Penyejuk ruangan menyala, namun suasana tetap terasa panas di dalam ruangan Presiden Direktur. Seorang wanita dengan pakaian minim tampak tengkurap di atas meja, di belakangnya berdiri seorang lelaki tinggi kekar berpakaian rapi. Suara-suara tidak pantas keluar dari bibir merah si wanita.
"Betul. Suruh dia membuat surat pernyataan bahwa tidak akan menuntut ganti rugi atas semua proses penyitaan." Lelaki itu, Nathaniel, tidak berhenti berbicara di telepon meskipun tengah melakukan aktivitas yang menguras tenaga. Terdengar suara ketukan. Pintu terbuka dan terdengar suara seseorang menarik nafas tajam. Nathan menoleh sekilas dan melihat sekretarisnya bersama seorang wanita muda berwajah manis. Wanita itulah yang mengeluarkan suara terkejut. "Maaf Pak, kami akan kembali nanti," kata Cindy, si sekretaris. Segera kedua wanita itu menghilang di balik pintu. Nathan menyelesaikan urusannya dan melepaskan diri dari wanita yang berada di atas meja. Tangannya mengetikkan sesuatu di handphone sementara wanita itu membenahi make up dan pakaiannya yang berantakan. "Bayaranmu sudah kutransfer," ucap Nathan dingin. "Panggil aku kapan pun kamu butuh, Sayang," desah si wanita yang rupanya adalah wanita panggilan. Nathan mengabaikan dan duduk di belakang meja. Wanita itu melangkah keluar dari ruangan Presiden Direktur. Tidak lama Cindy kembali bersama wanita muda berwajah manis tadi. "Pak, ini sekretaris dari perusahaan lama yang diakuisisi," info Cindy. "Silakan duduk." Nathan mengamati wanita berambut panjang itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Cindy meninggalkan mereka berdua dalam ruangan. Wanita itu menoleh gelisah. Nathan menahan senyum. "Duduklah," kata Nathan sekali lagi. Biasanya dia tidak akan sesabar itu menghadapi wanita, tapi ada sesuatu yang menarik dengan wanita berambut panjang ini. Wanita itu duduk tanpa bersuara. Tampaknya dia shock karena melihat adegan tidak pantas yang baru saja berlangsung di atas meja. "Siapa namamu?" tanya Nathan. "Angeline." Nathan membatin, nama yang indah. "Sudah berapa lama kamu bekerja sebagai sekretaris?" Nathan bertopang dagu. "Empat tahun." Angeline menelan ludah. Lelaki di hadapannya tampan namun memberi kesan berbahaya, terutama karena ada bekas luka yang membelah alis kirinya dari dahi hingga ke sudut mata. Beberapa saat mereka saling mengamati lawan bicara. Nathan menyayangkan gaya berpakaian Angeline yang sangat tertutup—kemeja hitam yang terkancing sampai leher dan celana panjang hitam—sehingga dirinya tidak dapat menilai tubuh wanita tersebut. Sementara Angeline tetap memasang wajah datar meskipun melihat bayangan hitam di dalam lengan kiri kemeja putih Nathan. Mungkin sebuah tato? "Sudah baca kontrak yang harus ditandatangani?" tanya Nathan. "Sudah. Hanya saja ada poin yang saya merasa terlalu berat." Angeline mengembalikan fokusnya pada wajah Nathan. "Oh ya? Di bagian mana?" Seulas senyum tipis menggantung di bibir Nathan. "Penalti jika karyawan mengajukan resign sebelum habis kontrak. Tidak bisakah direvisi? Saya tidak mau tanda tangan jika dibebani penalti sebesar dua belas bulan gaji." Angeline berterus terang. "Tidak bisa. Semua karyawan menandatangani kontrak yang sama. Apa yang membuat saya harus membedakan kamu? Lagipula kontrak tersebut hanya berjangka