Keesokan pagi di gedung Wayne Group ...
Sesuai kebiasaannya sebagai seorang sekretaris Angeline datang lebih pagi dan mempersiapkan mental untuk menghadapi hari. Tidak disangka Nathan tiba bersamaan dengan dirinya. Mereka berdua pun masuk di lift yang sama, lift khusus bagi sang Presdir. "Selamat pagi, Pak," sapa Angeline seformal mungkin. "Hmm ...." Mendadak Nathan menekan tombol menghentikan lift di tengah jalan. Dia berbalik menghadap Angeline dengan wajah tanpa ekspresi. Jantung Angeline berdebar keras, dia tidak yakin dapat menjatuhkan seorang lelaki tinggi besar seperti Nathan dalam ruang tertutup yang kecil. Tanpa berbicara Nathan mendekat. Spontan Angeline mundur sampai punggungnya menyentuh dinding lift. Nathan tidak berhenti. Tangannya hendak menjangkau wanita yang terpojok itu. "Mau apa, Pak?" Angeline menepis tangan Nathan. "Semalam saya melihatmu bersama lelaki. Pacarmu?" Nathan semakin mendekat. Perbedaan tinggi badan membuat Angeline harus mendongak untuk menatap Nathan. Bagaimana tidak? Tinggi Angeline hanya mencapai hidung lelaki itu, dan dia memakai sepatu hak setinggi lima sentimeter. "Anda mengikuti saya?" Angeline mengernyit. Rasa tidak suka di hatinya semakin besar. "Kebetulan lewat. Apakah dia pacar yang baik?" Nathan tersenyum. "Bukan urusan Anda, Pak." Angeline mengepalkan tangan, bersiap untuk hal yang terburuk, berkelahi di dalam lift. Nathan mengangkat tangan untuk menyentuh rambut di sisi wajah Angeline, tapi wanita itu tidak tinggal diam. Dia menepis tangan Nathan. Kali ini Nathan pun tidak tinggal diam. Tangannya mencekal pergelangan tangan Angeline dan menahannya di dinding lift. Angeline terkejut dan melayangkan pukulan dengan tangan yang bebas. Nathan menangkis. "Jangan kurang ajar, Pak. Saya bukan wanita yang bisa dipermainkan," desis Angeline. "Saya tahu." Nathan menunduk. Angeline mengangkat lutut dengan tenaga yang tidak kecil. Sayangnya Nathan mengantisipasi, dia menahan lutut wanita itu dan menangkap pergelangan tangannya yang bebas. Kini kedua tangan Angeline tertahan di atas kepala. "Sekarang apa yang bisa kamu lakukan?" tantang Nathan. Angeline sedikit pusing karena kehangatan tubuh Nathan menyerbunya. Cengkeraman lelaki itu sangat kuat, usaha Angeline untuk melepaskan diri sia-sia. "Lepaskan! Ini pelecehan!" pekik Angeline yang berharap seseorang mendengar suaranya. "Bukan. Ini usaha pendekatan, Angeline." Nathan menatap dalam. "A—apa? Pendekatan?" Angeline terbelalak. "Percaya tidak? Saya akan merebutmu dari pacar palsumu," kata Nathan penuh percaya diri. Kemarahan Angeline meningkat. Dia meronta semakin kuat hingga lift bergoyang. Saat Nathan lengah karena merasa terlalu percaya diri wanita dalam cengkeramannya tidak akan bisa melepaskan diri, Angeline menggunakan kepala untuk diadu dengan wajahnya. Sontak Nathan mengaduh kesakitan. Cengkeraman mengendur dan Angeline berhasil melepaskan diri. Dia cepat-cepat menyerang untuk melumpuhkan Nathan, namun lelaki itu juga bukan orang biasa. Dia membungkuk dan menangkap pinggang Angeline. Kedua kaki Angeline terangkat dari lantai. Nathan memanggulnya di bahu! "Benar-benar ...." Nathan mengusap wajahnya dengan punggung tangan. "Turunkan aku!! Brengsek!!" Angeline meronta. Nathan menulikan telinga. Dia menekan