Hilda memilih untuk turun ke lantai bawah begitu dia selesai bersiap-siap. Gadis itu mengenakan pakaian casual berupa jeans serta kaus oblong berwarna putih yang dipadukan cardigan merah muda. Disebabkan cuaca Denver akhir-akhir ini sering diguyur hujan, sehingga mengakibatkan udara turun beberapa derajat, membawa hawa dingin yang tidak Hilda sukai.
Sesampainya di dekat tangga terbawah, dia terkejut begitu melihat Danny yang sudah siap sejak tadi.
Pria itu tampak bersahaja dengan baju kebesarannya yang berupa jas hitam slim fit berpadu dasi biru dengan garis-garis merah.
“Oh, aku melihat ada sedikit perubahan pada stylemu,” ucap Hilda dengan nada sindiran yang membuat dahi pria itu berkerut dan alis bertaut.
“Style ... ku?” tanya Danny dengan raut kebingungan.
Kepala Hilda mengangguk cepat, jemarinya seketika menunjuk pada dasi yang melingkar di leher.
“Ya, biasanya kau hanya memakai hitam putih kemudian hitam d
Kedua tangan kekarnya memerangkap kepala Hilda pada masing-masing sisi. Hal itu Danny lakukan untuk melindungi gadis itu dengan menggunakan tubuh besarnya dari tatapan sekitar.Dia pun merebahkan dahi pada sudut leher gadis itu, lalu setelahnya Danny berkata; “Jangan hiraukan tatapan mereka, kau bebas memakai baju apa saja untuk makan di sini.”Terdengar napas Hilda yang tercekat, tampak terkejut dengan sikap Danny yang tiba-tiba.“Meski hanya dibalut sehelai selimut, kau masih jauh lebih elegan dibanding wanita-wanita di sana,” puji pria itu melebih-lebihkan yang seketika membuat sekujur tubuh Hilda memerah.Mendapati rona merah menjalar di sepanjang leher, Danny pun tersenyum samar. Dia bahkan tanpa tahu malu terus menggoda gadis itu.“Apa perlu aku minta mereka semua keluar dari sini agar kita bisa menikmati makan siang berdua?”Mendengar pertanyaan tersebut, Hilda pun menggeleng cepat.“Ja
Setelah kejadian di La Fontana, Danny tidak pernah lagi membawa Hilda keluar dari mansionnya, membuat gadis itu nyaris gila dikurung terlalu lama di sana.“Apa kau ingin menghukumku atau sengaja menjadikanku tawanan?” tanya Hilda dengan nada marah begitu dia mendobrak pintu ruang kerja Danny secara tiba-tiba, yang kebetulan saja pria itu sedang melakukan conference call dengan beberapa kolega di layar plasma yang terpasang di depan meja kerja.Melihat dirinya masuk dalam jangkauan video call, seketika saja Hilda terkesiap dan mundur ke arah titik buta.Perlahan rona merah menjalar di pipi, dan tanpa sengaja dia menggigit bibir bawah. Pertanda gugup dan merasa bersalah.Danny yang fokusnya beralih pada Hilda, seakan tidak bisa melepaskan pandangan.“Aku akan menghubungimu lagi, Drew, Jade,” kata Danny pada dua pria yang merupakan rekan bisnisnya.“Baiklah, aku akan menunggu setengah jam,” ucap Jade sebelum
Hilda berlari menuju kamar dengan wajah dan leher memerah. Dia bahkan menghindari tatapan semua orang yang bekerja di mansion, termasuk Xavier dan Nakuru yang kebetulan saja sedang berbicara sangat intens di dekat tangga.Namun, dari sudut matanya, Hilda bisa melihat tatapan orang-orang yang seolah-olah tahu apa yang baru saja terjadi di balik pintu ruang kerja pria itu.Dengan kepala tertunduk dan langkah terburu-buru, dia pun memasuki kamar. Dan, setelah di dalam, gadis itu menggeram di antara kedua telapak tangan.“Dasar bodoh,” umpat Hilda pada diri sendiri.Tidak seharusnya dia datang begitu saja dan memancing emosi pria itu.“Sekarang apa yang harus kulakukan?” rengeknya pada diri sendiri.Hilda berjalan menuju jendela, dan dia hanya dapat melihat hamparan halaman luas di luar sana dengan bunga-bunga mengelilingi di sekitar.Dari sudut mana saja, Danny memiliki mansion yang sangat indah.Dan sebuah