waktu tiga tahun, dan nominal gaji yang ditawarkan jauh lebih baik dibanding bos lamamu, bukan?" Nathan bersandar santai seolah sedang membicarakan cuaca hari ini. Angeline terdiam sesaat, "Akan saya pikirkan terlebih dulu." Nathan memicingkan mata. Wanita ini tidak tertarik dengan jumlah gaji yang ditawarkan? Apakah dia sedang memainkan trik jual mahal? Meskipun wajahnya terlihat tenang, tapi kedua tangan Angeline saling meremas dengan gelisah. Gaji yang ditawarkan Wayne Group, perusahaan di bawah pimpinan Nathaniel Wayne, memang sangat menggiurkan. Angeline berharap Nathan mau mengurangi besaran penalti dalam kontrak kerja. "Begini saja, bekerjalah dahulu selama tiga bulan. Kamu akan menerima gaji sesuai kontrak tanpa penalti. Hanya tiga bulan, setelah itu kamu bisa memutuskan akan lanjut atau tidak." Nathan memberikan penawaran menarik lainnya. Dia terlalu penasaran dengan apa yang ada di balik kemeja hitam Angeline yang tertutup rapat itu. "Tiga bulan percobaan? Tidak perlu tanda tangan kontrak?" Angeline memastikan. "Saya akan merubah surat kontraknya, khusus untuk kamu." Nathan tidak menyembunyikan senyumnya yang menawan. "Baiklah kalau begitu. Saya bisa menerima kondisi tersebut," ujar Angeline. "Mulailah hari ini," kata Nathan dengan nada yang tidak dapat diganggu gugat. Angeline mengernyit, "Apa?" "Mulailah bekerja hari ini, Angeline." "Hari ini saya belum siap. Besok saja, Pak," tawar Angeline. "Tempat tinggalmu dekat?" tanya Nathan. "Tidak terlalu jauh." "Pulanglah untuk bersiap-siap, lalu kembali kemari. Nanti siang ada meeting di luar dan saya butuh kamu." "Tapi—" "Saya tidak akan memotong gajimu hari ini," imbuh Nathan. Hening sesaat. Angeline menghitung berapa besar pemotongan gaji satu hari dalam sebulan. Setelah menyadari bahwa jumlahnya cukup besar dia memutuskan untuk menurut. "Baik, kalau begitu saya pulang dulu. Saya akan kembali secepat—" "Terlalu lama! Saya akan mengantarmu pulang, setelah itu kita pergi bersama." Nathan berdiri mendadak. Angeline tersentak kaget, matanya terbelalak, "A—apa?" "Kubilang saya akan mengantarmu pulang. Ayo." Nathan memakai jas dan berjalan mendahului ke pintu. Otak Angeline nyaris membeku dengan tindakan Nathan. Dia sangat keberatan lelaki ini berada di dekat ruang pribadinya. Nathan sudah kehilangan rasa hormat Angeline karena adegan panas yang dia pertontonkan tadi. "Kenapa masih duduk? Kamu tidak paham kalau waktu sangat berharga?" sergah Nathan. "Tidak usah diantar, saya bisa naik ojek motor, lebih cepat daripada mobil," ketus Angeline. Nathan tersenyum, "Siapa bilang kita naik mobil?" "Apa?" Angeline melongo. Langkah kaki Nathan yang panjang membuat Angeline harus berjalan cepat mengejar. Siapa suruh kakinya tidak sepanjang bos baru ini? Nathan memperhatikan bahwa Angeline tidak terengah meskipun harus berjalan cepat hingga hampir berlari. Tampaknya wanita ini memiliki fisik yang kuat. "Kamu tinggal di mana?" Nathan memberikan helm untuk Angeline. Dengan sangat terpaksa Angeline memberitahukan apartemen tempatnya tinggal. "Oke. Saya tahu tempatnya." Nathan naik ke motor dan menstarter. Lelaki berjas ternyata terlihat keren jika dipadukan dengan motor racing. Pasrah, Angeline memakai helm dan naik ke boncengan tanpa menyentuh Nathan. "Pegangan," ucap