Langkah Hilda menyentak lantai begitu dia melewati pintu. Wajahnya yang memerah menarik perhatian banyak orang di sekitar. Gadis itu bahkan tidak menghiraukan panggilan Danny yang menyusul di belakang.
“Perle?” panggil pria itu lembut dengan nada penuh kehati-hatian, namun tetap saja gadis di hadapannya seolah tidak mendengar dan terus berjalan cepat menuju tangga.
“Perle,” panggil Danny lagi, kali ini dengan nada pelan.
Melihat keributan di ruang tengah, Nakuru pun mengintip dari balik dinding penghubung ruang keluarga dan dapur.
“Apa yang terjadi?” tanya pria itu pada Xavier yang melewatinya saat menuju meja makan.
“Pertengkaran rumah tangga,” balas Xavier, membuat Nakuru tertawa kecil.
“Aku sudah bilang ini ide buruk.”
Kedua pria itu pun berjalan bersisian menuju meja dapur. Tampak keduanya mencoba menutup telinga begitu mendengar suara bantingan pintu diiringi suara Danny
“Slaine,” gumam Danny sembari menatap wanita itu dan Hilda bergantian.Dia baru saja hendak mengatakan sesuatu, saat tiba-tiba Hilda memukul dadanya keras, mengakibatkan Danny nyaris terjungkal ke belakang.“Aku membencimu,” bisik Hilda dengan mata memerah dan berkaca-kaca pada Danny yang setengah berbaring di atas lantai.Dia hendak mengatakan sesuatu, namun bungkam begitu melihat wajah terluka gadis di hadapannya. Bahkan, air mata yang tadi surut kini kembali menggenang dan mengalir sampai ke dagu. Seketika hati Danny terketuk keras, dan jemarinya yang hangat mengelus permukaan dagu gadis itu lembut.Dia tidak mengira hatinya terasa diremas ketika melihat lelehan bulir air mata itu jatuh dari balik maniknya yang indah.Perlahan-lahan dia pun bang
Hilda berdehem berkali-kali ketika dia mendapati tatapan wanita di hadapannya yang tidak pernah lepas memandang ke arahnya. Hal itu membuatnya gugup, sehingga dia pun mencari-cari tangan Danny yang berada di bawah meja. Dan beberapa kali wanita di depan mereka juga menatap Danny yang duduk di samping Hilda dengan mata menyipit tajam.Tapi, tatapan wanita itu akan berubah menjadi penasaran begitu beralih padanya.Merasa tidak nyaman telah menjadi pusat perhatian seseorang, Hilda meremas keras tangan Danny yang begitu hangat.Dan, alangkah terkejutnya dia begitu menyadari bahwa pria itu tidak henti-hentinya mengulas senyuman ke arahnya, seolah-olah mereka hanya berdua dalam ruangan, dan wanita bernama Slaine yang duduk di seberang adalah patung tanpa nyawa.Pria itu bahkan menatap dirinya secara terang-terangan dengan tatapan yang cukup vulgar.“Danny,” hardik Hilda, yang diam-diam mencubit permukaan lengan pria itu agar berhenti menatap.
Sejak pagi stasiun televisi memberitakan cuaca buruk yang hendak melanda Denver, membuat Danny lebih waspada akan kemungkinan datangnya badai. Dia bahkan memerintahkan Xavier untuk menjaga kediamannya, termasuk dua wanita yang masih tertidur pulas di kamar masing-masing.“Aku akan berangkat ke Lancester, dan mungkin saja kembali malam nanti. Nakuru akan ikut bersamaku, dan tugasmu adalah menjaga Hilda. Aku yakin Slaine akan melakukan apa saja untuk membawa wanita itu keluar dari mansion,” perintahnya, sembari berjalan melewati pintu, lalu menuruni undakan tangga pada teras depan.Ketika kakinya menginjak perkiran, Danny pun menengadah pada langit yang mulai terlihat gelap. Arak-arakan awan seolah berkumpul menjadi gumpalan hitam di atas kepalanya. Entah mengapa, dia merasa sedikit khawatir begitu melihat cuaca pagi ini.Sementara itu, Nakuru yang sejak tadi berdiri saat menunggu di samping pintu kemudi pun ikut mendongak ke arah langit.“Yah, cuaca memang tidak bersahabat, Sir,” ucap
“Apa kau mau aku perkenalkan dengan teman-temanku?”Mendengar tawaran Slaine, Hilda tampak ragu. Selama ini dia tidak pernah dekat dengan kumpulan wanita manapun. Masa lalu membuatnya sedikit menarik diri dari pertemanan. Satu-satunya sahabat baginya hanyalah Gamal dan pria itu bahkan tidak bisa dikatakan sebagai seorang sahabat selayaknya pertemanan di antara para wanita pada umumnya.Bahkan, untuk curhat saja, Gamal tidak bisa diandalkan.“Apa kau yakin?” tanya Hilda, tampak penuh keraguan. “Aku bahkan masih sangat baru di kota ini. Dan … aku tidak tahu apakah akan berada di sini dalam waktu yang lama.”Seharusnya dia tanyakan saja pada Danny, apakah pria itu akan berpindah-pindah tempat.“Saudaraku tinggal di sini, jika kalian menikah, tentu saja kau juga akan tinggal di sini bersamanya.”Seketika saja Hilda tersedak ludahnya sendiri, membuat wanita itu terbatuk-batuk dengan malangnya.“Oh, apa yang terjadi? Apakah cuaca di luar sana membuatmu kedinginan?”Dengan sangat cepat, Slai
