Setelah ada kata sepakat, mereka melanjutkan menikmati hidangan makan malam. Tak ada perbincangan selama mereka makan. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.
“Kamu tadi kemari sendiri kan, Han?” tanya Andhika memecah keheningan di antara mereka.
“Iya, sesuai dengan kesepakatan kalau perjanjian nikah sementara ini nggak boleh ada yang tahu. Pokoknya nanti kalau kita pisah, alasan kita karena nggak ada kecocokan saja, dan seringnya ada pertengkaran di rumah,” sahut Hana kalem.
Andhika pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Dia senang karena ternyata Hana bisa menepati janjinya.
“Bawa mobil kemari?” tanya Andhika lagi.
“Nggak. Saya malas bawa mobil. Soalnya jalanan yang selalu macet. Enakan naik taksi, tinggal duduk manis saja. Nggak perlu pusing mikir cari celah di jalanan yang macet,” sahut Hana dengan senyuman.
“Oh ok. Kalau begitu nanti kamu pulangnya saya antar. Sekarang ini kan kamu adalah calon istri saya. Jadi saya harus pastikan kalau calon istri saya, akan aman tiba di rumahnya,” cetus Andhika serius.
Hana tersenyum dan mengangkat kedua bahunya. Dia lalu melanjutkan kembali makan malamnya.
Selesai makan malam, mereka langsung meninggalkan ruang privat dan melangkah menuju depan pintu masuk restoran. Andhika meminta petugas valet restoran itu untuk mengambilkan mobilnya. Tak lama, mobil Andhika pun tiba di depan pintu masuk restoran tersebut.
Andhika membuka pintu penumpang untuk Hana. “Masuk, Han!”
Setelah Hana masuk ke dalam mobil, Andhika memutari mobil dan masuk melalui pintu kemudi. Selanjutnya, dia melajukan mobilnya meninggalkan halaman restoran menuju ke jalan raya.
“Alamat rumah kamu di mana, Han?” tanya Andhika ketika mobil sedang melaju dengan kecepatan rendah, karena mulai terjebak kemacetan ibukota. Dia menoleh ke samping untuk melihat lawan bicaranya.
“Saya akan arahkan, Pak. Pokoknya Bapak arahkan mobil ke kawasan Pasar Minggu saja. Nanti saya akan arahkan ke alamat rumah saya,” sahut Hana kalem.
“Ok.” Andhika lalu kembali menatap ke arah depan, fokus ke jalan raya. Setelah beberapa menit saling diam, Andhika kembali membuka suaranya. “Oh ya, omong-omong kuliah kamu bagaimana? Apa nggak terganggu dengan pekerjaan kamu sebagai seorang fotomodel?”
“Kebetulan saat saya mulai bekerja sebagai seorang fotomodel, sudah di semester akhir. Saya hanya tinggal menyelesaikan skripsi saya. Alhamdulillah, skripsinya sudah selesai dan sudah disetujui sama dosen pembimbing. Jadi tinggal menjalani sidang skripsi saja, Pak. Setelah itu, saya tinggal membiayai sekolah adik saya saja. Dia sudah kelas tiga SMA. Tahun depan mulai kuliah. Makanya saya panik saat wajah saya terluka. Wajah saya kan aset berharga. Sumber saya mencari rizki. Tabungan memang ada, Pak. Tapi, yang saya alami ini kan karena kecelakaan kerja. Jadi pihak Barata Group juga harus ikut bertanggung jawab. Makanya saya melalui Mbak Mutia, bersikeras minta ganti rugi untuk memulihkan wajah saya ini,” papar Hana, yang membuat Andhika tersenyum.
“Ya sudah, sekarang kan saya sudah transfer uang ke rekening kamu. Jadi selesaikan masalahnya. Mulai besok, kamu buat janji sama dokter untuk jadwal operasinya. Saya ingin segera mengenalkan kamu pada kedua orang tuaku,” sahut Andhika.
“Secepat itu, Pak?” tanya Hana. Dia menatap Andhika dengan kening yang berkerut.
“Iyalah, Han. Masalah kamu sudah selesai. Saya ingin masalah saya cepat selesai juga. Jadi kalau wajah kamu sudah mulus lagi, secepatnya kita menikah. Tentunya sebelum menikah, kamu kenalan dulu dengan calon mertua kamu,” sahut Andhika dengan senyuman.