tombol dan lift kembali bergerak menuju lantai empat puluh. Pintu lift terbuka dan Nathan berjalan santai menuju ruangannya dengan wanita yang meronta-ronta di bahu. Cindy ternganga melihat adegan itu. "Tahan semua telepon, bilang saya sedang meeting. Dan jangan ada yang masuk kemari," perintah Nathan. "Baik, Pak," sahut Cindy. "Lepasin! Sialan!" Angeline terus meronta. Nathan masuk ke ruangan, mengunci pintu, kemudian menjatuhkan Angeline di sofa. Begitu tubuhnya menyentuh sofa Angeline segera melompat bangun. Dia menjaga jarak aman dari Nathan. "Kamu tahu kenapa saya tertarik padamu?" Nathan tersenyum. "Bukan urusanku!" Angeline menatap marah. Belum pernah dia merasa malu seperti ini, dipanggul secara paksa oleh bosnya. "Kamu wanita pertama yang tidak menunjukkan ketertarikan padaku." Nathan membuka kancing manset dan menggulung lengan baju, menampakkan tato tribal yang melingkari lengan kiri. "Heh! Sebesar apa egomu? Memangnya mukamu seganteng apa sampai mengira semua wanita akan menyukaimu? Kamu gila??" Mata Angeline melirik tato tersebut. "Saya suka tantangan, Angel. Untuk saat ini kamu tantangan terbesarku." Nathan melangkah maju. "Jangan mendekat!" Angeline mundur. "Atau apa?" Nathan tersenyum senang. Perburuan ini membuat dirinya bersemangat. Dia sudah memikirkan berbagai macam cara untuk membuat Angeline meneriakkan namanya. "Ini hari terakhirmu bisa berjalan!" "Oh ya? Saya mau lihat bagaimana kamu melakukannya, Cantik." Nathan melompat maju untuk menangkap wanita di hadapannya. Angeline terkesiap, tapi dia sudah siap. Kakinya bergeser memutar ke samping dan tangan Nathan lewat begitu saja di depannya. Sekuat tenaga Angeline menendang. Nathan menangkis sekaligus menangkap kaki kanan Angeline. Tidak akan menyerah begitu saja, Angeline melompat melayangkan kaki kiri ke kepala Nathan. Tendangan ditangkis dan mereka berdua terjatuh ke lantai. "Sial," maki Nathan saat Angeline berhasil melepaskan diri. Perkelahian yang tidak seimbang terus berlanjut. Tempo serangan pun begitu cepat. Angeline menyadari perbedaan tenaga mereka. Dia harus berusaha untuk berada di luar jangkauan Nathan atau lelaki itu akan dapat melumpuhkannya. "Strategimu bagus, hanya saja sampai kapan kamu bisa menghindar?" Nathan bisa menebak pergerakan Angeline. "Selama mungkin!" sergah Angeline. "Menyerahlah, Angel. Saya tidak mau asisten pribadiku tidak dapat bekerja karena cedera," goda Nathan. Emosi membuat Angeline lengah. Nathan berhasil menyergap dari belakang. Karena Angeline masih bisa menyerang dengan kaki, Nathan menjatuhkan wanita itu ke sofa dan menindihnya. Angeline panik saat menyadari tubuh Nathan berada di antara kakinya. "Jangan banyak bergerak, Angel, atau tubuhku akan menjadi bersemangat," bisik Nathan. "Mau apa kamu?" Angeline menatap ngeri. Nathan berpikir sejenak, "Pacarmu belum pernah menyentuhmu, kan?" Wajah Angeline memerah, "Apa maksudnya? Tentu saja pernah!" "Tidak di bagian ini, bukan?" Nathan menggerakkan pinggul dengan provokatif. "Berhenti!" Angeline semakin panik. "Sudah kuduga. Kamu belum tersentuh." Nathan sedikit iba melihat sepasang mata indah di bawahnya berkaca-kaca. Bukan perkara sulit untuk menundukkan Angeline, tapi Nathan tergerak untuk tidak melakukannya. Angeline menggigit bibir untuk