga Bapak mengajukan penawaran itu? Apa Bapak sengaja menguji kesetiaan saya terhadap Rama?” tanya Hana dengan tatapan menyelidik. “Buat apa saya perlu tahu tentang kesetiaan kamu? Nggak ada untungnya juga buat saya. Dan perlu kamu tahu, kalau saya sesungguhnya memberikan penawaran ini bukan karena saya tertarik sama kamu. Tapi, saya lakukan ini untuk kepentingan saya sendiri. Saya memerlukan kamu untuk membantu agar saya bisa terlepas dari masalah ini,” sahut Andhika datar. Hana m
Hana dan Mutia langsung menuju sebuah kamar yang pintunya terbuka. Mata Hana membelalak ketika melihat pemandangan di depannya. Telapak tangan kiri Hana menutup mulutnya yang terbuka. Dia melihat seorang wanita muda nan cantik, tengah terbaring di tempat tidur tanpa sehelai benang pun melekat di tubuhnya.“Kurang ajar!” desis Hana dengan mata yang mulai berkaca-kaca.“Tenang, Han. Hadapi dengan elegan,” bisik Mutia yang berdiri di samping Hana. Mutia menatap jijik pada wanita yang tengah tertidur tanpa selimut menutupi tubuh polosnya. “Siapa dia, Rama?” ucap Hana ketika dia membalikkan tubuhnya dan berhadapan dengan pria itu.“Dia..dia teman kencan aku, Han,” sahut Rama pelan.Plak!!Sebuah tamparan mendarat sempurna di pipi Rama. Pria itu menghela napas sambil mengelus pipinya yang terkena tamparan Hana.“Kenapa? Kenapa kamu lakukan ini padaku? Kalau kamu udah nggak ingin menjalin hubungan sama aku, kita sudahi saja. Jadi kamu nggak perlu menusukku dari belakang seperti ini, Ram,” u
Hana lalu melangkah keluar lagi dan duduk di pojok teras rumahnya, karena dia melihat ibunya ada di ruang tengah sedang menonton tayangan TV. Hana tidak ingin sang ibu mendengarkan percakapannya dengan Andhika. Setelah dilihatnya kondisi sudah cukup aman, Hana lalu mengangkat panggilan telepon tersebut.“Halo,” sapa Hana dengan suara berbisik.“Halo, Han. Kenapa suara kamu pelan begini? Bisik-bisik segala sih,” sahut Andhika di seberang sana.“Iya, soalnya ada ibuku sedang nonton TV di ruang tengah. Aku takut kalau pembicaraan kita terdengar olehnya, Pak,” ucap Hana masih dengan suata berbisik.“Kalau begitu, kita ketemu saja sekarang deh. Ada yang mau saya omongin sama kamu,” sahut Andhika.“Tentang apa, Pak?” tanya Hana. Dia sesekali melongok ke dalam rumah untuk melihat situasi.“Tentang kita,” sahut Andhika.“Tentang kita? Tentang kita apa sih, Pak?” tanya Hana masih belum paham maksud Andhika.“Tentang perjanjian kita, Hana!” sahut Andhika yang kali ini dengan nada agak tinggi.“
Setelah ada kata sepakat, mereka melanjutkan menikmati hidangan makan malam. Tak ada perbincangan selama mereka makan. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.“Kamu tadi kemari sendiri kan, Han?” tanya Andhika memecah keheningan di antara mereka.“Iya, sesuai dengan kesepakatan kalau perjanjian nikah sementara ini nggak boleh ada yang tahu. Pokoknya nanti kalau kita pisah, alasan kita karena nggak ada kecocokan saja, dan seringnya ada pertengkaran di rumah,” sahut Hana kalem.Andhika pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Dia senang karena ternyata Hana bisa menepati janjinya.“Bawa mobil kemari?” tanya Andhika lagi.“Nggak. Saya malas bawa mobil. Soalnya jalanan yang selalu macet. Enakan naik taksi, tinggal duduk manis saja. Nggak perlu pusing mikir cari celah di jalanan yang macet,” sahut Hana dengan senyuman.“Oh ok. Kalau begitu nanti kamu pulangnya saya antar. Sekarang ini kan kamu adalah calon istri saya. Jadi saya harus pastikan kalau calon istri saya, akan aman tiba
