Pagi-pagi sekali Angeline terbangun karena pintu unit apartemennya digedor keras-keras. Langit di luar masih temaram. Angeline terheran-heran, apakah ada kebakaran? Sambil menggaruk rambut yang kusut Angeline membukakan pintu. Segera saja dua petugas keamanan melongok ke dalam. Angeline melotot melihat sosok Nathan menyeruak masuk.
"Pagi, Mbak, tidak ada masalah? Kami dapat laporan kalau ada penghuni yang pingsan karena menghirup gas bocor," kata seorang petugas keamanan. Angeline menarik nafas dalam-dalam, tapi sebelum dia mampu melontarkan makian Nathan sudah memeluk erat-erat. "Syukurlah kamu tidak apa-apa. Lain kali kalau aku telepon segera diangkat. Membuat cemas saja!" Nathan berakting sempurna. "Kamu—" Nathan menekan bagian belakang kepala Angeline hingga wajahnya menempel di dada, dengan demikian wanita itu tidak dapat bersuara. "Terima kasih, Pak, sudah merepotkan. Pacar saya tidak apa-apa." Nathan mengusir dengan halus. "Mmmpphhh!" Angeline berusaha melepaskan diri dari pelukan Nathan yang sangat erat. Kedua petugas keamanan tadi mengernyit tidak senang. Nathan merogoh kantong celana dan memberikan dua lembar uang berwarna merah, barulah kedua orang itu tersenyum lebar. "Baik, Mas, Mbak, kami permisi dulu. Kalau ada apa-apa panggil saja ya." "Permisi, Mas, Mbak." Angeline menatap tak berdaya saat pintu apartemennya ditutup. Hilanglah harapannya untuk meminta kedua petugas tadi menyeret Nathan pergi. "Kulepas, tapi jangan memukul, oke?" kata Nathan. Angeline menggeram sebagai jawaban. Nathan tertawa. Rasanya nyaman juga memeluk wanita mungil ini, tapi bagaimanapun dia harus melepasnya. Begitu memperoleh kemerdekaan Angeline melayangkan pukulan ke wajah bosnya. Nathan menangkis dengan baik. Sebuah tendangan susulan dari arah tak terduga mengenai sasaran. Tubuh Nathan sedikit terbungkuk karena tendangan Angeline. "Hei, berhenti atau kamu kuikat!" ancam Nathan. "Masih berani ngancam?? Ngapain lo menerobos masuk?? Mau gue laporin ke polisi??" bentak Angeline. "Stop!" Nathan menghindari sikutan dan dengan terpaksa menjatuhkan Angeline ke lantai. "Aaahh! Lepasin gue, brengsek!" Angeline tidak dapat bergerak karena Nathan menahan dengan bobot tubuhnya. Dia sedikit panik karena tubuh mereka menempel berhadapan. "Sssshhh ... Begitu caramu bicara dengan atasan?" ejek Nathan. Kedua tangannya menahan tangan Angeline di atas kepala. "Gue resign! Pergi lo brengsek!" Angeline berhenti meronta karena dirasa sia-sia. "Tenang dulu, Sayang. Kalau kamu tenang baru kulepas. Oke?" Nathan tersenyum. Posisi ini sangat menggoda baginya, apalagi wanita di bawahnya tidak berhenti bergerak. "Jangan panggil sayang sayang!! Gue bukan pacar lo, Brengsek! Lepasin!!" "No. Kamu tenang dulu." Nafas Angeline terengah karena emosi. Mana ada bos yang membully karyawannya seperti ini? Sudah menerobos paksa, masih menekan secara fisik pula. Dia menggeliat liar untuk melonggarkan tekanan Nathan. "Gerakanmu menggoda sekali, Angel." Nathan menyeringai. Mata Angeline terbelalak saat menyadari benda apa yang menekan tubuhnya. Panik, Angeline meronta lebih kuat. Nathan menahan nafas, "Semakin kamu bergerak semakin dia bersemangat, Sayang. Bagaimana kalau adik kecil ini butuh tempat untuk melepaskan diri? Kamu mau jadi tempat pelepasannya?" Wajah Angeline merah padam. Dia segera