"Mana dia?" tanya Nathan pada Cindy. "Belum datang, Pak," jawab sang sekretaris sesopan mungkin. "Hmm ... Batalkan semua meeting. Saya keluar kantor," titah Nathan. "Baik, Pak." Cindy mengawasi Nathan masuk ke ruangan untuk mengambil tas dan langsung pergi tanpa basa-basi. Tanpa diberitahu pun Cindy tahu bosnya pergi mencari Angeline. Motor sport yang dikendarai Nathan melaju menembus lalu lintas dengan kecepatan tinggi. Dia ingin tiba secepat mungkin di apartemen Angeline karena kemungkinan besar wanita itu sedang bermuram durja dan butuh a shoulder to cry on. Nathan akan menjadi tempat bersandar baginya seperti seorang ksatria berkuda putih. Sementara di unit apartemen lantai sembilan belas, Angeline masih bergelung di dalam selimut. Tidak ada keinginan sedikit pun untuk bergerak, apalagi sekedar mengirimkan pesan singkat pada Nathan atau Cindy kalau hari ini dia tidak ingin masuk kerja. Peristiwa semalam membuat dirinya terguncang. Sejak diantar pula
Jam belum lagi menunjukkan pukul delapan, tapi Angeline sudah pontang-panting menyediakan permintaan Nathan yang dikirimkan lewat pesan singkat pada pukul tujuh lewat lima puluh menit. Tidak tanggung-tanggung, segelas kopi luwak panas dari coffee shop yang berjarak lima ratus meter dari kantor. "Mas ... Hahh ... Ko—kopi luwaknya ... Satu!" Angeline terengah-engah karena berlari sepanjang jalan. Si barista nyaris tertawa melihat wajah wanita muda yang kusut itu, tapi dengan profesional dia segera meracik pesanan Angeline. "Duduk dulu, Mbak. Tidak lama kok," kata si barista berwajah blasteran Timur Tengah itu. Angeline terbungkuk berkacak pinggang. Bibirnya bergerak-gerak mengomel, "Sialan ... Pagi-pagi sudah menyiksa orang ... Dasar bos gila." Beberapa menit kemudian Angeline tiba di lantai empat puluh gedung Wayne Group. Masih terengah dia segera menghambur ke dalam ruangan Nathan dan meletakkan kopi pesanannya. "Kopinya, Pak." Nathan menahan senyum mel
Untung Cindy sempat memperingati Angeline tentang meeting ini, jadi dirinya tidak heran melihat dua pimpinan perusahaan ini saling menjatuhkan di depan semua orang. Angeline tidak terlalu mempedulikan Nathan karena dia tahu bosnya itu tebal muka dan tidak punya belas kasihan. Diam-diam Angeline mengamati Sony Wilmar, CEO dari perusahaan yang bergerak di bidang percetakan. Lelaki itu terlihat seumuran Nathan. Wajahnya tampan dan memiliki fitur lembut yang menyenangkan untuk dilihat. "Sudah! Lakukan saja semaumu! Setidaknya kau tidak pernah terlambat membayar!" Sony menepuk meja dengan kesal. "Tentu saja. Jika service yang kau berikan tidak menurun secara kualitas, tentu akan kuapresiasi." Nathan tersenyum. Wajahnya memancarkan kemenangan. "Apresiasi? Kalau begitu tambahkan nominal fee!" Sony mulai lagi. "Tidak. Kesepakatan yang sudah tercapai tidak akan bisa berubah," ketus Nathan. Sony melirik Angeline tepat saat wanita itu sedang memandang ke arahnya. Kare