Kini Hana sedang duduk berhadapan dengan ibunya. Dia harus mengatakan kalau dirinya akan menikah dengan Andhika. Walaupun alasan dia menikah dengan pria itu tetap menjadi rahasianya, tapi ibunya berhak tahu perihal pernikahannya ini. Suka atau tidak suka, Hana sudah menyetujui menjalani pernikahan kontrak ini dengan Andhika.“Bu, ada yang mau aku bicarakan,” ucap Hana ketika dirinya sudah menyelesaikan sarapannya.“Ngomong saja, Han,” sahut Widya-ibunda Hana.“Aku...aku mau menikah, Bu.” Hana berkata sambil menundukkan wajahnya, tak sanggup menatap wajah sang ibu.Widya yang sedang menikmati nasi goreng, seketika meletakkan sendok di atas piring.“Mau menikah? Dengan siapa? Katanya, kamu sudah putus sama Rama,” ucap Widya. Dia menatap lekat wajah cantik anaknya yang sudah mulus kembali.“De-dengan Pak Andhika, Bu. CEO Barata Group yang sudah membantu aku menjalani operasi pada wajahku,” sahut Hana dengan suara perlahan.“Apa?! Kamu mau menikah dengan lelaki yang waktu itu mengantar ka
Hana yang ditatap sedemikian rupa menjadi jengah.“Ya pasti cantik hatinya juga dong. Nanti kita ngobrol lagi, ya. Sekarang aku mau menemui mama dan papa dulu. Mau ucapin selamat pada mereka,” sahut Andhika. Dia lalu membawa Hana ke tempat orang tuanya, yang sedang sibuk menerima ucapan selamat dari para tamu undangan.Andhika menunggu hingga tamu undangan berlalu dari hadapan orang tuanya. Di saat menunggu itulah, Hana memberanikan diri untuk bertanya pada Andhika tentang sikap Aluna.“Mas, boleh aku tanya sesuatu?” bisik Hana.“Boleh. Mau tanya apa?” sahut Andhika balas berbisik.“Mengenai adik kamu, Aluna.”“Kenapa dia?”Andhika mengerutkan kening ketika mendengar penuturan Hana. Dia lalu membawa Hana melangkah menjauhi tempat itu, agar pembicaraan mereka tak ada yang mendengar. Andhika membawa Hana menuju meja prasmanan.“Kita makan sambil bicara saja, ya. Biar enak. Ayo, ambil makanannya!” ucap Andhika. Dia lalu meraih piring dan diserahkannya pada Hana. Setelah itu, dia ambil sa
Lestari yang kesal karena diabaikan oleh anak sulungnya, tak tinggal diam. Dia berjalan cepat menyusul Andhika. Hingga berhasil meraih lengan anaknya.“Kamu dengarkan kata-kata Mama, Dhika! Jangan pergi begitu saja!” sentak Lestari dengan tatapan tajam pada Andhika.“Iya, aku dengar. Mama nggak setuju kan kalau aku menikah dengan Hana.”“Mama mau kamu turuti kata-kata Mama untuk menikah dengan Tania, titik!” ucap Lestari yang membuat Andhika menghela napas panjang.“Aku kan sudah menolak sebelumnya, Ma. Jadi jangan paksa aku dong untuk menikah dengan Tania. Tolong Mama mengerti aku, ya. Aku sudah punya calon istri sekarang. Jadi hentikan usaha Mama untuk menjodohkan aku dengan Tania, ok.” Andhika berkata lembut untuk meredakan amarah sang mama. Selanjutnya, dia menarik lengannya dengan perlahan dan berlalu dari hadapan Lestari.Lestari hanya bisa memandang punggung anaknya yang menjauh dengan tatapan sendu.“Maaf, kamu jadi sendirian di sini. Tadi ada yang aku omongin sama mama soalny