Nathan. "Sudah," sahut Angeline. Motor pun melaju dengan kecepatan tinggi. Nathan penasaran karena wanita di belakangnya tidak berpegangan sama sekali. Dia tidak tahu Angeline berpegangan pada bagian belakang motor, jadi secepat apa pun dia ngebut atau mengerem posisi Angeline tetap aman. Tiba di apartemen Nathan memarkir motor di parkiran gedung. Angeline meluncur turun dari boncengan dan mengembalikan helm. Dia melirik curiga saat Nathan membuntutinya masuk ke dalam. Jangan-jangan lelaki ini mau ikut sampai ke atas? "Pak, tunggu di lobby saja. Saya tidak lama kok," kata Angeline sebelum masuk ke lift penghuni yang dibatasi dinding kaca dari lobby. "Tempat tinggalmu steril dari lelaki?" ejek Nathan. "Ya." Angeline memberikan jawaban yang tidak disangka. "Bosmu pun tidak boleh bertamu?" Nathan mengangkat alis. "Ya." Angeline bersikukuh. Mana mungkin dia membiarkan lelaki berbahaya ini masuk ke dalam ruang pribadinya? "Baiklah. Saya tunggu lima menit," tukas Nathan. Sedikit kesal karena wanita ini menolaknya. Angeline memperhatikan Nathan berjalan menjauh. Setelah lelaki itu mencapai jarak aman barulah Angeline masuk ke area lift dengan kartu akses. Sepasang mata tajam Nathan memperhatikan sosok Angeline masuk ke lift. Lelaki sepertinya yang tidak pernah ditolak wanita merasa tertantang oleh penolakan Angeline. Dia bertekad akan mendapatkan wanita itu bagaimanapun caranya. Lift berhenti di lantai sembilan belas. Angeline berlari menuju unitnya. Dia hanya perlu mengambil tas yang lebih besar untuk memuat pakaian ganti dan jaket tipis. Setelah yakin tidak ada yang tertinggal Angeline bergegas turun. "Enam menit," ucap Nathan begitu Angeline tiba di hadapannya. "Lima setengah menit, Pak," koreksi Angeline. Nathan tidak mendebat lagi. Dia berjalan mendahului ke tempat parkir. Mereka pun melaju ke sebuah hotel bintang lima tempat janji meeting diadakan. Meeting berjalan berat sebelah. Angeline mengamati bahwa Nathan tidak pernah memberikan kesempatan pada rekan bisnisnya untuk menegosiasikan perjanjian yang dibuat. Lelaki itu bahkan tampak memaksakan kehendak seperti yang dilakukannya terhadap kontrak kerja Angeline. Selesai meeting Nathan dan asisten barunya kembali ke kantor. Nathan memperhatikan tas besar yang tersampir di bahu Angeline, "Apa yang kamu bawa? Pakaian ganti?" "Iya," jawab Angeline sesingkat mungkin. "Oh, ada kegiatan setelah jam kantor?" Nathan tersenyum. Angeline tidak menjawab, hanya membalas tersenyum tipis. Menurutnya hal yang ditanyakan adalah urusan pribadi dan dia tidak wajib menjawab. "Angeline. Kalau saya bertanya, kamu harus menjawab. Saya tidak mau ada karyawan terlibat dalam aktivitas yang dapat merugikan perusahaan," tegas Nathan. "Saya bisa menjamin bahwa tidak ada aktivitas yang merugikan perusahaan, Pak." Angeline menyembunyikan ketidaksenangannya atas keingintahuan Nathan. "Harus dirahasiakan?" Angeline mengulum bibir. Betapa sulitnya menghadapi lelaki ini! "Sudahlah. Kamu boleh pergi. Cindy akan memberitahu di mana ruanganmu." Nathan memutus kontak mata terhadap Angeline. "Baik, Pak." Angeline bernafas lega dan keluar dari ruangan luas yang terasa menyesakkan itu. Melihat Angeline keluar dari ruangan Nathan, Cindy cepat-cepat menghampiri. Sebelumnya Nathan telah memberi instruksi yang