menahan emosi. Dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan lelaki brengsek ini. Angeline memalingkan wajah saat Nathan mendekat. Kehangatan nafas Nathan berhembus lembut di lehernya. "Saya tidak akan menyentuhmu seperti ini." Nathan melepas Angeline. Angeline segera melompat bangun dan memberi jarak sejauh mungkin. Wajahnya masih merona. "Kembalilah ke ruanganmu." Nathan tersenyum. Matanya melirik kancing kemeja hitam Angeline yang terlepas. Angeline menyadari tatapan Nathan dan segera mengancingkan kembali kemejanya. "Jangan harap saya masih mau bekerja di sini!" sergah Angeline. "Kontrak tidak bisa dibatalkan, Angel. Kamu tidak mau membayar penalti, kan?" "Apa? Katamu kemarin ... Dasar penipu!" Nathan tertawa, "Saya sudah terlalu baik tidak membawamu ke tempat tidur. Sekarang, jadilah asisten pribadi yang baik dan buatkan saya secangkir kopi." Mata Angeline menatap tidak percaya pada lelaki yang berjalan anggun dan duduk di belakang meja. Setan macam apa dia? "Masih belum bergerak?" Nathan mengangkat wajah. Tidak ada pilihan, Angeline keluar dari ruangan terkutuk itu seperti badai topan. "Kamu kenapa?" Cindy menatap Angeline yang berantakan. "Bosmu gila!" Cindy menghela nafas, "Memang betul. Tapi gaji yang diberikannya sangat memuaskan." Kedua wanita itu tidak berbicara selama beberapa saat. Telepon di meja Cindy berbunyi. "Halo? Iya, Pak." Cindy melirik Angeline. "Bosmu, kan?" Angeline sengaja berkata keras-keras supaya terdengar oleh si penelepon. Cindy meringis dan meletakkan gagang telepon, "Iya, dia bertanya mana kopinya." "Kamu saja deh yang bawa. Aku nggak mau masuk ke ruangannya," pinta Angeline. "Jangan, kamu bisa membuatku berada dalam kesulitan. Cukup letakkan saja cangkir kopi di mejanya, lalu cepat keluar. Nggak sulit kok?" bujuk Cindy. Angeline mengerang kesal, "Baiklah." Sebentar kemudian Angeline membawa secangkir kopi panas ke ruangan Nathan. Tanpa kontak mata Angeline meletakkan cangkir kopi di meja dan berbalik untuk keluar. "Tunggu." Angeline berbalik kembali. Dia terbelalak melihat Nathan berdiri dan membuka kemeja, menampakkan tubuhnya yang kekar. Tato naga di lengan lelaki itu melingkar sampai ke dada. Nathan mengamati perubahan ekspresi Angeline. Tidak ada wanita yang tidak menyukai lelaki bertubuh bagus, tidak ada pengecualian bagi Angeline. Nathan berdeham, "Rapikan ini." Angeline menerima kemeja dari tangan Nathan. "Peralatannya ada di kamar." Nathan menunjuk ke dinding di belakangnya. "Di mana?" Angeline terbengong karena tidak melihat apa-apa. "Sini." Nathan berjalan ke sebuah titik. Dia menekan panel tersembunyi dan dinding bergeser terbuka. Rupanya ada pintu rahasia di sana. "Kamar ini hanya saya yang boleh masuk. Dan sekarang asisten pribadiku." Nathan memberi jalan. Ragu-ragu, Angeline melangkah masuk. Sebuah kamar yang rapi dan bersih menyambut indera penglihatan. Perabotan di dalam begitu lengkap menyerupai kamar hotel, bahkan ada kamar mandi. "Ini tempat beristirahat saat overload," jelas Nathan. "Juga membawa wanita," ketus Angeline. "Angel, saya tidak membawa wanita ke kamar pribadi. Saya bisa melakukannya di luar." Nathan tersenyum. Angeline terpana. "Kamu wanita pertama yang kubawa ke kamar ini. Bahkan sekretarisku pun belum pernah