“Memang apa sih masalahnya Pak Andhika? Saya boleh tahu nggak?” tanya Hana yang mulai kepo.
“Nanti juga kamu akan tahu sendiri. Oh ya, mulai sekarang kita panggilnya dengan sebutan aku, ya. Biar kelihatan akrab. Kalau dengan sebutan saya, kesannya jadi formal banget gitu. Terus kamu panggil saya jangan dengan sebutan Pak lagi. Tapi, panggil saya dengan sebutan Mas, gimana?” sahut Andhika.
Hana terkesiap dengan penuturan Andhika barusan. Memanggil dengan sebutan aku, nggak masalah untuknya. Tapi, untuk menyebut dengan sebutan Mas, lidahnya terasa kaku.
“Kok diam sih?” tanya Adhika setelah Hana terdiam cukup lama.
“Eh, i-iya.” Hana mengangguk dan tersenyum canggung menatap Andhika.
“Iya apa, Han?” tanya Andhika dengan senyum yang dikulum.
“Iya, Mas.”
“Nah, begitu dong. Enak kan kedengarannya. Masak panggil calon suaminya dengan sebutan Pak,” celetuk Andhika dengan senyum semringah menghiasi wajah tampannya.
***
Satu bulan kemudian.
Wajah Hana sudah kembali pulih. Bengkak di wajahnya sebagai akibat dari operasi yang dia jalani, sudah tak tampak lagi. Dia juga sudah bisa memakai make up seperti biasanya. Seperti pesan Andhika, bahwa dirinya harus mengirimkan foto wajahnya. Agar pria itu tahu perkembangan hasil operasi yang telah Hana jalani. Dia lalu memotret wajahnya. Ini adalah foto ke sekian kalinya yang Hana sendiri lupa, telah berapa banyak foto yang dia kirim pada Andhika. Tapi, yang jelas saat ini pria yang katanya menjadi calon suaminya itu, memberikan respons yang membuat Hana terkesima. Andhika langsung menelepon Hana sesaat setelah foto terkirim.
“Halo,” sapa Hana.
“Halo, Han. Hasilnya sudah bagus itu. Malam ini, aku akan mengajak kamu ke rumah orang tuaku. Kebetulan di sana sedang ada acara. Jadi sekalian aku kenalin kamu pada saudara-saudaraku yang pastinya hadir di acara itu. Kita akan berperan menjadi sepasang kekasih yang sedang di mabuk cinta. Jadi kamu jangan keberatan ya kalau nanti aku selalu peluk pinggang kamu, atau aku kecup punggung tangan kamu. Biar kelihatan mesra gitu, Han. Pokoknya nanti jangan ada penolakan dari kamu, yang bisa bikin keluargaku curiga,” ucap Andhika ketika dia menelepon Hana, setelah menerima kiriman foto terakhir wajah Hana yang cantik jelita.
Hana tertegun mendengar penuturan Andhika barusan. Dia menghela napas seraya berkata, “Sepasang kekasih yang di mabuk cinta? Hm, jangan modus kamu ya, Mas Dhika. Jangan ambil kesempatan dalam kesempitan. Awas saja nanti kalau kamu ternyata mau ambil kesempatan.”
“Apa, Han? Mas Dhika? Enak juga kedengarannya. Nah, begitu ya. Nanti kamu panggil aku dengan sebutan Mas Dhika. Mulai sekarang dan sampai kamu jadi istriku.” Andhika berkata dengan nada ceria, berbeda dari biasanya yang datar dan dingin.
“Eh, aku tadi keceplosan rupanya,” sahut Hana yang tak terasa kalau saat ini wajahnya mulai merona.
“Ah, nggak usah alasan deh. Pokoknya jangan diubah lagi! Sudah cocok itu, Han. Aku suka kalau kamu panggil aku dengan sebutan Mas Dhika! Pokoknya yang aku suka, kamu harus turuti! Jangan membantah, ok!” tegas Andhika, yang membuat Hana terpaku di tempatnya.
‘Dasar cowok egois! Untung cuma satu tahun jadi istrinya. Jadi sabar saja deh hadapi dia yang nge-bosi banget. Ngomongnya selalu dengan menyebut kata ‘pokoknya’ yang mencerminkan kalau dirinya memang orang yang egois. Menyebalkan sekali, huh!’ ucap Hana dalam hati.