spesifik mengenai Angeline. "Hai, ayo kutunjukkan ruanganmu." Cindy tersenyum manis. Angeline mengangguk. Menghadapi Nathan selama setengah hari telah menguras energinya sehingga dia terlalu lelah untuk bicara. Mereka masuk ke sebuah ruangan tepat di sebelah ruangan Presiden Direktur. Tidak terlalu luas tapi memiliki jendela teramat besar yang memperlihatkan pemandangan kota metropolitan. Angeline langsung menyukai ruangan yang berbau baru ini. "Ada pintu yang terhubung langsung dengan ruangan Presdir, jadi sewaktu-waktu dipanggil kamu bisa lewat sini." Cindy menunjuk ke arah sebuah pintu geser besar di dinding. "Oh." Angeline langsung merasa terancam. Sementara itu di ruangan sebelah Nathan sedang mengamati layar LCD di meja yang memperlihatkan ruangan tempat Angeline berada. Mata setajam elang mengawasi gerak-gerik kedua wanita. Nathan tersenyum saat Angeline memandang tepat ke arah CCTV. Wanita itu menatap cukup lama sebelum kembali memperhatikan Cindy. "Menarik sekali ...," gumam Nathan. Dalam pikirannya terlintas berbagai rencana untuk menundukkan asisten barunya.Selama empat tahun bekerja belum pernah Angeline sesibuk ini. Ada saja yang diperintahkan Nathan kepadanya, mulai dari mengambil dokumen di departemen lain hingga mengambilkan stelan jas di tempat laundry. Angeline tidak akan heran jika suatu hari nanti Nathan akan menyuruhnya mengepel lantai. Yah, ternyata jobdesc sekretaris dan asisten pribadi memang berbeda. "Angel, kamu pegang ini." Nathan memberikan sebuah kartu tebal berwarna hitam. Angeline mengambil dan mengamatinya. Tidak banyak keterangan yang tertulis di kartu, hanya tertera nomor lantai dan nama gedung. "Untuk apa ini, Pak?" tanya Angeline. "Sebagai asisten pribadi sewaktu-waktu saya akan meminta kamu naik ke penthouse. Lift dan pintu hanya dapat dibuka dengan kartu ini." Nathan bicara tanpa mengalihkan pandangan dari laptopnya. "Oke. Masih ada yang lain?" Angeline menggenggam kartu itu. "Tidak ada. Kamu boleh kembali." Angeline pun keluar dari ruangan Presiden Direktur. Untuk meredakan
Keesokan pagi di gedung Wayne Group ... Sesuai kebiasaannya sebagai seorang sekretaris Angeline datang lebih pagi dan mempersiapkan mental untuk menghadapi hari. Tidak disangka Nathan tiba bersamaan dengan dirinya. Mereka berdua pun masuk di lift yang sama, lift khusus bagi sang Presdir. "Selamat pagi, Pak," sapa Angeline seformal mungkin. "Hmm ...." Mendadak Nathan menekan tombol menghentikan lift di tengah jalan. Dia berbalik menghadap Angeline dengan wajah tanpa ekspresi. Jantung Angeline berdebar keras, dia tidak yakin dapat menjatuhkan seorang lelaki tinggi besar seperti Nathan dalam ruang tertutup yang kecil. Tanpa berbicara Nathan mendekat. Spontan Angeline mundur sampai punggungnya menyentuh dinding lift. Nathan tidak berhenti. Tangannya hendak menjangkau wanita yang terpojok itu. "Mau apa, Pak?" Angeline menepis tangan Nathan. "Semalam saya melihatmu bersama lelaki. Pacarmu?" Nathan semakin mendekat. Perbedaan tinggi badan membuat Angeline