"Jangan harap aku mau lagi diajak meeting keluar naik motor. Huh! Keterlaluan!" Sejak tiba di kantor Angeline terus mengomel akibat kelakuan Nathan yang menciumnya tanpa ijin. "Seharusnya kupukul dengan kursi! Menyebalkan sekali! Semakin dibicarakan semakin emosi!" Angeline berjalan mondar-mandir di ruangannya. "Apa aku resign saja ya?" gumam wanita yang sedang emosi itu. Sementara di ruangan Presiden Direktur, Nathan tengah memperhatikan gerak-gerik asisten pribadinya. Bibirnya menyunggingkan senyum lebar, perpaduan antara senang dan bergairah karena berhasil mencium bibir merah muda yang menggemaskan. Karena Angeline sudah terlanjur emosi terpaksa Nathan kembali ke kantor, kalau tidak dia sudah merencanakan membawa wanita muda itu pergi makan malam romantis di tepi laut. Terkadang ada baiknya mengalah demi kemenangan. "Cindy, aku mau resign," keluh Angeline. "Loh, kenapa? Ada sesuatu terjadi dalam meeting?" Cindy menatap heran. Angeline tidak tahu bag
Nathan memandangi wanita yang berdiri di hadapannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Wanita itu memakai jaket longgar dan celana jeans yang membuat lekuk tubuhnya tertutup sempurna. Rambut panjangnya diikat ekor kuda longgar. "Pakaian apa itu? Kita pergi meninjau perusahaan, bukan piknik," cetus Nathan. "Meninjau kan? Bukan meeting?" balas Angeline. "Setidaknya pakailah kemeja dan celana bahan, sesuatu yang lebih pantas dibanding jeans." "Oke, saya ganti pakaian sebentar. Tunggu." Sebelum sempat dicegah Angeline pun naik kembali ke lantai sembilan belas. Nathan tersenyum simpul. Tampaknya asisten pribadinya lupa kalau dia masih memegang kartu akses penghuni apartemen. Dengan santai Nathan melenggang masuk ke lift dan naik ke lantai sembilan belas. "Apa kubiarkan saja dia menunggu lama di bawah ya. Siapa tahu batal pergi." Bukannya berganti pakaian Angeline malah berjalan mondar-mandir di kamar. "Kita tidak akan batal pergi." Angeline tersentak
"Angel? Aku bertanya padamu, siapa yang tadi menelepon?" tanya Nathan dengan sabar. "Sony Wilmar." Angeline memutuskan untuk berkata jujur. Dia tahu tidak ada gunanya berbohong kepada bos paranoid yang memasang kamera tersembunyi di mana saja. Bahkan jangan-jangan ada satu kamera juga di dalam mobil ini. "Bagus. Dia benar-benar ingin mencari masalah." Nathan mendengkus kesal. "Tapi, kami belum janjian. Lagipula saya kan pergi bersama Anda?" Wanita itu mengernyit, sebal karena Nathan seolah harus tahu segalanya. Nathan menoleh menatap asisten pribadinya, "Tetap saja rasanya mengganggu karena dia tiba-tiba muncul di sini. Apa yang kamu katakan padanya?" "Saya bilang mungkin bos mau ikut. Dia tidak keberatan sih." Angeline mengangkat bahu. "Begitu?" "Bukan. Begini." Nathan mengabaikan ketidaksopanan Angeline dan berucap, "Tebakanku orang itu sudah menunggumu di lobby. Dia tidak akan membiarkanmu pergi bersamaku." "Apa?" Angeline mengernyit. Ternya
"Pak, bisa tidak makan dengan normal? Saya tidak nyaman diperhatikan seperti itu," sergah Angeline. "Tidak bisa," sahut Nathan asal. "Saya pindah meja deh." Angeline benar-benar mengangkat piringnya dan berdiri. "Stop. Mau ke mana?" "Cari meja lain." "Aku ikut." Nathan berdiri. Angeline merengut, kemudian kembali duduk. Malas sekali meladeni drama king ini di tengah restoran yang ramai. Dia melanjutkan makan sambil menunduk dalam-dalam, tidak lupa mengata-ngatai Nathan dalam hati. "Setelah makan siang kita masih perlu melanjutkan meeting. Kamu bantu aku memperhatikan Primus baik-baik," kata Nathan yang matanya tidak berhenti mengamati wanita di hadapannya. "Memperhatikan dia? Kenapa?" Angeline mengangkat wajah. "Lakukan saja seperti yang kusuruh." "Tanpa alasan? Tidak mau." "Angel, sadar tidak dalam satu hari ini kamu sudah berapa kali membantah bosmu?" Nathan menahan senyum. "Saya akan membantah kalau ada sesuatu yang saya rasa tida