Mendengar suara Xavier yang sedikit serak, Danny tahu telah terjadi sesuatu. Ditambah lagi, satu nama yang bawahannya itu sebutkan membuat bahu dan tubuh Danny menegang waspada.Tiba-tiba saja dia berdiri dengan postur siaga. Sejenak menatap ke layar plasma, dan dua orang di hadapannya pun mengangguk sebelum akhirnya layar plasma itu menjadi hitam kembali, pertanda masing-masing dari pria-pria di sana memutus sambungan.Setelah ruangan itu hening, Danny pun bergegas mengambil jas hitam yang tersampir di sandaran kursi.“Xavier, ada apa?” kejarnya sembari mengancing kemeja dengan terburu-buru.Xavier yang berada di seberang sambungan pun berdehem.“Sebaiknya anda datang, Sir, aku … sudah melakukan semampuku,” jelasnya dengan nada ragu.Tidak tahu akar permasalahannya, Danny pun bergegas ke alamat yang Xavier berikan.Keningnya berkerut bingung, karena tempat itu adalah restaurant keluarga bernama De La Cr
Rahang Danny mengeras begitu dia mendengar perkataan Hilda yang barusan.Membatalkan perjanjian katanya?Huh, sampai kapan pun dia tidak akan melakukannya.“Perle,” panggil Danny dengan nada lebih lembut, walau di dalam sana dia berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan amarah. “Kau terluka,” tambahnya sembari menyentuh pipi gadis itu dengan gerakan pelan penuh perhatian, yang seketika membuat mata Hilda berubah menjadi berkaca-kaca.Tatapan kemarahannya melunak seiring sentuhan lembut pria itu, hingga tanpa sadar dia pun terisak dengan bulir air mata yang jatuh melewati pipi.“Mereka menyebutku murahan,” tangisnya, dengan napas sedikit tercekat.Melihat kesedihan serta wajah terluka gadis itu, Danny memejamkan mata sesaat, kemudian dia membawa Hilda ke dalam pelukan, dan membuainya pelan.“Kau jauh dari kata murahan,” ucap Danny, mencoba menghibur, namun dia bahkan tidak tahu bagaimana c
Langkah Hilda menyentak lantai begitu dia melewati pintu. Wajahnya yang memerah menarik perhatian banyak orang di sekitar. Gadis itu bahkan tidak menghiraukan panggilan Danny yang menyusul di belakang.“Perle?” panggil pria itu lembut dengan nada penuh kehati-hatian, namun tetap saja gadis di hadapannya seolah tidak mendengar dan terus berjalan cepat menuju tangga.“Perle,” panggil Danny lagi, kali ini dengan nada pelan.Melihat keributan di ruang tengah, Nakuru pun mengintip dari balik dinding penghubung ruang keluarga dan dapur.“Apa yang terjadi?” tanya pria itu pada Xavier yang melewatinya saat menuju meja makan.“Pertengkaran rumah tangga,” balas Xavier, membuat Nakuru tertawa kecil.“Aku sudah bilang ini ide buruk.”Kedua pria itu pun berjalan bersisian menuju meja dapur. Tampak keduanya mencoba menutup telinga begitu mendengar suara bantingan pintu diiringi suara Danny
“Slaine,” gumam Danny sembari menatap wanita itu dan Hilda bergantian.Dia baru saja hendak mengatakan sesuatu, saat tiba-tiba Hilda memukul dadanya keras, mengakibatkan Danny nyaris terjungkal ke belakang.“Aku membencimu,” bisik Hilda dengan mata memerah dan berkaca-kaca pada Danny yang setengah berbaring di atas lantai.Dia hendak mengatakan sesuatu, namun bungkam begitu melihat wajah terluka gadis di hadapannya. Bahkan, air mata yang tadi surut kini kembali menggenang dan mengalir sampai ke dagu. Seketika hati Danny terketuk keras, dan jemarinya yang hangat mengelus permukaan dagu gadis itu lembut.Dia tidak mengira hatinya terasa diremas ketika melihat lelehan bulir air mata itu jatuh dari balik maniknya yang indah.Perlahan-lahan dia pun bang
