"Simon dan semuanya, menyebar!! Laporkan kepadaku situasi yang kalian lihat di tempat masing-masing dan jangan sampai ketahuan," titah Evan melalui alat komunikasi khusus.PLAK!! Peter menampar pipinya sendiri untuk membunuh beberapa atau mungkin ratusan pasukan hewan penghisap darah yang selalu menyerbu serta menghisap darahnya setiap kali ia melakukan pengintaian di semak-semak, ia tidak berani mengomel karena sejak berangkat tadi wajah Evan selalu nampak masam dan ia takut terkena dampratan Evan."Damn!! Pakai cream ini, aku sudah menyiapkannya untukmu," ucap Evan sambil melempar cream anti nyamuk ke arah Peter yang sedang berjongkok tepat di sampingnya."Sekarang ini aku tidak takut lagi sama nyamuk tapi aku takut mellihat wajahmu ... ada apa denganmu? Apakah kau ... tidak mendapat jatah dari Iris?" Tanya Peter dengan suara lirih.Evan hanya diam tidak merespon ucapan Peter yang hanya akan membuat kepalanya berdenyut sakit, sudah hasratnya tidak tersalurkan dan sekarang harus men
"Mati kau, Evan!!" Orlando menancapkan ujung pena yang lancip di dada Evan, menekannya semakin dalam hingga darah segar mengucur deras dari ujung pena.Evan mencengkeram erat pergelangan tangan Orlando sambil menatap mata musuhnya dengan tatapan penuh kemarahan, otot-otot tangan serta wajahnya mencuat dari permukaan kulitnya saat ia menahan kekuatan dorongan Orlando sehingga pena yang tadinya menancap di dadanya kini telah berhasil ia keluarkan."Kau tidak akan pernah bisa membunuhku dengan benda sialan ini," ujar Evan yang kini merebut balik pena berlumuran darahnya lalu balik menusuk perut Orlando."Aaakkh," erang Orlando kesakitan.Evan mencekik leher Orlando beberapa detik lalu ia menendang musuhnya hingga tersungkur ke lantai sebelum tubuhnya hampir merosot ke lantai namun Peter bergerak cepat menangkap lalu menopang tubuhnya."Evan!! Kau baik-baik saja?" Tanya Peter seraya melingkarkan tangan kekar Evan ke bahunya.Napas Evan terengah-engah dan tangannya sedang memegangi dadanya
"HUEK!! HUEK!!" Sambil menutupi mulutnya dengan santu tangan, Iris melompat turun dari ranjang lalu berlari masuk ke dalam kamar mandi.Iris membuka tutup kloset lalu ia memuntahkan semua isi perutnya di sana, entah kenapa ia bisa merasa mual setelah mendapatkan titah yang menurutnya sangatlah menjijikkan dari Evan. Jangankan junior, bahkan makanan yang tidak higienis saja tidak akan pernah mau dicicipi oleh gadis yang memiliki body bak gitar Spayol tersebut ya terang saja kalaui reaksi yang ditunjukkan oleh Iris juga di luar prediksi."Kau baik-baik saja? Apa kau mau aku panggilkan dokter?" Tanya Evan sambil berjalan masuk ke dalam kamar mandi menyusul Iris."Jangan mendekat ... hueek!!" Iris mengibaskan tangannya untuk mengusir Evan keluar dari kamar mandi akan tetapi pria bertubuh kekar itu tidak memperdulikan kode tangannya."Kau bukan wanita pertama yang muntah di depanku, jadi ... kau tidak perlu khawatir," ucap Evan yang sedang berjongkok tepat di belakang Iris sambil mengusap
"WHAT THE FUCK!! AKAN KUBUNUH GADIS KERAS KEPALA ITU KARENA BERANI MELARIKAN DIRI," ujar Evan dengan nada suara menggelegar bagai petir. "Simon!! Ikuti aku," titahnya kepada sang anak buah.Evan berlalu pergi begitu saja setelah mengajak beberapa anak buahnya untuk pergi mengikutinya. Jika Evan memilih untuk mencari Iris keluar rumah lain halnya dengan Peter yang memilih pergi ke ruang pemantauan CCTV untuk mencari keberadaan Iris, di sana ia memeriksa satu per satu layar dengan sangat teliti hingga ia mendapatkan apa yang ia cari."Itu dia, Iris!! Layar nomor satu, ada dimana itu?" Pekik Peter seraya menunjuk layar yang berada di sudut teratas."Taman bunga mawar, tempat dimana nyonya Freya dimakamkan," jawab sang pria penjaga ruang kendali CCTV.Peter menepuk pundak anak buahnya kemudian berlari menuju ke taman bunga akan tetapi ia tidak melihat sosok wanita yang ia sedang ia cari sehingga ia berjalan mendekati makam Freya. Sambil berkacak pinggang ia menolehkan kepalanya ke kanan l