Kini Hana sedang duduk berhadapan dengan ibunya. Dia harus mengatakan kalau dirinya akan menikah dengan Andhika. Walaupun alasan dia menikah dengan pria itu tetap menjadi rahasianya, tapi ibunya berhak tahu perihal pernikahannya ini. Suka atau tidak suka, Hana sudah menyetujui menjalani pernikahan kontrak ini dengan Andhika.“Bu, ada yang mau aku bicarakan,” ucap Hana ketika dirinya sudah menyelesaikan sarapannya.“Ngomong saja, Han,” sahut Widya-ibunda Hana.“Aku...aku mau menikah, Bu.” Hana berkata sambil menundukkan wajahnya, tak sanggup menatap wajah sang ibu.Widya yang sedang menikmati nasi goreng, seketika meletakkan sendok di atas piring.“Mau menikah? Dengan siapa? Katanya, kamu sudah putus sama Rama,” ucap Widya. Dia menatap lekat wajah cantik anaknya yang sudah mulus kembali.“De-dengan Pak Andhika, Bu. CEO Barata Group yang sudah membantu aku menjalani operasi pada wajahku,” sahut Hana dengan suara perlahan.“Apa?! Kamu mau menikah dengan lelaki yang waktu itu mengantar ka
Hana yang ditatap sedemikian rupa menjadi jengah.“Ya pasti cantik hatinya juga dong. Nanti kita ngobrol lagi, ya. Sekarang aku mau menemui mama dan papa dulu. Mau ucapin selamat pada mereka,” sahut Andhika. Dia lalu membawa Hana ke tempat orang tuanya, yang sedang sibuk menerima ucapan selamat dari para tamu undangan.Andhika menunggu hingga tamu undangan berlalu dari hadapan orang tuanya. Di saat menunggu itulah, Hana memberanikan diri untuk bertanya pada Andhika tentang sikap Aluna.“Mas, boleh aku tanya sesuatu?” bisik Hana.“Boleh. Mau tanya apa?” sahut Andhika balas berbisik.“Mengenai adik kamu, Aluna.”“Kenapa dia?”Andhika mengerutkan kening ketika mendengar penuturan Hana. Dia lalu membawa Hana melangkah menjauhi tempat itu, agar pembicaraan mereka tak ada yang mendengar. Andhika membawa Hana menuju meja prasmanan.“Kita makan sambil bicara saja, ya. Biar enak. Ayo, ambil makanannya!” ucap Andhika. Dia lalu meraih piring dan diserahkannya pada Hana. Setelah itu, dia ambil sa
Lestari yang kesal karena diabaikan oleh anak sulungnya, tak tinggal diam. Dia berjalan cepat menyusul Andhika. Hingga berhasil meraih lengan anaknya.“Kamu dengarkan kata-kata Mama, Dhika! Jangan pergi begitu saja!” sentak Lestari dengan tatapan tajam pada Andhika.“Iya, aku dengar. Mama nggak setuju kan kalau aku menikah dengan Hana.”“Mama mau kamu turuti kata-kata Mama untuk menikah dengan Tania, titik!” ucap Lestari yang membuat Andhika menghela napas panjang.“Aku kan sudah menolak sebelumnya, Ma. Jadi jangan paksa aku dong untuk menikah dengan Tania. Tolong Mama mengerti aku, ya. Aku sudah punya calon istri sekarang. Jadi hentikan usaha Mama untuk menjodohkan aku dengan Tania, ok.” Andhika berkata lembut untuk meredakan amarah sang mama. Selanjutnya, dia menarik lengannya dengan perlahan dan berlalu dari hadapan Lestari.Lestari hanya bisa memandang punggung anaknya yang menjauh dengan tatapan sendu.“Maaf, kamu jadi sendirian di sini. Tadi ada yang aku omongin sama mama soalny