Hilda berdehem berkali-kali ketika dia mendapati tatapan wanita di hadapannya yang tidak pernah lepas memandang ke arahnya. Hal itu membuatnya gugup, sehingga dia pun mencari-cari tangan Danny yang berada di bawah meja. Dan beberapa kali wanita di depan mereka juga menatap Danny yang duduk di samping Hilda dengan mata menyipit tajam.Tapi, tatapan wanita itu akan berubah menjadi penasaran begitu beralih padanya.Merasa tidak nyaman telah menjadi pusat perhatian seseorang, Hilda meremas keras tangan Danny yang begitu hangat.Dan, alangkah terkejutnya dia begitu menyadari bahwa pria itu tidak henti-hentinya mengulas senyuman ke arahnya, seolah-olah mereka hanya berdua dalam ruangan, dan wanita bernama Slaine yang duduk di seberang adalah patung tanpa nyawa.Pria itu bahkan menatap dirinya secara terang-terangan dengan tatapan yang cukup vulgar.“Danny,” hardik Hilda, yang diam-diam mencubit permukaan lengan pria itu agar berhenti menatap.
Hilda menyerahkan aksesoris bros yang dirinya pinjam dari Slaine saat acara lingerie mereka kemarin. Pipinya merona kemerahan saat mengingat yang terjadi di meja makan bersama Danny waktu itu. Karena benda mungil inilah Danny mendapatinya dalam posisi menungging di bawah meja. Untungnya Slaine tidak menyadari perubahan ekspresi wajahnya tersebut. Bayangan kejadian lalu masih melekat erat dalam ingatan, terutama saat pria itu melakukan sesuatu yang taboo di sana, membuat Hilda semakin kesulitan menyembunyikan rona di pipi. Wajahnya terasa panas, hingga tanpa sadar tangannya mengipasi diri. “Apa kau kepanasan?” tanya Slaine dengan dahi bertaut heran. Gadis itu menatap sekitar, pada langit cerah yang terasa sejuk di jam sepagi ini. Keduanya sengaja memilih mengungsi ke taman setelah kedatangan rombongan pria-pria Red Cage. Dan tentu saja Slaine melakukan itu setelah melihat si pria menyebalkan ─ Knight Miller ─ ada di antara mereka. “Ah … ya, sedikit,” jawab Hilda berbohong. “Apa kau
Tepat pukul delapan pagi itu, berita pertunangan Hilda dan Danny terdengar hingga ke seluruh Denver. Hal itu tentu saja mengundang banyak rasa penasaran dari sekitar, termasuk para petinggi di organisasi Red Cage yang saat itu berkumpul di meja makan kediaman Danny sendiri.Si tuan rumah yang baru saja keluar dari kamar pribadinya hanya bisa menatap tajam pada beberapa kepala yang telah memenuhi sekitar meja makan.“Ah … lihatlah, aku sudah bilang dia akan melamarnya kurang dari tiga bulan,” ucap Jaxon Bradwood yang tengah mengeluarkan setumpuk uang dari saku celana dan diikuti oleh yang lain.Sementara itu, Gavin yang berwajah masam hanya bisa menggerutu sembari melemparkan tatapan kesal pada Danny yang rambutnya mencuat kesegala arah.Semua orang dapat melihat apa yang terjadi dengan rambut-rambut itu sebelumnya.“Aku tidak mengerti, mengapa kau selalu keluar menjadi pemenang setiap kali kita taruhan. Apa kau cenayang?” dengus Connor yang baru saja kehilangan nol koma nol nol nol no