berhenti bergerak, "Nggak mau! Sial, lo pikir gue perempuan apa??" "Bagus. Begitu. Jangan bergerak." Nathan mengamati wajah pasrah di bawahnya. Seumur hidup belum pernah ada lelaki yang memperlakukannya seperti ini. Angeline merasa luar biasa malu dan direndahkan. Dia sudah berhenti bergerak tapi Nathan belum juga melepasnya. Mata Angeline berkaca-kaca. "Jangan menangis, Angel. Aku tidak berbuat apa-apa, kan? Ayo, bangun." Nathan berdiri dan menarik Angeline bangun. Detik berikutnya wajah Nathan tersentak ke samping. "Keluar dari sini!!" bentak Angeline. Telapak tangannya terasa pedas sehabis memberikan tamparan yang tak terkira kerasnya. Baru pertama kalinya ada wanita yang menampar Nathan sekeras itu. Dia menoleh sengit, namun kemarahan Nathan memudar setelah melihat air mata yang menitik di wajah Angeline. Untuk sesaat Nathan tidak tahu harus berbuat apa. "Kubilang keluar!" Suara Angeline bergetar karena emosi. Nathan terdorong untuk merengkuh Angeline, tapi wanita itu melangkah mundur. Tangan Nathan yang sudah terangkat berhenti di tengah jalan. Dilihatnya Angeline sudah kembali pada sikap waspada. Nathan menghela nafas. Kekacauan pagi ini disebabkan olehnya. "Sorry, Angel," ucap Nathan tulus. Angeline tidak merespon. Setelah melalui beberapa saat dalam keheningan, Nathan melangkah keluar dan menutup pintu. Pertahanan Angeline jebol. Dia mendekap mulut dan membiarkan air mata mengalir. Tidak diketahui Angeline bahwa Nathan menyisakan celah kecil di pintu. Begitu mendengar wanita di dalam terisak Nathan segera masuk kembali. Angeline yang sedang sibuk dengan perasaannya tidak sempat menghindari serbuan Nathan. "I'm really sorry, Angel ...." Nathan memeluk Angeline dengan lembut, memberikan ruang gerak lebih jika wanita mungil itu hendak melepaskan diri. "Pergi! Kenapa kembali lagi??" Angeline melepaskan diri dari pelukan lelaki yang sudah dia anggap gila dan maniak ini. "Mau menebus kebodohanku," jawab Nathan. Angeline mengusap air matanya sampai tak bersisa. Dia benci terlihat lemah di depan orang lain. Setelah itu Angeline mengatur nafas supaya dapat bicara dengan baik. "Batalkan kontrak saya," tegas Angeline. "Tidak bisa. Aku benar-benar membutuhkan kamu. Maksudku, seorang asisten pribadi." Nathan cepat-cepat mengkoreksi. "Buka saja lowongan baru," ketus Angeline. "Aku lebih suka yang sudah berpengalaman." "Banyak yang lebih berpengalaman dariku." Angeline mengernyit. "Berapa banyak yang bisa menjadi rekan sparring?" Nathan tersenyum simpul. Angeline memicingkan mata. Ingin rasanya melempar lelaki tidak tahu malu ini keluar jendela. Dia menarik nafas dalam dan menghembuskan perlahan. "Saya perlu waktu berpikir," ucap Angeline hanya supaya Nathan pergi. "Baiklah. Kutunggu keputusanmu, Angel," kata Nathan. Angeline tidak menjawab. "Okay then. See you today?" "Tidak janji," sahut Angeline. Tanpa berkata lebih banyak Nathan pun pergi. Jika ada hal yang disesali dalam hidup, kebodohan pagi ini adalah salah satunya. Gagallah rencana berduaan dengan Angeline di luar kota. Nathan menyentuh wajahnya yang masih sakit terkena tamparan. Dia berharap Angeline tidak akan benar-benar menghilang dari kantornya. Sementara itu Angeline telah bertekad untuk tidak lagi menginjakkan kaki di kantor Wayne Group. Penghinaan yang diberikan Nathan terlalu besar