Begitu tiba di tempat tujuan yang dimaksud Nathan mau tidak mau Angeline ternganga. Bagaimana tidak? Mereka sedang berdiri di tepi ice rink yang luas. Sejauh mata memandang adalah hamparan es putih. Beberapa orang terlihat asyik meluncur di atas es. "Angel! Sini, cari ukuran sepatu yang cocok!" seru Nathan yang sedari tadi berbicara dengan beberapa orang di counter peminjaman sepatu ice skating. Seperti dihipnotis Angeline mematuhi Nathan. Lelaki itu sudah memegang sepasang sepatu di tangan. "Kamu pernah ice skating?" tanya Nathan. "Belum." Angeline membuntuti lelaki itu duduk di dekat pagar pembatas membawa sepasang sepatu sesuai ukuran kakinya. "Roller blade?" Angeline menggeleng dan merasa seperti manusia pra sejarah. "Tidak sulit kok. Hanya saja permukaan es lebih licin," ujar Nathan. "Ini seperti pakai sepatu biasa, kan?" Angeline memakai kaos kaki dan sepatu. Nathan mengamati, "Ikat talinya yang kencang, kalau tidak kakimu bisa lecet."
"Bagaimana keadaan sekarang? Semuanya beres?" Angeline rebah di tempat tidur sambil bertelepon dengan Nathan. Sekarang waktunya santai karena anak-anak sudah tidur. "Tentu saja beres, Baby Girl. Tidak ada yang bisa lolos dalam pengawasanku. Kamu sedang apa sekarang? Dua hari di sini aku sangat merindukanmu." Ada nada menggoda dalam suara Nathan. Angeline tertawa kecil, "Dasar kamu. Besok 'kan ketemu? Aku baru selesai mandi nih. Siap-siap mau tidur." "Apa yang kamu pakai sekarang?" lirih Nathan. "Kaosmu, Sayang," kata Angeline dengan nada menggoda. Nathan mengerang, "Aku akan terbang pulang sekarang juga." "Serius kamu? Tidak bisa tunggu besok pagi?" "Aku selalu serius kalau menyangkut istriku." "Memang sudah tidak ada urusan yang tertinggal? Bagaimana dengan Mike? Dia yang menemani kamu loh, bukan sebaliknya." "Akan kubawa dia pulang." "Astaga, Nathan. Kamu benaran sudah tidak tahan ya?" "You know me, Baby Girl. See you in two hours."
Suasana hening nan syahdu menggantung di udara, khususnya di depan sebuah makam batu besar dengan patung malaikat di atasnya. Pada nisan yang terbuat dari marmer hitam terukir nama Cornelia Wayne. Sebuah foto berbentuk oval yang sudah memudar tertempel di bagian atas nama tersebut. Tidak ada seorang pun bersuara. Bahkan Rafael dan Olivia pun sangat tenang seolah memahami kekhidmatan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. "Baiklah. Kita kembali." Suara Jeremy memecah keheningan. Ruby menatap heran, "Sudah?" Jeremy membalas tatapan itu, "Iya. Sudah. Aku tidak pernah berlama-lama di sini. Lagipula dia juga tidak menuntutku untuk tetap tinggal." "Heiiiii, apa yang kamu katakan? Memangnya boleh bicara seperti itu? Memangnya kamu bisa dengar bisikan darinya?" Ruby mengibaskan tangan di udara seperti mengusir lalat. Lelaki yang rambutnya telah memutih itu tertawa, "Tentu saja tidak. Maksudku, aku tidak akan menahanmu berlama-lama di sini. Cornelia telah damai
