Hana lalu melangkah keluar lagi dan duduk di pojok teras rumahnya, karena dia melihat ibunya ada di ruang tengah sedang menonton tayangan TV. Hana tidak ingin sang ibu mendengarkan percakapannya dengan Andhika. Setelah dilihatnya kondisi sudah cukup aman, Hana lalu mengangkat panggilan telepon tersebut.
“Halo,” sapa Hana dengan suara berbisik.
“Halo, Han. Kenapa suara kamu pelan begini? Bisik-bisik segala sih,” sahut Andhika di seberang sana.
“Iya, soalnya ada ibuku sedang nonton TV di ruang tengah. Aku takut kalau pembicaraan kita terdengar olehnya, Pak,” ucap Hana masih dengan suata berbisik.
“Kalau begitu, kita ketemu saja sekarang deh. Ada yang mau saya omongin sama kamu,” sahut Andhika.
“Tentang apa, Pak?” tanya Hana. Dia sesekali melongok ke dalam rumah untuk melihat situasi.
“Tentang kita,” sahut Andhika.
“Tentang kita? Tentang kita apa sih, Pak?” tanya Hana masih belum paham maksud Andhika.
“Tentang perjanjian kita, Hana!” sahut Andhika yang kali ini dengan nada agak tinggi.
“Ih, jangan teriak dong, Pak! Telinga saya masih normal ini. Kalau ada apa-apa sama telinga saya, tuntutan saya bakal dua kali lipat! Yang wajah saya saja belum beres. Masak harus ditambah dengan telinga saya yang rusak, karena Bapak teriak-teriak,” omel Hana.
Tepat ketika Hana mengatupkan bibirnya, terdengar tawa Andhika di seberang sana. Tawa itu terus terdengar hingga kurang lebih tiga menit lamanya.
Hana yang mendengar tawa Andhika, seketika menjadi kesal.
“Kalau Bapak mau tertawa terus, saya akan tutup telepon ini!” ancam Hana dengan suara agak tinggi. Hal itu membuat Andhika langsung terdiam.
“Ok, Han. Maaf kalau tawaku sangat mengganggu kamu. Habisnya kamu lucu banget sih tadi,” sahut Andhika dengan nada suara yang sudah kembali seperti semula.
“Lucu apanya?” tanya Hana.
“Ya itu tadi yang kamu bilang, mau menuntut saya dua kali lipat. Tuntutan yang wajah saja belum beres ditambah tuntutan soal telinga. Mimpi apa saya coba mendapat masalah bertubi-tubi kayak begini,” sahut Andhika.
“Risiko Bapak lah itu. Makanya selesaikan tuntutan saya ini, Pak,” celetuk Hana.
“Saya kan sudah bersedia mau membayar ganti rugi, Han. Malah ini pakai uang pribadi saya lho. Saya menelepon kamu juga mau menanyakan hal yang berkaitan dengan tawaran saya, Han,” sahut Andhika mulai serius.
“Hal yang mana?” tanya Hana yang belum paham juga.
“Kamu sudah membuktikan kata-kata saya tentang pacar kamu? Apa saya bohong kalau saya bilang pacar kamu itu nggak setia?” tanya Andhika.
“Eh, soal itu rupanya. Ternyata benar yang Bapak katakan pada saya, kalau Rama nggak setia,” sahut Hana lirih.
“Terus?” tanya Andhika penasaran.
“Saya putus sama dia,” sahut Hana agak ketus.
“Saya ikut prihatin,” sahut Andhika di seberang sana, yang tanpa Hana ketahui sedang tersenyum. “Jadi apa kamu menerima tawaran saya?”
Hana terdiam. Tatapannya menerawang, membayangkan perbuatan Rama yang berkhianat padanya. Seketika matanya pun mulai berair.
“Hana? Kamu masih ada di situ?” tanya Andhika dengan nada cemas.
“Eh, iya. Saya masih ada di sini,” sahut Hana lirih.
“Apa jawaban kamu?” desak Andhika.