untuk dilupakan begitu saja. Lagipula bukankah akan menjadi pelajaran yang baik bagi lelaki brengsek itu? Bahwa tidak semua wanita dapat tunduk di antara kakinya? "Sial ... Sadar Nathan ... Dia cuma seorang wanita!" maki Nathan dalam lift. Wajahnya yang serius tampak menyeramkan. Emosi yang tak tersalurkan dalam diri Nathan dilampiaskan ke jalanan. Dia melajukan motor dengan kecepatan tinggi, menyalip setiap kendaraan yang berada di depannya. Jika saja ada orang yang protes, dia pasti akan melayaninya berkelahi. Apa artinya berkelahi di tengah jalan untuk seorang Nathaniel Wayne? Siapa yang berani menuntutnya? Tiba di penthouse di lantai empat puluh satu gedung Wayne Group, Nathan langsung melepas kemeja dan mencampakkannya ke lantai. Dia menghabiskan satu jam menyiksa samsak di ruangan olahraga. "Damn you, Angeline. Lihat nanti siapa yang akan menang," geram Nathan. Nathan meninju samsak sekali lagi sebelum pergi mandi. Lagi-lagi Nathan memaki karena bagian tubuhnya berdiri penuh semangat hanya dengan memikirkan pergulatan yang terjadi di apartemen Angeline. Beban yang menumpuk harus dilepaskan, kalau tidak dia tidak akan bisa bekerja dengan normal. "Brengsek. Kamu menyebutku brengsek. Siapa yang brengsek sekarang, hah? Dasar wanita sial." Nathan masih terus mengomel sampai ke ruangannya. Melihat bos yang sedang penuh emosi Cindy batal mengucapkan selamat pagi. Nathan menghempaskan diri di kursi kebesaran. Jarinya mengetuk meja. Gelisah. Nathan menekan nomor ekstension Cindy dan menyuruh si sekretaris menghubungi Angeline. Beberapa menit kemudian Cindy memberitahu bahwa Angeline tidak bisa dihubungi. Kabar itu menyulut emosi Nathan. Dia melempar gagang telepon ke dinding. Hancur. "Sial! Kamu membuatku gila, Angel. Apa yang harus kulakukan denganmu," desis Nathan. Terdengar suara-suara di luar ruangan. Kedengarannya Cindy sedang berusaha keras mencegah seseorang yang hendak masuk ke ruangan Nathan. Sayang usaha Cindy tidak berhasil. Pintu ruangan terbuka lebar menampakkan wajah Alardo yang tersenyum lebar. "Mana dia? Mana wanita yang jadi asisten pribadimu? Kudengar dia wanita yang cantik?" Alardo yang tidak tahu mati berjalan menghampiri Nathan. Melihat sahabatnya datang Nathan berdiri dan menyeret Alardo ke lantai empat puluh satu. Dia masih butuh pelampiasan emosi dan Alardo adalah kandidat terbaik untuk menjadi samsak hidup. Setengah jam berlalu dan Alardo melempar handuk putih sebagai tanda menyerah. "Payah. Kau terlalu banyak mengejar wanita sampai fisikmu lemah!" ejek Nathan yang melanjutkan memukul samsak. "Kau gila! Pukuli orang yang membuatmu emosi, bukan aku!" Alardo terbaring kelelahan di sofa. "Aku tidak memukul wanita, brengsek," gerutu Nathan. Mata Alardo membulat. Dia duduk tegak, "Wanita?? Siapa wanita yang berhasil membuatmu emosi? Wanita yang semalam, bukan? Ohhh pasti sangat cantik dan seksi. Kenalkan padaku, Nate!" "Berani menyentuhnya akan kupotong burung kecilmu," ancam Nathan. "Hei, hei, oke, aku tidak akan merebut wanitamu." Alardo menatap ngeri. Nathan mengambil dua botol air dari kulkas. Dia melempar satu untuk sahabatnya. Tato naga tribal di lengan kiri Nathan membuat tubuh kekarnya terlihat semakin sangar. Alardo yang lelaki normal saja kagum melihat tubuh sahabatnya, apalagi para lawan jenis? Tidak heran banyak wanita