"Hei, hati-hati Rafa. Adikmu masih terlalu kecil." Jeremy mengingatkan karena cemas melihat kedua cucunya berlarian dengan kecepatan tinggi. "Okay, Opa!" Rafael berhenti berlari. "Aaaahhh! Ayo, Kakak, run!" rajuk Olivia. "Oliv, duduk dulu sini. Kamu sudah lari-larian dari tadi!" Angeline buka suara. Sambil merengut anak perempuan kecil itu berjalan ke sofa. Wajah mungilnya terlihat menggemaskan dengan pipi menggembung, membuat Ruby—yang duduk di sebelah Angeline—tidak tahan untuk menariknya duduk di pangkuan. "Gemas sekali sih? Anak siapa sih ini?" Angeline meringis melihat Ruby mencubit gemas pipi putrinya. "Omaaa, tidak mau! Sakit!" protes Olivia. "Oh, sakit ya? Sorry, habisnya kamu lucu sih. Sorry ya anak manis. Oliv mau apa? Oma punya home made ice cream. Coba tanya Mama, Oliv boleh makan ice cream, tidak?" Ruby melirik Angeline. Mendengar itu Olivia langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh harap pada sang ibu, "Mama, can I eat ice crea
Tercipta keheningan yang membuat semua orang tidak nyaman, khususnya Cedrick. Kali ini dia terperangkap oleh kata-katanya sendiri. Maksud hati mau menggertak, tapi orang-orang ini ternyata tidak mempan gertakan. Bagaimana mungkin seorang General Manager bisa begitu saja menelepon pemilik hotel secara pribadi? Bertemu saja tidak pernah! "Bagaimana? Tidak bisa? Bukankah hubungan kalian sangat baik?" sinis Angeline. "Ah, Nyonya. Mungkin Anda kurang paham, tapi secara struktur organisasi jalur komunikasi tidak semudah itu. Kami memang dapat berbicara langsung dengan beliau, setelah melalui perjanjian di sela jadwal beliau yang sangat padat." Cedrick tersenyum. Nathan menahan tawa. Seandainya lelaki paruh baya ini tahu siapa yang sedang dia hadapi. "Baiklah. Kalau Anda tidak mau biar saya saja." Angeline menoleh, "Nath, tolong." "My pleasure." Nathan mengambil handphone. Ketegangan menggantung di udara. Cedrick menyembunyikan kegelisahannya dengan sangat baik di
Kekhawatiran Nathan tidak beralasan. Ternyata Angeline bisa menerima kenyataan bahwa hotel di bawah naungan Golden Yue Group ini adalah miliknya. Namun, Nathan merasa ada tujuan lain di balik ketenangan sang istri. "Apa sih?" cetus Angeline yang merasa gerah karena selama satu jam terakhir Nathan menempel padanya seperti lintah. "Aku hanya penasaran kenapa kamu tidak bereaksi negatif lagi. Bukankah kamu tidak ingin memiliki bagian apa pun dari Golden Yue?" Nathan mengungkung Angeline yang sedang berdiri di counter. "Cuma satu hotel, 'kan? Lagipula bukan aku yang menanganinya, melainkan kamu." Jemari lentik wanita itu menyusuri garis rahang suaminya. Nathan tersenyum, "Memang benar. Aku telah bekerja di balik layar sejak beberapa bulan terakhir. Kuakui dunia perhotelan ternyata rumit." "Oh ya? Apakah Anda kesulitan menghadapinya, Tuan Wayne?" Jemari Angeline bergerak turun ke dada bidang Nathan. "Tidak sesulit menebak pikiranmu, Baby Girl." Angeline ters
Aroma percintaan yang masih tersisa di ruang tamu suite tersingkir oleh aroma penyegar ruangan yang disemprotkan Angeline. Dia menatap puas ke sekeliling ruangan. Jangan sampai Rafael atau Olivia curiga ada sesuatu yang terjadi di sini. "Hei, Baby Girl," sapa Nathan yang baru selesai mandi dan berpakaian santai. Rambut berpotongan rapi itu masih terlihat basah dan seksi. "Hei juga." Angeline bergidik saat sepasang lengan lelaki itu memeluknya dari belakang. "Kamu tidak lelah? Tidurlah sebentar." Nathan menciumi leher sang istri. "Iya, mau tidur. Ini tanganmu ya, tolong dikendalikan. Tidak cukup semalam suntuk bercinta?" Angeline pura-pura mengomel. Nathan terkekeh tanpa terburu-buru memindahkan tangan yang sedang menikmati kelembutan tubuh wanitanya, "Ini namanya gerak refleks, Baby Girl. Lagipula sesuatu yang indah tidak boleh disia-siakan." "Ya sudah, tidur deh sebelum kamu terinspirasi untuk berbuat lagi. Semalam habis berapa bungkus pengaman tuh? Dasar