“Orang tua saya sudah setuju. Semalam juga sudah berkenalan dengan Hana. Hanya saja karena saya mendadak ada urusan bisnis ke Singapura dalam beberapa hari ke depan, maka pernikahan ini saya percepat, Bu. Saya rencananya akan membawa Hana ke sana. Jadi kalau sudah menikah, nggak akan masalah kalau kami pergi bersama. Karena mendadak inilah orang tua saya nggak bisa ikut kemari, tapi restu sudah diberikan kok. Nanti mereka akan datang saat kami melangsungkan akad nikah,” sahut Andhika yang membuat Widya tertegun. Begitu juga dengan Hana dan Mutia.“Kami sudah mempersiapkan semuanya untuk melangsungkan akad nikah tiga hari lagi. Maaf untuk saat ini saya belum bisa memberikan pesta pernikahan untuk Hana. Tapi, suatu saat saya akan mengadakan resepsinya. Oh iya, asisten saya juga sudah mencarikan katering untuk acara akad nikah nanti. Jadi Ibu nggak usah repot lagi mengenai konsumsi. Semua sudah beres. Sekarang saya hanya minta data pribadi Hana untuk kelengkapan administrasi pernikahan k
Andhika berjalan mendekati sang adik yang berdiri di jarak lima langkah darinya.“Kamu serius, Lun?” tanya Andhika ketika sudah berada di hadapan adiknya.“Iya, aku serius. Aku nggak mau Kak Dhika malu karena nggak ada keluarga yang mendampingi,” sahut Aluna yang membuat Andhika tersenyum.“Terima kasih. Ternyata adikku ini pengertian juga pada kakaknya,” sahut Andhika. Dia lalu menatap kedua orang tuanya secara bergantian. “Pa, Ma, sekali lagi aku ijin untuk menikah. Aku nggak memaksa kalau kalian nggak mau datang. Kehadiran Aluna sudah cukup mewakili keluarga.”“Iya, Papa restui kamu. Papa minta maaf kalau nggak bisa hadir. Papa menjaga agar penyakit jantung mama kamu nggak kumat. Tolong dipahami ya, Dhika,” ucap Aryo.“Iya, Pa. Terima kasih atas restunya.” Andhika lalu memeluk papanya dengan erat. Dia kemudian melirik ke arah sang mama yang kini tengah menekuk wajahnya.Setelah beberapa detik memeluk sang papa, Andhika melonggarkan pelukannya di tubuh Aryo dan mengalihkan tatapann
Andhika membuka pintu kamar dan dia tercekat serta menelan saliva ketika melihat Hana, wanita yang tadi pagi resmi menjadi istrinya tengah berganti pakaian. Matanya tak berkedip, bahkan bibirnya menyunggingkan senyuman. Seketika dia menyesali perjanjian yang dia buat bersama Hana, kalau dirinya tak akan menyentuh Hana meskipun wanita itu sudah resmi menjadi istrinya.‘Ah, kenapa aku tak pikir panjang sebelum menyetujui permintaan Hana agar aku tak menyentuhnya? Sangat mubazir rasanya melewatkan begitu saja tubuh Hana yang seksi. Padahal dia sudah halal untukku, tapi tak bisa aku raih dan sentuh. Andhika, kamu sungguh ceroboh. Andaikan kamu tak menyetujui permintaan Hana, tentu sekarang sudah bisa menikmati tubuh seksi itu. Ah, Andhika bodoh sekali kamu ini,’ rutuk Andhika dalam hati.Raut penyesalan terpancar jelas di wajah Andhika yang masih terpaku di ambang pintu kamar.Hana masih tak menyadari kehadiran suaminya di ambang pintu. Dia masih sibuk mengganti pakaiannya dengan piama. D
“Mas,” ucap Hana lirih yang ketakutan saat wajah Andhika semakin mendekat ke wajahnya. Bahkan kini dahi mereka sudah menempel satu sama lain. Bahkan wajah Hana memanas terkena hembusan napas Andhika yang memburu. “Ingat perjanjian itu, mencium sama saja menyentuh.”Andhika menatap wajah cantik sang istri yang putih bersih. Naluri lelakinya berontak.“Aku lelaki normal, Han. Kini kita berdua sudah resmi sebagai pasangan suami istri. Aku ingin menuntut hakku sebagai seorang suami. Apa itu salah? Walaupun hanya mencium, apa salah?” ucap Andhika dengan mata yang terpejam. Menahan desakan yang begitu menyiksa. Menormalkan hormonnya yang kini menggila.“Tapi, kita sudah terikat suatu perjanjian, Mas.” Hana kembali berkata lirih. Kali ini dia menggigit bibir bawahnya dengan tubuh yang bergetar karena takut diterkam suaminya, yang sudah diliputi gairah.“Bagaimana...bagaimana kalau kita revisi perjanjiannya, Han,” bisik Andhika lagi.“Hah?! Direvisi?” tanya Hana bingung.“Iya, direvisi sebagi