Sore hari Nathan membuka pintu ruang istirahat. Tampak asisten pribadinya tergolek pulas di tempat tidur. Nathan tersenyum geli melihat Angeline yang tidur dengan mulut sedikit terbuka. Rambut panjangnya tergerai di atas sprei seperti kain sutra hitam, terlihat lembut dan menggoda untuk dibelai. Nathan tidak mampu menahan godaan untuk membelai rambut Angeline. Dia menunduk supaya dapat melihat wajah Angeline lebih jelas. Mata Angeline terbuka. Untuk sesaat dia bingung melihat ada seorang lelaki di hadapannya. Sedetik kemudian barulah Angeline bereaksi. Nathan yang lengah terdorong jatuh ke lantai. Meskipun terkejut namun tangan Nathan masih sempat menangkap pergelangan kaki Angeline yang melompati dirinya. Wanita itu pun terjerembap. "Angel, Angel, kenapa perilakumu tidak selembut namamu?" Nathan berdiri. "Siapa suruh mengurung orang," gerutu Angeline yang turut berdiri membenahi pakaiannya. "Sudah jam pulang. Kecuali kamu mau menginap di sini." Nathan tersenyum na
Pagi-pagi sekali Angeline terbangun karena pintu unit apartemennya digedor keras-keras. Langit di luar masih temaram. Angeline terheran-heran, apakah ada kebakaran? Sambil menggaruk rambut yang kusut Angeline membukakan pintu. Segera saja dua petugas keamanan melongok ke dalam. Angeline melotot melihat sosok Nathan menyeruak masuk. "Pagi, Mbak, tidak ada masalah? Kami dapat laporan kalau ada penghuni yang pingsan karena menghirup gas bocor," kata seorang petugas keamanan. Angeline menarik nafas dalam-dalam, tapi sebelum dia mampu melontarkan makian Nathan sudah memeluk erat-erat. "Syukurlah kamu tidak apa-apa. Lain kali kalau aku telepon segera diangkat. Membuat cemas saja!" Nathan berakting sempurna. "Kamu—" Nathan menekan bagian belakang kepala Angeline hingga wajahnya menempel di dada, dengan demikian wanita itu tidak dapat bersuara. "Terima kasih, Pak, sudah merepotkan. Pacar saya tidak apa-apa." Nathan mengusir dengan halus. "Mmmpphhh!" Angeline be
Setelah seharian mengurung diri di kamar, sore hari Angeline berangkat ke gym bersama Yoga. Lelaki itu menjemput dengan motornya di depan apartemen. Angeline menghampiri Yoga seperti gadis remaja yang sedang berpacaran. "Hai, langsung jalan?" Yoga memberikan helm kepada Angeline. "Ayo." Angeline memakai helm dan memanjat naik ke boncengan. Tangannya berpegangan pada pinggang Yoga. "Pegangan yang mesra dong?" goda Yoga. "Ini udah," sahut Angeline. "Begini dong, Sayang." Yoga menarik tangan Angeline ke dadanya. "Aku nggak nyaman, Ga. Begini aja ya?" Angeline menarik tangannya kembali ke posisi semula. "Oke deh." Ada nada kecewa dalam suara Yoga. Motor pun melaju pergi. Tanpa seorang pun memperhatikan, sebuah mobil hitam yang parkir di seberang jalan mengikuti motor Yoga. Lelaki yang duduk di bangku belakang terlihat tidak senang. Nathan mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya berbunyi. "Apa bagusnya lelaki itu ... Jelas-jelas aku lebih bai
Pada hari Sabtu sore terlihat keramaian di sebuah hotel bintang lima. Lelaki dan wanita berpakaian formal berkumpul di sebuah hall besar. Nathaniel Wayne selaku Presiden Direktur Wayne Group mengadakan gathering dengan perusahaan XYZ yang baru saja diambil alih, semacam acara perpisahan dengan bos lama dan perkenalan dengan bos baru. Angeline tampak cantik memakai atasan blouse turtle neck hitam dan celana berwarna senada. Warna hitam menonjolkan bahunya yang seputih pualam. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai lurus. Sebuah wrist wallet hitam melingkar di pergelangan tangan kiri. Nathan yang berhasil membujuk Angeline tetap berdekatan tidak dapat melepas pandangan dari tubuhnya. "Sudah melihat sugar daddy-mu?" goda Nathan. Angeline melotot keki, "Bukan sugar daddy! Pak Bondan sudah seperti ayah angkat bagi saya!" Nathan terkekeh, "Whatever. Jangan menangis kalau melihat kenyataan." Angeline membuang muka. Dia kesal setengah mati karena harus tetap duduk di seb