“Saya akan pikirkan lagi. Saya belum bisa kasih jawaban sekarang. Nanti saya akan kasih kabar kalau saya sudah ada jawabannya. Oh iya, saya mau tanya. Dari mana Bapak tahu nomor telepon saya?” ucap Hana.
“Mudah bagi saya untuk tahu nomor telepon kamu, Han. Semudah saya mendapatkan informasi tentang perselingkuhan kekasih kamu. Ok, silakan dipikirkan dulu! Saya tutup teleponnya sekarang,” sahut Andhika.
Setelah itu, sambungan telepon mereka pun berakhir.
***
Hana kini termenung di kamarnya. Dia mempertimbangkan apakah akan menerima atau menolak tawaran Andhika. Dia lalu meraba pipinya yang terluka.
“Kalau pipi ini nggak dioperasi, aku nggak bisa kerja. Sedangkan pekerjaanku menuntut wajah yang mulus. Bisa saja aku menggunakan uang tabungan, tapi banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Sayang juga kalau uang tabungan menipis. Ya sudah deh, aku terima saja. Hanya satu tahun ini kok. Nanti aku tegaskan lagi saja sama Pak Andhika, supaya nggak menyentuh aku. Jadi aku masih tersegel saat pisah sama dia. Aku nggak rugi apa-apa kan. Status saja yang janda. Tapi, aslinya masih perawan. Nggak masalah buat aku. Iya deh, aku kirim pesan saja ke pak Andhika kalau aku terima tawaran dia,” gumam Hana.
Hana lalu mengirimkan pesan untuk Andhika.
[Selamat sore, Pak Andhika. Setelah saya pikirkan, saya menerima tawaran Bapak.]
Dua puluh menit kemudian, terdengar bunyi notifikasi pesan masuk di telepon genggam Hana.
Hana lalu membuka pesan itu, yang merupakan pesan balasan dari Andhika.
[Ok, Han. Kalau begitu, kita ketemu di restoran untuk tanda tangan perjanjiannya. Sekalian kita makan malam. Nanti temui saya di restoran Jepang. Saya menyewa ruang privat di sana. Jam tujuh malam saya tunggu di sana. Nanti tanya saja sama pelayan restoran, ruang privat yang saya sewa.]
Hana pun segera membalas pesan itu.
[Ok, Pak.]
Setelah itu, tak ada komunikasi lagi di antara mereka. Hana melihat saat ini pukul lima sore. Dia pun bergegas untuk mandi, mulai bersiap untuk acara makan malam dengan Andhika.
-Pukul 19.00 WIB-
Hana sudah tiba di restoran yang Andhika sebutkan di pesannya tadi sore. Hana dengan anggun, melangkah ke arah pelayan restoran untuk bertanya. Tak lupa masker sudah dia pasang di wajahnya, untuk menutupi luka di pipinya.
“Selamat malam, Mbak. Saya mau tanya ruang privat yang pak Andhika sewa,” ucap Hana ramah.
“Oh, baik. Mari ikuti saya, Bu!” sahut pelayan restoran itu ramah. Dia lalu berjalan mendahului Hana menuju ke sebuah ruangan yang ada di lantai dua restoran tersebut.
Setibanya di depan ruang privat, pelayan restoran segera membuka pintunya. Tampak Andhika sudah duduk di dalam ruangan itu.
“Hana, masuklah!”
Andhika melambaikan tangannya ke arah Hana agar gadis itu segera masuk ke dalam ruang privat itu.
Hana mengangguk dan masuk ke dalam ruang privat itu. Bersamaan dengan Hana yang memasuki ruangan itu, pelayan restoran menutup pintu tersebut.
“Selamat malam, Pak,” sapa Hana sopan.
“Selamat malam. Silakan duduk, Han!” sahut Andhika, yang diangguki oleh Hana.
Hana lalu duduk berhadapan dengan Andhika. Dia melihat sebuah map berwarna biru tergeletak di atas meja.
Andhika yang menyadari perhatian Hana tertuju pada map tersebut, langsung menyodorkannya ke hadapan Hana. “Ini surat perjanjiannya. Kamu baca dulu dengan teliti sebelum tanda tangan.”