"Serius? Satu minggu? Dua minggu?" Angeline melongo. "Tidak masalah, 'kan? Selama ada bos yang menanggung biaya menginap?" Nathan tersenyum miring. "Iya sih, tapi memangnya kita mau menyelidiki sedalam apa? Oke lah, mungkin ada masalah sedikit dengan stok bahan makanan di restoran dan sumber daya manusia. Tapi kurasa ...." Angeline terlihat ragu. "Baby Girl, kamu meragukan argumenmu sendiri." "Iya yah? Kamu sih." "Hmm? Sampai sekarang tetap salahku?" Nathan menahan senyum. "Iya dong. Masa aku mau menyalahkan waitress tadi?" Wanita itu mengerucutkan bibir. Nathan tertawa, "Masih keki? Sudah kubilang, mereka akan terkena serangan jantung kalau tahu siapa kamu sebenarnya." "Aku tidak mau, Nath. Hidupku cukup damai sebagai istrimu. Jangan ditambah lagi." "Baiklah. Lupakan dulu hal itu. Bagaimana kalau sekarang kita makan siang di luar sebelum anak-anak unjuk rasa? Rafa sudah diam tanda kelaparan," ujar Nathan. "Oke. Setuju." Maka sepanjan
Malam berlalu menuju subuh. Langit menjadi saksi akan sebuah pergumulan panas yang baru saja berakhir di kamar lantai dua. Sepasang pelaku pergumulan rebah tumpang tindih dengan nafas terengah. "Sial ... itu terakhir kalinya aku membiarkanmu berbuat sesuka hati," desis Angeline yang kehabisan tenaga. Nathan terkekeh, "You're welcome, Baby Girl." "Sana sedikit, aku tidak bisa bernafas." "Ya, sebentar." "Nathan ...." "What? Aku sedang menikmati kehangatan istriku tersayang." Detik berikutnya Nathan mengaduh kesakitan karena Angeline mencubitnya keras-keras. Mau tidak mau dia berguling ke samping. "Rasain." Angeline tertawa kecil. "Why? Kamu seperti ada dendam denganku." Nathan menggosok-gosok pinggangnya yang memerah. "Oh, sakit ya? Poor Nathan." Terdorong oleh sedikit rasa bersalah Angeline melihat keadaan suaminya. "Iya, sakit. Cubitanmu keras sekali," rajuk Nathan. "Sorry." "Aku butuh ciuman." Cubitan berikutnya membuat Nath
Makan siang tersaji di meja makan. Nathan sekeluarga duduk manis menyantap hasil masakan Johan yang sudah tidak diragukan rasanya. Rafael bahkan sampai menambah dua kali! Sementara Olivia yang sudah kenyang masih asyik menyeruput kaki kepiting. "By the way, Jonathan menghubungimu tidak? Aku penasaran bagaimana perkembangan mereka setelah enam bulan tidak bertemu," ujar Angeline. Sambil mengobrol tangannya sibuk membersihkan ceceran kulit kepiting di meja. "Baby Girl, kenapa kamu harus membicarakan orang itu sekarang? Dia hanya melenyapkan nafsu makanku." "Oh, sorry ... lupakan saja kalau begitu." Angeline meringis. Nathan tersenyum simpul, "Kudengar mereka berdua nyaman tinggal di Labuan Bajo." "Jadi dia menghubungimu?" "Kamu lupa aku punya mata dimana-mana?" Angeline menepuk jidat, "Astaga. Benar juga. Terlalu lama hidup berdua membuatmu terlihat normal." Nathan tertegun, "Apa? Selama ini aku tidak normal?" "Uhm ... Rafa, tolong sendoknya satu