Danny terjaga pagi itu. Lama dia memandangi wajah terlelap Hilda yang kini tertidu pulas di sebelah. Dengan satu tangan menopang kepala, pria itu pun setengah rebah di atas kasur dan menatap Hilda lekat dengan pandangan yang teduh.
Senyum di bibirnya mengulas samar ketika terdengar dengkuran halus dari gadis yang berada di bawah tubuhnya. Jari-jemari Danny mengelus pipi Hilda penuh kelembutan.
Melihat anak rambut yang sedikit mengganggu wajah gadis itu, hati-hati dia menyibaknya ke balik telinga.
Ketika tubuh Hilda menggeliat, sentuhan Danny membeku di udara.
“Jangan makan cokelatku, Gamal,” gumam Hilda dalam tidur yang membuat senyum Danny semakin lebar.
Dia tidak mengira, hanya dengan menonton gadis itu saja sudah cukup menghiburnya, sehingga Danny melanjutkan.
Ujung jemarinya menyentuh sisi bibir ranum gadis itu, yang membuat kelopak mata Hilda bergetar, namun tidak ada tanda-tanda dia akan bangun.
Saat terdengar suara
Hilda memilih untuk turun ke lantai bawah begitu dia selesai bersiap-siap. Gadis itu mengenakan pakaian casual berupa jeans serta kaus oblong berwarna putih yang dipadukan cardigan merah muda. Disebabkan cuaca Denver akhir-akhir ini sering diguyur hujan, sehingga mengakibatkan udara turun beberapa derajat, membawa hawa dingin yang tidak Hilda sukai.Sesampainya di dekat tangga terbawah, dia terkejut begitu melihat Danny yang sudah siap sejak tadi.Pria itu tampak bersahaja dengan baju kebesarannya yang berupa jas hitam slim fit berpadu dasi biru dengan garis-garis merah.“Oh, aku melihat ada sedikit perubahan pada stylemu,” ucap Hilda dengan nada sindiran yang membuat dahi pria itu berkerut dan alis bertaut.“Style ... ku?” tanya Danny dengan raut kebingungan.Kepala Hilda mengangguk cepat, jemarinya seketika menunjuk pada dasi yang melingkar di leher.“Ya, biasanya kau hanya memakai hitam putih kemudian hitam d
Kedua tangan kekarnya memerangkap kepala Hilda pada masing-masing sisi. Hal itu Danny lakukan untuk melindungi gadis itu dengan menggunakan tubuh besarnya dari tatapan sekitar.Dia pun merebahkan dahi pada sudut leher gadis itu, lalu setelahnya Danny berkata; “Jangan hiraukan tatapan mereka, kau bebas memakai baju apa saja untuk makan di sini.”Terdengar napas Hilda yang tercekat, tampak terkejut dengan sikap Danny yang tiba-tiba.“Meski hanya dibalut sehelai selimut, kau masih jauh lebih elegan dibanding wanita-wanita di sana,” puji pria itu melebih-lebihkan yang seketika membuat sekujur tubuh Hilda memerah.Mendapati rona merah menjalar di sepanjang leher, Danny pun tersenyum samar. Dia bahkan tanpa tahu malu terus menggoda gadis itu.“Apa perlu aku minta mereka semua keluar dari sini agar kita bisa menikmati makan siang berdua?”Mendengar pertanyaan tersebut, Hilda pun menggeleng cepat.“Ja
Setelah kejadian di La Fontana, Danny tidak pernah lagi membawa Hilda keluar dari mansionnya, membuat gadis itu nyaris gila dikurung terlalu lama di sana.“Apa kau ingin menghukumku atau sengaja menjadikanku tawanan?” tanya Hilda dengan nada marah begitu dia mendobrak pintu ruang kerja Danny secara tiba-tiba, yang kebetulan saja pria itu sedang melakukan conference call dengan beberapa kolega di layar plasma yang terpasang di depan meja kerja.Melihat dirinya masuk dalam jangkauan video call, seketika saja Hilda terkesiap dan mundur ke arah titik buta.Perlahan rona merah menjalar di pipi, dan tanpa sengaja dia menggigit bibir bawah. Pertanda gugup dan merasa bersalah.Danny yang fokusnya beralih pada Hilda, seakan tidak bisa melepaskan pandangan.“Aku akan menghubungimu lagi, Drew, Jade,” kata Danny pada dua pria yang merupakan rekan bisnisnya.“Baiklah, aku akan menunggu setengah jam,” ucap Jade sebelum