Hana menganggukkan kepalanya dan meraih map tersebut, membuka serta membaca surat perjanjian yang akan segera dia tanda tangani.
“Pak, bisa saya tanya satu hal?” tanya Hana setelah membaca seluruh isi perjanjian itu.
“Silakan!”
“Kita kan hanya menikah untuk sementara saja, selama satu tahun tepatnya. Tapi, kenapa di perjanjian ini nggak disebutkan kalau Bapak nggak akan menyentuh saya? Ini nanti kan hanya menikah pura-pura, menikah bohongan. Harusnya disebutkan juga dong dalam perjanjian ini, kalau Bapak nggak akan menyentuh saya,” ucap Hana.
“Lho, ini nanti kita menikah sungguhan, Hana. Ada wali nikah, ada penghulu, ada saksi, dan ada mahar. Tentu saja ada pengantinnya, kita. Jadi ini nggak bohongan,” sahut Andhika.
“Ok, nanti kita menikah sungguhan. Tapi, saya nggak mau disentuh sama Bapak. Kenapa? Karena ini kan pernikahan bisnis. Jadi saya mau saat kita berpisah nanti, kondisi saya masih suci. Saya akan menyerahkan diri saya pada suami saya kelak, yang benar-benar cinta sama saya. Bapak bilang sebelumnya, kalau menikah dengan saya bukan karena Bapak suka sama saya. Tapi, untuk kepentingan Bapak agar terbebas dari masalah yang Bapak hadapi saat ini. Jadi nggak salah kan kalau saya bilang, ini adalah pernikahan bisnis? Harusnya ditambahkan kata-kata kalau Bapak nggak akan menyentuh saya.” Hana lalu menutup map itu dan mengembalikannya pada Andhika.
“Baik, saya akan tambahkan kata-kata itu. Saya tulis dengan pena nggak apa-apa, ya,” ucap Andhika, yang diangguki oleh Hana.
“Iya, nggak apa-apa. Terus tolong ditambahkan juga kata-kata, kalau Bapak melanggar maka perjanjian akan batal. Pernikahan akan berakhir, walaupun belum satu tahun,” sahut Hana, yang diangguki oleh Andhika.
“Ok.” Andhika lalu menuliskan kalimat seperti yang Hana sebutkan tadi. Setelah selesai, dia membubuhkan tanda tangannya dan menyodorkan map serta pena ke hadapan Hana. “Sekarang kamu baca lagi, dan langsung tanda tangan!”
Hana lalu membaca ulang isi perjanjian itu. Setelah sesuai dengan yang dia inginkan tadi, Hana membubuhkan tanda tangannya di tempat yang sudah disediakan dan di atas materai.
“Perjanjian mulai berlaku sekarang ya, Han. Saya akan transfer uang untuk operasi pipi kamu. Setelah selesai operasi, kita harus ke rumah orang tua saya dan mengumumkan kalau kita adalah sepasang kekasih. Pokoknya nanti kamu ikuti saja apa kata saya. Jangan sekali-sekali membantah. Supaya permasalahan saya bisa selesai,” tegas Andhika.
“I-iya, Pak,” sahut Hana, meskipun dia tidak tahu masalah apa yang Andhika hadapi.