Danny mendengus pelan begitu dia mendengar ucapan yang keluar dari mulut Dawn.“Ternyata kau masih belum belajar dari pukulanku waktu itu,” sindir Danny, mengingat kejadian saat mereka masih di LA.Seketika itu juga mata Danny menangkap pergerakan lengan Dawn yang diam-diam mengepal di sisi tubuh.Sebelah alis Danny pun sedikit terangkat, dan dia melemparkan tatapan penuh makna pada Dawn yang tampak menahan diri untuk tidak menyerang.“Ah, aku tidak mengira kau merasa perlu untuk balas dendam.”Danny pun mendekatkan diri, hingga wajah mereka saling berhadapan. Hanya dengan satu kepalan tangan yang lurus, Dawn bisa saja memukul mundur Danny saat itu, tetapi tampaknya pria itu hanya diam menunggu.Melihat kebisuannya, Danny kembali menatap tajam dengan melemparkan isyarat menantang.Seketika saja udara di sekitar keduanya terasa cukup berat, membuat beberapa pria-pria yang tadinya terlibat percakapan di sekitar pun beralih fokus pada keduanya, yang saat itu berdiri tidak jauh dari meja
Suara deru mesin mobil yang melewati gerbang membuat Xavier sedikit terheran. Pria itu bahkan menunggu di depan pintu dengan posisi istirahat di tempat, sedangkan kedua kaki terbuka sedikit lebar dan tangan berada di balik tubuh.“Sir,” sapanya begitu Danny turun dari mobil.Melihat ekpresi atasannya yang masam, Xavier memilih untuk bungkam sesaat. Namun, lirikan mata yang dia lemparkan pada Nakuru sudah cukup untuk memberikan signal bahwa dia sangat penasaran dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba.“Katakan pada yang lain, aku tidak ingin diganggu. Batasi akses untuk menemuiku,” ucap Danny sembari melewati bawahannya tersebut.Dia bahkan tidak lagi melihat sekitar, dan terus melangkah lurus melewati pintua. Akan tetapi langkahnya seketika terhenti begitu dia mendengar suara tawa beberapa wanita dari lantai dua.Dengan alis bertaut dan kening berkerut bingung, Danny pun tampak menahan diri untuk tidak berbalik badan. Seketika saja dia mengurut pelipis dan menarik napas cukup panjang,
“Apa yang kau lakukan di tempat ini, hmm?” bisik Danny, tepat di telinga Hilda yang memerah.“Ka-kapan kau datang? Bukankah kau seharusnya kembali tengah malam nanti?”Wanita itu tampak berusaha menutupi tubuhnya yang hanya dibalut oleh kain tipis. Dan jemari lentik gadis itu seketika menarik perhatian Danny, hingga tanpa sadar lengan kekar pria itu mencoba menghentikan apa yang hendak Hilda lakukan.Dengan dengusan pelan, Danny seakan sengaja mengabaikan pertanyaan gadis itu.“Coba lihat ini.” Dari tatapannya yang teduh, jelas sekali bahwa dia tengah mengagumi pemandangan di hadapan. “Apa yang sebenarnya kau lakukan, Perle? Apa kau sengaja hendak menggoda semua orang selama aku tidak ada?”Siluet tubuh gadis itu seakan menggoda Danny untuk tidak menerkamnya saat itu juga.Akan tetapi, Hilda yang mendengar intonasi pria itu yang sedikit berbeda dari biasanya pun mencoba untuk menutupi tubuhnya kembali.“A-aku ingin kembali ke kamar,” ucap gadis itu gugup sembari berusaha melepaskan di
Cukup puas Danny memandangi wajah lembut dari wanita yang berbaring di sampingnya. Kini, perhatian Danny pun beralih pada jam di atas nakas. Berkali-kali dia menarik napas dan menghelanya perlahan, hingga akhirnya Danny pun memutuskan untuk menarik selimut yang membungkus tubuh terlelap Hilda.Sebelum beranjak dari kasur, dia sengaja mengecup permukaan dahi wanita itu untuk sekian detik lamanya. Akan tetapi, perhatiannya terfokus pada ceceran baju mereka di atas lantai. Dan saat itulah dia memandangi celana yang tadi dipakai.Sembari menarik napas panjang, Danny bangkit dari ranjang dan berlutut di depan celana tersebut.Sekelebat emosi tampak berkejaran di balik matanya yang jernih. Namun, tubuhnya menegang begitu dia mendengar panggilan feminim dari balik punggung.“Apa yang kau lakukan di sana?”Suara Hilda terdengar serak dan sedikit berat. Mata gadis itu tampak sayu, seakan baru saja terpuaskan dengan kegiatan mereka sebelumnya. Hal itu mengundang senyuman kecil di sudut bibir Da