masuk." "Whatever," gumam Angeline. Setelah mencari-cari—yang tidak dibantu sama sekali oleh Nathan—Angeline menemukan setrika uap di sudut kamar. Dia langsung menyalakan dan merapikan kemeja Nathan. Seketika kemeja itu sudah licin seperti baru. "Sudah." Angeline mengembalikan kemeja pada pemiliknya. "Bagus. Bantu saya mengancingkan ini." Nathan memakai kemeja dan menunggu. "Kancingkan sendiri! Saya asisten, bukan istri!" sergah Angeline. "Asisten pribadi memiliki jobdesc serupa istri, jadi jangan komplain." Nathan menunggu. Sambil berkeluh-kesah Angeline melakukan instruksi bosnya. Hati-hati Angeline mengancingkan kemeja, berusaha untuk tidak bersentuhan dengan si pemilik tubuh. "Sudah." Angeline mundur selangkah. "Oke. Thanks." Nathan pun keluar dari ruang istirahat. Pintu tertutup tanpa peringatan. Angeline bergegas berlari ke pintu. Dia panik karena tidak menemukan cara untuk membukanya. Sementara di luar Nathan menyeringai senang. Dia berniat mengurung Angeline sampai sore. Permainan baru ini sungguh menyenangkan.Sore hari Nathan membuka pintu ruang istirahat. Tampak asisten pribadinya tergolek pulas di tempat tidur. Nathan tersenyum geli melihat Angeline yang tidur dengan mulut sedikit terbuka. Rambut panjangnya tergerai di atas sprei seperti kain sutra hitam, terlihat lembut dan menggoda untuk dibelai. Nathan tidak mampu menahan godaan untuk membelai rambut Angeline. Dia menunduk supaya dapat melihat wajah Angeline lebih jelas. Mata Angeline terbuka. Untuk sesaat dia bingung melihat ada seorang lelaki di hadapannya. Sedetik kemudian barulah Angeline bereaksi. Nathan yang lengah terdorong jatuh ke lantai. Meskipun terkejut namun tangan Nathan masih sempat menangkap pergelangan kaki Angeline yang melompati dirinya. Wanita itu pun terjerembap. "Angel, Angel, kenapa perilakumu tidak selembut namamu?" Nathan berdiri. "Siapa suruh mengurung orang," gerutu Angeline yang turut berdiri membenahi pakaiannya. "Sudah jam pulang. Kecuali kamu mau menginap di sini." Nathan tersenyum na
Pagi-pagi sekali Angeline terbangun karena pintu unit apartemennya digedor keras-keras. Langit di luar masih temaram. Angeline terheran-heran, apakah ada kebakaran? Sambil menggaruk rambut yang kusut Angeline membukakan pintu. Segera saja dua petugas keamanan melongok ke dalam. Angeline melotot melihat sosok Nathan menyeruak masuk. "Pagi, Mbak, tidak ada masalah? Kami dapat laporan kalau ada penghuni yang pingsan karena menghirup gas bocor," kata seorang petugas keamanan. Angeline menarik nafas dalam-dalam, tapi sebelum dia mampu melontarkan makian Nathan sudah memeluk erat-erat. "Syukurlah kamu tidak apa-apa. Lain kali kalau aku telepon segera diangkat. Membuat cemas saja!" Nathan berakting sempurna. "Kamu—" Nathan menekan bagian belakang kepala Angeline hingga wajahnya menempel di dada, dengan demikian wanita itu tidak dapat bersuara. "Terima kasih, Pak, sudah merepotkan. Pacar saya tidak apa-apa." Nathan mengusir dengan halus. "Mmmpphhh!" Angeline be