Malam sudah menuju subuh, tapi Angeline belum juga dapat mengistirahatkan pikirannya yang kacau. Apa lagi penyebabnya kalau bukan Nathan. Keterpurukan emosinya diperburuk dengan dua ciuman lelaki itu. Untung Nathan tidak berbuat lebih jauh dan mau mengantarnya pulang. Hati Angeline didominasi rasa bersalah karena berciuman dengan lelaki lain yang bukan pacarnya. Dia merasa telah mengkhianati Yoga. Berkali-kali Angeline ingin mengirim pesan singkat pada kekasihnya, tapi dibatalkan tengah jalan. Akhirnya dia hanya duduk terpekur merenungi nasib. "Sebenarnya bukan salahku ... Kan dia yang memaksa mencium ... Aku tidak membalas ciuman itu ...," lirih Angeline dalam usaha menetralisir perasaan bersalah. Angeline meninju bantal dengan gemas karena teringat akan betapa lembutnya bibir Nathan. Wajahnya merah padam. "Dasar brengsek! Bos brengsek! Huuhhh ... Reseh!" maki Angeline sambil memukuli bantalnya yang tidak bersalah. Ketika akhirnya matahari keluar dari peraduan
"Mana dia?" tanya Nathan pada Cindy. "Belum datang, Pak," jawab sang sekretaris sesopan mungkin. "Hmm ... Batalkan semua meeting. Saya keluar kantor," titah Nathan. "Baik, Pak." Cindy mengawasi Nathan masuk ke ruangan untuk mengambil tas dan langsung pergi tanpa basa-basi. Tanpa diberitahu pun Cindy tahu bosnya pergi mencari Angeline. Motor sport yang dikendarai Nathan melaju menembus lalu lintas dengan kecepatan tinggi. Dia ingin tiba secepat mungkin di apartemen Angeline karena kemungkinan besar wanita itu sedang bermuram durja dan butuh a shoulder to cry on. Nathan akan menjadi tempat bersandar baginya seperti seorang ksatria berkuda putih. Sementara di unit apartemen lantai sembilan belas, Angeline masih bergelung di dalam selimut. Tidak ada keinginan sedikit pun untuk bergerak, apalagi sekedar mengirimkan pesan singkat pada Nathan atau Cindy kalau hari ini dia tidak ingin masuk kerja. Peristiwa semalam membuat dirinya terguncang. Sejak diantar pula
"Bagaimana keadaan sekarang? Semuanya beres?" Angeline rebah di tempat tidur sambil bertelepon dengan Nathan. Sekarang waktunya santai karena anak-anak sudah tidur. "Tentu saja beres, Baby Girl. Tidak ada yang bisa lolos dalam pengawasanku. Kamu sedang apa sekarang? Dua hari di sini aku sangat merindukanmu." Ada nada menggoda dalam suara Nathan. Angeline tertawa kecil, "Dasar kamu. Besok 'kan ketemu? Aku baru selesai mandi nih. Siap-siap mau tidur." "Apa yang kamu pakai sekarang?" lirih Nathan. "Kaosmu, Sayang," kata Angeline dengan nada menggoda. Nathan mengerang, "Aku akan terbang pulang sekarang juga." "Serius kamu? Tidak bisa tunggu besok pagi?" "Aku selalu serius kalau menyangkut istriku." "Memang sudah tidak ada urusan yang tertinggal? Bagaimana dengan Mike? Dia yang menemani kamu loh, bukan sebaliknya." "Akan kubawa dia pulang." "Astaga, Nathan. Kamu benaran sudah tidak tahan ya?" "You know me, Baby Girl. See you in two hours."