Setelah ada kata sepakat, mereka melanjutkan menikmati hidangan makan malam. Tak ada perbincangan selama mereka makan. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.“Kamu tadi kemari sendiri kan, Han?” tanya Andhika memecah keheningan di antara mereka.“Iya, sesuai dengan kesepakatan kalau perjanjian nikah sementara ini nggak boleh ada yang tahu. Pokoknya nanti kalau kita pisah, alasan kita karena nggak ada kecocokan saja, dan seringnya ada pertengkaran di rumah,” sahut Hana kalem.Andhika pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Dia senang karena ternyata Hana bisa menepati janjinya.“Bawa mobil kemari?” tanya Andhika lagi.“Nggak. Saya malas bawa mobil. Soalnya jalanan yang selalu macet. Enakan naik taksi, tinggal duduk manis saja. Nggak perlu pusing mikir cari celah di jalanan yang macet,” sahut Hana dengan senyuman.“Oh ok. Kalau begitu nanti kamu pulangnya saya antar. Sekarang ini kan kamu adalah calon istri saya. Jadi saya harus pastikan kalau calon istri saya, akan aman tiba
Kini Hana sedang duduk berhadapan dengan ibunya. Dia harus mengatakan kalau dirinya akan menikah dengan Andhika. Walaupun alasan dia menikah dengan pria itu tetap menjadi rahasianya, tapi ibunya berhak tahu perihal pernikahannya ini. Suka atau tidak suka, Hana sudah menyetujui menjalani pernikahan kontrak ini dengan Andhika.“Bu, ada yang mau aku bicarakan,” ucap Hana ketika dirinya sudah menyelesaikan sarapannya.“Ngomong saja, Han,” sahut Widya-ibunda Hana.“Aku...aku mau menikah, Bu.” Hana berkata sambil menundukkan wajahnya, tak sanggup menatap wajah sang ibu.Widya yang sedang menikmati nasi goreng, seketika meletakkan sendok di atas piring.“Mau menikah? Dengan siapa? Katanya, kamu sudah putus sama Rama,” ucap Widya. Dia menatap lekat wajah cantik anaknya yang sudah mulus kembali.“De-dengan Pak Andhika, Bu. CEO Barata Group yang sudah membantu aku menjalani operasi pada wajahku,” sahut Hana dengan suara perlahan.“Apa?! Kamu mau menikah dengan lelaki yang waktu itu mengantar ka
Hana yang ditatap sedemikian rupa menjadi jengah.“Ya pasti cantik hatinya juga dong. Nanti kita ngobrol lagi, ya. Sekarang aku mau menemui mama dan papa dulu. Mau ucapin selamat pada mereka,” sahut Andhika. Dia lalu membawa Hana ke tempat orang tuanya, yang sedang sibuk menerima ucapan selamat dari para tamu undangan.Andhika menunggu hingga tamu undangan berlalu dari hadapan orang tuanya. Di saat menunggu itulah, Hana memberanikan diri untuk bertanya pada Andhika tentang sikap Aluna.“Mas, boleh aku tanya sesuatu?” bisik Hana.“Boleh. Mau tanya apa?” sahut Andhika balas berbisik.“Mengenai adik kamu, Aluna.”“Kenapa dia?”Andhika mengerutkan kening ketika mendengar penuturan Hana. Dia lalu membawa Hana melangkah menjauhi tempat itu, agar pembicaraan mereka tak ada yang mendengar. Andhika membawa Hana menuju meja prasmanan.“Kita makan sambil bicara saja, ya. Biar enak. Ayo, ambil makanannya!” ucap Andhika. Dia lalu meraih piring dan diserahkannya pada Hana. Setelah itu, dia ambil sa