Setelah seharian mengurung diri di kamar, sore hari Angeline berangkat ke gym bersama Yoga. Lelaki itu menjemput dengan motornya di depan apartemen. Angeline menghampiri Yoga seperti gadis remaja yang sedang berpacaran. "Hai, langsung jalan?" Yoga memberikan helm kepada Angeline. "Ayo." Angeline memakai helm dan memanjat naik ke boncengan. Tangannya berpegangan pada pinggang Yoga. "Pegangan yang mesra dong?" goda Yoga. "Ini udah," sahut Angeline. "Begini dong, Sayang." Yoga menarik tangan Angeline ke dadanya. "Aku nggak nyaman, Ga. Begini aja ya?" Angeline menarik tangannya kembali ke posisi semula. "Oke deh." Ada nada kecewa dalam suara Yoga. Motor pun melaju pergi. Tanpa seorang pun memperhatikan, sebuah mobil hitam yang parkir di seberang jalan mengikuti motor Yoga. Lelaki yang duduk di bangku belakang terlihat tidak senang. Nathan mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya berbunyi. "Apa bagusnya lelaki itu ... Jelas-jelas aku lebih bai
Pada hari Sabtu sore terlihat keramaian di sebuah hotel bintang lima. Lelaki dan wanita berpakaian formal berkumpul di sebuah hall besar. Nathaniel Wayne selaku Presiden Direktur Wayne Group mengadakan gathering dengan perusahaan XYZ yang baru saja diambil alih, semacam acara perpisahan dengan bos lama dan perkenalan dengan bos baru. Angeline tampak cantik memakai atasan blouse turtle neck hitam dan celana berwarna senada. Warna hitam menonjolkan bahunya yang seputih pualam. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai lurus. Sebuah wrist wallet hitam melingkar di pergelangan tangan kiri. Nathan yang berhasil membujuk Angeline tetap berdekatan tidak dapat melepas pandangan dari tubuhnya. "Sudah melihat sugar daddy-mu?" goda Nathan. Angeline melotot keki, "Bukan sugar daddy! Pak Bondan sudah seperti ayah angkat bagi saya!" Nathan terkekeh, "Whatever. Jangan menangis kalau melihat kenyataan." Angeline membuang muka. Dia kesal setengah mati karena harus tetap duduk di seb
Malam sudah menuju subuh, tapi Angeline belum juga dapat mengistirahatkan pikirannya yang kacau. Apa lagi penyebabnya kalau bukan Nathan. Keterpurukan emosinya diperburuk dengan dua ciuman lelaki itu. Untung Nathan tidak berbuat lebih jauh dan mau mengantarnya pulang. Hati Angeline didominasi rasa bersalah karena berciuman dengan lelaki lain yang bukan pacarnya. Dia merasa telah mengkhianati Yoga. Berkali-kali Angeline ingin mengirim pesan singkat pada kekasihnya, tapi dibatalkan tengah jalan. Akhirnya dia hanya duduk terpekur merenungi nasib. "Sebenarnya bukan salahku ... Kan dia yang memaksa mencium ... Aku tidak membalas ciuman itu ...," lirih Angeline dalam usaha menetralisir perasaan bersalah. Angeline meninju bantal dengan gemas karena teringat akan betapa lembutnya bibir Nathan. Wajahnya merah padam. "Dasar brengsek! Bos brengsek! Huuhhh ... Reseh!" maki Angeline sambil memukuli bantalnya yang tidak bersalah. Ketika akhirnya matahari keluar dari peraduan
"Mana dia?" tanya Nathan pada Cindy. "Belum datang, Pak," jawab sang sekretaris sesopan mungkin. "Hmm ... Batalkan semua meeting. Saya keluar kantor," titah Nathan. "Baik, Pak." Cindy mengawasi Nathan masuk ke ruangan untuk mengambil tas dan langsung pergi tanpa basa-basi. Tanpa diberitahu pun Cindy tahu bosnya pergi mencari Angeline. Motor sport yang dikendarai Nathan melaju menembus lalu lintas dengan kecepatan tinggi. Dia ingin tiba secepat mungkin di apartemen Angeline karena kemungkinan besar wanita itu sedang bermuram durja dan butuh a shoulder to cry on. Nathan akan menjadi tempat bersandar baginya seperti seorang ksatria berkuda putih. Sementara di unit apartemen lantai sembilan belas, Angeline masih bergelung di dalam selimut. Tidak ada keinginan sedikit pun untuk bergerak, apalagi sekedar mengirimkan pesan singkat pada Nathan atau Cindy kalau hari ini dia tidak ingin masuk kerja. Peristiwa semalam membuat dirinya terguncang. Sejak diantar pula