“A-apa yang kau lakukan?” bisik Hilda terbata. Tangan feminim yang berada di depan bibirnya tampak bergetar, menutupi keterkejutan. “…Danny?”“Mmm … aku tahu sekarang bukan waktu yang tepat untuk melakukan ini. Tetapi, aku tidak tahu bagaimana harus melakukannya dengan cara yang benar,” jelas Danny dengan jantung sedikit berdebar hingga dia dapat merasakan organ penting itu hendak lepas dari sarang.Berkali-kali dia menarik napas sembari menunggu dengan keringat dingin mengalir di punggung.Gugup. Itu adalah kata yang tepat saat ini. Dan selama hidupnya, dia tidak mengenal perasaan tersebut.Dengan tatapan masih tidak percaya, Hilda mengedipkan mata berkali-kali. Dia bahkan menatap wajah Danny dan kotak itu secara bergantian.“Kita bisa membuat kesepakatan jika kau menerima lamaranku,” tambah Danny yang tampak kesulitan mengutarakan tawaran.Dia menarik napas panjang sekali lagi, mengusir sesuatu yang mulai menggelayuti, sebelum akhirnya memantapkan diri dan mulai melanjutkan.“Aku ak
Cukup puas Danny memandangi wajah lembut dari wanita yang berbaring di sampingnya. Kini, perhatian Danny pun beralih pada jam di atas nakas. Berkali-kali dia menarik napas dan menghelanya perlahan, hingga akhirnya Danny pun memutuskan untuk menarik selimut yang membungkus tubuh terlelap Hilda.Sebelum beranjak dari kasur, dia sengaja mengecup permukaan dahi wanita itu untuk sekian detik lamanya. Akan tetapi, perhatiannya terfokus pada ceceran baju mereka di atas lantai. Dan saat itulah dia memandangi celana yang tadi dipakai.Sembari menarik napas panjang, Danny bangkit dari ranjang dan berlutut di depan celana tersebut.Sekelebat emosi tampak berkejaran di balik matanya yang jernih. Namun, tubuhnya menegang begitu dia mendengar panggilan feminim dari balik punggung.“Apa yang kau lakukan di sana?”Suara Hilda terdengar serak dan sedikit berat. Mata gadis itu tampak sayu, seakan baru saja terpuaskan dengan kegiatan mereka sebelumnya. Hal itu mengundang senyuman kecil di sudut bibir Da
“Apa yang kau lakukan di tempat ini, hmm?” bisik Danny, tepat di telinga Hilda yang memerah.“Ka-kapan kau datang? Bukankah kau seharusnya kembali tengah malam nanti?”Wanita itu tampak berusaha menutupi tubuhnya yang hanya dibalut oleh kain tipis. Dan jemari lentik gadis itu seketika menarik perhatian Danny, hingga tanpa sadar lengan kekar pria itu mencoba menghentikan apa yang hendak Hilda lakukan.Dengan dengusan pelan, Danny seakan sengaja mengabaikan pertanyaan gadis itu.“Coba lihat ini.” Dari tatapannya yang teduh, jelas sekali bahwa dia tengah mengagumi pemandangan di hadapan. “Apa yang sebenarnya kau lakukan, Perle? Apa kau sengaja hendak menggoda semua orang selama aku tidak ada?”Siluet tubuh gadis itu seakan menggoda Danny untuk tidak menerkamnya saat itu juga.Akan tetapi, Hilda yang mendengar intonasi pria itu yang sedikit berbeda dari biasanya pun mencoba untuk menutupi tubuhnya kembali.“A-aku ingin kembali ke kamar,” ucap gadis itu gugup sembari berusaha melepaskan di
Suara deru mesin mobil yang melewati gerbang membuat Xavier sedikit terheran. Pria itu bahkan menunggu di depan pintu dengan posisi istirahat di tempat, sedangkan kedua kaki terbuka sedikit lebar dan tangan berada di balik tubuh.“Sir,” sapanya begitu Danny turun dari mobil.Melihat ekpresi atasannya yang masam, Xavier memilih untuk bungkam sesaat. Namun, lirikan mata yang dia lemparkan pada Nakuru sudah cukup untuk memberikan signal bahwa dia sangat penasaran dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba.“Katakan pada yang lain, aku tidak ingin diganggu. Batasi akses untuk menemuiku,” ucap Danny sembari melewati bawahannya tersebut.Dia bahkan tidak lagi melihat sekitar, dan terus melangkah lurus melewati pintua. Akan tetapi langkahnya seketika terhenti begitu dia mendengar suara tawa beberapa wanita dari lantai dua.Dengan alis bertaut dan kening berkerut bingung, Danny pun tampak menahan diri untuk tidak berbalik badan. Seketika saja dia mengurut pelipis dan menarik napas cukup panjang,