Andhika dan Hana sontak menoleh ke arah sumber suara. Tampak seorang pria sebaya dengan Andhika kini tengah melangkah serta tersenyum pada Andhika.“Siapa dia, Mas?” bisik Hana.“Dia Sakti. Teman semasa SMA yang berselingkuh dengan Devy,” sahut Andhika datar.Hana hanya manggut-manggut dan memperhatikan perubahan ekspresi sang suami.Rahang Andhika mengeras. Tampak jelas kalau kini dia sedang menahan emosinya. Terbayang masa lalu Sakti bersama dengan Devy yang mengkhianatinya.“Dhika, apa kabar?” sapa sakti ketika dirinya sudah berada di hadapan Andhika.“Kabarku baik, alhamdulillah,” sahut Andhika datar.Sakti yang paham dengan sikap Andhika yang dingin padanya, kini tersenyum canggung.“Aku tahu kamu mau makan malam ke restoran itu. Tapi, bisakah kita bicara sebentar saja. Aku mau...minta maaf padamu,” ucap Sakti agak grogi.Andhika menghela napas panjang. Dia tersenyum samar kala mendengar permintaan maaf yang baru saja Sakti ucapkan. Baru sekarang pria itu minta maaf. Ke mana saja
Aryo lalu mendekati Widya seraya berkata, “Aku akan mencarinya. Aku akan lapor ke polisi. Kamu tenang saja, ya.”“Aku ikut ke kantor polisi, karena aku yang mendapat kabar dari sekolah kalau Tika dijemput oleh seseorang yang mengaku masih keluarga,” sahut Widya setelah dapat menghentikan isak tangisnya. Dia lalu melirik ke arah Wiryo.Aryo yang paham akan lirikan Widya, menoleh pada mertuanya. Dia menatap Wiryo seraya berkata, “Apa Ayah yang menyuruh seseorang untuk menjemput anak kami di sekolahnya?”Wiryo terkekeh mendengar ucapan Aryo. “Buat apa aku melakukan hal itu? Urusanku adalah mengamankan aset perusahaan milik anakku, yang otomatis adalah milik kedua cucuku. Selain itu juga, kamu adalah suami anakku. Jadi aku berusaha untuk mengembalikan posisi kamu seperti semula, sebagai suami Lestari satu-satunya. Jadi setelah kamu menceraikan perempuan ini, dan menyuruhnya pergi dari sini, maka selesai sudah urusanku. Masalah anak kalian, aku sama sekali nggak tahu menahu.”Jawaban Wiryo
Wajah Aryo pun semakin pucat pasi mendengar ancaman dari ayah mertuanya. Dia lalu beranjak dari sofa dan bersimpuh di kaki sang mertua.“Ayah, maafkan aku. Maafkan atas kekhilafanku ini. Aku berjanji akan mengakhiri semua, asalkan jangan usik kehidupan adikku. Aku mohon Ayah,” ucap Aryo memelas.Wiryo tersenyum mendengar permohonan menantunya itu. Dia lalu berdiri karena tak sudi kakinya disentuh oleh pria macam Aryo, yang jelas telah membuatnya kecewa.“Apa kamu pikir aku akan percaya dengan perkataanmu ini, Aryo? Aku bukan orang bodoh yang bisa kamu bohongi untuk kedua kalinya. Kamu mau mengakhiri ini semua, maksudnya mau kamu ceraikan istri simpananmu itu? Apa bisa kamu menceraikannya? Sementara kamu tergila-gila sama dia, iya kan. Kalau kamu nggak tergila-gila, tentu nggak mungkin kamu selingkuh sampai menikahi perempuan itu. Semua yang kamu lakukan itu sudah terlalu jauh, Aryo, dan jujur aku sangat kecewa dan menyesal telah berbaik hati padamu dulu. Jadi salah satunya cara agar k