Suasana hening nan syahdu menggantung di udara, khususnya di depan sebuah makam batu besar dengan patung malaikat di atasnya. Pada nisan yang terbuat dari marmer hitam terukir nama Cornelia Wayne. Sebuah foto berbentuk oval yang sudah memudar tertempel di bagian atas nama tersebut. Tidak ada seorang pun bersuara. Bahkan Rafael dan Olivia pun sangat tenang seolah memahami kekhidmatan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. "Baiklah. Kita kembali." Suara Jeremy memecah keheningan. Ruby menatap heran, "Sudah?" Jeremy membalas tatapan itu, "Iya. Sudah. Aku tidak pernah berlama-lama di sini. Lagipula dia juga tidak menuntutku untuk tetap tinggal." "Heiiiii, apa yang kamu katakan? Memangnya boleh bicara seperti itu? Memangnya kamu bisa dengar bisikan darinya?" Ruby mengibaskan tangan di udara seperti mengusir lalat. Lelaki yang rambutnya telah memutih itu tertawa, "Tentu saja tidak. Maksudku, aku tidak akan menahanmu berlama-lama di sini. Cornelia telah damai
"Hei, hati-hati Rafa. Adikmu masih terlalu kecil." Jeremy mengingatkan karena cemas melihat kedua cucunya berlarian dengan kecepatan tinggi. "Okay, Opa!" Rafael berhenti berlari. "Aaaahhh! Ayo, Kakak, run!" rajuk Olivia. "Oliv, duduk dulu sini. Kamu sudah lari-larian dari tadi!" Angeline buka suara. Sambil merengut anak perempuan kecil itu berjalan ke sofa. Wajah mungilnya terlihat menggemaskan dengan pipi menggembung, membuat Ruby—yang duduk di sebelah Angeline—tidak tahan untuk menariknya duduk di pangkuan. "Gemas sekali sih? Anak siapa sih ini?" Angeline meringis melihat Ruby mencubit gemas pipi putrinya. "Omaaa, tidak mau! Sakit!" protes Olivia. "Oh, sakit ya? Sorry, habisnya kamu lucu sih. Sorry ya anak manis. Oliv mau apa? Oma punya home made ice cream. Coba tanya Mama, Oliv boleh makan ice cream, tidak?" Ruby melirik Angeline. Mendengar itu Olivia langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh harap pada sang ibu, "Mama, can I eat ice crea
Tercipta keheningan yang membuat semua orang tidak nyaman, khususnya Cedrick. Kali ini dia terperangkap oleh kata-katanya sendiri. Maksud hati mau menggertak, tapi orang-orang ini ternyata tidak mempan gertakan. Bagaimana mungkin seorang General Manager bisa begitu saja menelepon pemilik hotel secara pribadi? Bertemu saja tidak pernah! "Bagaimana? Tidak bisa? Bukankah hubungan kalian sangat baik?" sinis Angeline. "Ah, Nyonya. Mungkin Anda kurang paham, tapi secara struktur organisasi jalur komunikasi tidak semudah itu. Kami memang dapat berbicara langsung dengan beliau, setelah melalui perjanjian di sela jadwal beliau yang sangat padat." Cedrick tersenyum. Nathan menahan tawa. Seandainya lelaki paruh baya ini tahu siapa yang sedang dia hadapi. "Baiklah. Kalau Anda tidak mau biar saya saja." Angeline menoleh, "Nath, tolong." "My pleasure." Nathan mengambil handphone. Ketegangan menggantung di udara. Cedrick menyembunyikan kegelisahannya dengan sangat baik di
Kekhawatiran Nathan tidak beralasan. Ternyata Angeline bisa menerima kenyataan bahwa hotel di bawah naungan Golden Yue Group ini adalah miliknya. Namun, Nathan merasa ada tujuan lain di balik ketenangan sang istri. "Apa sih?" cetus Angeline yang merasa gerah karena selama satu jam terakhir Nathan menempel padanya seperti lintah. "Aku hanya penasaran kenapa kamu tidak bereaksi negatif lagi. Bukankah kamu tidak ingin memiliki bagian apa pun dari Golden Yue?" Nathan mengungkung Angeline yang sedang berdiri di counter. "Cuma satu hotel, 'kan? Lagipula bukan aku yang menanganinya, melainkan kamu." Jemari lentik wanita itu menyusuri garis rahang suaminya. Nathan tersenyum, "Memang benar. Aku telah bekerja di balik layar sejak beberapa bulan terakhir. Kuakui dunia perhotelan ternyata rumit." "Oh ya? Apakah Anda kesulitan menghadapinya, Tuan Wayne?" Jemari Angeline bergerak turun ke dada bidang Nathan. "Tidak sesulit menebak pikiranmu, Baby Girl." Angeline ters