Lestari yang kesal karena diabaikan oleh anak sulungnya, tak tinggal diam. Dia berjalan cepat menyusul Andhika. Hingga berhasil meraih lengan anaknya.“Kamu dengarkan kata-kata Mama, Dhika! Jangan pergi begitu saja!” sentak Lestari dengan tatapan tajam pada Andhika.“Iya, aku dengar. Mama nggak setuju kan kalau aku menikah dengan Hana.”“Mama mau kamu turuti kata-kata Mama untuk menikah dengan Tania, titik!” ucap Lestari yang membuat Andhika menghela napas panjang.“Aku kan sudah menolak sebelumnya, Ma. Jadi jangan paksa aku dong untuk menikah dengan Tania. Tolong Mama mengerti aku, ya. Aku sudah punya calon istri sekarang. Jadi hentikan usaha Mama untuk menjodohkan aku dengan Tania, ok.” Andhika berkata lembut untuk meredakan amarah sang mama. Selanjutnya, dia menarik lengannya dengan perlahan dan berlalu dari hadapan Lestari.Lestari hanya bisa memandang punggung anaknya yang menjauh dengan tatapan sendu.“Maaf, kamu jadi sendirian di sini. Tadi ada yang aku omongin sama mama soalny
“Orang tua saya sudah setuju. Semalam juga sudah berkenalan dengan Hana. Hanya saja karena saya mendadak ada urusan bisnis ke Singapura dalam beberapa hari ke depan, maka pernikahan ini saya percepat, Bu. Saya rencananya akan membawa Hana ke sana. Jadi kalau sudah menikah, nggak akan masalah kalau kami pergi bersama. Karena mendadak inilah orang tua saya nggak bisa ikut kemari, tapi restu sudah diberikan kok. Nanti mereka akan datang saat kami melangsungkan akad nikah,” sahut Andhika yang membuat Widya tertegun. Begitu juga dengan Hana dan Mutia.“Kami sudah mempersiapkan semuanya untuk melangsungkan akad nikah tiga hari lagi. Maaf untuk saat ini saya belum bisa memberikan pesta pernikahan untuk Hana. Tapi, suatu saat saya akan mengadakan resepsinya. Oh iya, asisten saya juga sudah mencarikan katering untuk acara akad nikah nanti. Jadi Ibu nggak usah repot lagi mengenai konsumsi. Semua sudah beres. Sekarang saya hanya minta data pribadi Hana untuk kelengkapan administrasi pernikahan k
Andhika berjalan mendekati sang adik yang berdiri di jarak lima langkah darinya.“Kamu serius, Lun?” tanya Andhika ketika sudah berada di hadapan adiknya.“Iya, aku serius. Aku nggak mau Kak Dhika malu karena nggak ada keluarga yang mendampingi,” sahut Aluna yang membuat Andhika tersenyum.“Terima kasih. Ternyata adikku ini pengertian juga pada kakaknya,” sahut Andhika. Dia lalu menatap kedua orang tuanya secara bergantian. “Pa, Ma, sekali lagi aku ijin untuk menikah. Aku nggak memaksa kalau kalian nggak mau datang. Kehadiran Aluna sudah cukup mewakili keluarga.”“Iya, Papa restui kamu. Papa minta maaf kalau nggak bisa hadir. Papa menjaga agar penyakit jantung mama kamu nggak kumat. Tolong dipahami ya, Dhika,” ucap Aryo.“Iya, Pa. Terima kasih atas restunya.” Andhika lalu memeluk papanya dengan erat. Dia kemudian melirik ke arah sang mama yang kini tengah menekuk wajahnya.Setelah beberapa detik memeluk sang papa, Andhika melonggarkan pelukannya di tubuh Aryo dan mengalihkan tatapann
Andhika membuka pintu kamar dan dia tercekat serta menelan saliva ketika melihat Hana, wanita yang tadi pagi resmi menjadi istrinya tengah berganti pakaian. Matanya tak berkedip, bahkan bibirnya menyunggingkan senyuman. Seketika dia menyesali perjanjian yang dia buat bersama Hana, kalau dirinya tak akan menyentuh Hana meskipun wanita itu sudah resmi menjadi istrinya.‘Ah, kenapa aku tak pikir panjang sebelum menyetujui permintaan Hana agar aku tak menyentuhnya? Sangat mubazir rasanya melewatkan begitu saja tubuh Hana yang seksi. Padahal dia sudah halal untukku, tapi tak bisa aku raih dan sentuh. Andhika, kamu sungguh ceroboh. Andaikan kamu tak menyetujui permintaan Hana, tentu sekarang sudah bisa menikmati tubuh seksi itu. Ah, Andhika bodoh sekali kamu ini,’ rutuk Andhika dalam hati.Raut penyesalan terpancar jelas di wajah Andhika yang masih terpaku di ambang pintu kamar.Hana masih tak menyadari kehadiran suaminya di ambang pintu. Dia masih sibuk mengganti pakaiannya dengan piama. D