Jam belum lagi menunjukkan pukul delapan, tapi Angeline sudah pontang-panting menyediakan permintaan Nathan yang dikirimkan lewat pesan singkat pada pukul tujuh lewat lima puluh menit. Tidak tanggung-tanggung, segelas kopi luwak panas dari coffee shop yang berjarak lima ratus meter dari kantor. "Mas ... Hahh ... Ko—kopi luwaknya ... Satu!" Angeline terengah-engah karena berlari sepanjang jalan. Si barista nyaris tertawa melihat wajah wanita muda yang kusut itu, tapi dengan profesional dia segera meracik pesanan Angeline. "Duduk dulu, Mbak. Tidak lama kok," kata si barista berwajah blasteran Timur Tengah itu. Angeline terbungkuk berkacak pinggang. Bibirnya bergerak-gerak mengomel, "Sialan ... Pagi-pagi sudah menyiksa orang ... Dasar bos gila." Beberapa menit kemudian Angeline tiba di lantai empat puluh gedung Wayne Group. Masih terengah dia segera menghambur ke dalam ruangan Nathan dan meletakkan kopi pesanannya. "Kopinya, Pak." Nathan menahan senyum mel
Untung Cindy sempat memperingati Angeline tentang meeting ini, jadi dirinya tidak heran melihat dua pimpinan perusahaan ini saling menjatuhkan di depan semua orang. Angeline tidak terlalu mempedulikan Nathan karena dia tahu bosnya itu tebal muka dan tidak punya belas kasihan. Diam-diam Angeline mengamati Sony Wilmar, CEO dari perusahaan yang bergerak di bidang percetakan. Lelaki itu terlihat seumuran Nathan. Wajahnya tampan dan memiliki fitur lembut yang menyenangkan untuk dilihat. "Sudah! Lakukan saja semaumu! Setidaknya kau tidak pernah terlambat membayar!" Sony menepuk meja dengan kesal. "Tentu saja. Jika service yang kau berikan tidak menurun secara kualitas, tentu akan kuapresiasi." Nathan tersenyum. Wajahnya memancarkan kemenangan. "Apresiasi? Kalau begitu tambahkan nominal fee!" Sony mulai lagi. "Tidak. Kesepakatan yang sudah tercapai tidak akan bisa berubah," ketus Nathan. Sony melirik Angeline tepat saat wanita itu sedang memandang ke arahnya. Kare
"Bagaimana keadaan sekarang? Semuanya beres?" Angeline rebah di tempat tidur sambil bertelepon dengan Nathan. Sekarang waktunya santai karena anak-anak sudah tidur. "Tentu saja beres, Baby Girl. Tidak ada yang bisa lolos dalam pengawasanku. Kamu sedang apa sekarang? Dua hari di sini aku sangat merindukanmu." Ada nada menggoda dalam suara Nathan. Angeline tertawa kecil, "Dasar kamu. Besok 'kan ketemu? Aku baru selesai mandi nih. Siap-siap mau tidur." "Apa yang kamu pakai sekarang?" lirih Nathan. "Kaosmu, Sayang," kata Angeline dengan nada menggoda. Nathan mengerang, "Aku akan terbang pulang sekarang juga." "Serius kamu? Tidak bisa tunggu besok pagi?" "Aku selalu serius kalau menyangkut istriku." "Memang sudah tidak ada urusan yang tertinggal? Bagaimana dengan Mike? Dia yang menemani kamu loh, bukan sebaliknya." "Akan kubawa dia pulang." "Astaga, Nathan. Kamu benaran sudah tidak tahan ya?" "You know me, Baby Girl. See you in two hours."