Aroma percintaan yang masih tersisa di ruang tamu suite tersingkir oleh aroma penyegar ruangan yang disemprotkan Angeline. Dia menatap puas ke sekeliling ruangan. Jangan sampai Rafael atau Olivia curiga ada sesuatu yang terjadi di sini. "Hei, Baby Girl," sapa Nathan yang baru selesai mandi dan berpakaian santai. Rambut berpotongan rapi itu masih terlihat basah dan seksi. "Hei juga." Angeline bergidik saat sepasang lengan lelaki itu memeluknya dari belakang. "Kamu tidak lelah? Tidurlah sebentar." Nathan menciumi leher sang istri. "Iya, mau tidur. Ini tanganmu ya, tolong dikendalikan. Tidak cukup semalam suntuk bercinta?" Angeline pura-pura mengomel. Nathan terkekeh tanpa terburu-buru memindahkan tangan yang sedang menikmati kelembutan tubuh wanitanya, "Ini namanya gerak refleks, Baby Girl. Lagipula sesuatu yang indah tidak boleh disia-siakan." "Ya sudah, tidur deh sebelum kamu terinspirasi untuk berbuat lagi. Semalam habis berapa bungkus pengaman tuh? Dasar
"Serius? Satu minggu? Dua minggu?" Angeline melongo. "Tidak masalah, 'kan? Selama ada bos yang menanggung biaya menginap?" Nathan tersenyum miring. "Iya sih, tapi memangnya kita mau menyelidiki sedalam apa? Oke lah, mungkin ada masalah sedikit dengan stok bahan makanan di restoran dan sumber daya manusia. Tapi kurasa ...." Angeline terlihat ragu. "Baby Girl, kamu meragukan argumenmu sendiri." "Iya yah? Kamu sih." "Hmm? Sampai sekarang tetap salahku?" Nathan menahan senyum. "Iya dong. Masa aku mau menyalahkan waitress tadi?" Wanita itu mengerucutkan bibir. Nathan tertawa, "Masih keki? Sudah kubilang, mereka akan terkena serangan jantung kalau tahu siapa kamu sebenarnya." "Aku tidak mau, Nath. Hidupku cukup damai sebagai istrimu. Jangan ditambah lagi." "Baiklah. Lupakan dulu hal itu. Bagaimana kalau sekarang kita makan siang di luar sebelum anak-anak unjuk rasa? Rafa sudah diam tanda kelaparan," ujar Nathan. "Oke. Setuju." Maka sepanjan
Malam berlalu menuju subuh. Langit menjadi saksi akan sebuah pergumulan panas yang baru saja berakhir di kamar lantai dua. Sepasang pelaku pergumulan rebah tumpang tindih dengan nafas terengah. "Sial ... itu terakhir kalinya aku membiarkanmu berbuat sesuka hati," desis Angeline yang kehabisan tenaga. Nathan terkekeh, "You're welcome, Baby Girl." "Sana sedikit, aku tidak bisa bernafas." "Ya, sebentar." "Nathan ...." "What? Aku sedang menikmati kehangatan istriku tersayang." Detik berikutnya Nathan mengaduh kesakitan karena Angeline mencubitnya keras-keras. Mau tidak mau dia berguling ke samping. "Rasain." Angeline tertawa kecil. "Why? Kamu seperti ada dendam denganku." Nathan menggosok-gosok pinggangnya yang memerah. "Oh, sakit ya? Poor Nathan." Terdorong oleh sedikit rasa bersalah Angeline melihat keadaan suaminya. "Iya, sakit. Cubitanmu keras sekali," rajuk Nathan. "Sorry." "Aku butuh ciuman." Cubitan berikutnya membuat Nath
Makan siang tersaji di meja makan. Nathan sekeluarga duduk manis menyantap hasil masakan Johan yang sudah tidak diragukan rasanya. Rafael bahkan sampai menambah dua kali! Sementara Olivia yang sudah kenyang masih asyik menyeruput kaki kepiting. "By the way, Jonathan menghubungimu tidak? Aku penasaran bagaimana perkembangan mereka setelah enam bulan tidak bertemu," ujar Angeline. Sambil mengobrol tangannya sibuk membersihkan ceceran kulit kepiting di meja. "Baby Girl, kenapa kamu harus membicarakan orang itu sekarang? Dia hanya melenyapkan nafsu makanku." "Oh, sorry ... lupakan saja kalau begitu." Angeline meringis. Nathan tersenyum simpul, "Kudengar mereka berdua nyaman tinggal di Labuan Bajo." "Jadi dia menghubungimu?" "Kamu lupa aku punya mata dimana-mana?" Angeline menepuk jidat, "Astaga. Benar juga. Terlalu lama hidup berdua membuatmu terlihat normal." Nathan tertegun, "Apa? Selama ini aku tidak normal?" "Uhm ... Rafa, tolong sendoknya satu