“Mas,” ucap Hana lirih yang ketakutan saat wajah Andhika semakin mendekat ke wajahnya. Bahkan kini dahi mereka sudah menempel satu sama lain. Bahkan wajah Hana memanas terkena hembusan napas Andhika yang memburu. “Ingat perjanjian itu, mencium sama saja menyentuh.”Andhika menatap wajah cantik sang istri yang putih bersih. Naluri lelakinya berontak.“Aku lelaki normal, Han. Kini kita berdua sudah resmi sebagai pasangan suami istri. Aku ingin menuntut hakku sebagai seorang suami. Apa itu salah? Walaupun hanya mencium, apa salah?” ucap Andhika dengan mata yang terpejam. Menahan desakan yang begitu menyiksa. Menormalkan hormonnya yang kini menggila.“Tapi, kita sudah terikat suatu perjanjian, Mas.” Hana kembali berkata lirih. Kali ini dia menggigit bibir bawahnya dengan tubuh yang bergetar karena takut diterkam suaminya, yang sudah diliputi gairah.“Bagaimana...bagaimana kalau kita revisi perjanjiannya, Han,” bisik Andhika lagi.“Hah?! Direvisi?” tanya Hana bingung.“Iya, direvisi sebagi
Andhika dan Hana sontak menoleh ke arah sumber suara. Tampak seorang pria sebaya dengan Andhika kini tengah melangkah serta tersenyum pada Andhika.“Siapa dia, Mas?” bisik Hana.“Dia Sakti. Teman semasa SMA yang berselingkuh dengan Devy,” sahut Andhika datar.Hana hanya manggut-manggut dan memperhatikan perubahan ekspresi sang suami.Rahang Andhika mengeras. Tampak jelas kalau kini dia sedang menahan emosinya. Terbayang masa lalu Sakti bersama dengan Devy yang mengkhianatinya.“Dhika, apa kabar?” sapa sakti ketika dirinya sudah berada di hadapan Andhika.“Kabarku baik, alhamdulillah,” sahut Andhika datar.Sakti yang paham dengan sikap Andhika yang dingin padanya, kini tersenyum canggung.“Aku tahu kamu mau makan malam ke restoran itu. Tapi, bisakah kita bicara sebentar saja. Aku mau...minta maaf padamu,” ucap Sakti agak grogi.Andhika menghela napas panjang. Dia tersenyum samar kala mendengar permintaan maaf yang baru saja Sakti ucapkan. Baru sekarang pria itu minta maaf. Ke mana saja
Aryo lalu mendekati Widya seraya berkata, “Aku akan mencarinya. Aku akan lapor ke polisi. Kamu tenang saja, ya.”“Aku ikut ke kantor polisi, karena aku yang mendapat kabar dari sekolah kalau Tika dijemput oleh seseorang yang mengaku masih keluarga,” sahut Widya setelah dapat menghentikan isak tangisnya. Dia lalu melirik ke arah Wiryo.Aryo yang paham akan lirikan Widya, menoleh pada mertuanya. Dia menatap Wiryo seraya berkata, “Apa Ayah yang menyuruh seseorang untuk menjemput anak kami di sekolahnya?”Wiryo terkekeh mendengar ucapan Aryo. “Buat apa aku melakukan hal itu? Urusanku adalah mengamankan aset perusahaan milik anakku, yang otomatis adalah milik kedua cucuku. Selain itu juga, kamu adalah suami anakku. Jadi aku berusaha untuk mengembalikan posisi kamu seperti semula, sebagai suami Lestari satu-satunya. Jadi setelah kamu menceraikan perempuan ini, dan menyuruhnya pergi dari sini, maka selesai sudah urusanku. Masalah anak kalian, aku sama sekali nggak tahu menahu.”Jawaban Wiryo