Suasana hening nan syahdu menggantung di udara, khususnya di depan sebuah makam batu besar dengan patung malaikat di atasnya. Pada nisan yang terbuat dari marmer hitam terukir nama Cornelia Wayne. Sebuah foto berbentuk oval yang sudah memudar tertempel di bagian atas nama tersebut. Tidak ada seorang pun bersuara. Bahkan Rafael dan Olivia pun sangat tenang seolah memahami kekhidmatan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. "Baiklah. Kita kembali." Suara Jeremy memecah keheningan. Ruby menatap heran, "Sudah?" Jeremy membalas tatapan itu, "Iya. Sudah. Aku tidak pernah berlama-lama di sini. Lagipula dia juga tidak menuntutku untuk tetap tinggal." "Heiiiii, apa yang kamu katakan? Memangnya boleh bicara seperti itu? Memangnya kamu bisa dengar bisikan darinya?" Ruby mengibaskan tangan di udara seperti mengusir lalat. Lelaki yang rambutnya telah memutih itu tertawa, "Tentu saja tidak. Maksudku, aku tidak akan menahanmu berlama-lama di sini. Cornelia telah damai
"Hei, hati-hati Rafa. Adikmu masih terlalu kecil." Jeremy mengingatkan karena cemas melihat kedua cucunya berlarian dengan kecepatan tinggi. "Okay, Opa!" Rafael berhenti berlari. "Aaaahhh! Ayo, Kakak, run!" rajuk Olivia. "Oliv, duduk dulu sini. Kamu sudah lari-larian dari tadi!" Angeline buka suara. Sambil merengut anak perempuan kecil itu berjalan ke sofa. Wajah mungilnya terlihat menggemaskan dengan pipi menggembung, membuat Ruby—yang duduk di sebelah Angeline—tidak tahan untuk menariknya duduk di pangkuan. "Gemas sekali sih? Anak siapa sih ini?" Angeline meringis melihat Ruby mencubit gemas pipi putrinya. "Omaaa, tidak mau! Sakit!" protes Olivia. "Oh, sakit ya? Sorry, habisnya kamu lucu sih. Sorry ya anak manis. Oliv mau apa? Oma punya home made ice cream. Coba tanya Mama, Oliv boleh makan ice cream, tidak?" Ruby melirik Angeline. Mendengar itu Olivia langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh harap pada sang ibu, "Mama, can I eat ice crea
Tercipta keheningan yang membuat semua orang tidak nyaman, khususnya Cedrick. Kali ini dia terperangkap oleh kata-katanya sendiri. Maksud hati mau menggertak, tapi orang-orang ini ternyata tidak mempan gertakan. Bagaimana mungkin seorang General Manager bisa begitu saja menelepon pemilik hotel secara pribadi? Bertemu saja tidak pernah! "Bagaimana? Tidak bisa? Bukankah hubungan kalian sangat baik?" sinis Angeline. "Ah, Nyonya. Mungkin Anda kurang paham, tapi secara struktur organisasi jalur komunikasi tidak semudah itu. Kami memang dapat berbicara langsung dengan beliau, setelah melalui perjanjian di sela jadwal beliau yang sangat padat." Cedrick tersenyum. Nathan menahan tawa. Seandainya lelaki paruh baya ini tahu siapa yang sedang dia hadapi. "Baiklah. Kalau Anda tidak mau biar saya saja." Angeline menoleh, "Nath, tolong." "My pleasure." Nathan mengambil handphone. Ketegangan menggantung di udara. Cedrick menyembunyikan kegelisahannya dengan sangat baik di
Kekhawatiran Nathan tidak beralasan. Ternyata Angeline bisa menerima kenyataan bahwa hotel di bawah naungan Golden Yue Group ini adalah miliknya. Namun, Nathan merasa ada tujuan lain di balik ketenangan sang istri. "Apa sih?" cetus Angeline yang merasa gerah karena selama satu jam terakhir Nathan menempel padanya seperti lintah. "Aku hanya penasaran kenapa kamu tidak bereaksi negatif lagi. Bukankah kamu tidak ingin memiliki bagian apa pun dari Golden Yue?" Nathan mengungkung Angeline yang sedang berdiri di counter. "Cuma satu hotel, 'kan? Lagipula bukan aku yang menanganinya, melainkan kamu." Jemari lentik wanita itu menyusuri garis rahang suaminya. Nathan tersenyum, "Memang benar. Aku telah bekerja di balik layar sejak beberapa bulan terakhir. Kuakui dunia perhotelan ternyata rumit." "Oh ya? Apakah Anda kesulitan menghadapinya, Tuan Wayne?" Jemari Angeline bergerak turun ke dada bidang Nathan. "Tidak sesulit menebak pikiranmu, Baby Girl." Angeline ters