yang antre untuk bisa naik ke tempat tidur Nathan. "Bertengkar karena apa? Kau tidak bisa memuaskannya di tempat tidur?" tanya Alardo. Nathan menggerutu, "Dia masih perawan." Alardo menyemburkan air yang diminumnya. Nathan menatap tidak senang. "Wow! Dari mana kau mengenalnya?? Apakah dia punya teman? Saudara?" tanya Alardo antusias. "Diam kau." Nathan meneguk air dingin. "Jadi kesimpulannya kau mengajak kencan dan dia menolak?" Alardo menyeringai. Akhirnya Nathan menceritakan secara singkat kejadian tadi pagi. Alardo pun tertawa terbahak-bahak sampai berlinang air mata. "Astaga sahabatku ternyata tidak paham cara mendekati wanita! Apa gunanya kau meniduri wanita-wanita itu kalau masih belum mengenal kepribadian wanita?" ejek Alardo. "Tidak ada hal lain yang kuinginkan dari wanita," ujar Nathan. "Jadi kau akan terus bercinta sampai barangmu terlepas?" Alardo tertawa lagi. Nathan menatap tajam, "Semakin dia menolak, semakin aku ingin menaklukkannya." "Maka kau butuh strategi, Sobat. Wanita suka diperlakukan lemah lembut dan dirayu, bukan dipaksa. Dan please, jangan pernah lagi menerobos masuk ke tempat tinggalnya." Alardo menepuk bahu Nathan kuat-kuat.Setelah seharian mengurung diri di kamar, sore hari Angeline berangkat ke gym bersama Yoga. Lelaki itu menjemput dengan motornya di depan apartemen. Angeline menghampiri Yoga seperti gadis remaja yang sedang berpacaran. "Hai, langsung jalan?" Yoga memberikan helm kepada Angeline. "Ayo." Angeline memakai helm dan memanjat naik ke boncengan. Tangannya berpegangan pada pinggang Yoga. "Pegangan yang mesra dong?" goda Yoga. "Ini udah," sahut Angeline. "Begini dong, Sayang." Yoga menarik tangan Angeline ke dadanya. "Aku nggak nyaman, Ga. Begini aja ya?" Angeline menarik tangannya kembali ke posisi semula. "Oke deh." Ada nada kecewa dalam suara Yoga. Motor pun melaju pergi. Tanpa seorang pun memperhatikan, sebuah mobil hitam yang parkir di seberang jalan mengikuti motor Yoga. Lelaki yang duduk di bangku belakang terlihat tidak senang. Nathan mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya berbunyi. "Apa bagusnya lelaki itu ... Jelas-jelas aku lebih bai
Pada hari Sabtu sore terlihat keramaian di sebuah hotel bintang lima. Lelaki dan wanita berpakaian formal berkumpul di sebuah hall besar. Nathaniel Wayne selaku Presiden Direktur Wayne Group mengadakan gathering dengan perusahaan XYZ yang baru saja diambil alih, semacam acara perpisahan dengan bos lama dan perkenalan dengan bos baru. Angeline tampak cantik memakai atasan blouse turtle neck hitam dan celana berwarna senada. Warna hitam menonjolkan bahunya yang seputih pualam. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai lurus. Sebuah wrist wallet hitam melingkar di pergelangan tangan kiri. Nathan yang berhasil membujuk Angeline tetap berdekatan tidak dapat melepas pandangan dari tubuhnya. "Sudah melihat sugar daddy-mu?" goda Nathan. Angeline melotot keki, "Bukan sugar daddy! Pak Bondan sudah seperti ayah angkat bagi saya!" Nathan terkekeh, "Whatever. Jangan menangis kalau melihat kenyataan." Angeline membuang muka. Dia kesal setengah mati karena harus tetap duduk di seb