Wajah Aryo pun semakin pucat pasi mendengar ancaman dari ayah mertuanya. Dia lalu beranjak dari sofa dan bersimpuh di kaki sang mertua.“Ayah, maafkan aku. Maafkan atas kekhilafanku ini. Aku berjanji akan mengakhiri semua, asalkan jangan usik kehidupan adikku. Aku mohon Ayah,” ucap Aryo memelas.Wiryo tersenyum mendengar permohonan menantunya itu. Dia lalu berdiri karena tak sudi kakinya disentuh oleh pria macam Aryo, yang jelas telah membuatnya kecewa.“Apa kamu pikir aku akan percaya dengan perkataanmu ini, Aryo? Aku bukan orang bodoh yang bisa kamu bohongi untuk kedua kalinya. Kamu mau mengakhiri ini semua, maksudnya mau kamu ceraikan istri simpananmu itu? Apa bisa kamu menceraikannya? Sementara kamu tergila-gila sama dia, iya kan. Kalau kamu nggak tergila-gila, tentu nggak mungkin kamu selingkuh sampai menikahi perempuan itu. Semua yang kamu lakukan itu sudah terlalu jauh, Aryo, dan jujur aku sangat kecewa dan menyesal telah berbaik hati padamu dulu. Jadi salah satunya cara agar k
Sementara itu, Aryo yang tengah berada di apartemen tampak tak tenang. Semenjak kepergiannya dari rumah meninggalkan Lestari yang marah, dan Andhika yang menangis dengan kening yang berdarah, membuat rasa bersalah menyelimuti hati Aryo. Tiba-tiba rasa penyesalan hinggap di hatinya, karena dia tak menuruti permintaan anak sulungnya, anak kesayangannya.‘Dhika maafkan Papa ya, Nak,’ ucap Aryo dalam hati.Aryo memejamkan matanya dan menjambak rambutnya karena kesal pada dirinya sendiri. Ingin dia berteriak sekedar meringankan sesak di hati. Namun, dia tak ingin Widya mengetahui masalahnya.Widya yang baru saja meninabobokan Kartika, tercenung melihat Aryo yang tampak gusar di ruang tengah. Wanita itu melangkah menghampiri sang suami.“Ada apa, Mas?” tanya Widya dengan perlahan.Aryo membuka kelopak mata dan menggelengkan kepalanya. “Nggak ada apa-apa kok, Wid. Aku hanya pusing saja. Aku mau tidur saja sekarang. Mungkin dengan tidur, sakit kepalaku akan hilang.”Tak menunggu jawaban dari
Aryo sedikit tersentak mendengar pengakuan Widya. Namun, tak lama dia pun tersenyum karena sadar apa yang mereka lakukan selama ini akan membuahkan hasil.“Aku akan menikahi kamu. Tapi, aku nggak bisa menikahi kamu secara resmi.”“Lho, kenapa?” tanya Widya bingung. “Kamu ini ngakunya bujangan, Mas. Masak menikahi aku nggak menikah resmi sih? Atau...kamu sudah punya keluarga?”Aryo tampak sedikit gugup. Dia melihat wajah Widya yang menatapnya dengan penuh selidik.“Bu-bukan begitu, Widya. Tapi, aku ada ikatan dinas di kantorku yang melarang karyawannya untuk menikah dulu selama lima tahun. Nanti kalau ikatan dinas itu sudah selesai, aku akan meresmikan pernikahan kita. Jadi nanti kita menikah di Bogor saja, ya. Kalau di Jakarta nanti ada teman-temanku yang tahu. Bisa bahaya untuk karirku,” sahut Aryo berbohong. Tentu saja dia tak mau menikah di Jakarta, karena Lestari atau keluarga yang lainnya yang juga tinggal di Jakarta akan tahu. Aryo tak ingin itu terjadi.“Oh, ya sudah kalau begi
Aryo menghela napas panjang dan geleng-geleng kepala.“Aku nggak akan macam-macam, apalagi selingkuh, Tari,” ucap Aryo serius.“Aku hanya jaga-jaga saja, Mas. Aku lakukan ini demi anak kita. Kalau nanti kamu macam-macam, aku bisa mengambil tindakan tegas. Lalu aku pastikan kalau masa depan anakku juga aman. Aku berkata begini bukan sombong, tapi aku hanya mengambil tindakan yang tepat untuk anakku kelak,” sahut Lestari yang juga serius.Akhirnya pasangan suami istri itu berhasil mendirikan CV Barata yang bergerak di bidang kontraktor kecil-kecilan. Lestari sendiri yang menangani dibantu oleh empat orang karyawan. Sedangkan Aryo masih tetap bekerja sambil mencari klien untuk CV Barata. Bahkan Aryo pun mulai berani ikut tender proyek pendirian sekolah swasta. Proyek itu pun sukses. Dari situlah lambat laun CV Barata mulai dikenal orang. Hingga dua tahun pendirian badan usaha itu yang semula bernama CV Barata, kini berubah menjadi PT. Barata.Usaha mereka pun semakin maju pesat. Omsetnya