Aroma percintaan yang masih tersisa di ruang tamu suite tersingkir oleh aroma penyegar ruangan yang disemprotkan Angeline. Dia menatap puas ke sekeliling ruangan. Jangan sampai Rafael atau Olivia curiga ada sesuatu yang terjadi di sini. "Hei, Baby Girl," sapa Nathan yang baru selesai mandi dan berpakaian santai. Rambut berpotongan rapi itu masih terlihat basah dan seksi. "Hei juga." Angeline bergidik saat sepasang lengan lelaki itu memeluknya dari belakang. "Kamu tidak lelah? Tidurlah sebentar." Nathan menciumi leher sang istri. "Iya, mau tidur. Ini tanganmu ya, tolong dikendalikan. Tidak cukup semalam suntuk bercinta?" Angeline pura-pura mengomel. Nathan terkekeh tanpa terburu-buru memindahkan tangan yang sedang menikmati kelembutan tubuh wanitanya, "Ini namanya gerak refleks, Baby Girl. Lagipula sesuatu yang indah tidak boleh disia-siakan." "Ya sudah, tidur deh sebelum kamu terinspirasi untuk berbuat lagi. Semalam habis berapa bungkus pengaman tuh? Dasar
"Serius? Satu minggu? Dua minggu?" Angeline melongo. "Tidak masalah, 'kan? Selama ada bos yang menanggung biaya menginap?" Nathan tersenyum miring. "Iya sih, tapi memangnya kita mau menyelidiki sedalam apa? Oke lah, mungkin ada masalah sedikit dengan stok bahan makanan di restoran dan sumber daya manusia. Tapi kurasa ...." Angeline terlihat ragu. "Baby Girl, kamu meragukan argumenmu sendiri." "Iya yah? Kamu sih." "Hmm? Sampai sekarang tetap salahku?" Nathan menahan senyum. "Iya dong. Masa aku mau menyalahkan waitress tadi?" Wanita itu mengerucutkan bibir. Nathan tertawa, "Masih keki? Sudah kubilang, mereka akan terkena serangan jantung kalau tahu siapa kamu sebenarnya." "Aku tidak mau, Nath. Hidupku cukup damai sebagai istrimu. Jangan ditambah lagi." "Baiklah. Lupakan dulu hal itu. Bagaimana kalau sekarang kita makan siang di luar sebelum anak-anak unjuk rasa? Rafa sudah diam tanda kelaparan," ujar Nathan. "Oke. Setuju." Maka sepanjan
Malam berlalu menuju subuh. Langit menjadi saksi akan sebuah pergumulan panas yang baru saja berakhir di kamar lantai dua. Sepasang pelaku pergumulan rebah tumpang tindih dengan nafas terengah. "Sial ... itu terakhir kalinya aku membiarkanmu berbuat sesuka hati," desis Angeline yang kehabisan tenaga. Nathan terkekeh, "You're welcome, Baby Girl." "Sana sedikit, aku tidak bisa bernafas." "Ya, sebentar." "Nathan ...." "What? Aku sedang menikmati kehangatan istriku tersayang." Detik berikutnya Nathan mengaduh kesakitan karena Angeline mencubitnya keras-keras. Mau tidak mau dia berguling ke samping. "Rasain." Angeline tertawa kecil. "Why? Kamu seperti ada dendam denganku." Nathan menggosok-gosok pinggangnya yang memerah. "Oh, sakit ya? Poor Nathan." Terdorong oleh sedikit rasa bersalah Angeline melihat keadaan suaminya. "Iya, sakit. Cubitanmu keras sekali," rajuk Nathan. "Sorry." "Aku butuh ciuman." Cubitan berikutnya membuat Nath
Makan siang tersaji di meja makan. Nathan sekeluarga duduk manis menyantap hasil masakan Johan yang sudah tidak diragukan rasanya. Rafael bahkan sampai menambah dua kali! Sementara Olivia yang sudah kenyang masih asyik menyeruput kaki kepiting. "By the way, Jonathan menghubungimu tidak? Aku penasaran bagaimana perkembangan mereka setelah enam bulan tidak bertemu," ujar Angeline. Sambil mengobrol tangannya sibuk membersihkan ceceran kulit kepiting di meja. "Baby Girl, kenapa kamu harus membicarakan orang itu sekarang? Dia hanya melenyapkan nafsu makanku." "Oh, sorry ... lupakan saja kalau begitu." Angeline meringis. Nathan tersenyum simpul, "Kudengar mereka berdua nyaman tinggal di Labuan Bajo." "Jadi dia menghubungimu?" "Kamu lupa aku punya mata dimana-mana?" Angeline menepuk jidat, "Astaga. Benar juga. Terlalu lama hidup berdua membuatmu terlihat normal." Nathan tertegun, "Apa? Selama ini aku tidak normal?" "Uhm ... Rafa, tolong sendoknya satu