Hilda berlari menuju kamar dengan wajah dan leher memerah. Dia bahkan menghindari tatapan semua orang yang bekerja di mansion, termasuk Xavier dan Nakuru yang kebetulan saja sedang berbicara sangat intens di dekat tangga.Namun, dari sudut matanya, Hilda bisa melihat tatapan orang-orang yang seolah-olah tahu apa yang baru saja terjadi di balik pintu ruang kerja pria itu.Dengan kepala tertunduk dan langkah terburu-buru, dia pun memasuki kamar. Dan, setelah di dalam, gadis itu menggeram di antara kedua telapak tangan.“Dasar bodoh,” umpat Hilda pada diri sendiri.Tidak seharusnya dia datang begitu saja dan memancing emosi pria itu.“Sekarang apa yang harus kulakukan?” rengeknya pada diri sendiri.Hilda berjalan menuju jendela, dan dia hanya dapat melihat hamparan halaman luas di luar sana dengan bunga-bunga mengelilingi di sekitar.Dari sudut mana saja, Danny memiliki mansion yang sangat indah.Dan sebuah
Mendengar suara Xavier yang sedikit serak, Danny tahu telah terjadi sesuatu. Ditambah lagi, satu nama yang bawahannya itu sebutkan membuat bahu dan tubuh Danny menegang waspada.Tiba-tiba saja dia berdiri dengan postur siaga. Sejenak menatap ke layar plasma, dan dua orang di hadapannya pun mengangguk sebelum akhirnya layar plasma itu menjadi hitam kembali, pertanda masing-masing dari pria-pria di sana memutus sambungan.Setelah ruangan itu hening, Danny pun bergegas mengambil jas hitam yang tersampir di sandaran kursi.“Xavier, ada apa?” kejarnya sembari mengancing kemeja dengan terburu-buru.Xavier yang berada di seberang sambungan pun berdehem.“Sebaiknya anda datang, Sir, aku … sudah melakukan semampuku,” jelasnya dengan nada ragu.Tidak tahu akar permasalahannya, Danny pun bergegas ke alamat yang Xavier berikan.Keningnya berkerut bingung, karena tempat itu adalah restaurant keluarga bernama De La Cr
Rahang Danny mengeras begitu dia mendengar perkataan Hilda yang barusan.Membatalkan perjanjian katanya?Huh, sampai kapan pun dia tidak akan melakukannya.“Perle,” panggil Danny dengan nada lebih lembut, walau di dalam sana dia berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan amarah. “Kau terluka,” tambahnya sembari menyentuh pipi gadis itu dengan gerakan pelan penuh perhatian, yang seketika membuat mata Hilda berubah menjadi berkaca-kaca.Tatapan kemarahannya melunak seiring sentuhan lembut pria itu, hingga tanpa sadar dia pun terisak dengan bulir air mata yang jatuh melewati pipi.“Mereka menyebutku murahan,” tangisnya, dengan napas sedikit tercekat.Melihat kesedihan serta wajah terluka gadis itu, Danny memejamkan mata sesaat, kemudian dia membawa Hilda ke dalam pelukan, dan membuainya pelan.“Kau jauh dari kata murahan,” ucap Danny, mencoba menghibur, namun dia bahkan tidak tahu bagaimana c
Langkah Hilda menyentak lantai begitu dia melewati pintu. Wajahnya yang memerah menarik perhatian banyak orang di sekitar. Gadis itu bahkan tidak menghiraukan panggilan Danny yang menyusul di belakang.“Perle?” panggil pria itu lembut dengan nada penuh kehati-hatian, namun tetap saja gadis di hadapannya seolah tidak mendengar dan terus berjalan cepat menuju tangga.“Perle,” panggil Danny lagi, kali ini dengan nada pelan.Melihat keributan di ruang tengah, Nakuru pun mengintip dari balik dinding penghubung ruang keluarga dan dapur.“Apa yang terjadi?” tanya pria itu pada Xavier yang melewatinya saat menuju meja makan.“Pertengkaran rumah tangga,” balas Xavier, membuat Nakuru tertawa kecil.“Aku sudah bilang ini ide buruk.”Kedua pria itu pun berjalan bersisian menuju meja dapur. Tampak keduanya mencoba menutup telinga begitu mendengar suara bantingan pintu diiringi suara Danny
“Slaine,” gumam Danny sembari menatap wanita itu dan Hilda bergantian.Dia baru saja hendak mengatakan sesuatu, saat tiba-tiba Hilda memukul dadanya keras, mengakibatkan Danny nyaris terjungkal ke belakang.“Aku membencimu,” bisik Hilda dengan mata memerah dan berkaca-kaca pada Danny yang setengah berbaring di atas lantai.Dia hendak mengatakan sesuatu, namun bungkam begitu melihat wajah terluka gadis di hadapannya. Bahkan, air mata yang tadi surut kini kembali menggenang dan mengalir sampai ke dagu. Seketika hati Danny terketuk keras, dan jemarinya yang hangat mengelus permukaan dagu gadis itu lembut.Dia tidak mengira hatinya terasa diremas ketika melihat lelehan bulir air mata itu jatuh dari balik maniknya yang indah.Perlahan-lahan dia pun bang