Danny mendengus pelan begitu dia mendengar ucapan yang keluar dari mulut Dawn.“Ternyata kau masih belum belajar dari pukulanku waktu itu,” sindir Danny, mengingat kejadian saat mereka masih di LA.Seketika itu juga mata Danny menangkap pergerakan lengan Dawn yang diam-diam mengepal di sisi tubuh.Sebelah alis Danny pun sedikit terangkat, dan dia melemparkan tatapan penuh makna pada Dawn yang tampak menahan diri untuk tidak menyerang.“Ah, aku tidak mengira kau merasa perlu untuk balas dendam.”Danny pun mendekatkan diri, hingga wajah mereka saling berhadapan. Hanya dengan satu kepalan tangan yang lurus, Dawn bisa saja memukul mundur Danny saat itu, tetapi tampaknya pria itu hanya diam menunggu.Melihat kebisuannya, Danny kembali menatap tajam dengan melemparkan isyarat menantang.Seketika saja udara di sekitar keduanya terasa cukup berat, membuat beberapa pria-pria yang tadinya terlibat percakapan di sekitar pun beralih fokus pada keduanya, yang saat itu berdiri tidak jauh dari meja
“Apa kau mau aku perkenalkan dengan teman-temanku?”Mendengar tawaran Slaine, Hilda tampak ragu. Selama ini dia tidak pernah dekat dengan kumpulan wanita manapun. Masa lalu membuatnya sedikit menarik diri dari pertemanan. Satu-satunya sahabat baginya hanyalah Gamal dan pria itu bahkan tidak bisa dikatakan sebagai seorang sahabat selayaknya pertemanan di antara para wanita pada umumnya.Bahkan, untuk curhat saja, Gamal tidak bisa diandalkan.“Apa kau yakin?” tanya Hilda, tampak penuh keraguan. “Aku bahkan masih sangat baru di kota ini. Dan … aku tidak tahu apakah akan berada di sini dalam waktu yang lama.”Seharusnya dia tanyakan saja pada Danny, apakah pria itu akan berpindah-pindah tempat.“Saudaraku tinggal di sini, jika kalian menikah, tentu saja kau juga akan tinggal di sini bersamanya.”Seketika saja Hilda tersedak ludahnya sendiri, membuat wanita itu terbatuk-batuk dengan malangnya.“Oh, apa yang terjadi? Apakah cuaca di luar sana membuatmu kedinginan?”Dengan sangat cepat, Slai
Sejak pagi stasiun televisi memberitakan cuaca buruk yang hendak melanda Denver, membuat Danny lebih waspada akan kemungkinan datangnya badai. Dia bahkan memerintahkan Xavier untuk menjaga kediamannya, termasuk dua wanita yang masih tertidur pulas di kamar masing-masing.“Aku akan berangkat ke Lancester, dan mungkin saja kembali malam nanti. Nakuru akan ikut bersamaku, dan tugasmu adalah menjaga Hilda. Aku yakin Slaine akan melakukan apa saja untuk membawa wanita itu keluar dari mansion,” perintahnya, sembari berjalan melewati pintu, lalu menuruni undakan tangga pada teras depan.Ketika kakinya menginjak perkiran, Danny pun menengadah pada langit yang mulai terlihat gelap. Arak-arakan awan seolah berkumpul menjadi gumpalan hitam di atas kepalanya. Entah mengapa, dia merasa sedikit khawatir begitu melihat cuaca pagi ini.Sementara itu, Nakuru yang sejak tadi berdiri saat menunggu di samping pintu kemudi pun ikut mendongak ke arah langit.“Yah, cuaca memang tidak bersahabat, Sir,” ucap