Beberapa minggu kemudian, hubungan Aryo dan Lestari semakin akrab. Hal itu diketahui oleh orang tua mereka. Sehingga Wiryo dan Dirjo sepakat untuk segera melangsungkan pernikahan mereka.Aryo dan Lestari hanya menuruti keinginan orang tua mereka. Meskipun belum ada perasaan cinta di hati keduanya, namun kedua insan itu telah berkomitmen untuk saling menyayangi dan menghargai satu sama lain. Mereka juga sepakat akan membina rumah tangga dengan baik, sehingga bisa menjadikan rumah tangga mereka rukun dan tenteram.Lima bulan pasca pernikahan, Lestari telah lulus kuliah dengan predikat terbaik. Selain itu, dia juga telah mengandung anak Aryo. Hal itu tentu saja membuat pasangan suami istri sangat bahagia karena mendapat hadiah yang terindah dari Yang Maha Kuasa.“Alhamdulillah, di saat aku telah lulus kuliah, aku hamil,” ucap Lestari suatu malam ketika dia dan Aryo sudah berada di peraduan.“Iya, Tari. Aku sangat bahagia sekali. Kamu jaga ya kandungan kamu ini. Biar bayi kita tumbuh deng
Aryo hanya diam. Dia bingung dengan jawaban yang harus dia berikan pada kedua orang tuanya. Dia ingin menolak, tapi tak mau mengecewakan orang tuanya. Kalau dia menerima, itu bertentangan dengan hati nuraninya.“Nak, cinta itu bisa tumbuh setelah tinggal bersama nanti setelah kalian menikah. Dulu Bapak dan Ibu juga menikah tanpa adanya cinta. Tapi, pernikahan kami langgeng sampai sekarang,” ucap Narti-sang ibu, seolah tahu dilema yang Aryo rasakan saat ini.Aryo hanya menghela napas panjang. “Lalu bagaimana dengan Lestari sendiri? Apa dia bersedia punya suami kere seperti aku ini. Aku nggak bisa menjanjikan apa-apa untuk dia. Ya...hanya gajiku saja sebagai staf keuangan di perusahaan swasta, yang bisa aku berikan untuknya. Tentunya nggak seratus persen, karena aku juga ingin memberi uang untuk kalian. Aku ingin membantu perekonomian orang tua.”Dirjo dan Narti tersenyum mendengar penuturan anak sulung mereka.“Terima kasih kamu sudah punya niat baik untuk kami, Nak. Bapak yakin kalau
Semenjak Aluna menikah dan tinggal bersama dengan sang suami, Aryo tinggal sendiri di rumahnya. Pria itu hanya ditemani oleh asisten rumah tangga, sopir dan penjaga rumahnya. Membuat Aryo merasa kesepian. Kadang kala dia menginap di rumah Andhika. Dia ingin menginap di rumah Aluna maupun Kartika, tapi dirinya merasa sungkan. Aryo lebih nyaman menginap di rumah anak laki-lakinya. Hal itu membuat Aluna maupun Kartika secara bergantian mengunjungi ayah mereka.Seperti hari ini, Kartika datang berkunjung setelah pulang dari bekerja di rumah sakit.“Kenapa kamu masih bekerja, Tika? Apa uang suami kamu nggak cukup untuk biaya hidup kamu?” tanya Aryo ketika mereka sedang berbincang di taman belakang sambil minum teh di sore hari.“Mas Rafli memang sudah berulang kali menyuruhku berhenti bekerja, Pa. Tapi aku keberatan, karena aku masih menikmati pekerjaanku merawat orang-orang di rumah sakit,” sahut Tika kalem.“Kalau begitu, jadilah perawat Papa. Apa kamu masih keberatan juga kalau harus me