Andhika menghela napas panjang dan menatap Hana dengan frustrasi. Dia lalu berguling ke samping tubuh sang istri yang menatapnya dengan lugu. Tak lama, Hana bangkit dari posisi rebahan dan meraih piamanya yang teronggok di lantai, lalu memakainya kembali. Kemudian melangkah ke kamar mandi. Sedangkan Andhika menjambak rambutnya dan mengusap wajahnya kasar. “Sial benar ini. Baru akan mulai, ada saja halangannya,” umpat Andhika dengan nada frustrasi. Dia lalu meraih pakaian tidurnya yang berserakan di lantai dan mengenakannya kembali. Sementara itu di kamar mandi, Hana tertawa kecil. Dia mengingat ekspresi suaminya tadi, yang awalnya tampil laksana ksatria yang siap berperang. Namun, dalam sekejap berubah seperti prajurit yang kalah perang, ketika bercak merah menginterupsi aktivitas panas mereka. Senyum Hana masih menghiasi wajah cantiknya, ketika dirinya sudah rapi dan kembali melangkah ke tempat tidur. Di sana, Andhika sedang menonton tayangan TV dari atas tempat tidur. Hana pun be
Andhika dan Hana sontak menoleh ke arah sumber suara. Tampak seorang pria sebaya dengan Andhika kini tengah melangkah serta tersenyum pada Andhika.“Siapa dia, Mas?” bisik Hana.“Dia Sakti. Teman semasa SMA yang berselingkuh dengan Devy,” sahut Andhika datar.Hana hanya manggut-manggut dan memperhatikan perubahan ekspresi sang suami.Rahang Andhika mengeras. Tampak jelas kalau kini dia sedang menahan emosinya. Terbayang masa lalu Sakti bersama dengan Devy yang mengkhianatinya.“Dhika, apa kabar?” sapa sakti ketika dirinya sudah berada di hadapan Andhika.“Kabarku baik, alhamdulillah,” sahut Andhika datar.Sakti yang paham dengan sikap Andhika yang dingin padanya, kini tersenyum canggung.“Aku tahu kamu mau makan malam ke restoran itu. Tapi, bisakah kita bicara sebentar saja. Aku mau...minta maaf padamu,” ucap Sakti agak grogi.Andhika menghela napas panjang. Dia tersenyum samar kala mendengar permintaan maaf yang baru saja Sakti ucapkan. Baru sekarang pria itu minta maaf. Ke mana saja
Aryo lalu mendekati Widya seraya berkata, “Aku akan mencarinya. Aku akan lapor ke polisi. Kamu tenang saja, ya.”“Aku ikut ke kantor polisi, karena aku yang mendapat kabar dari sekolah kalau Tika dijemput oleh seseorang yang mengaku masih keluarga,” sahut Widya setelah dapat menghentikan isak tangisnya. Dia lalu melirik ke arah Wiryo.Aryo yang paham akan lirikan Widya, menoleh pada mertuanya. Dia menatap Wiryo seraya berkata, “Apa Ayah yang menyuruh seseorang untuk menjemput anak kami di sekolahnya?”Wiryo terkekeh mendengar ucapan Aryo. “Buat apa aku melakukan hal itu? Urusanku adalah mengamankan aset perusahaan milik anakku, yang otomatis adalah milik kedua cucuku. Selain itu juga, kamu adalah suami anakku. Jadi aku berusaha untuk mengembalikan posisi kamu seperti semula, sebagai suami Lestari satu-satunya. Jadi setelah kamu menceraikan perempuan ini, dan menyuruhnya pergi dari sini, maka selesai sudah urusanku. Masalah anak kalian, aku sama sekali nggak tahu menahu.”Jawaban Wiryo