Malam sudah menuju subuh, tapi Angeline belum juga dapat mengistirahatkan pikirannya yang kacau. Apa lagi penyebabnya kalau bukan Nathan. Keterpurukan emosinya diperburuk dengan dua ciuman lelaki itu. Untung Nathan tidak berbuat lebih jauh dan mau mengantarnya pulang. Hati Angeline didominasi rasa bersalah karena berciuman dengan lelaki lain yang bukan pacarnya. Dia merasa telah mengkhianati Yoga. Berkali-kali Angeline ingin mengirim pesan singkat pada kekasihnya, tapi dibatalkan tengah jalan. Akhirnya dia hanya duduk terpekur merenungi nasib. "Sebenarnya bukan salahku ... Kan dia yang memaksa mencium ... Aku tidak membalas ciuman itu ...," lirih Angeline dalam usaha menetralisir perasaan bersalah. Angeline meninju bantal dengan gemas karena teringat akan betapa lembutnya bibir Nathan. Wajahnya merah padam. "Dasar brengsek! Bos brengsek! Huuhhh ... Reseh!" maki Angeline sambil memukuli bantalnya yang tidak bersalah. Ketika akhirnya matahari keluar dari peraduan
"Mana dia?" tanya Nathan pada Cindy. "Belum datang, Pak," jawab sang sekretaris sesopan mungkin. "Hmm ... Batalkan semua meeting. Saya keluar kantor," titah Nathan. "Baik, Pak." Cindy mengawasi Nathan masuk ke ruangan untuk mengambil tas dan langsung pergi tanpa basa-basi. Tanpa diberitahu pun Cindy tahu bosnya pergi mencari Angeline. Motor sport yang dikendarai Nathan melaju menembus lalu lintas dengan kecepatan tinggi. Dia ingin tiba secepat mungkin di apartemen Angeline karena kemungkinan besar wanita itu sedang bermuram durja dan butuh a shoulder to cry on. Nathan akan menjadi tempat bersandar baginya seperti seorang ksatria berkuda putih. Sementara di unit apartemen lantai sembilan belas, Angeline masih bergelung di dalam selimut. Tidak ada keinginan sedikit pun untuk bergerak, apalagi sekedar mengirimkan pesan singkat pada Nathan atau Cindy kalau hari ini dia tidak ingin masuk kerja. Peristiwa semalam membuat dirinya terguncang. Sejak diantar pula
Jam belum lagi menunjukkan pukul delapan, tapi Angeline sudah pontang-panting menyediakan permintaan Nathan yang dikirimkan lewat pesan singkat pada pukul tujuh lewat lima puluh menit. Tidak tanggung-tanggung, segelas kopi luwak panas dari coffee shop yang berjarak lima ratus meter dari kantor. "Mas ... Hahh ... Ko—kopi luwaknya ... Satu!" Angeline terengah-engah karena berlari sepanjang jalan. Si barista nyaris tertawa melihat wajah wanita muda yang kusut itu, tapi dengan profesional dia segera meracik pesanan Angeline. "Duduk dulu, Mbak. Tidak lama kok," kata si barista berwajah blasteran Timur Tengah itu. Angeline terbungkuk berkacak pinggang. Bibirnya bergerak-gerak mengomel, "Sialan ... Pagi-pagi sudah menyiksa orang ... Dasar bos gila." Beberapa menit kemudian Angeline tiba di lantai empat puluh gedung Wayne Group. Masih terengah dia segera menghambur ke dalam ruangan Nathan dan meletakkan kopi pesanannya. "Kopinya, Pak." Nathan menahan senyum mel
Untung Cindy sempat memperingati Angeline tentang meeting ini, jadi dirinya tidak heran melihat dua pimpinan perusahaan ini saling menjatuhkan di depan semua orang. Angeline tidak terlalu mempedulikan Nathan karena dia tahu bosnya itu tebal muka dan tidak punya belas kasihan. Diam-diam Angeline mengamati Sony Wilmar, CEO dari perusahaan yang bergerak di bidang percetakan. Lelaki itu terlihat seumuran Nathan. Wajahnya tampan dan memiliki fitur lembut yang menyenangkan untuk dilihat. "Sudah! Lakukan saja semaumu! Setidaknya kau tidak pernah terlambat membayar!" Sony menepuk meja dengan kesal. "Tentu saja. Jika service yang kau berikan tidak menurun secara kualitas, tentu akan kuapresiasi." Nathan tersenyum. Wajahnya memancarkan kemenangan. "Apresiasi? Kalau begitu tambahkan nominal fee!" Sony mulai lagi. "Tidak. Kesepakatan yang sudah tercapai tidak akan bisa berubah," ketus Nathan. Sony melirik Angeline tepat saat wanita itu sedang memandang ke arahnya. Kare