Sementara itu, Aryo yang tengah berada di apartemen tampak tak tenang. Semenjak kepergiannya dari rumah meninggalkan Lestari yang marah, dan Andhika yang menangis dengan kening yang berdarah, membuat rasa bersalah menyelimuti hati Aryo. Tiba-tiba rasa penyesalan hinggap di hatinya, karena dia tak menuruti permintaan anak sulungnya, anak kesayangannya.‘Dhika maafkan Papa ya, Nak,’ ucap Aryo dalam hati.Aryo memejamkan matanya dan menjambak rambutnya karena kesal pada dirinya sendiri. Ingin dia berteriak sekedar meringankan sesak di hati. Namun, dia tak ingin Widya mengetahui masalahnya.Widya yang baru saja meninabobokan Kartika, tercenung melihat Aryo yang tampak gusar di ruang tengah. Wanita itu melangkah menghampiri sang suami.“Ada apa, Mas?” tanya Widya dengan perlahan.Aryo membuka kelopak mata dan menggelengkan kepalanya. “Nggak ada apa-apa kok, Wid. Aku hanya pusing saja. Aku mau tidur saja sekarang. Mungkin dengan tidur, sakit kepalaku akan hilang.”Tak menunggu jawaban dari
Aryo sedikit tersentak mendengar pengakuan Widya. Namun, tak lama dia pun tersenyum karena sadar apa yang mereka lakukan selama ini akan membuahkan hasil.“Aku akan menikahi kamu. Tapi, aku nggak bisa menikahi kamu secara resmi.”“Lho, kenapa?” tanya Widya bingung. “Kamu ini ngakunya bujangan, Mas. Masak menikahi aku nggak menikah resmi sih? Atau...kamu sudah punya keluarga?”Aryo tampak sedikit gugup. Dia melihat wajah Widya yang menatapnya dengan penuh selidik.“Bu-bukan begitu, Widya. Tapi, aku ada ikatan dinas di kantorku yang melarang karyawannya untuk menikah dulu selama lima tahun. Nanti kalau ikatan dinas itu sudah selesai, aku akan meresmikan pernikahan kita. Jadi nanti kita menikah di Bogor saja, ya. Kalau di Jakarta nanti ada teman-temanku yang tahu. Bisa bahaya untuk karirku,” sahut Aryo berbohong. Tentu saja dia tak mau menikah di Jakarta, karena Lestari atau keluarga yang lainnya yang juga tinggal di Jakarta akan tahu. Aryo tak ingin itu terjadi.“Oh, ya sudah kalau begi
Aryo menghela napas panjang dan geleng-geleng kepala.“Aku nggak akan macam-macam, apalagi selingkuh, Tari,” ucap Aryo serius.“Aku hanya jaga-jaga saja, Mas. Aku lakukan ini demi anak kita. Kalau nanti kamu macam-macam, aku bisa mengambil tindakan tegas. Lalu aku pastikan kalau masa depan anakku juga aman. Aku berkata begini bukan sombong, tapi aku hanya mengambil tindakan yang tepat untuk anakku kelak,” sahut Lestari yang juga serius.Akhirnya pasangan suami istri itu berhasil mendirikan CV Barata yang bergerak di bidang kontraktor kecil-kecilan. Lestari sendiri yang menangani dibantu oleh empat orang karyawan. Sedangkan Aryo masih tetap bekerja sambil mencari klien untuk CV Barata. Bahkan Aryo pun mulai berani ikut tender proyek pendirian sekolah swasta. Proyek itu pun sukses. Dari situlah lambat laun CV Barata mulai dikenal orang. Hingga dua tahun pendirian badan usaha itu yang semula bernama CV Barata, kini berubah menjadi PT. Barata.Usaha mereka pun semakin maju pesat. Omsetnya