Wajah Aryo pun semakin pucat pasi mendengar ancaman dari ayah mertuanya. Dia lalu beranjak dari sofa dan bersimpuh di kaki sang mertua.“Ayah, maafkan aku. Maafkan atas kekhilafanku ini. Aku berjanji akan mengakhiri semua, asalkan jangan usik kehidupan adikku. Aku mohon Ayah,” ucap Aryo memelas.Wiryo tersenyum mendengar permohonan menantunya itu. Dia lalu berdiri karena tak sudi kakinya disentuh oleh pria macam Aryo, yang jelas telah membuatnya kecewa.“Apa kamu pikir aku akan percaya dengan perkataanmu ini, Aryo? Aku bukan orang bodoh yang bisa kamu bohongi untuk kedua kalinya. Kamu mau mengakhiri ini semua, maksudnya mau kamu ceraikan istri simpananmu itu? Apa bisa kamu menceraikannya? Sementara kamu tergila-gila sama dia, iya kan. Kalau kamu nggak tergila-gila, tentu nggak mungkin kamu selingkuh sampai menikahi perempuan itu. Semua yang kamu lakukan itu sudah terlalu jauh, Aryo, dan jujur aku sangat kecewa dan menyesal telah berbaik hati padamu dulu. Jadi salah satunya cara agar k
Sementara itu, Aryo yang tengah berada di apartemen tampak tak tenang. Semenjak kepergiannya dari rumah meninggalkan Lestari yang marah, dan Andhika yang menangis dengan kening yang berdarah, membuat rasa bersalah menyelimuti hati Aryo. Tiba-tiba rasa penyesalan hinggap di hatinya, karena dia tak menuruti permintaan anak sulungnya, anak kesayangannya.‘Dhika maafkan Papa ya, Nak,’ ucap Aryo dalam hati.Aryo memejamkan matanya dan menjambak rambutnya karena kesal pada dirinya sendiri. Ingin dia berteriak sekedar meringankan sesak di hati. Namun, dia tak ingin Widya mengetahui masalahnya.Widya yang baru saja meninabobokan Kartika, tercenung melihat Aryo yang tampak gusar di ruang tengah. Wanita itu melangkah menghampiri sang suami.“Ada apa, Mas?” tanya Widya dengan perlahan.Aryo membuka kelopak mata dan menggelengkan kepalanya. “Nggak ada apa-apa kok, Wid. Aku hanya pusing saja. Aku mau tidur saja sekarang. Mungkin dengan tidur, sakit kepalaku akan hilang.”Tak menunggu jawaban dari
Aryo sedikit tersentak mendengar pengakuan Widya. Namun, tak lama dia pun tersenyum karena sadar apa yang mereka lakukan selama ini akan membuahkan hasil.“Aku akan menikahi kamu. Tapi, aku nggak bisa menikahi kamu secara resmi.”“Lho, kenapa?” tanya Widya bingung. “Kamu ini ngakunya bujangan, Mas. Masak menikahi aku nggak menikah resmi sih? Atau...kamu sudah punya keluarga?”Aryo tampak sedikit gugup. Dia melihat wajah Widya yang menatapnya dengan penuh selidik.“Bu-bukan begitu, Widya. Tapi, aku ada ikatan dinas di kantorku yang melarang karyawannya untuk menikah dulu selama lima tahun. Nanti kalau ikatan dinas itu sudah selesai, aku akan meresmikan pernikahan kita. Jadi nanti kita menikah di Bogor saja, ya. Kalau di Jakarta nanti ada teman-temanku yang tahu. Bisa bahaya untuk karirku,” sahut Aryo berbohong. Tentu saja dia tak mau menikah di Jakarta, karena Lestari atau keluarga yang lainnya yang juga tinggal di Jakarta akan tahu. Aryo tak ingin itu terjadi.“Oh, ya sudah kalau begi
Aryo menghela napas panjang dan geleng-geleng kepala.“Aku nggak akan macam-macam, apalagi selingkuh, Tari,” ucap Aryo serius.“Aku hanya jaga-jaga saja, Mas. Aku lakukan ini demi anak kita. Kalau nanti kamu macam-macam, aku bisa mengambil tindakan tegas. Lalu aku pastikan kalau masa depan anakku juga aman. Aku berkata begini bukan sombong, tapi aku hanya mengambil tindakan yang tepat untuk anakku kelak,” sahut Lestari yang juga serius.Akhirnya pasangan suami istri itu berhasil mendirikan CV Barata yang bergerak di bidang kontraktor kecil-kecilan. Lestari sendiri yang menangani dibantu oleh empat orang karyawan. Sedangkan Aryo masih tetap bekerja sambil mencari klien untuk CV Barata. Bahkan Aryo pun mulai berani ikut tender proyek pendirian sekolah swasta. Proyek itu pun sukses. Dari situlah lambat laun CV Barata mulai dikenal orang. Hingga dua tahun pendirian badan usaha itu yang semula bernama CV Barata, kini berubah menjadi PT. Barata.Usaha mereka pun semakin maju pesat. Omsetnya