"Tolong ... tolong ... sakiit," lirih Iris sembari terbaring lemah di lantai sambil memegangi perutnya.Darah segar terus meleleh dari inti tubuh Iris yang bercampur dengan cairan putih pekat, Iris menangis dan terus mencoba meminta pertolongan akan tetapi Evan yang sedang berada dalam pengaruh alkohol dan mengantuk setelah bercinta malah tertidur pulas tidak bisa dibangunkan.Iris yang terus merintih kesakitan terus berjuang untuk mencari bantuan, ia merayap perlahan menyeret tubuhnya mendekati pintu dengan menggunakan sisa-sisa kekuatan yang dimilikinya. Tangannya mengetuk pintu dengan ketukan sangat lemah untuk menarik perhatian orang yang mungkin saja sedang melintas di depan kamar."To ... long," lirih Iris sambil mengetuk pintu dari dalam.Tubuh Iris semakin melemah dan darah yang meleleh keluar dari tubuhnya kini membentuk genangan kecil yang artinya sekarang ini nyawanya sedang berada di ujung tanduk.Sementara itu ...Peter tampak gelisah dan terus berjalan mondar-mandir sepe
"Iris keguguran ... God!!" Peter terduduk di kursi setelah mendengar diagnosa dokter, kepalanya berdenyut sakit dan perlahan bergerak menunduk hingga harus ditopang dengan kedua tangannya karena tiba-tiba terasa sangat berat."Bagaimana keadaan nona Iris? Apakah nona Iris seudah mengetahui kabar ini?" Tanya Simon."Pasien masih belum sadarkan diri dan belum tahu tentang keguguran yang dialaminya," jawab sang dokter."Apakah kami bisa melihat nona Iris?" Tanya Simon lagi.Sang dokter mengangguk lalu berkata. "Boleh, tapi anda harus menunggu sebentar karena pasien sedang dipindahkan ke ruang perawatan dan pasien juga harus banyak beristirahat agar keadaannya bisa segera pulih.""Saya mengerti, terima kasih banyak." Ucap Simon.Sang dokter mengangguk pelan lalu pergi meninggalkan Peter dan Simon untuk melanjutkan pekerjaannya. Beberapa menit kemudian, Peter masuk ke dalam kamar perawatan Iris untuk melihat kondisi sang gadis yang sedang terbaring lemah di atas ranjang dengan wajah yang sa
"Iris, maafkan aku." Evan mengusap lembut pipi mulus Iris yang telah basah oleh air mata.Setelah seharian merenung, Evan memutuskan untuk menemui Iris dan hal mengejutkan lainnya adalah sebuah permintaan maaf yang meluncur dari bibirnya kepada tawanan wanitanya."Pergi, pergi dari sini!! Apa kau masih belum puas setelah menghancurkan hidupku dan membuatku keguguran?!" Iris mendorong bahkan memukuli tangan kekar Evan dan tidak sudih untuk disentuh oleh pria kejam yang telah menyiksanya."Aku tahu, aku tahu dan karena itu lah aku datang ke sini untuk meminta maaf kepadamu," ucap Evan sembari memegangi tangan Iris dan mencoba untuk menenangkan kemarahan wanitanya.Tangis Iris yang semula berupa isakan kini malah pecah dan berubah menjadi tangis histeris sehingga Evan reflek memeluk sang gadis meskipun ia terus mendapatkan penolakan."Kau jahat, kau sangat jahat karena sudah membunuh bayiku," ujar Iris."Bayi kita," ralat Evan menimpali."Seharusnya kau juga membunuhku lalu mengirim maya
Kelopak mata Evan bergerak mengerut lalu perlahan terbuka setelah samar-samar mendengar suara isak tangis seorang perempuan, dengan mata yang menyipit ia menatap punggung Iris yang tampak bergerak pelan dan ia semakin yakin kalau suara isakan yang telinganya dengar memang berasal dari tawanan wanitanya.Evan bangkit lalu berjalan mendekati ranjang dan kini berdiri tepat di samping wanitanya, tangan kokohnya mengusap lembut kepala Iris sambil berkata. "Kenapa tidak tidur? Apakah masih sakit?"Iris hanya menangis dan tidak menjawab pertanyaan Evan."Aku akan memanggil dokter untuk memeriksamu," ucap Evan sambil berbalik akan tetapi langkah kakinya terhenti karena Iris memegang tangan kekarnya. "Ada apa?" Tanyanya kemudian."Jangan ... aku ingin menyendiri," lirih Iris."Aku dengar kau sangat menyukai kabut di pagi hari, apa kau ingin melihatnya?" Tanya Evan."Itu dulu, sekarang aku sudah tidak lagi menyukainya setelah kau membunuh kak Richard," jawab Iris.Evan menghela napas panjang sa