"Jangan harap aku mau lagi diajak meeting keluar naik motor. Huh! Keterlaluan!" Sejak tiba di kantor Angeline terus mengomel akibat kelakuan Nathan yang menciumnya tanpa ijin. "Seharusnya kupukul dengan kursi! Menyebalkan sekali! Semakin dibicarakan semakin emosi!" Angeline berjalan mondar-mandir di ruangannya. "Apa aku resign saja ya?" gumam wanita yang sedang emosi itu. Sementara di ruangan Presiden Direktur, Nathan tengah memperhatikan gerak-gerik asisten pribadinya. Bibirnya menyunggingkan senyum lebar, perpaduan antara senang dan bergairah karena berhasil mencium bibir merah muda yang menggemaskan. Karena Angeline sudah terlanjur emosi terpaksa Nathan kembali ke kantor, kalau tidak dia sudah merencanakan membawa wanita muda itu pergi makan malam romantis di tepi laut. Terkadang ada baiknya mengalah demi kemenangan. "Cindy, aku mau resign," keluh Angeline. "Loh, kenapa? Ada sesuatu terjadi dalam meeting?" Cindy menatap heran. Angeline tidak tahu bag
Nathan memandangi wanita yang berdiri di hadapannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Wanita itu memakai jaket longgar dan celana jeans yang membuat lekuk tubuhnya tertutup sempurna. Rambut panjangnya diikat ekor kuda longgar. "Pakaian apa itu? Kita pergi meninjau perusahaan, bukan piknik," cetus Nathan. "Meninjau kan? Bukan meeting?" balas Angeline. "Setidaknya pakailah kemeja dan celana bahan, sesuatu yang lebih pantas dibanding jeans." "Oke, saya ganti pakaian sebentar. Tunggu." Sebelum sempat dicegah Angeline pun naik kembali ke lantai sembilan belas. Nathan tersenyum simpul. Tampaknya asisten pribadinya lupa kalau dia masih memegang kartu akses penghuni apartemen. Dengan santai Nathan melenggang masuk ke lift dan naik ke lantai sembilan belas. "Apa kubiarkan saja dia menunggu lama di bawah ya. Siapa tahu batal pergi." Bukannya berganti pakaian Angeline malah berjalan mondar-mandir di kamar. "Kita tidak akan batal pergi." Angeline tersentak
"Bagaimana keadaan sekarang? Semuanya beres?" Angeline rebah di tempat tidur sambil bertelepon dengan Nathan. Sekarang waktunya santai karena anak-anak sudah tidur. "Tentu saja beres, Baby Girl. Tidak ada yang bisa lolos dalam pengawasanku. Kamu sedang apa sekarang? Dua hari di sini aku sangat merindukanmu." Ada nada menggoda dalam suara Nathan. Angeline tertawa kecil, "Dasar kamu. Besok 'kan ketemu? Aku baru selesai mandi nih. Siap-siap mau tidur." "Apa yang kamu pakai sekarang?" lirih Nathan. "Kaosmu, Sayang," kata Angeline dengan nada menggoda. Nathan mengerang, "Aku akan terbang pulang sekarang juga." "Serius kamu? Tidak bisa tunggu besok pagi?" "Aku selalu serius kalau menyangkut istriku." "Memang sudah tidak ada urusan yang tertinggal? Bagaimana dengan Mike? Dia yang menemani kamu loh, bukan sebaliknya." "Akan kubawa dia pulang." "Astaga, Nathan. Kamu benaran sudah tidak tahan ya?" "You know me, Baby Girl. See you in two hours."