Beberapa minggu kemudian, hubungan Aryo dan Lestari semakin akrab. Hal itu diketahui oleh orang tua mereka. Sehingga Wiryo dan Dirjo sepakat untuk segera melangsungkan pernikahan mereka.Aryo dan Lestari hanya menuruti keinginan orang tua mereka. Meskipun belum ada perasaan cinta di hati keduanya, namun kedua insan itu telah berkomitmen untuk saling menyayangi dan menghargai satu sama lain. Mereka juga sepakat akan membina rumah tangga dengan baik, sehingga bisa menjadikan rumah tangga mereka rukun dan tenteram.Lima bulan pasca pernikahan, Lestari telah lulus kuliah dengan predikat terbaik. Selain itu, dia juga telah mengandung anak Aryo. Hal itu tentu saja membuat pasangan suami istri sangat bahagia karena mendapat hadiah yang terindah dari Yang Maha Kuasa.“Alhamdulillah, di saat aku telah lulus kuliah, aku hamil,” ucap Lestari suatu malam ketika dia dan Aryo sudah berada di peraduan.“Iya, Tari. Aku sangat bahagia sekali. Kamu jaga ya kandungan kamu ini. Biar bayi kita tumbuh deng
Aryo hanya diam. Dia bingung dengan jawaban yang harus dia berikan pada kedua orang tuanya. Dia ingin menolak, tapi tak mau mengecewakan orang tuanya. Kalau dia menerima, itu bertentangan dengan hati nuraninya.“Nak, cinta itu bisa tumbuh setelah tinggal bersama nanti setelah kalian menikah. Dulu Bapak dan Ibu juga menikah tanpa adanya cinta. Tapi, pernikahan kami langgeng sampai sekarang,” ucap Narti-sang ibu, seolah tahu dilema yang Aryo rasakan saat ini.Aryo hanya menghela napas panjang. “Lalu bagaimana dengan Lestari sendiri? Apa dia bersedia punya suami kere seperti aku ini. Aku nggak bisa menjanjikan apa-apa untuk dia. Ya...hanya gajiku saja sebagai staf keuangan di perusahaan swasta, yang bisa aku berikan untuknya. Tentunya nggak seratus persen, karena aku juga ingin memberi uang untuk kalian. Aku ingin membantu perekonomian orang tua.”Dirjo dan Narti tersenyum mendengar penuturan anak sulung mereka.“Terima kasih kamu sudah punya niat baik untuk kami, Nak. Bapak yakin kalau
Semenjak Aluna menikah dan tinggal bersama dengan sang suami, Aryo tinggal sendiri di rumahnya. Pria itu hanya ditemani oleh asisten rumah tangga, sopir dan penjaga rumahnya. Membuat Aryo merasa kesepian. Kadang kala dia menginap di rumah Andhika. Dia ingin menginap di rumah Aluna maupun Kartika, tapi dirinya merasa sungkan. Aryo lebih nyaman menginap di rumah anak laki-lakinya. Hal itu membuat Aluna maupun Kartika secara bergantian mengunjungi ayah mereka.Seperti hari ini, Kartika datang berkunjung setelah pulang dari bekerja di rumah sakit.“Kenapa kamu masih bekerja, Tika? Apa uang suami kamu nggak cukup untuk biaya hidup kamu?” tanya Aryo ketika mereka sedang berbincang di taman belakang sambil minum teh di sore hari.“Mas Rafli memang sudah berulang kali menyuruhku berhenti bekerja, Pa. Tapi aku keberatan, karena aku masih menikmati pekerjaanku merawat orang-orang di rumah sakit,” sahut Tika kalem.“Kalau begitu, jadilah perawat Papa. Apa kamu masih keberatan juga kalau harus me