Beberapa minggu kemudian, hubungan Aryo dan Lestari semakin akrab. Hal itu diketahui oleh orang tua mereka. Sehingga Wiryo dan Dirjo sepakat untuk segera melangsungkan pernikahan mereka.Aryo dan Lestari hanya menuruti keinginan orang tua mereka. Meskipun belum ada perasaan cinta di hati keduanya, namun kedua insan itu telah berkomitmen untuk saling menyayangi dan menghargai satu sama lain. Mereka juga sepakat akan membina rumah tangga dengan baik, sehingga bisa menjadikan rumah tangga mereka rukun dan tenteram.Lima bulan pasca pernikahan, Lestari telah lulus kuliah dengan predikat terbaik. Selain itu, dia juga telah mengandung anak Aryo. Hal itu tentu saja membuat pasangan suami istri sangat bahagia karena mendapat hadiah yang terindah dari Yang Maha Kuasa.“Alhamdulillah, di saat aku telah lulus kuliah, aku hamil,” ucap Lestari suatu malam ketika dia dan Aryo sudah berada di peraduan.“Iya, Tari. Aku sangat bahagia sekali. Kamu jaga ya kandungan kamu ini. Biar bayi kita tumbuh deng
Aryo hanya diam. Dia bingung dengan jawaban yang harus dia berikan pada kedua orang tuanya. Dia ingin menolak, tapi tak mau mengecewakan orang tuanya. Kalau dia menerima, itu bertentangan dengan hati nuraninya.“Nak, cinta itu bisa tumbuh setelah tinggal bersama nanti setelah kalian menikah. Dulu Bapak dan Ibu juga menikah tanpa adanya cinta. Tapi, pernikahan kami langgeng sampai sekarang,” ucap Narti-sang ibu, seolah tahu dilema yang Aryo rasakan saat ini.Aryo hanya menghela napas panjang. “Lalu bagaimana dengan Lestari sendiri? Apa dia bersedia punya suami kere seperti aku ini. Aku nggak bisa menjanjikan apa-apa untuk dia. Ya...hanya gajiku saja sebagai staf keuangan di perusahaan swasta, yang bisa aku berikan untuknya. Tentunya nggak seratus persen, karena aku juga ingin memberi uang untuk kalian. Aku ingin membantu perekonomian orang tua.”Dirjo dan Narti tersenyum mendengar penuturan anak sulung mereka.“Terima kasih kamu sudah punya niat baik untuk kami, Nak. Bapak yakin kalau
Semenjak Aluna menikah dan tinggal bersama dengan sang suami, Aryo tinggal sendiri di rumahnya. Pria itu hanya ditemani oleh asisten rumah tangga, sopir dan penjaga rumahnya. Membuat Aryo merasa kesepian. Kadang kala dia menginap di rumah Andhika. Dia ingin menginap di rumah Aluna maupun Kartika, tapi dirinya merasa sungkan. Aryo lebih nyaman menginap di rumah anak laki-lakinya. Hal itu membuat Aluna maupun Kartika secara bergantian mengunjungi ayah mereka.Seperti hari ini, Kartika datang berkunjung setelah pulang dari bekerja di rumah sakit.“Kenapa kamu masih bekerja, Tika? Apa uang suami kamu nggak cukup untuk biaya hidup kamu?” tanya Aryo ketika mereka sedang berbincang di taman belakang sambil minum teh di sore hari.“Mas Rafli memang sudah berulang kali menyuruhku berhenti bekerja, Pa. Tapi aku keberatan, karena aku masih menikmati pekerjaanku merawat orang-orang di rumah sakit,” sahut Tika kalem.“Kalau begitu, jadilah perawat Papa. Apa kamu masih keberatan juga kalau harus me