Suasana hening nan syahdu menggantung di udara, khususnya di depan sebuah makam batu besar dengan patung malaikat di atasnya. Pada nisan yang terbuat dari marmer hitam terukir nama Cornelia Wayne. Sebuah foto berbentuk oval yang sudah memudar tertempel di bagian atas nama tersebut. Tidak ada seorang pun bersuara. Bahkan Rafael dan Olivia pun sangat tenang seolah memahami kekhidmatan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. "Baiklah. Kita kembali." Suara Jeremy memecah keheningan. Ruby menatap heran, "Sudah?" Jeremy membalas tatapan itu, "Iya. Sudah. Aku tidak pernah berlama-lama di sini. Lagipula dia juga tidak menuntutku untuk tetap tinggal." "Heiiiii, apa yang kamu katakan? Memangnya boleh bicara seperti itu? Memangnya kamu bisa dengar bisikan darinya?" Ruby mengibaskan tangan di udara seperti mengusir lalat. Lelaki yang rambutnya telah memutih itu tertawa, "Tentu saja tidak. Maksudku, aku tidak akan menahanmu berlama-lama di sini. Cornelia telah damai
"Hei, hati-hati Rafa. Adikmu masih terlalu kecil." Jeremy mengingatkan karena cemas melihat kedua cucunya berlarian dengan kecepatan tinggi. "Okay, Opa!" Rafael berhenti berlari. "Aaaahhh! Ayo, Kakak, run!" rajuk Olivia. "Oliv, duduk dulu sini. Kamu sudah lari-larian dari tadi!" Angeline buka suara. Sambil merengut anak perempuan kecil itu berjalan ke sofa. Wajah mungilnya terlihat menggemaskan dengan pipi menggembung, membuat Ruby—yang duduk di sebelah Angeline—tidak tahan untuk menariknya duduk di pangkuan. "Gemas sekali sih? Anak siapa sih ini?" Angeline meringis melihat Ruby mencubit gemas pipi putrinya. "Omaaa, tidak mau! Sakit!" protes Olivia. "Oh, sakit ya? Sorry, habisnya kamu lucu sih. Sorry ya anak manis. Oliv mau apa? Oma punya home made ice cream. Coba tanya Mama, Oliv boleh makan ice cream, tidak?" Ruby melirik Angeline. Mendengar itu Olivia langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh harap pada sang ibu, "Mama, can I eat ice crea
Tercipta keheningan yang membuat semua orang tidak nyaman, khususnya Cedrick. Kali ini dia terperangkap oleh kata-katanya sendiri. Maksud hati mau menggertak, tapi orang-orang ini ternyata tidak mempan gertakan. Bagaimana mungkin seorang General Manager bisa begitu saja menelepon pemilik hotel secara pribadi? Bertemu saja tidak pernah! "Bagaimana? Tidak bisa? Bukankah hubungan kalian sangat baik?" sinis Angeline. "Ah, Nyonya. Mungkin Anda kurang paham, tapi secara struktur organisasi jalur komunikasi tidak semudah itu. Kami memang dapat berbicara langsung dengan beliau, setelah melalui perjanjian di sela jadwal beliau yang sangat padat." Cedrick tersenyum. Nathan menahan tawa. Seandainya lelaki paruh baya ini tahu siapa yang sedang dia hadapi. "Baiklah. Kalau Anda tidak mau biar saya saja." Angeline menoleh, "Nath, tolong." "My pleasure." Nathan mengambil handphone. Ketegangan menggantung di udara. Cedrick menyembunyikan kegelisahannya dengan sangat baik di
Kekhawatiran Nathan tidak beralasan. Ternyata Angeline bisa menerima kenyataan bahwa hotel di bawah naungan Golden Yue Group ini adalah miliknya. Namun, Nathan merasa ada tujuan lain di balik ketenangan sang istri. "Apa sih?" cetus Angeline yang merasa gerah karena selama satu jam terakhir Nathan menempel padanya seperti lintah. "Aku hanya penasaran kenapa kamu tidak bereaksi negatif lagi. Bukankah kamu tidak ingin memiliki bagian apa pun dari Golden Yue?" Nathan mengungkung Angeline yang sedang berdiri di counter. "Cuma satu hotel, 'kan? Lagipula bukan aku yang menanganinya, melainkan kamu." Jemari lentik wanita itu menyusuri garis rahang suaminya. Nathan tersenyum, "Memang benar. Aku telah bekerja di balik layar sejak beberapa bulan terakhir. Kuakui dunia perhotelan ternyata rumit." "Oh ya? Apakah Anda kesulitan menghadapinya, Tuan Wayne?" Jemari Angeline bergerak turun ke dada bidang Nathan. "Tidak sesulit menebak pikiranmu, Baby Girl." Angeline ters
Aroma percintaan yang masih tersisa di ruang tamu suite tersingkir oleh aroma penyegar ruangan yang disemprotkan Angeline. Dia menatap puas ke sekeliling ruangan. Jangan sampai Rafael atau Olivia curiga ada sesuatu yang terjadi di sini. "Hei, Baby Girl," sapa Nathan yang baru selesai mandi dan berpakaian santai. Rambut berpotongan rapi itu masih terlihat basah dan seksi. "Hei juga." Angeline bergidik saat sepasang lengan lelaki itu memeluknya dari belakang. "Kamu tidak lelah? Tidurlah sebentar." Nathan menciumi leher sang istri. "Iya, mau tidur. Ini tanganmu ya, tolong dikendalikan. Tidak cukup semalam suntuk bercinta?" Angeline pura-pura mengomel. Nathan terkekeh tanpa terburu-buru memindahkan tangan yang sedang menikmati kelembutan tubuh wanitanya, "Ini namanya gerak refleks, Baby Girl. Lagipula sesuatu yang indah tidak boleh disia-siakan." "Ya sudah, tidur deh sebelum kamu terinspirasi untuk berbuat lagi. Semalam habis berapa bungkus pengaman tuh? Dasar
"Serius? Satu minggu? Dua minggu?" Angeline melongo. "Tidak masalah, 'kan? Selama ada bos yang menanggung biaya menginap?" Nathan tersenyum miring. "Iya sih, tapi memangnya kita mau menyelidiki sedalam apa? Oke lah, mungkin ada masalah sedikit dengan stok bahan makanan di restoran dan sumber daya manusia. Tapi kurasa ...." Angeline terlihat ragu. "Baby Girl, kamu meragukan argumenmu sendiri." "Iya yah? Kamu sih." "Hmm? Sampai sekarang tetap salahku?" Nathan menahan senyum. "Iya dong. Masa aku mau menyalahkan waitress tadi?" Wanita itu mengerucutkan bibir. Nathan tertawa, "Masih keki? Sudah kubilang, mereka akan terkena serangan jantung kalau tahu siapa kamu sebenarnya." "Aku tidak mau, Nath. Hidupku cukup damai sebagai istrimu. Jangan ditambah lagi." "Baiklah. Lupakan dulu hal itu. Bagaimana kalau sekarang kita makan siang di luar sebelum anak-anak unjuk rasa? Rafa sudah diam tanda kelaparan," ujar Nathan. "Oke. Setuju." Maka sepanjan
Malam berlalu menuju subuh. Langit menjadi saksi akan sebuah pergumulan panas yang baru saja berakhir di kamar lantai dua. Sepasang pelaku pergumulan rebah tumpang tindih dengan nafas terengah. "Sial ... itu terakhir kalinya aku membiarkanmu berbuat sesuka hati," desis Angeline yang kehabisan tenaga. Nathan terkekeh, "You're welcome, Baby Girl." "Sana sedikit, aku tidak bisa bernafas." "Ya, sebentar." "Nathan ...." "What? Aku sedang menikmati kehangatan istriku tersayang." Detik berikutnya Nathan mengaduh kesakitan karena Angeline mencubitnya keras-keras. Mau tidak mau dia berguling ke samping. "Rasain." Angeline tertawa kecil. "Why? Kamu seperti ada dendam denganku." Nathan menggosok-gosok pinggangnya yang memerah. "Oh, sakit ya? Poor Nathan." Terdorong oleh sedikit rasa bersalah Angeline melihat keadaan suaminya. "Iya, sakit. Cubitanmu keras sekali," rajuk Nathan. "Sorry." "Aku butuh ciuman." Cubitan berikutnya membuat Nath
Makan siang tersaji di meja makan. Nathan sekeluarga duduk manis menyantap hasil masakan Johan yang sudah tidak diragukan rasanya. Rafael bahkan sampai menambah dua kali! Sementara Olivia yang sudah kenyang masih asyik menyeruput kaki kepiting. "By the way, Jonathan menghubungimu tidak? Aku penasaran bagaimana perkembangan mereka setelah enam bulan tidak bertemu," ujar Angeline. Sambil mengobrol tangannya sibuk membersihkan ceceran kulit kepiting di meja. "Baby Girl, kenapa kamu harus membicarakan orang itu sekarang? Dia hanya melenyapkan nafsu makanku." "Oh, sorry ... lupakan saja kalau begitu." Angeline meringis. Nathan tersenyum simpul, "Kudengar mereka berdua nyaman tinggal di Labuan Bajo." "Jadi dia menghubungimu?" "Kamu lupa aku punya mata dimana-mana?" Angeline menepuk jidat, "Astaga. Benar juga. Terlalu lama hidup berdua membuatmu terlihat normal." Nathan tertegun, "Apa? Selama ini aku tidak normal?" "Uhm ... Rafa, tolong sendoknya satu